Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Department of Foreign Affairs, 2001
327.7 IND e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Ministry of Foreign Affairs of The Republic of Indonesia, 2017
327 IND t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Gede Cadhu Wibawa
Abstrak :
Permasalahan Laut Cina Selatan merupakan permasalahan yang belum mencapai titik terang sampai dengan saat ini. Ketegangan kembali menguat setelah munculnya China Threat Teory serta gencarnya kebijakan Belt and Road Initiative oleh pemerintah China yang mencangkup Silk Road Economic dan Maritime Silk Road. Klaim Cina terhadap Kawasan Laut Cina Selatan dengan Nine Dash Line menimbulkan keresahan di negara kawasan ASEAN yang sebagian besar memiliki klaim yang tumpang tindih. Indonesia tidak termasuk sebagai negera penuntut dalam kasus sengketa di Laut Cina Selatan, namun demikian Indonesia turut terkena imbasnya dengan klaim perairan Natuna utara yang diakui Cina sebagai Traditional Fishing Ground. Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran tingkat ancaman Cina terhadap Indonesia dengna menggunakan metode penilaian ancaman Prunckun untuk menilai persepsi tingkat ancaman dari pihak Indonesia. Peneliti menggunakan metodekualitatif, dengan menganalisis hasil wawancara dengan narasumber secara mendalam tentang respon yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap pergerakan yang dilakukan Cina di Laut Cina Selatan. Dalam penelitian ini peneliti berfokus dengan mengkaji respon pemerintah khususnya dari dua sisi komponen strategis yakni aspek kekuatan bersenjata dan aspek ekonomi. Dari dua aspek tersebut dilakukan perbandingan respon untuk melihat konsistensi pemerintah dalam menghadapi ancaman Cina. Dalam penelitian ini didapat bahwa langkah pemerintah dari dua aspek tersebut menunjukkan tidak sejalan. Kemudian Peneliti menggunakan K3N sebagai alat untuk memberikan produk Intelijen sebagai bentuk fungsi intelijen yakni Warning, Forecasting dan Problem Solving. ......The South China Sea problem is a problem that has not yet reached the bright spot until now. Tensions have strengthened again after the emergence of China Threat Theory and the incessant Belt and Road Initiative policy by the Chinese government which includes the Silk Road Economic and Maritime Silk Road. China's claim to the South China Sea Area with the Nine Dash Line has caused unrest in ASEAN countries, most of which have overlapping claims. Indonesia is not included as a claimant country in cases of disputes in the South China Sea, however, Indonesia is also affected by the claim that the North Natuna waters are recognized by China as the Traditional Fishing Ground. In this study, the measurement of China's threat level to Indonesia was carried out using the Prunckun threat assessment method to assess the perceived threat level from the Indonesian side. The researcher used a qualitative method, by analyzing the results of interviews with sources in depth about the response made by the Indonesian government to the movements carried out by China in the South China Sea. In this study, researchers focused on examining the government's response, especially from the two sides of the strategic component, namely the aspect of armed power and the economic aspect. From these two aspects, a response was compared to see the consistency of the government in facing the Chinese threat. In this study, it was found that the government's steps from these two aspects showed that they were not in line. Then the researcher used K3N as a tool to provide intelligence products as a form of intelligence function, namely Warning, Forecasting and Problem Solving.
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutia Asshafiya Khairunisa
Abstrak :
Tugas Karya Akhir (TKA) ini meneliti respon Indonesia, Vietnam, dan Filipina, terhadap aktivitas militer Tiongkok di Laut Cina Selatan antara tahun 2014-2020. Berdasarkan kerangka analisis teori kerja sama, penelitian ini berpendapat bahwa ketiga negara merespon aktivitas militer Tiongkok dengan cara yang kooperatif. Menurut beberapa penelitian sebelumnya, respon negara di wilayah Laut Tiongkok Selatan bergantung kepada jumlah dana bantuan Belt and Road Initiatives (BRI) yang diterima. Penelitian ini menyarankan untuk memasukkan konteks nasional negara-negara penerima BRI, dengan melibatkan motives dan power dalam menganalisis respon. Tulisan ini adalah penelitian kualitatif dan penulis menggunakan metode perbandingan. Penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman tentang persamaan pola respon antara Indonesia, Vietnam, dan Filipina terlepas dari perbedaan jumlah BRI yang diterima ......This study examines the responses of Indonesia, Vietnam, and Philippine, toward China’s military activities at the South China Sea between 2014-2020. Based on the logic of cooperation theory analytical framework, this paper argues that those countries reacted to China’s military activities in a cooperative way. As some scholars predicted if those responses depend on the amount of the Belt and Road Initiatives (BRI) assistance fund. This paper suggests to include the national context of BRI recipient countries, by describing the different motives and power, in examining those responses. This paper used qualitative framework and comparative methods. This paper may enhance the understanding of the similar pattern of responses between Indonesia, Vietnam, and Philippine despite the differences of the BRI amount received
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia , 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sonny Satyabhakti
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini bertujuan untuk menunjukkan Permasalahan keamanan maritim terbesar di Asia Tenggara antara negara-negara internal dan eksternal kawasan menyebabkan terjadinya interaksi keamanan maritim sebagai satu kompleks keamanan maritim yang terpusat pada institusi (centered regional institutional maritime security complex). Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini akan menjelaskan beberapa pokok bahasan yang terkait dengan kompleks keamanan kawasan yang dimaksud. Pendekatan yang digunakan untuk membahas interaksi keamanan kawasan adalah teori kompleks keamanan regional (regional security complex theory, RSCT) yang dikembangkan oleh Buzan dan Wæver (2003). RSCT membahas mengenai interaksi institusi keamanan maritim negara-negara di Asia Tenggara dan pengaruhnya berdasarkan komponen struktur esensial (essential structure) RSCT, yakni: batas-batas kawasan (boundary), struktur anarkis (anarchic structure), polaritas (polarity), dan konstruksi sosial (social construction).
ABSTRACT
This thesis aims to identify the greatest maritime security issue in Southeast Asia among the states in the region, as well as those, which are located outside the region. This causes the maritime security interaction as a centered regional institutional maritime security complex. For that purpose, this study explains the subjects related to regional security complex. The approach used to explore the regional security interaction is the regional security complex theory (RSCT) by Buzan and Wæver (2003). RSCT explains about the institution interaction of the maritime security in the Southeastasian countries and also its impact based on the RSCT essential structure components, which are: boundary, anarchic structure, polarity, and social construction
2016
T46352
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naomi Putri Anggita
Abstrak :
ABSTRAK
Kepulauan Spratly adalah sebuah wilayah di Laut Cina Selatan dimana terdapat terumbu karang dan pulau-pulau kecil. Wilayah Kepulauan Spratly bersama-sama dengan Laut China Selatan telah menjadi wilayah sengketa negara-negara tersebut yang mengelilingi Laut Cina Selatan. China adalah salah satu negara yang disengketakan, dengan mengklaim Laut Cina Selatan dan pulau-pulaunya, termasuk Nusantara Spratlys, sebagai bagian dari kedaulatannya. Pada akhir 2013, Cina melakukannya konstruksi pada 7 fitur karang di wilayah Kepulauan Spratly, yaitu Cuarteron Terumbu Karang, Terumbu Fiery Cross, Terumbu Gaven, Terumbu Hughes, Terumbu Johnson, Terumbu Mischief, dan Subi Reef, dan membuat pulau buatan baru. Status ketujuh fitur ini juga dipertanyakan dan apakah pembangunan pulau buatan ini bisa membuat China memperoleh kedaulatan atas Laut Cina Selatan. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis status pulau buatan yang dibangun di atas tujuh fitur di wilayah tersebut Kepulauan Spratly dan apakah di pulau-pulau ini Cina bisa mendapatkan zona maritim untuk memperluas wilayah kedaulatannya di atas Laut Cina Selatan. Di Tulisan ini menggunakan penelitian yuridis normatif dengan menganalisis peraturan perundang-undangan laut internasional tentang pulau dan pulau buatan, latar belakang klaim China terhadap Laut Cina Selatan tiba di pembangunan tujuh fitur, serta putusan Permanen Pengadilan Arbitrase pada perselisihan antara Cina dan Filipina. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status tujuh fitur ditentukan dengan melihat kondisi aslinya sebelum dibangun oleh China, dan dengan status itu, China tidak dapat memperoleh zona ekonomi eksklusif di atas Kepulauan Spratly secara langsung secara keseluruhan, sehingga pembangunan tidak memberi Cina perluasan kedaulatannya.
ABSTRACT
The Spratly Islands are an area in the South China Sea where there are coral reefs and small islands. The area of ​​the Spratly Islands together with the South China Sea has become a disputed territory of these countries which surrounds the South China Sea. China is one of the disputed countries, claiming the South China Sea and its islands, including the Spratlys Archipelago, as part of its sovereignty. In late 2013, China carried out construction on 7 coral features in the Spratly Islands region, namely Cuarteron Coral Reef, Fiery Cross Reef, Gaven Reef, Hughes Reef, Johnson Reef, Mischief Reef, and Subi Reef, and created a new artificial island. The status of these seven features is also questioned and whether the construction of these artificial islands can allow China to gain sovereignty over the South China Sea. This article aims to analyze the status of artificial islands built on seven features in the Spratly Islands region and whether in these islands China can get a maritime zone to expand its sovereign territory over the South China Sea. In This paper uses normative juridical research by analyzing international maritime laws and regulations regarding artificial islands and islands, the background of China's claims to The South China Sea arrived at the construction of the seven features, as well as the verdict Permanent Court of Arbitration on disputes between China and the Philippines. The results show that the status of the seven features is determined by looking at their original condition before being built by China, and with that status, China cannot obtain an exclusive economic zone over the Spratly Islands directly in its entirety, so development does not give China an expansion. his sovereignty.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hayton, Bill
New Haven: Yale University Press, 2014
341.45 HAY s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Salsabila
Abstrak :
Sengketa Laut Cina Selatan telah menjadi konflik kepentingan di antara negara-negara kawasan tersebut. Republik Rakyat Tiongkok (RRT) mengklaim sekitar 90 persen wilayah Laut Cina Selatan melalui penggunaan peta sembilan garis putus-putus namun klaim ini bertentangan dengan klaim kedaulatan negara lain, termasuk Filipina. Hal itulah yang menjadi pokok bahasan dalam artikel ini. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor utama yang mendorong Tiongkok tetap mempertahankan klaimnya terhadap Laut Cina Selatan dan untuk mengetahui seberapa efektif peta nine-dashed line untuk mempertahankan Laut Cina Selatan terutama dalam sengketanya dengan Filipina. Metode penelitian yang digunakan dalam artikel ini adalah metode kualitiatif dengan pendekatan ilmu sejarah. Adapun tahap penelitian mencakup heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun RRT menggunakan peta dengan nine dashed line sebagai dasar klaim di Laut Cina Selatan namun ternyata hal itu kurang efektif untuk mendukung klaimnya atas Laut Cina Selatan. ......The South China Sea dispute has become a conflict of interest among the countries of the region. The People's Republic of China (PRC) claims about 90 percent of the South China Sea through the use of the nine-dash line map but this claim conflicts with the sovereignty claims of other countries, including the Philippines. That is the subject of discussion in this article. The main objective of this research is to find out the main factors that encourage China to maintain its claim to the South China Sea and to find out how effective the nine-dashed line map is in defending the South China Sea, especially in its dispute with the Philippines. The research method used in this article is a qualitative method with a historical science approach. The research stages include heuristics, verification, interpretation, and historiography. The results of the study show that even though the PRC uses a map with nine dashed lines as the basis for claims in the South China Sea, it turns out to be less effective in supporting its claims over the South China Sea.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Anak Agung Banyu Perwita
Abstrak :
South China has become one of the most of serious hot spot in the world. The geopolitics of the sub region plays a very crucial tole in the pattern of interactions among the claimant states of the south china sea.
Jakarta: The Ary Suta Center, 2020
330 ASCSM 51 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yudho Sasongko
Abstrak :
Kasus pendudukan Cina di Mischief Reef pada akhir tahun 1994 menandai babak baru dalam sengketa Laut Cina Selatan, yakni ketika Cina untuk pertama kalinya bersikap asertif terhadap salah satu negara ASEAN. Tindakan Cina ini setidaknya mengandung dua risiko, yakni terganggunya hubungan strategis Cina dengan negara-negara ASEAN serta semakin menguatnya dugaan tentang adanya "ancaman Cina" ("China threat ") di Asia Tenggara. Tindakan Cina tersebut menarik untuk dikaji, khususnya untuk mencari faktor-faktor yang mungkin berkaitan dengan tindakan tersebut. Dalam kaitan ini, penulis memfokuskan pembahasan pada politik domestik Cina, khususnya persaingan antar unit-unit birokrasi di dalamnya. Dengan menggunakan teori tentang proses pengambilan kebijakan (policy-making process), terutama teori Graham Allison tentang politik birokratik, penulis berusaha menjelaskan persaingan birokrasi yang terjadi dan kaitannya dengan perilaku asertif Cina di Laut Cina Selatan. Dalam hal ini, insiden pendudukan Cina di Mischief Reef digunakan sebagai studi kasus. Secara lebih spesifik, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan persaingan antarunit birokrasi di Cina yang saling memperebutkan pengaruh dalam upaya mempertahankan dan mengedepankan kepentingan birokratiknya; menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan kelompok 1 unit birokrasi tertentu lebih mampu mendominasi dan memenangkan persaingan; dan menjelaskan kaitan antara dominasi kelompok 1 unit birokrasi tertentu dalam persaingan birokratik dengan perilaku asertif Cina di Laut Cina Selatan, khususnya ketika Cina menduduki salah satu pulau karang di gugusan Kepulauan Spratly, yakni Mischief Reef. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat sejumlah aktor utama yang saling bersaing dalam upaya mempertahankan kepentingan birokratiknya dan dalam upaya mempengaruhi kebijakan Cina, khususnya kebijakan dalam konflik Laut Cina Selatan. Aktor-aktor tersebut terdiri dari Kementrian Luar Negeri (MFA), Tentara Pembebasan Rakyat (PLA), dan unsur-unsur dalam PLA, yakni Departemen Staf Umum (GSD), Angkatan Laut (PLA-N), dan Angkatan Udara (PLA-AF). Diantara aktor-aktor utama tersebut, PLA dan PLA-N sangat mendominasi persaingan, dan hal ini disebabkan setidaknya olch 5 (lima) faktor, yakni (1) tingginya posisi politis PLA dalam politik domestik Cina yang disebabkan oleh tragedi Tiananmen dan situasi power struggle yang menguntungkan posisi tawar-menawar PLA; (2) lemahnya MFA sebagai rival utama PLA dalam persaingan birokratik; (3) tingginya posisi elit PLA-N (yakni Admiral Liu Huaqing) dalam lingkaran elit pengambil keputusan tertinggi di Cina; (4) lemahnya GSD dan PLA-AF sebagai rival PLA-N dalam persaingan intra-PLA; (5) kemampuan PLA-N dalam mencari dan menjalankan strategi yang mengaitkan kepentingan birokratik dengan kepentingan nasional. Keterkaitan antara dominasi PLA dan PLA-N dalam politik domestik Cina pada periode sebelum pendudukan Cina di Mischief Reef dengan perilaku asertif Cina di Laut Cina Selatan terutama terlihat dalam proses pembuatan kebijakan Cina tentang Laut Cina Selatan, dimana pengaruh militer Cina khususnya dalam institusi CMC sangat besar. Figur Liu Huaqing sebagai perwira senior PLA dalam CMC yang sekaligus memiliki kedudukan dalam lingkaran elit tertinggi Cina, yakni Komite Tetap Politbiro kemungkinan besar sangat berpengaruh terhadap munculnya kebijakan Cina yang asertif di Laut Cina Selatan pada umumnya, dan pendudukan di Mischief Reef pada khususnya. Meskipun tidak dapat dipastikan bagaimana CMC dan Liu Huaqing mempengaruhi proses pengambilan keputusan tentang kebijakan Cina Laut Cina Selatan, namun dengan melihat besarnya wewenang CMC dan tingginya kedudukan Liu dalam sistem politik Cina serta prestise yang menyertainya sebagai seorang veteran masa revolusi, bisa diperkirakan bahwa pengaruh Liu sangat besar dalarn mempengaruhi proses pengambilan keputusan tersebut. Kemampuan PLA dan PLA-N untuk mendominasi persaingan birokratik terhadap rivalrivalnya tidak hanya disebabkan oleh faktor-faktor seperti power, prosedur dan aturan main yang cenderung menguntungkan kedua institusi tersebut, melainkan juga dipengaruhi oleh lingkungan yang lebih luas, yakni perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkup politik domestik Cina, yang antara lain ditandai oleh meningkatnya peran militer dalam proses politik. Peningkatan peran tersebut merupakan disebabkan oleh proses suksesi yang terjadi beberapa tahun sebelumnya serta proses adaptasi yang dilakukan oleh institusi-institusi politik Cina dari waktu ke waktu.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12075
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>