Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rachellina Noor Al Maghfira
Abstrak :
Sindrom ovarium polikistik (SOPK) merupakan gangguan reproduksi yang disebabkan oleh berbagai faktor endokrin dan metabolisme. Penderita SOPK merupakan wanita usia reproduktif (8—10%) disertai dengan kondisi obesitas (50—80%; IMT≥25). Meski etiologi SOPK belum sepenuhnya diketahui, namun kelainan endokrin seperti abnormalitas rasio kadar LH (luteinizing hormone) dan FSH (follicle stimulating hormone) merupakan penyebab utama terjadinya SOPK. Gen KISS1, TAC3, dan PDYN, diketahui dapat memengaruhi pulsatilitas GnRH (gonadotropin releasing hormone) yang meregulasi sekresi LH dan FSH. Gangguan ekspresi pada ketiga gen ini akan menyebabkan gangguan pada sistem endokrin yang mengarah pada SOPK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ekspresi mRNA gen KISS1, TAC3, dan PDYN pada wanita SOPK dan non-SOPK dengan obesitas dan non-obesitas. Penelitian dilakukan pada masing-masing 10 sampel darah perifer yang dibagi ke dalam empat kelompok, yaitu non-SOPK non-obesitas, SOPK non-obesitas, non-SOPK obesitas, dan SOPK obesitas. Ekspresi mRNA dianalisis menggunakan teknik quantitative real time PCR (qPCR) dan dikuantifikasi secara relatif menggunakan metode Livak. Hasil penelitian menunjukkan ekspresi mRNA gen KISS1 dan TAC3 ditemukan lebih tinggi pada wanita SOPK dibandingkan wanita non-SOPK dengan obesitas maupun non-obesitas, sedangkan ekspresi mRNA gen PDYN lebih rendah pada wanita SOPK dibandingkan wanita non-SOPK dengan obesitas maupun non-obesitas. Namun, berdasarkan hasil uji statistik, tidak seluruh pasangan kelompok memiliki perbedaan ekspresi yang signifikan. Meski begitu, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ekspresi mRNA gen KISS1, TAC3, dan PDYN pada darah perifer terkait dengan SOPK dan obesitas. ......Polycystic ovary syndrome (PCOS) is a reproductive disorder caused by complex endocrine and metabolic factors. This syndrome occurs in reproductive age women (8—10%) with obesity (50—80%; BMI≥25). Although its etiology is not fully understood, endocrine disorders such as ratio abnormality of LH (luteinizing hormone) and FSH (follicle stimulating hormone) is the main causes of PCOS. KISS1, TAC3, and PDYN gene expression are known to affect the pulsatility of GnRH (gonadotropin releasing hormone) which regulates LH and FSH secretion. Abnormality of these gene expressions will cause endocrine disruption that leads to PCOS. This study aimed to determine KISS1, TAC3, and PDYN mRNA gene expression levels in PCOS and non-PCOS with obese and non-obese women. The study was conducted on each of 10 peripheral blood samples divided into four group, non-PCOS non-obese, non-PCOS obese, PCOS non-obese, and PCOS obese. The mRNA expression was analyzed using quantitative real time PCR (qPCR) with Livak relative quantification method. This study found that both KISS1 and TAC3 mRNA gene expressions were higher in PCOS than non-PCOS in both obese and non-obese women, while PDYN mRNA gene expression was lower in PCOS than non-PCOS in both obese and non-obese women. However, not all pair of groups had statistically significant differences. Nevertheless, the result of this study suggests that KISS1, TAC3, and PDYN mRNA gene expressions in peripheral blood are related with PCOS and obesity.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lieke Koes Handayani
Abstrak :
Latar Belakang: SOPK dijumpai pada 5-20% perempuan usia reproduksi. AMH digunakan sebagai penanda SOPK karena pada penderita SOPK salah satu gejalanya adalah terjadinya anovuasi yang menyebabkan peningkatan kadar AMH. SOPK juga berkaitan dengan adanya resistensi insulin dan hiperandrogen yang berkorelasi dengan obesitas dan inflamsi kronik yang dapat menyebabkan risiko terjadinya sindrom metabolik. Tujuan: Mengetahui hubungan peningkatan kadar AMH pada penderita SOPK dan fenotip SOPK dengan kejadian Sindrom Metabolik. Metode: Penelitian ini menggunakan disain potong lintang di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada penderita SOPK pada bulan Januari 2013 hingga Desember 2017. Data penderita SOPK yang memenuhi kriteria inklusi dicatat dan dilakukan analisis statistik. Hasil: Dari pengumpulan data Januari 2013 hingga Desember 2017 di RSUPN Cipto Mangunkusumo didapati 109 kasus SOPK yang memenuhi kriteria inklusi. Penderita SOPK tesebut memiliki median kadar AMH 7.10 ng/ml (3.11-34.06) dan yang mengalami sindrom metabolik 21% dengan median kadar AMH 7.21ng/ml (2.83-20.20) yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak sindrom metabolik (p=0.387). Sedangkan untuk fenotip yang terbanyak adalah fenotip 4 (OA dan PCOM) yaitu 41.3% dan yang mengalami sindrom metabolik terbanyak adalah fenotip 1 (OA+PCOM+HA)  sebanyak 56.5% dengan median kadar AMH  yang tertinggi sebesar 13.92ng/ml. Kesimpulan: Kadar AMH pada penderita SOPK yang mengalami sindrom metabolik  trend nya lebih tinggi dibandingkan yang tidak sindrom metabolik. Fenotip 1 (OA+PCOM+HA) adalah kelompok fenotip yang paling banyak mengalami sindrom metabolik.
Background: PCOS is present in 5-20% women of reproductive age. AMH is used as a marker because one of the sign is anovulation that cause elevated AMH level. PCOS is also associated with the presence of insulin resistance and hyperandrogen that correlate with obesity and chronic inflammation that will increase the risk of metabolic syndrome. Purpose: To evaluate the correlation between AMH level in PCOS patients with the incidence of Metabolic Syndrome. Method: This research used cross sectional design with consecutive sampling. Data that fulfilled the inclusion criteria were collected and analyzed. Result: Data collection from January 2013 to December 2017 at RSUPN Cipto Mangunkusumo found 109 cases of PCOS meet the inclusion criteria. Patients with PCOS have median level of AMH 7.10 ng/ml (3.11-34.06). Twenty one percent of the patient had metabolic syndrome with median level of AMH 7.21ng/ml (2.83-20.20) higher than non-metabolic syndrome (p = 0.387). The largest number of phenotypes on PCOS patients is phenotype 4 (OA and PCOM) which is 41.3%. Most metabolic syndrome is phenotype 1 (OA + PCOM + HA) as much as 56.5% with median highest AMH level of 13.92 ng/ml. Conclusion: AMH levels in patients with PCOS who have metabolic syndrome are higher than non-metabolic syndrome. Phenotype 1 (OA + PCOM + HA) is a group of phenotypes with the most metabolic syndrome.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Danang Tejo Pamungkas
Abstrak :
Latar belakang: Sindrom ovarium polikistik dapat memberi dampak yang besar terhadap kualitas hidup wanita. Adanya informasi yang cukup dapat mendukung perbaikan gaya hidup dan kemandirian pasien untuk menentukan tatalaksana terapi yang tepat .Akurasi dan presisi suatu informasi yang berasal dari internet masih sangat bervariasi. Diperlukan suatu data tentang kualitas informasi yang beredar di internet berbahasa Indonesia. Tujuan: Untuk mengetahui gambaran kualitas informasi tatalaksana SOPK berbahasa Indonesia berbasis internet. Metode: Dilakukan pencarian situs internet berbahasa Indonesia dengan kata kunci sindrom ovarium polikistik menggunakan 2 mesin pencari (Google dan Bing). Situs teratas pada hasil pencarian dilakukan penilaian dengan daftar tilikan penilaian yang sudah dibuat sebelumnya. Hasil: Terdapat 69 situs yang menjadi subjek penelitian. Dalam hal akurasi konten dan kredibilitas, sebagian besar situs memiliki kualitas yang baik. Tidak terdapat perbedaan kualitas situs antara kedua mesin pencari. Situs yang tampil pada 2 halaman teratas memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan halaman-halaman berikutnya (p=0,02). Situs edukasi memiliki kualitas informasi yang lebih baik (p=0,05). Situs yang dibuat oleh organisasi yang bergerak di bidang kesehatan memiliki kualitas informasi yang lebih baik (p=0,04). Situs non komersial memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan situs komersial (p=0,01). Kesimpulan: Faktor yang mempengaruhi kualitas informasi kesehatan pada situs adalah ditampilkan pada 2 halaman pertama hasil pencarian, dibuat untuk tujuan edukasi, dibuat oleh organisasi kesehatan, dan bersifat non komersial.
Background: Polycystic ovarian syndrome has pronounced quality of life effect on women. Sufficien information contribute significant role in lifestyle improvement, as well as patient empowerment. However, data on health information quality in the internet is limited, especially in Bahasa Indonesia. Objectives: To investigate health information quality about PCOS on the internet in Bahasa Indonesia. Methods: Top website from two separate search engine (Google and Bing) was collected using keyword of sindrom ovarium polikistik (polycistic ovarian syndrome). Analysis of health information quality on those website was performed. Results: Sixty-nine website were included for analysis. Majority of those website have good infromation quality in terms of content accuracy and website credibility. There was no difference in quality between two search engine. Website were found at top two pages in each search engines have better quality than the latter pages (p=0.02). Educational website had better quality (p=0.05). Website made by healthcare organization had better quality (p=0.04). Non-commercial website had better information quality (p=0.01). Conclusion: Criteria affecting health information quality in the internet was as follows: found at top two pages on search engine; educational website; made by healthcare organization; and non-commercial purpose.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Shadrina
Abstrak :
Pada perempuan nir-obese dengan SOPK perlu dicari tahu mengenai apa saja faktor yang berpengaruh terhadap patofisiologi terjadinya SOPK. Sejumlah faktor diketahui menjadi penyebab dalam patofisiologi terjadinya SOPK, termasuk faktor epigenetik. Namun, sampai saat ini belum ada yang menyatakan mengenai faktor yang menjadi penyebab utama serta korelasi sejumlah faktor tersebut, seperti metilasi DNA reseptor insulin dan juga kadar insulin, dengan Free Androgen Index (FAI) pada SOPK nirobese. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk menilai korelasi antara gonadotropin, profil antropometri, metilasi DNA reseptor insulin, kadar insulin dengan Free Androgen Index (FAI) pada subjek dengan Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK) nir-obese. Dilakukan studi potong lintang pada 43 perempuan nir-obese di Jakarta yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok positif dengan SOPK dan kelompok tanpa SOPK. Pemeriksaan dilakukan pada sejumlah variabel seperti usia, IMT, lingkar pinggang, kadar FSH, kadar LH, level metilasi reseptor insulin, dan FAI, kemudian dianalisis secara statistik. Diperoleh level metilasi reseptor insulin yang berkorelasi positif dengan tingkat korelasi sedang ((p = 0.01, r = 0.53), juga pada nilai LH (p = 0.02, r = 0.5). Sementara nilai SHBG pada kelompok SOPK nir-obese menunjukkan korelasi negatif dengan tingkat korelasi sedang (p = 0.02, r = -0.5). Terdapat asosiasi signifikan antara kadar SHBG dengan FAI baik pada kelompok SOPK maupun kelompok kontrol, juga ditemukannya korelasi negatif pada kedua kelompok, serupa dengan yang terdapat pada nilai LH. Kondisi ini tanpa disertai hubungan bermakna dari insulin yang menunjukkan bahwa SHBG dan LH merupakan suatu faktor independen dari patofisiologi terjadinya SOPK. Korelasi negatif pada metilasi reseptor insulin menunjukkan terjadi silencing pada fungsi reseptor insulin, sehingga terjadi penurunan sensitivitas dari reseptor insulin dan berujung pada meningkatnya kadar FAI. ......Many factors that corresponding to pathophysiology of PCOS on lean women with PCOS. Some factors were still needed to be evaluated such as epigenetics, but until now no studies explaining about main cause and also correlation of those factors, including DNA methylation of insulin receptor and also insulin level, with Free Androgen Index (FAI) of lean PCOS. The aim of this study to evaluate the correlation between gonadotropin, anthropometric profile, DNA methylation of insulin receptor, insulin level, with Free Androgen Index (FAI) on Lean People with Polycystic Ovary Syndrome. A cross-sectional study included 43 lean women in Jakarta was done, and subjects were further classified into two groups, with PCOS and without PCOS. Several related variables such as age, body mass index (BMI), waist circumference, FSH level, LH level, DNA methylation of insulin receptor, insulin level, and FAI, were assessed and analyzed statistically. The DNA methylation of insulin receptor showed positive correlation with moderate correlation (p = 0.01, r = 0.53), and also to LH level (p = 0.02, r = 0.5). While SHBG level of lean PCOS group showed negative correlation with moderate correlation (p = 0.02, r = -0.5). Significance association was resulted between SHBG level and FAI of both groups, also found in LH level. This condition was found without significance association of insulin level which conclude that SHBG and LH level were independent factor of PCOS pathophysiology. Negative correlation of DNA methylation of insulin receptor showed silencing process of insulin receptor function, then decrease the sensitivity of insulin receptor which ended to increasing FAI level.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Y. Danang Prasetyo
Abstrak :
Latar Belakang: Sindrom ovarium polikistik (SOPK) merupakan kelainan endokrin dan metabolisme dengan prevalensi tinggi. Salah satu akibat dari SOPK merupakan infertilitas. Fertilisasi In Vitro (FIV) merupakan salah satu alternatif dari masalah tersebut. Akan tetapi, belum terdapat penelitian yang mendeskripsikan hubungan SOPK dengan komplikasi obstetri pada pasien yang menjalani FIV dibandingkan dengan pasien lainnya. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan komplikasi obstetri pada wanita yang menjalani program FIV dengan SOPK Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif yang dilakukan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sejak tahun 2013-2019. Subjek penelitian merupakan seluruh wanita berusia diatas 18 tahun yang menjalani program FIV tanpa kelainan ginekologis lain selain SOPK. Luaran dalam penelitian ini adalah komplikasi obsteri berupa abortus dan IUFD. Analisa dilakukan dengan menggunakan cox-regresi untuk mendapatkan nilai Risk Ratio (RR) setelah dilakukan control terhadap confounding Hasil: Penelitian ini mengikutsertakan 355 wanita, dimana 72 diantaranya memiliki SOPK (20,3%). Komplikasi obstetri yang didapatkan pada subjek dengan SOPK adalah preterm (2,78%), IUFD (17,24%), abortus (9,72%), dan kehamilan ektopik (1,39%). Tidak dijumpai hubungan antara SOPK dengan IUFD pada wanita yang menjalani program FIV (RR: 1.07, 95%CI: 0.52-2.20, p-value: 0.864). Didapatkan adanya hubungan antara interaksi antara SOPK dengan pembelahan nisbah < 6 terhadap terjadinya abortus pada wanita yang menjalani program FIV. (RR: 7.32, 95%CI: 2.10-25.45, P-value: 0.002). Simpulan: SOPK tidak memengaruhi terjadinya IUFD dan abortus pada wanita yang menjalani program FIV. ......Introduction: Polycystic ovary syndrome (PCOS) is an endocrine and metabolic disorder with a high prevalence. One result of PCOS is infertility. In Vitro Fertilization (FIV) is one of the alternatives to the problem. However, there are no study describing the differences in obstetric complications of PCOS patients undergoing FIV compared to other patients. Aim: This study aims to determine the relationship of obstruction complications in women undergoing FIV programs with PCOS. Methods: This was a retrospective cohort study conducted at Dr. RSUPN. Cipto Mangunkusumo since 2013-2019. The study subjects were all women aged over 18 years who underwent FIV programs without other gynecological abnormalities besides PCOS. The outcomes in this study were obstetric complications in the form of abortion and IUFD. Analysis is done by using cox-regression to get the value of Risk Ratio (RR) after controlling for confounding Results: This study included 355 women, of whom 72 had PCOS (20.3%). Complications found in subjects with PCOS were preterm preterm were found in (2.78%), IUFD (17.24%), abortion (9.72%) and ectopic pregnancy (1.39%). No association was found between PCOS and IUFD in women undergoing FIV programs (RR: 1.07, 95% CI: 0.52-2.20, p-value: 0.864). Interaction between PCOS and ratio <6 had higher probability of having abortion in women undergoing FIV program obtained. (RR: 7.32, 95% CI: 2.10-25.45, P-value: 0.002). Conclusion: PCOS does not affect the occurrence of IUFD and abortion in women undergoing FIV programs.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alya Darin Wijaya
Abstrak :
Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK) didefinisikan sebagai kelainan hormonal multifaktorial yang ditandai dengan berlebihnya jumlah hormon androgen, menstruasi yang irregular dan atau morfologi ovarium yang berukuran besar serta berkista-kista. SOPK dapat berujung pada berbagai komplikasi, seperti penyakit kardiovaskular, resistensi insulin, serta infertilitas. Studi-studi sebelumnya menunjukkan bahwa patogenesis SOPK dapat berkaitan dengan faktor genetik, non-genetik, maupun epigenetik. Salah satu faktor epigenetik yang diduga berperan adalah metilasi dari DNA gen Anti-Mulerian Hormone (AMH). Gen AMH menghasilkan suatu produk berupa hormon, yakni hormon AMH yang terbukti ditemukan meningkat secara signifikan pada serum pasien SOPK. Untuk mengevaluasi peranan faktor epigenetik berupa metilasi DNA gen AMH pada patogenesis SOPK, dilakukan suatu penelitian potong lintang menggunakan sampel dari jaringan granulosa ovarium. Sampel diperoleh dari 14 wanita dengan SOPK dan 9 kontrol. DNA dari sampel diisolasi untuk kemudian dikonversi bisulfit dan diamplifikasi menggunakan metode Methyl Specific PCR (MSP). Hasil amplifikasi kemudian diamati dengan menggunakan gel elektroforesis dan intensitas pita yang tampak dibawah sinar ultraviolet dikuantifikasi dengan cara konversi kedalam bentuk numerik menggunakan perangkat lunak ImageJ. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan uji Mann-Whitney dengan signifikansi ditetapkan apabila p<0.05. Dari hasil analisis ditemukan perbedaan yang signifikan antara persentase metilasi DNA pada pasien SOPK dengan kontrol (p=0.002), dimana pasien SOPK cenderung memiliki tingkat metilasi DNA gen AMH yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa rendahnya tingkat metilasi DNA gen AMH pada pasien SOPK dapat meningkatkan ekspresi dan produksi AMH. Peningkatan AMH tersebut diduga berkontribusi dalam patogenesis SOPK.
Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) defined as a multifactorial hormonal disorder that is characterized by androgen excess, irregular periods, and or enlarged ovarium with cystics morfology. PCOS leads to many complications, such as cardiovascular disease, insulin resistance, and infertility. Previous studies showed that the pathogenesis of PCOS correlated with genetic, non-genetic, and epigenetic factors. One of epigenetic factors that is suspected to play a role is the DNA methylation of Anti-Mullerian Hormone (AMH) gene. AMH gene produces a hormone, called AMH, of which found to elevate in the serum of PCOS patient. To evaluate the contribution of AMH gene DNA methylation in the pathogenesis of PCOS, this cross-sectional study using ovarian granulose cells sample was performed. Samples were obtained from 14 PCOS patient and 9 control. The DNA from each sample was isolated, converted by bisulfite conversion, and amplificated by Methyl Specific PCR (MSP) method. After being amplificated, samples then were observed by using electrophoresis gel and the band intensity that was appeared under ultraviolet was quantified by conversion to numeric form by using ImageJ software. The obtained data statistically analyzed by Mann-Whitney test with significant result considered to p<0.05. The analysis result showed that there was a significant difference between DNA methylation percentage in PCOS group and control group (P=0.002), of which PCOS patient tend to have a lower AMH gene DNA methylation compared to control. This finding indicates that the lower AMH gene DNA methylation in PCOS patient may increase the expression and production of AMH. This elevation of AMH suspected to play a role in the pathogenesis of PCOS.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Mulia Sundari
Abstrak :
Sindrom ovarium polikistik (SOPK) merupakan kelainan yang ditandai oleh hiperandrogenemia, ovarium disfungsi, dan polikistik ovarium yang dapat menyebabkan infertilitas. Meski etiologi pastinya belum diketahui, obesitas merupakan ciri khas umum pada SOPK di mana sekitar 40--80% wanita SOPK meningkatkan obesitas. Kej Vitamin D Receptor (VDR) terkait dengan SOPK melalui peradangan kronik tingkat rendah. Tujuan penelitian adalah mempelajari ekspresi mRNA gen VDR pada wanita obesitas dan non-obesitas dengan SOPK dan normal. Sampel darah dari 120 subjek dibagi menjadi empat kelompok, yaitu 30 normal non-obesitas (BMI <25), 30 normal non-obesitas (BMI> 25), SOPK non-obesitas (BMI <35), dan 30 SOPK obesitas (BMI> 25) kemudian dianalisis menggunakan kuantitatif Real-Time PCR (qPCR) dengan metode kurva standar. Hasil penelitian menunjukkan bukti mRNA gen VDR pada subjek obesitas dan SOPK secara signifikan lebih tinggi dibandingkan kedua kontrol. Hasil ini menunjukkan bahwa gen VDR terkait dengan obesitas dan SOPK.
Polycystic ovary syndrome (PCOS) is a disorder characterized by hyperandrogenemia, ovarian dysfunction, and polycystic ovaries that can cause infertility. Although the exact etiology is unknown, obesity is a hallmark common in PCOS where about 40-80% of PCOS increase obesity. Vitamin D Receptor (VDR) is associated with PCOS through low-level chronic inflammation. The aim of the study was to study the expression of VDR gene mRNA on obese and non-obese women with PCOS and normal. Blood samples from 120 subjects were divided into four groups, namely 30 normal non-obese (BMI <25), 30 normal non-obese (BMI> 25), non-obese PCOS (BMI <35), and 30 obese PCOS (BMI> 25) was then analyzed using quantitative Real-Time PCR (qPCR) with the standard curve method. The results showed evidence of VDR gene mRNA in obese and PCOS subjects was significantly higher than the two controls. These results indicate that the VDR gene is associated with obesity and PCOS.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Fathma Sari
Abstrak :
Sindrom ovarium polikistik (SOPK) adalah gangguan multifaktorial yang sering menyerangwanita pada usia reproduktif. Etiologi dari SOPK hingga saat ini masih sulit untuk dipahami. Namun, obesitas diketahui sebagai gangguan metabolik yang berasosiasi dengan SOPK. Leptin (LEP) dan Neuropeptida-Y (NPY) diketahui terlibat dalam regulasi nafsu makan, patogenesis obesitas, dan abnormalitas fungsi reproduksi yang mengarah pada SOPK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ekspresi mRNA gen LEPdan NPY pada wanita SOPK dan non-SOPK dengan obesitas dan non-obesitas. Ekspresi mRNA gen LEP dan NPY dari sampel darah perifer dianalisis menggunakan metode quantitative real-time PCR (qPCR). Penelitian dilakukan pada 40 subjek dengan empat kelompok sampel, yaitu (1) non-SOPK non-obesitas; (2) non-SOPK obesitas; (3) SOPK non-obesitas; (4) SOPK obesitas. Hasil penelitian menunjukkan ekspresi mRNA gen LEP lebih tinggi pada kelompok SOPK dan non-SOPK dengan obesitas dibandingkan dengan kelompok SOPK dan non-SOPK tanpa obesitas. Sebaliknya, ekspresi mRNA gen NPY lebih rendah pada kelompok SOPK dan non-SOPK dengan obesitas dibandingkan dengan kelompok SOPK dan non-SOPK tanpa obesitas. Meskipun tidak seluruh hasil analisis statistik menunjukkan perbedaan pada setiap pasangan kelompok (P<0,05), penelitian ini menunjukkan ekspresi mRNA gen LEP dan NPY terkait dengan SOPK dan obesitas. ......Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) is a multifactorial disorder affecting women during reproductive age. The etiology of PCOS remains elusive. However, obesity has been reported to be a common metabolic disorder associated with PCOS. Leptin (LEP) and neuropeptide-Y (NPY) play significant roles in appetite regulation, obesity pathogenesis, and abnormality of reproductive function which can lead to PCOS. This study aims to determine LEP and NPY mRNA gene expression in PCOS and non-PCOS women with obese and nonobese. LEP and NPYmRNA gene expression levels in peripheral blood samples were analyzed using quantitative real-time PCR (qPCR) method. The study was conducted on four groups of samples from recruited 40 subjects; (1) non-PCOS non-obese; (2) non-PCOS obese; (3) PCOS non-obese; and (4) PCOS obese. This study found LEPmRNA gene expression was higher in PCOS and non-PCOS groups with obesity compared to PCOS and non-PCOS groups without obesity. In contrast, NPYmRNA gene expression was lower in PCOS and non-PCOS groups with obesity compared to PCOS and non-PCOS groups without obesity. Although not all statistical analysis show significant differences in each pair of groups (P< 0.05), this study suggests LEP and NPY mRNA gene expressions are related to PCOS and obesity.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmat Dediat Kapnosa Hasani
Abstrak :
Latar Belakang: Sindrom ovarium polikistik merupakan kelainan endokrin dan metabolik terbanyak yang dialami oleh wanita usia reproduksi. Penyebab dari SOPK diketahui multifaktorial, namun faktor lemak memiliki peranan penting dalam perjalanan penyakit. Pada pasien SOPK ditemukan akumulasi lemak dilokasi tertentu. Komposisi lemak tubuh dapat menyebabkan proses inflamasi klinis derajat rendah yang berperan dalam terjadinya resistensi insulin pada pasien SOPK. Pengukuran komposisi lemak tubuh berdasarkan indeks massa tubuh kurang spesifik. Persentase lemak tubuh diperkirakan lebih spesifik dalam menggambarkan komposisi lemak tubuh dan memiliki korelasi dengan proses inflamasi kronis derajat rendah yang gambarkan oleh peningkatan prokalsitonin darah pasien dengan SOPK. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi komposisi lemak tubuh terhadap kadar prokalsitonin sebagai penanda biokimiawi inflamasi kronis derajat rendah. Metode: Penelitian dilakukan dengan desain penelitian potong lintang (cross sectional), di klinik Yasmin RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo dan Laboratorium Terpadu FKUI selama tahun 2014-2015. Pasien yang sudah terdiagnosis SOPK berdasarkan kriteria Rotterdam 2003, dilakukan pemeriksaan indeks massa tubuh, persentase lemak tubuh dengan menggunakan metode bioelectrical impedance analysis dan pemeriksaan prokalsitonin darah. Dilakukan uji korelasi antara indeks massa tubuh dan persentase lemak tubuh terhadap kadar prokalsitonin darah pasien. Hasil: Dari total 32 subyek penelitian, didapatkan peningkatan komposisi lemak tubuh dengan rerata indeks massa tubuh 29,09±5,11 kg/m2 dan komposisi lemak tubuh 39,38±9,04 %. Pada uji korelasi didapatkan peningkatan indeks massa berkorelasi positif terhadap kadar prokalsitonin namun tidak bermakna secara statistik (r =0,27; p =0,131). Persentase lemak tubuh didapatkan berkorelasi positif bermakna secara statistik dengan kadar prokalsitonin (r=0,35; p=0,048). Kesimpulan: Terdapat peningkatan rerata komposisi lemak tubuh pada pasien dengan sindrom ovarium polikistik. Persentase lemak tubuh memiliki korelasi yang lebih baik dibandingkan dengan indeks massa tubuh terhadap kadar prokalsitonin darah sebagai penanda biokimia inflamasi kronis derajat rendah pada pasien. ......Background: Polycystic ovary syndrome (PCOS) is the most common metabolic and endocrine problems in reproductive ages women. PCOS has multifactorial cause, but body fat was known to has significant role in disease course. Patient with PCOS known to have body fat accumulation in some body location. Body fat composition can cause low grade chronic inflamation which can cause insulin resistence. Measuring body fat composition with body mass index is not an ideal method. Body fat percentage should be more specific in measuring body fat composition and should have better corelation than body mass index to procalcitonin as low grade chronic inflamation marker. Purpose: The purpose of this research is to identify corelation between body fat composition and procalcitonin as low grade chronic inflamation in PCOS. Method: The study was conducted with a cross sectional study design, in Yasmin Clinic, RSUPN Dr.Cipto Mangunkusomo and Integrated Laboratory of Medical Faculty University of Indonesia during 2014-2015. Patients who have been diagnosed with PCOS based on the criteria of Rotterdam, 2003, was examined the body mass index, body fat percentage using bioelectrical impedance analysis and blood procalcitonin level. We measure the correlation between body mass index and body fat percentage to procalcitonin levels of the patient's blood. Result: From a total of 32 subjects of the study, we found an increase in body fat composition with a mean body mass index 29.09 ± 5.11 kg/m2 and body fat composition 39.38 ± 9.04%. From correlation test, we found that body mass index was positively correlated to the levels of procalcitonin but not statistically significant (r = 0.27; p = 0.131). Body fat percentage has significant positive corellation to procalcitonin levels (r = 0.35; p = 0.048). Conclutions: There is an increase in the average composition of body fat in patients with polycystic ovary syndrome. Body fat percentage has a better correlation than the body mass index on blood levels of procalcitonin.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deniswari Rahayu
Abstrak :
Latar belakang: Hiperandrogen merupakan fenotip yang seingkali ditemukan pada SOPK memiliki peran terhadap perubahan tampilan fisik (hirsutisme dan obesitas) juga infertilitas. Kondisi ini dilaporkan dapat menyebabkan gangguan citra tubuh, kecemasan hingga depresi sehingga juga dapat berkontribusi terhadap kejadian disfungsi seksual. Gangguan fungsi seksual pada wanita seringkali tidak dilaporkan. Sebagai langkah awal, dengan mengetahui hubungan perubahan fisik akibat hiperandrogen dan obesitas terhadap disfungsi seksual, maka diharapkan penatalaksanaan infertilitas pada kasus SOPK dapat dilakukan lebih komprehensif. Tujuan: Mengetahui hubungan antara hiperandrogenisme, profil antropometri (IMT dan rasio pinggang-pinggul), dan disfungsi seksual pada wanita infertil Indonesia dengan SOPK. Metode: Penelitian menggunakan metode potong lintang (cross sectional). Subjek merupakan 71 wanita infertil dengan SOPK di Klinik Yasmin, Rumah Sakit Umum Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia yang berobat pada Desember 2021 – Desember 2022. Hiperandrogenisme biokimiawi dinilai dengan kadar androgen bebas dan rasio LH/FSH sedangkan hiperandrogenisme klinis dinilai menggunakan skor Ferriman-Gallwey dimodifikasi. Profil antropometri dinilai menggunakan IMT dan rasio pinggang-pinggul. Kami menggunakan kuesioner FSFI untuk mengevaluasi disfungsi seksual dan kuesioner HAM-A untuk menilai kecemasan. Hasil: Sebanyak 53,3% subjek mengalami disfungsi seksual, namun tidak ditemukan hubungan yang signifikan secara statistik antara hirsutisme, profil antropometri, dan skor disfungsi seksual pada wanita infertil dengan SOPK (p >0,05). Analisis skor keseluruhan domain FSFI menunjukkan bahwa lubrikasi dan kepuasan lebih rendah pada pasien obesitas (p=0,02 dan p=0,03), tetapi ini tidak berkontribusi pada skor disfungsi seksual secara keseluruhan. Selain itu, subjek yang mengalami disfungsi seksual memiliki skor kecemasan yang lebih tinggi (p<0,005), dengan analisis korelasi menunjukkan bahwa skor FG memiliki korelasi positif yang signifikan terhadap kecemasan. Kesimpulan: Hirsutisme dan profil antropometri tidak terkait dengan disfungsi seksual pada wanita infertil Indonesia dengan SOPK. Namun, hirsutisme dapat berperan dalam menyebabkan kecemasan pada wanita Indonesia dengan SOPK. Penelitian kolaboratif dan kualitatif diperlukan selanjutnya karena fungsi seksual wanita adalah subjek yang kompleks. ......Background: Hyperandrogenism, a phenotype often found in PCOS, plays a role in physical changes (hirsutism and obesity) as well as infertility. This condition is reported to contribute to body image disturbances, anxiety, and even depression, thereby potentially contributing to the occurrence of sexual dysfunction and impacting infertility conditions. Sexual dysfunction in women is often underreported, leading to a lack of in-depth evaluation by clinicians. As a preliminary step, by understanding the relationship between physical changes due to hyperandrogenism and obesity with sexual dysfunction, it is hoped that the management of infertility in PCOS cases in Indonesia can be more comprehensive. Objective: To evaluate the relationship between hiperandrogenism, anthropometric profile (BMI and waist to hip ratio), and sexual dysfunction in infertile Indonesian women with PCOS. Methods: A cross-sectional study was conducted from December 2021 to December 2022 on 71 infertile women with PCOS at Yasmin Clinic, Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta, Indonesia. Biochemical hyperandrogenism was assessed through free androgen levels and the LH/FSH ratio, while clinical hyperandrogenism was evaluated using the modified Ferriman-Gallwey score. The anthropometric profile was assessed using BMI and waist-to-hip ratio. We utilized the FSFI questionnaire to evaluate sexual dysfunction and the HAM-A questionnaire to assess anxiety. Results: In this study, it was discovered that 53.3% of subjects experienced sexual dysfunction. However, there was no statistically significant relationship between hirsutism, anthropometric profile, and sexual dysfunction score in infertile women with PCOS (p >0.05). Analysis of the overall FSFI domain score revealed that lubrication and satisfaction were lower in patients with obesity (p=0.02 and p=0.03), but this did not contribute to an overall sexual dysfunction score. Also, we found that subjects who experienced sexual dysfunction had a higher anxiety score (p<0.005), with correlation analysis showing that FG scores have a significant positive correlation with anxiety. Conclusions: Hirsutism and anthropometric profile are not associated with sexual dysfunction in infertile Indonnesian women with PCOS. However, hirsutism could play a role in causing anxiety in Indonesian PCOS women. Additional qualitative and collaborative investigation is required as female sexual function is a intricate subject.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>