Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ayu Sekar Mahesarani
Abstrak :
Penelitian ini membahas mengenai Akibat Hukum Pembatalan Akta Perubahan Anggaran Dasar Commanditaire Vennootschap yang Salah Satu Sekutunya Tidak Hadir dalam Pembuatan Akta (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 2604/ K/Pdt/2019). Notaris merupakan pejabat umum yang membuat akta autentik dan kewenangan lainnya dan disumpah untuk melayani masyarakat guna kepentingan pembuktian yang sempurna di muka pengadilan. Pembuatan Akta Perubahan Anggaran Dasar Commanditaire Vennootschap yang dibuat dihadapan Notaris merupakan akta yang penting dalam suatu Commanditaire Vennootschap, dalam hal ini Notaris HBG menyatakan bahwa semua sekutu hadir pada saat pembuatan akta padahal terdapat sekutu yang tidak hadir. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah implikasi dan tanggung jawab notaris atas akta perubahan anggaran dasar Commanditaire Vennootschap yang salah satu sekutunya tidak hadir dalam pembuatan akta; dan, status pengurus yang masuk dan telah memasukan modalnya dalam Commanditaire Vennootschap jika akta serta perubahan anggaran dasar Commanditaire Vennootschap dibatalkan. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, yang didasarkan pada data sekunder dan tipologi eksplanatoris. Hasil penelitian ini adalah implikasi dari akta tersebut dapat dibatalkan dan Notaris dapat dikenakan sanksi berupa administratif, perdata dan pidana. Kepengurusan atas Commanditaire Vennootschap yang terdapat pembatalan atas akta perubahan anggaran dasar Commanditaire Vennootschap adalah kembali kepada kepengurusan yang lama, dan modal para sekutu tersebut harus dikembalikan. ......This research discusses about Legal Consequences Revocation of Amendment Commanditaire Vennootschap‘s Deed Related to One of The Commanditaire Vennootschap’s Partner Was Absent (Case No. 2604/K/Pdt/2019). Notaries are public officials who make authentic deeds and vow for public service related to perfect evidence on the court. Amendment Commanditaire Vennootschap ‘s Deed, is one of the most important documents in CV, HBG as a Notary in this case, stated that all of the partners attended while making the agreement whereas there was an absent partner. This research will focus on implication and notary’s responsibility over the Entry and Exit Deed with Amendment Commanditaire Vennootschap ‘s Article of Association Related to One of The Commanditaire Vennootschap’s Partner Was Absent; and, partner’s status that has been given their asset on CV if the Entry and Exit Deed with Amendment Commanditaire Vennootschap ‘s Article of Association is canceled. The method of this research was based on normative yuridicial, using secondary data and explanatory law approach. The results of this study are: implication of deed can be revoked and the Notary who makes the deed might be subjected to administrative, civil and criminal sanction. Commanditaire Vennootschap structural after deed revocation should be back to the last agreement and the asset must be returned.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Slattery, John C.
New York : Springer, 2007
620 SLA i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Martin, Edwin M.
New York: American Institute of Pacific Relations, 1948
952.04 MAR a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rahman
Abstrak :
ABSTRAK
Artikel ini bertujuan membahas mengenai Morotai sebagai pulau pertempuran antara Tantara Pendudukan Jepang dengan tentara sekutu pimpinan Amerika Serikat, yang dibantu Inggeris, Belanda, dan Australia dalam perang pasifik (1944-1945). Pertempuran Morotai adalah bagian dari Perang Pasifik yang merupakan rangkaian terakhir dari Perang Dunia II (1939-1945).Topik ini sengaja dipilih dalam riset dan penulisan artikel ini disebabkan karena ternyata Morotai terlihat belum mendapatkan perhatian dari para sejarawan baik dalam dalam maupun luar negeri dalam kaitannya dengan Perang Pasifik yang menjadi rangkaian Perang Dunia II. Berbeda halnya dengan pulau-pulau lain di dunia yang sudah banyak diceritakan dalam sejarah perang terkait Perang Pasifik misalnya Hawaii, Okinawa, Davao, Sakalin, Mansuria, dan sebagainya. Di dalam Sejarah Nasional Indonesia, Morotai sebagai pulau pertempuran dalam Perang Pasifik yang terintegrasi dengan Perang Dunia II belum pernah dibahas. Tidaklah mengherankan apabila masyarakat Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya tidak mengenal peran penting pulau ini dalam sejarah. Sesungguhnya, Pulau Morotai di Maluku Utara telah menjadi saksi bisu peristiwa Pertempuran Morotai dari awal hingga akhir. Dapat dicontohkan misalnya dalam peristiwa awal invasi Jepang pada 1944 hingga menyerahnya kepada Sekutu di pulau ini pada 1945 yang menandai berakhirnya Perang Dunia II. Berbagai jenis artefak dalam berbagai ukuran terkait Pertempuran Morotai masih dapat ditemukan hingga hari ini di hampir seluruh tempat di Morotai misalnya: pistol, senapan mesin, peluru, serta berbagai jenis alat peledak lainnya. Di samping itu terdapat pula berbagai jenis bangkai kendaraan perang seperti mobil, kapal, dan pesawat tempur, baik yang ada di permukaan tanah maupun yang ada di dasar laut. Artifak-artifak itu menjadi material culture terjadinya peristiwa perang modern dalam sejarah militer dunia yang berlokasi di Kawasan Timur Indonesia, yakni Maluku Utara, yang disebut sebagai Kawasan "bibir Pasifik", karena wilayahnya berbatasan dengan lautan pasifik di ujung utara propinsi ini. Dalam penelitian dan penulisan artikel ini digunakan Metode dan metodologi Sejarah. Sumber, bahan, dan data utama yang digunakan dalam artikel ini adalah berasal dari studi-studi pustaka dan pengamatan lapangan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: faktor-faktor apa yang menyebabkan pulau Morotai menjadi basis pertempuran antara Jepang dan Sekutu dalam Perang Pasifik 1944-1945; Bagaiman proses jalannya pertempuran di antara keduanya; Bagaimana proses akhir dari pertempuran itu. Dampak apa saja yang ditimbulkannya; dan bagaimana posisi Maluku Utara dan Indonesia pada akhir pertempuran itu inilah lima pertanyaan yang akan dijawab dalam artikel ini.
Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2018
790 ABAD 2:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Stebby Julionatan
Abstrak :
Hukum Kasih dalah ajaran utama Kekristenan. Dengan Hukum Kasih maka umat Kristiani diajar untuk bersikap inklusi dan memperjuangkan hak-hak orang-orang yang tertindas. Sayangnya, ketika Hukum Kasih diperhadapkan pada pemenuhan hak spiritualitas transpuan, maka “hukum” tersebut kehilangan sisi inklusinya. Wacana tentang heteronormatif dalam Kekristenan menjadi kontra narasi atas nilai inklusi Hukum Kasih. Bahkan, dalam konteks ini, Kekristenan justru menjadi hambatan terbesar terhadap penerimaan pada ketubuhan dan seksualitas kelompok transpuan. Namun, benarkah heteronormatif telah final dalam wacana Kristen? Bagaimana para pendeta menjembatani kontradiksi yang ada dalam amanat pelayanan spiritualitas jemaat, termasuk transpuan? Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pandangan dan pemahaman 6 (enam) pendeta sekutu Protestan mengenai Hukum Kasih guna membangun landasan pemaknaan atau peta tafsir alternatif yang memfasilitasi pemenuhan kebutuhan spritiualitas kelompok transpuan. Menggunakan pendekatan fenomenologi dengan perspektif feminis yang berpihak kepada kelompok transpuan, penelitian ini mewawancarai 2 (dua) pendeta perempuan cis-gender heteroseksual, 3 (tiga) pendeta laki-laki cis-gender heteroseksual dan seorang pendeta laki-laki non-heteroseksual yang memiliki keberpihakan terhadap kelompok minoritas seksual. Studi ini mengungkap tiga hal, yaitu upaya membangun kesadaran dan keberpihakan terhadap kelompok minoritas seksual, agensi pendeta sekutu dan makna pemberkatan perkawinan transpuan bagi pendeta sekutu. Upaya yang telah dilakukan dari studi ini menunjukkan: Pertama, sekadar pemaknaan akan “kasih” yang inklusi, ternyata tidak cukup dalam membangun kesadaran kritis dan keberpihakan, para pendeta sekutu membangunnya melalui refleksi kesadaran akan privilese, makna panggilan dan pengutusan gerejawi, adanya perjumpaan dengan kelompok minoritas seksual dan menyadari bahwa kelompok minoritas kebutuhan spiritualitas. Kedua, dalam upaya membangun agensi, para pendeta sekutu menggunakan identitas kependetaan mereka (paspor) sebagai strategi untuk membangun tafsir baru, mengubah wacana inklusi menjadi DNA gereja dan melakukan gerakan inklusif SOGIESC. Ketiga, dalam memaknai pemberkatan perkawinan transpuan, para pendeta masih dihadapkan pada ragam tafsir yang menjadi tantangan dalam pemenuhan kebutuhan spiritualitas kelompok tranpuan. Pada akhirnya, penguatan wacana teologi feminis dan SOGIESC pada para pendeta dan pengambil kebijakan di gereja menjadi suatu yang niscaya untuk pengejawantahan nilai Hukum Kasih yang sebenarnya. ......The Law of Love is the main teaching of Christianity. With the Law of Love, Christians are taught to be inclusive and fight for the rights of oppressed people. Unfortunately, when the Law of Love is confronted with fulfilling the spiritual rights of transgender women, the "law" loses its inclusion. Discourse about heteronormative in Christianity becomes a counter narrative on the inclusion value of the Law of Love. In fact, in this context, Christianity is actually the biggest obstacle to acceptance of the body and sexuality of transgender groups. However, is it true that heteronormative is final in Christian discourse? How do pastors bridge the contradictions that exist in the mandate of the church's spiritual ministry, including transwomen? This study aims to explore the views and understanding of 6 (six) allied Protestant pastors regarding the Law of Love in order to build a basis for interpretation or an alternative interpretation map that facilitates the fulfillment of the spiritual needs of the transgender group. Using a phenomenological approach with a feminist perspective that favors transgender groups, this study interviewed 2 (two) heterosexual cis-gender female priests, 3 (three) heterosexual cis-gender male priests and one non-heterosexual male priest who has a bias against sexual minorities. This study reveals three things, namely efforts to build awareness and alignment with sexual minority groups, the agency of allied priests and the meaning of the blessing of transgender marriages for allied priests. The efforts that have been made from this study show: First, the mere meaning of "love" which is inclusive, turns out to be insufficient in building critical awareness and partiality, the allied pastors build it through reflection on awareness of privilege, the meaning of ecclesiastical vocation and mission, the existence of encounters with groups sexual minorities and realize that minority groups need spirituality. Second, in an effort to build agency, allied pastors use their clerical identity (passport) as a strategy to build new interpretations, change the discourse of inclusion into the DNA of the church and carry out the SOGIESC inclusive movement. Third, in interpreting the blessing of transgender marriages, priests are still faced with various interpretations which are a challenge in meeting the spiritual needs of transgender groups. In the end, the strengthening of feminist theological discourse and SOGIESC among pastors and policy makers in the church is necessary for the realization of the true value of the Law of Love.
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Fadhilah
Abstrak :
Skripsi ini membahas pemerintahan Kota Jakarta pada tahun 1945 ndash;1950 yang difokuskan pada korelasi antara kebijakan yang diterapkan saat itu dengan kehidupan masyarakat. Pemerintahan Kota Jakarta yang berdiri secara otonom sudah berlangsung sejak masa Hindia Belanda. Selama dua kali pergantian kekuasaan sebelum Proklamasi, Jakarta dipimpin oleh orang-orang yang bukan orang Indonesia. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia menjadi momentum bagi Kota Jakarta untuk membentuk pemerintahannya di bawah kepemimpinan orang Indonesia. Belum sempat menjalankan segala kebijakannya, penyelenggaraan Pemerintahan Nasional Kota Jakarta mengalami hambatan oleh karena kedatangan Sekutu ke Jakarta. Sekutu mendirikan suatu pemerintahan militer yang berpusat di Jakarta. Pasca Agresi Militer I, Jakarta sepenuhnya berada di bawah kekuasaan Belanda termasuk penyelenggaraan pemerintahan federal Jakarta. Perubahan kepemimpinan ini berpengaruh terhadap kebijakan atas kedudukan dan wilayah Jakarta. Penyelenggaraan pemerintahan Kota Jakarta oleh Belanda hanya berlangsung hingga pengakuan kedaulatan. Dinamika pemerintahan Kota Jakarta selama periode tersebut berpengaruh terhadap kebijakan-kebiijakan publik yang diterapkan. Kebijakan-kebijakan inilah yang dirasakan langsung oleh masyarakat dan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat dari berbagai aspek. Metode penelitian yang digunakan adalah metode sejarah dengan sumber primer diperoleh dari Arsip Nasional Republik Indonesia dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. ...... This thesis discusses the city government of Jakarta in 1945 ndash 1950 which focused on the correlation between the policies applied at the time and the life of the community. The autonomous city government of Jakarta has been established since the Dutch East Indies. During the two power changes before the Proclamation, Jakarta was led by non Indonesians. The Proclamation of Indonesian Independence became a momentum for the City of Jakarta to form its government under the leadership of Indonesians. Have not had time to run all the policies, the implementation of the National Government of Jakarta City experienced obstacles because of the arrival of the Allies to Jakarta. The Allies established a military government based in Jakarta. After Military Aggression I, Jakarta is fully under Dutch control, including the federal government of Jakarta. This leadership change influences policy on the position and the territory of Jakarta. The administration of the Jakarta Municipality by the Dutch only lasted until the recognition of sovereignty. The dynamics of the Jakarta City government during that period had an effect on the public policies that were implemented. These policies are perceived directly by the community and affect the lives of people from various aspects. The research method used is historical method with primary sources obtained from National Archives of Indonesia and National Library of Indonesia.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rasyid Ridha
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tangkilisan, Yuda Benharry
Abstrak :
Pada tanggal 31 Maret 1877 sebuah petisi dilayangkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Petisi itu dikirim oleh para pemimpin Minahasa. Pada dasarnya, petisi ita mengajukan keberatan terhadap besluit Residen ivienado tanggal 25 Januari 1876 no 1 Lh A. Sebenarnya besluit itu mengatur peraturan tanah negara yakni ordonansi 1875 (Staatsblad 1875 no 199a). Para pemimpin Minahasa rnemprotes pornyataan bahwa Minahasa merupakan tanah milik negara (Hindia Belanda), seper_ti bunyi salah satu butir ordonansi itu. Dalam petisi itu dinyatakan bahwa hubungan Minahasa dan Belanda sejak pihak yang terakhir datang di daerah Sulawesi bagian utara diatur dengan perjanjian atau kontrak. Dasar hu_bungan itu bukan sebagai daerah taklukan dengan penakluknya, melainkan berlandaskan bentuk persekutuan. Atas pertimbangan hubungan sekutu itu, menurut para pemimpin Minahasa, seyogya nya ordonansi itu dipertimbangkan kembali. Padahal sejak menerima kembali daerah Minahasa dari tangan Inggris awal abad 19, Belanda memperlakukan Minahasa sebagai wilayah yang diperintah langsung (direct gebied), Dengan sendirinya, kebijaksanaan politik Belanda di Minahasa berlandas_kan dasar pemikiran tersebut di atas. Situasi yang berubah itu, tidak segera disadari oleh para pemimpin Minahasa. Dengan diterbitkannya ordonansi 1875 itu, kurang 1ebih setengah abad telah berlangsungnya perubahan politik, barulah mereka mafhum, dan untuk itu mereka memprotes.
Depok: Universitas Indonesia, 1987
S12569
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Carmelia Sukmawati
Abstrak :
ABSTRAK
Pada tanggal 2 September 1945, dilaksanakan upacara penyerahan Jepang kepada Sekutu. Penyerahan itu sendiri dilakukan Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945. Pada waktu itu Kaisar Hirohito sendiri yang mengumumkan pernyataan menyerah kepada Sekutu, yakni dengan menerima deklarasi bersama negara-negara Sekutu yang termuat dalam Deklarasi Potsdam.

Peperangan Jepang-Sekutu ditandai dengan penyerangan Pangkalan Militer Amerika: di Pearl Harbor 1941. Karena berlangsung di Pasifik, maka disebut Perang Pasifik. Pada mulanya memang Jepang banyak mendapat kemenangan; tetapi kemudian keadaannya berbalik. Amerika yang tidak senang dengan aksi Jepang di Pasifik akhirnya bersama dengan sekutu-sekutunya menggempur Jepang dan Jepang menderita kekalahan.

Pada tahun 1943 Sekutu menuntut Jepang untuk menyerah, tetapi tidak diabaikan. Pada tahun 1945, melalui Deklarasi Potsdam, kembali Sekutu menuntut Jepang menyerah, dan Jepang tetap mengabaikan tuntutan tersebut. Karena itu Amerika atas nama Sekutu memberi peringatan dengan menjatuhkan bom atom atas kota Hiroshima dan Nagasaki tanggal 6 dan 9 Agustus,

Kaisar Hirohito yang telah menyaksikan banyak kehancuran dalam negerinya akibat peperangan, akhirnya menyatakan agar peperangan dihentikan. Padahal pada tahun 1941, Kaisar Hirohitolah yang memberi pernyataan perang kepada Arnerika.

Skripsi ini memperlihatkan bagaimana sebenarnya peranan Kaisar Hirohito dalam penyerahan Jepang kepada Sekutu dan sejauh mana tindakan yang diambil oleh kaisar Jepang saat itu, setelah negara Jepang menyerah kepada Sekutu.
1989
S13522
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wardatul Hikmah
Abstrak :
Skripsi ini membahas tentang Kamikaze, taktik perang khusus yang diorganisir AL Jepang pada akhir Perang Pasifik, dan kemudian diterapkan juga oleh AD Jepang. Dalam taktik ini, pesawat-pesawat Jepang yang dimuati bom dengan sengaja menabrak kapal-kapal Sekutu. Tidak ada kemungkinan selamat bagi pilot yang melakukannya. Taktik ini juga dikenal sebagai taktik bunuh diri. Pemerintah militer Jepang melakukan sejumlah propaganda untuk mendapatkan lebih banyak pilot Kamikaze. Diketahui bahwa para pemuda Jepang mau menjadi pilot Kamikaze lebih untuk kepentingan dirinya dulu, barulah untuk kepentingan negaranya. Metode pengumpulan data skripsi ini ialah kualitatif, dan skripsi ini ditulis dengan pendekatan deskriptif analisis historis. ......This thesis tells about Kamikaze, the special war tactics that was organized by Japanese Navy at the end of Pacific War, and also applied by Japanese Army later. In this tactics, Japanese planes that were filled by bomb deliberately crashing into Allied ships. There was no survival chance for the pilots of those planes. This tactics was also known as suicide tactics. Japanese military government did some propagandas in gaining more Kamikaze pilots. It is known that Japanese youth wanted to be Kamikaze pilots for their own sake first, and then for its country sake. The data in this thesis were collected by qualitative method, and written from historic analytical descriptive approachment.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S42119
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>