Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 71 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Reny Mulatsih
Abstrak :
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil padi terbesar di dunia. Jumiahnya yang melimpah menyebabkan berilmpah pula jumlah limbah pertanlan yang dihasllkan. Sekan pad! merupakan salah satu limbah pertanian yang jumiahnya sangat besar. Jumiahnya makin bertambah dari tahun ke tahun. Sebagai limbah pertanian, sekam padi merupakan bahan lignoselulosa. Selain itu, kandungan sekam padi cukup banyak, yaitu, protein, lemak, air, pentosa, dan abu. Oleh sebab itu, sekam padi mempunyai potensi sebagai sumber daya alam Salah satu pemanfaatannya adalah sebagai sumber penghasil xilosa yang cukup tinggi. Xilosa meaipakan monosakarida yang dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan xiiitoi. Xiiitol merupakan pemanis yang banyak digunakan oleh para penderita diabetes karena energinya yang rendah. Xilosa didapatkan dari sekam padi dengan cara hidrolisis. Dalam penelitian ini dicari kondisi optimum hidrolisis sekam padi untuk menghasilkan xilosa. Metode hidrolisis yang digunakan yaitu dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121°C dan asam sulfat sebagai katalis asam. Kondisi optimum hidrolisis yang didapat yaitu pada konsentrasi asam sulfat 1 M dan waktu hidolisis 15 menit dengan jumlah xilosa yang dihasilkan sebanyak 5.0571 g/L dan jumlah glukosa sebanyak 0,0467 g/L.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2003
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agusniar Trisnamiati
1989
S29782
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ahmad Maksum
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
T30230
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Koko Eko Harjono
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2007
T39839
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Permata Suci
Abstrak :
Pada penelitian ini, nanokomposit selulosa ZnO-SiO2 dan ZnO-Selulosa-SiO2 telah berhasil disintesis dengan memanfaatkan limbah pertanian sekam padi sebagai sumber dari selulosa dan silika sebagai material pendukung dan bahan penyangga dalam nanokomposit yang didukung dengan karakterisasi FTIR, XRD, SEM dan TEM. Nanokomposit selulosa ZnO-SiO2 dan ZnO-selulosa-SiO2 digunakan sebagai katalis dalam konversi minyak kelapa menjadi fatty acid methyl ester (FAME). Kondisi optimum nanokomposit selulosa ZnO-SiO2 diperoleh dengan jumlah katalis 6mg, rasio volume metanol: minyak 12:1 pada suhu 60oC selama 225 menit dengan hasil konversi FAME 87,38%. Untuk nanokomposit ZnO-selulosa SiO2 didapatkan kondisi optimum dengan jumlah katalis 6mg, rasio volume metanol: minyak 12:1 pada suhu 50oC selama 225 menit dengan hasil konversi sebesar 91,99%. Dari hasil konversi minyak kelapa menjadi FAME diperoleh nanokomposit yang terbaik adalah menggunakan katalis nanokomposit ZnO-Selulosa SiO2. Hal ini didukung dengan energi aktivasi untuk reaksi pembentukan biodiesel menggunakan katalis Selulosa ZnO-SiO2 didapatkan sbesar 40,3803 kJ.mol-1, yang mana lebih besar dari katalis ZnO-selulosa SiO2 yaitu sebesar 38,76 kJ mol-1. Nanokomposit berbasis biopolimer yang didukung oleh oksida logam sangat menarik untuk dikembangkan untuk produksi biodiesel karena bersifat biodegradable dan ramah lingkungan.
In this study, cellulose ZnO-SiO2 and ZnO-Cellulosa-SiO2 nanocomposites were successfully synthesized by utilizing rice husk agricultural waste as a source of cellulose and silica as supporting material in nanocomposite supported by FTIR, XRD, SEM and TEM characterization. Cellulose ZnO-SiO2 and ZnO-cellulose-SiO2 nanocomposites were used as catalysts in the conversion of coconut oil to fatty acid methyl ester (FAME). The optimum condition of cellulose ZnO-SiO2 nanocomposite was obtained by the amount of 6mg catalyst, the volume ratio of methanol: oil 12: 1 at 60oC for 225 minutes with a FAME conversion rate of 87.38%. The optimum conditions for ZnO-cellulose SiO2 nanocomposite were obtained with a number of catalysts of 6mg, the volume ratio of methanol: oil 12: 1 at a temperature of 50oC for 225 minutes with a conversion rate of 91.99%. From the results of the conversion of coconut oil to FAME obtained by nanocomposite, it is best to use a ZnO-Cellulose SiO2 nanocomposite catalyst. This is supported by the activation energy for the formation of biodiesel reactions using a Cellulose ZnO-SiO2 catalyst obtained as 40.3803 kJ.mol-1, which is greater than the ZnO-cellulose SiO2 catalyst which is equal to 38.76 kJ mol-1. Nanocomposite based biopolymers supported by metal oxides are very interesting to develop for biodiesel production because they are biodegradable and environmentally friendly.
Depok: Universitas Indonesia, 2019
T51688
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Putri Amalia
Abstrak :
Pelapisan adalah praktik pengendalian korosi yang paling umum dilakukan. Oleh karena itu, sangat penting untuk menemukan bahan pelapis yang hemat biaya dan ramah lingkungan untuk pembangunan dengan masyarakat yang berkelanjutan. Sifat penghalang grafin terutama ketika terdispersi dalam resin epoksi dapat meningkatkan ketahanan korosi logam. Grafin dapat disintesis dari limbah pertanian. Pada penelitian ini, grafin yang diturunkan dari prekursor sekam padi dan resin epoksi disintesis dengan metode pencampuran larutan untuk membuat komposit pelapis epoksi-grafin dengan sifat antikorosi. Grafin yang disintesis kemudian dikarakterisasi dengan difraksi sinar-X, UV-vis spektrofotometer, Raman spektroskopi dan pemindaian energi mikroskop elektron dengan sinar-X dispersif. Hasil karakterisasi grafin tersebut menunjukkan bahwa grafin sintetis memiliki kristalinitas, jumlah lapisan grafin, derajat kecacatan yang mirip dengan grafin oksida tereduksi komersial. Sedangkan sifat antikorosi dari pelapisan dikarakterisasi dengan polarisasi potensiodinamik dan spektroskopi impedansi elektrokimia. Hasil karakterisasi sifat antikorosi menunjukkan bahwa ketahanan korosi grafin sintetis dan grafin oksida tereduksi komersial lebih baik daripada grafin komersial. Grafin hasil sintetis memiliki nilai impedansi dan laju korosi sebesar 1.77 x 105 Ω dan 0.00011 mm/tahun dan setelah perendaman selama 24 jam dalam NaCl 3.5 wt.% belum menunjukkan terjadinya delaminasi. ......Coating is the most common corrosion control practice. Therefore, it is very important to find a cost-effective and environmentally friendly coating material for development with a sustainable society. The barrier properties of graphene especially when dispersed in an epoxy resin can increase the corrosion resistance of metals. Graphene can be synthesized from agricultural waste. In this study, graphene derived from rice husk precursor and epoxy resin was synthesized by the solution mixing method to make an epoxy-graphene coating composite with anticorrosion properties. The synthesized graphene was then characterized by X-ray diffraction, UV-vis spectrophotometer, Raman spectroscopy and energy scanning electron microscopy with dispersive X-rays. The results of the graphene characterization showed that synthetic graphene has a crystallinity, number of graphene layers, and degrees of defects similar to commercial reduced graphene oxide. Meanwhile, the anti-corrosion properties of the coating were characterized by potentiodynamic polarization and electrochemical impedance spectroscopy. The results of the characterization of anti-corrosion properties showed that the corrosion resistance of synthesized graphene and reduced commercial graphene was better than commercial graphene. The synthesized graphene has impedance values ​​and corrosion rates of 1.77 x 105 Ω and 0.00011 mm/year and after immersion for 24 hours in 3.5 wt.% NaCl, no delamination has occurred.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Nugraha Ardiwinata
Abstrak :
ABSTRAK
Hingga saat ini penggunaan pestisida di lahan pertanian masih cukup tinggi antara Iain yang tertinggi adaiah jenis insektisida disusul kemudian oleh fungisida dan herbisida. Jenis insektisida yang umum digunakan adalah golongan karbamat, fosfat organik dan piretroid. Salah satu golongan karbamat adalah karbofuran yang umum digunakan di Iahan pertanaman padi untuk mengendalikan organisme pengganggu seperti wereng coklat dan penggerek batang. Karbofuran merupakan senyawa yang sangat toksik, namun mudah terhidroIisis. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu diketahui bahwa residu insektisida karbofuran selain ditemukan di tanah sawah, tetapi juga ditemukan di air persawasan dan di dalam jaringan ikan. Hal ini akan menyebabkan antara Iain masuknya residu karbofuran ke aliran air (sungai) dan selanjutnya akan dikonsumsi oleh hewan ternak maupun manusia. Apabila residu insektisida ini terkonsumsi oleh manusia akan dapat mempengaruhi sistem endokrin (EDs - Endocrine -Disrupteds) yang berperan dalam proses sintesis, sekresi dan reproduksi.

Beberapa, hasil penelitian menunjukkan adanya residu karbofuran di tanah_ beras dan air. Sudarmadji et al. (1986) melaporkan bahwa aplikasi insektisida karbofuran dengan dosis anjuran dapat meninggalkan residu di tanah dengan kisaran konsenirasi 0,42-0,53 ppm. Selanjutnya hasil penelitian Samudra et al. (1989) melaporkan bahwa aplikasi karbofuran sebanyak 3 kali dengan dosis 0,60 kg/ha dapat meninggalkan residu di tanah dengan kisaran konsentrasi 0,0062-0,0216 ppm. Residu karbofuran tersebut hanya ditemukan pada saat tanaman berumur 29 hst (hari setelah tanam) dan tidak terdeteksi lagi pada saat panen padi. Hasil survey di sentra produksi padi di Jawa Barat dan Jawa Timur menunjukkan adanya residu insektisida karbofuran ditemukan di dalam tanah Sawah dengan kisaran konsentrasi 0,0008-0,0563 ppm (Ardiwinafa et al., 1999; Harsanti et al., 1999). Ardiwinata et aL (1996) melaporkan penemuan residu karbofuran di dalam beras yang berasal dad beberapa pasar di DKI Jakarta. Konsentrasi residu yang ditemukan berkisar 0,06 - 0,16 ppm. Batas maksimum residu karbofuran di dalam beras sebesar 0,20 ppm. Varca dan Tejada (1998) melaporkan bahwa residu insektisida yang umum ditemukan pada jaringan tubuh ikan Nile tilapia (Oreochmmis niloticus) adalah residu insektisida karbofuran dengan konsentrasi 10,0-17,0 ppb. LC50 karbofuran pada ikan sebesar 0,17 ppm (kategori C = LC50 < 0,5 ppm; termasuk sangat toksik).

Teknologi penanggulangan residu insektisida di lingkungan terutama di lahan pertanian sampai saat ini belum ada. Penelitian ini sangat diperlukan untuk mendukung pembanguan pertanian yang berkeianjutan dan ramah lingkungan. Teknologi dalam mengendalikan dampak negatif tersebut beraneka ragam, mulai dari insinerasi, pemadatan sampai ke penyimpanan (containment) dan bioremediasi (Wisjnuprapto, 1996). Penggunaan karbon aktif akan memberi harapan baik untuk mengatasi pencemaran di tanah oleh pencemar organik atau anorganik. Karbon aktif dapat menyerap karbofuran di dalam air minum sebanyak 99,9% dari konsentrasi mula-mula sebesar 2250 mglL (Cunningham et al., 1995).

Bahan baku karbon aktif yang umum digunakan adalah tempurung kelapa. Tempurung kelapa banyak dijumpai dan mudah didapat di pasar tradisional. Sebagian besar tempurung kelapa biasanya dibuang begitu saja dan sebagian lagi digunakan untuk arang pembakar. Bahan baku Iainnya yang potensial adalah sekam padi. Sekam padi merupakan bagian terluar dari butir padi yang kaya zat arang, adalah hasil sampingan yang terbesar dari proses penggilingan padi. Dalam proses penggilingan, akan dihasiikan sekam padi sebanyak 18-35% (Houston, 1972). Menurut Tangenjaya (1991) bahwa persentase sekam dari gabah bervariasi, tergantung varietas, berkisar antara 16,3-26,0%.. Di Indonesia, terdapat usaha penggilingan padi sekitar 60.000 unit, sekitar 700 unit di antaranya memiliki kapasitas sedang dan besar (Setyono et al., 2000). Dengan produksi beras sebesar 29 juta ton/tahun diperkilakan akan dihasilkan lebih dari 11,5 juta ton sekam/tahun. Hampir semua sekam yang terdapat di negara-negara ASEAN, dibakar atau terbuang begiiu aja. Kandungan seluiosa dan hemiselulosa yang mencapai 40% mémbuat ?kam berpotensi menjadi bahan baku I-carbon aktif. Di Indonesia, sekam padi umumnya digunakan untuk alas kandang pada peternakan ayam.

Karbon aktif dihasiikan melalui proses pirolisis dan bahan-bahan yang mengandung karbon, seperti tempurung kelapa dan sekam padi yang diikuti dengan tahap pengaktifan dari karbon yang dihasi|kan. Aktivasi adalah suatu proses menghilangkan ter yang masih tertinggal pada pori karbon aktif dengan penambahan suatu bahan pelarut kimia dan pemanasan pada suhu 800-1000°C, sehingga luas permukaan pon menjadi Iebih besar (Manocha, 2003 dan Darmstadt, 2004).

Pemilihan bahan pengerap residu insektisida dilakukan terhadap 15 jenis bahan yang diduga memiliki kemampuan erap yang tinggi. Bahan tersebut adalah karbon tampurung kelapa, karbon aktif tempurung kelapa, arang kayu (sate), karbon aktif kayu, karbon aktif bambu, ampas teh, karbon sekam padi, karbon aktif sekam padi, pupuk organik (kotoran hewan), kompos (tanaman), abu gosok, bokashi (campuran pupuk organik dan kompos), Fly ash, zeolit dan bentonit. Semua bahan tersebut diuji kemampuan daya erap terhadap Iod (lmamkhasani et af., 1994).

Karakterisasi karbon aktif tempurung kelapa dan sekam padi meliputi: (a) penentuan luas permukaan, (b) penentuan bobot jenis, (c) penentuan bilangan iod, (d) kadar air, () pH (f) penentuan kadar zat mudah menguap, (g) kadar abu dan (h) penentuan kadar karbon terikat (lmamkhasani et al., 1994; Kadirvelu et al., 2000).

Dalam penelitian ini digunakan dua jenis tanah sawah, Inseptisol berasal dari daerah Karawang {pH 5-6, liat sedang 1:1 (60-70%)} dan Ultisol berasai dari daerah Jasinga {pH 4-5, Iiat rendah (<30-40%)}_ Karakterisasi tanah meliputi pengukuran sifat fisik dan kimia tanah yaitu: tekstur tanah, pH tanah, bahan organik tanah, kandungan fosfor & kalium, nilai tukar kation (Ca, Mg, K, Na, KTK-kapasitas tukar kation dan KB-kejenuhan basa), pengukuran AI3+ dan H+(Hitsuda, 1987).

Kandungan heteroatom seperti oksigen, hidrogen, klor, sulfur, karbonil, hidroksil fenoiat, anhidrida, Iakton dan iaktal pada permukaan karbon aktif diidentiiikasi dengan alat FTIR Bio-Rad FTS 3000 spectrometer Excalibur series, pada kisaran panjang gelombang 4000-400 cm-1 dan resolusi 2 cm-1. Bubuk kalium bromida digunakan sebagai matriks sampel dan bahan referensi (rasio sampel dan KBr adalah 5 : 100). Spektrum senyawa referensi didapat dari campuran sampel dengan bubuk KBr. Semua sampel sebelumnya dikeringkan terlebih dahulu pada suhu 110°C dengan vakum hingga didapat bobot tetap (Robert et al., 2000).

Penetapan kapasitas dan daya erap (sorpsi) karbon aktif terhadap insektisida karbofuran di dalam tanah dilakukan di Iaboratorium dengan empat belas kombinasi tanah dan dosis karbon aktif Kapasitas dan daya erap dan karbon aktif ditetapkan dengan model persamaan isoterm Langmuir (Evangeiou, 1998).

Untuk mengetahui pengaruh penggunaan karbon aktif terhadap tingkat kandungan residu karbofuran di tanah, air dan tanaman padi dilakukan penelitian di rumah. kaca dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan 3 (tiga) faktor. Faktor pertama adalah jenis tanah (lnseptisol-Karawang/af dan Uitisoi-Jasinga/ag), faktor kedua adalah jenis karbon aktif (karbon aktif iempurung kelapa-KATKlb¢ dan karbon aktif sekam padi-KASPlb2) , dan faktor ketiga adalah dosis karbon aktif (0 ppmlcf, 250 ppm/cg; 500 ppm/cg; 1000 ppmlc4). Varietas padi yang digunakan adalah IR 64- Ukuran pot adalah tin i 40 cm, dan alas 30 Tiap poi diisi 10 kg contoh tanah kering udara dengan ukuran butir tanah yang Iewat saringan 2 mm. Pengamatan dilakukan pada seiang waktu 0, 5, 25, 45, 65, 85, 100 dan 140 hari inkubasi. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 4 kali. Untuk mengetahui perbedaan nyata antara perlakuan digunakan ANOVA (Anaiysis of Variance). Kalkulasi ANOVA menggunakan prosedur GLM (general linear model) dan SAS (Statistical Analysis System) versi 8.0 (SAS Institute, 1991). Ungkat ketelitian dan kesalahan secara statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah pada P S 0,05 (Wade et al., 1998).

Anaiisis residu karbofuran menggunakan metode baku dari Komisi Pestisida (1997) dengan menggunakan aiat kromatografi gas Shimadzu GC- 4CM-PFE yang dilengkapi detektor Electron Capture Detector (ECD) dengan kondisi alat sebagai berikut: isi kolom DC 200 5%. CW (AW), 60-80 mesh, diameter dalam kolom 0,3 cm dan panjang 150 cm, suhu injektor dan detektor 230°C, suhu kolom 220°C, Iaju gas nitrogen 40 mllmenit, sensitivitas 102 MQ, kisaran 4 x 0,01 V, pulsa 1,25. Waktu retensi karbofuran dan 3- hidroksi karbofuran dengan kondisi tersebut adalah 4,5 menit dan 7,7 menit_ Pada uji fortifikasi, nilai recovery karbofuran dengan metode di atas berkisar antara 92-98%. Batas deteksi minimal alat dengan kondisi tersebut adalah 0,001 ppm.

lsolat bakten diambil dari contoh tanah percobaan di rumah kaca yang terdiri tanah Karawang dan Jasinga pada setiap interval waktu pengamatan. Masing-masing isolat diinokulasikan ke dalam 5-mL media cairan hara dan dibiakkan dengan cara diinkubasi selama 2 hari aerasi pada suhu 28°C. Beberapa koloni yang terbentuk pada plate dihitung jumlahnya dengan metode ?most probable numbers? (MPN). Selanjutnya dilakukan identitikasi strain bakteri dengan metode ?Bergey's Manual of Detemzinative Bactenology, 8"? ed.? (Chaudhry dan Ali, 1988). Koloni bakteri dari step sebelumnya yang muncul dalam piringan agar pada tanah tanpa perlakuan karbofuran kemudian dites kemampuan mendegradasi karbofuran. Kemampuan biakan bakten mendegradasi karbofuran diuji dalam media mineral [MgS04.7H2O O,2; KZHPO4 O,1, CaSO4 o,o4, FeSO4.7H2O 0,002 g liter" dalam air deslilasi; pH e,21. Apabila insektisida yang clitemukan kurang dan 50% dari konsentrasi awal, berarti tabung mengandung organisms pendegradasi insektisida (Chaudhiy dan Ali, 1988; lvlohapatra dan Awasthi, 1997).

Dari hasil penelitian diketahui bahwa berdasarkan kritena mutu karbon aktif menurut SNI(1995) terutama uji daya erap (sorpsi) terhadap iod, karbon aktif tempurung kelapa (KATK) memiliki daya erap yang tinggi melebihi kritena SNl minimal sebesar 750 mg/g. Sedangkan daya erap iodin dan karbon aktif Sekam padi (KASP) lebih nendah dari kriteria SNI.

Berdasarkan penetapan kapasitas erap isoterm Langmuir, diketahui bahwa interaksi KATK dengan desis 250 ppm dengan tanah, baik dengan tanah lnseptisol Karawang (IKM) maupun tanah Ultisol Jasinga (UK250), memiliki kapasitas erap tefhadap karbofuran tertinggi, yaitu masing-masing sebesar 135,1351 dan 769,2308 pg/g.

Penambahan karbon aktif ke dalam tanah berpengaruh nyata terhadap peningkatan karakteristik tanah seperti nllai pH, kandungan bahan organik dan kapasitas tukar kation serta peningkatan aktivilas mikroba tanah. Dengan penambahan karbon aktif di tanah, menyebabkan perubahan pH tanah yang semula asam menjadi netral. Gugus kimia permukaan karbon aktif seperti karbonil, asam karboksilat, lakton, fenol dan eter sangat berpengaruh terhadap perubahan pH tanah.

Kondisi pH netral tanah merupakan kondisi yang balk bagi bakteri Pseudomonas sp untuk mendegradasi karbofuran menjadi metabolit (3-OH karbofuran), NHZCH3 dan C02. Bakteri Pseudomonas sp lebih menyukai tinggal dalam pori-pori karbon aktif, karena di dalam pori-pori terdapat sumber hara dan hasil peruraian karbofuran yaitu NHZCH3 dan CO2, yang digunakan sebagai sumber energi bagi mikroba, sehingga populasi dan aktifitas mikroba di tanah menjadi meningkat.

Dengan adanya peningkatan populasi bakteri dan peningkatan karakteristik tanah, maka konsentrasi residu karbofuran di tanah, tanaman padi (beras) dan air mengalami penurunan hingga di bawah batas maksimum residu (BMR), sehingga tidak membahayakan bagi mahluk hidup namun masih tetap toksik terhadap organisme pengganggu tanaman. Dengan demikian, KATK mempunyai prospek kedepan sebagai bahan pengendali residu kanbofuran di tanah.
Abstract
Up to the date, the use of pesticide in agricultural field is still high; the highest are among other insecticide followed by fungicide and herbicide. The commonly use type of insecticides are carbamate, organic phosphate and pyretroid. One of carbamate type is carbofuran that commonly use at paddy field to control pests such as brown planthopper and stemborer Carbofuran is a very toxic substance, however easily hydrolyzed. According to the previous research it is found that besides found in paddy field soil, carbofuran insecticide residue is also found in paddy field water and in fish tissue. This will cause among other the entering of carbofuran residue into water flow (river) and further will be consumed by cattle including human. When consumed by humanthis insecticide may effect the endocrine system (Eds - Endocrine Drsrupteds) that plays role in synthesis, secretion and reproduction.

Some research findings indicated the existence of carbofurane residue in soil, rice and water. Sudarmadji et al (1986) reported that the application of carbofuran insecticide with recomended dosage might leave residue in soil with concentration range of 0.42-0.53 ppm. Further, the result of research Samudra et at (1989) reported that 3 times application of carbofuran with dosage. of 0.60 kg/ha might leave residue in soil with concentration range of 0.0062-0.0216 ppm. Such carbofuran residue will only be found when the vegetation reached 29 days after planting and will not be detected when harvesting time. The survey in paddy production central in West Java and East Java indicated the existence of carbofuran residue in paddy field soil with concentration range of 0.06-0.16 ppm. The maximum limit of carbofuran residue in rice is 0.20 ppm. Varca and Tejada (1998) reported that insecticide residue that commonly found in body tissue of Nile tilapia fish (Oreochmmis nilotrcus) is carbofuran insecticide residue with concentration of 10.0-17.0 ppb. LC50 Carbofuran in fish of 0.17 ppm (Category C = LC50 < 0.5 ppm; is very toxic).

The technology for insecticide residue control in mainly agricultural environment has not yet been found until now. This research is urgently needed to support the development of continuous agriculture and environmental friendly. There are various kind of technology in controlling such negative impact, as from incineration, filling up to containment and bio-remediation (Wisjnuprapto, 1996). The use of active carbon will give good expectation to encounter soil pollution by organic or inorganic pollutants. Active carbon is able to absorb 99-9% carbofurane in drinking water from formerly 2250 mg/L (Cunningham et al., 1995).

The commonly use active carbon raw material is coconut shell. Coconut shell is easily available and can be found at traditional market. Most of coconut shells are just disposed and partly used as charcoal. Another potential raw material is paddy skin. Paddy skin is the outer part of paddy seed that rich of carbon, is the highest side production from paddy mills process. ln milling process, about 18-35% of rice husk will be produced (Houston, 1972). According to Tangenjaya (1991), the percentage of rice husk from unhulled paddy is vary, including the variety, ranges between 16.3 - 26_0%. There are about 60.000 paddy mills in Indonesia, 700 units of them are of medium and large capacities (Setyono et.aI., 2000). With rice production of 29 million tons/year it estimated will produce more than 11.5 tons of rice husk/year. Almost all of rice husk in ASEAN countries are just bumed or disposed. Cellulose and hemycellulose contain that amounting to 40% makes rice husk is potential as the raw material of active carbon. ln Indonesia, rice husk is generally used for bedding at chicken breeding.

Carbon active is produced through pyrolisys process from the materials that containing carbon, such as coconut shell and rice husk followed by activating phase of the carbon being produced. Activation is a process to eliminate tar that still -remain on active carbon pores by adding a chemical solution and healing at 800-1000°C, so that the surface of pores becomes wider (Manocha, 2003 and Darmstadt, 2004).

The selection of insecticide residue -absorption was made to 15 types of material that deemed have high absorb ability. The said materials are coconut shell, active carbon of coconut shell, wood charcoal (sate), wood active carbon, bamboo -active carbon, tea residue, rice husk carbon, active carbon of rice husk, organic fertilizer (animal wastes), kompos (vegetation), scouring sands, bokashi (mixture of organic fertilizer and kompos), fly ash, zeotyte and bentonyte. All of the materials are tested for their sorption ability against iod (imamkhasani etal., 1994).

The characteristics of active carbon from coconut shell and rice husk including: (a) the determination of surface area, (b) the determination of specific weight, (c) the determination of iod number, (d) water content, (e), pH (f) detemination of easily evaporated substance content, (g) ash content and (h) the determination of bonded carbon content (lmamkhasani et al., 1994; Kadirvetu et aI.,2000).

This research used two types of paddy field soil, lnceptisol from Karawang area (pH 5-6, medium clay (60-70%) and Ultisol from Jasinga area (pH 4-5, low clay (<30-40%). Soil characteristics covering of: the measurement of Soil physical and chemical characters are soil texture, pH, organic matter, phosphor and potassium contents, cation exchange value (Ca, Mg, K, Na, CEC-Cation exchange capacity and BS-base saturation), measurement ofAl°* and H* (Hitsuda, 1987).

Heteroatomic contents such as oxygen, hydrogen, chlor, sulfur, carbonyl, hydroxyl phenolate, anhydride, lactone and lactal on active carbon surface are identified by means of FT IR Bio-Rad FTS 3000 spectrometer Excalibur series, in wave length range 4000-400 cm" and resolution 2 cm". Potassium bromide powder was used as sample matrix and reference material (sample ratio and KBr was 5: 100). The spectrum of reference compound is obtained from mixing the sample with KBr powder. All samples are pre dried at 110°C by vacuum so that fixed weight is obtained (Robert et al., 2000).

The determination of capacity and sorption ability of active carbon against carbofuran insecticide in soil was conducted at laboratory with fourteen soil combination and carbon active dosages. The capacity and sorption ability of active carbon were defined by means of isotherm equation model Langmuir (Evangelou, 1998).

To find out the impact of active carbon application to the rate of carbofuran residue content in soil, water and paddy, a green house research was conducted by using complete random design (RAL) factorial with three factors. The first factor is type of soil (inseptisol- Karawang/a1 and ultisol-Jasinga/a2), the second factor is active wrbon coconut shell active carbon-KATK/b1 and rice husk active carbon-KASP/b2), and the third factor is active carbon dosage ( 0 ppm/c1, 250 ppm/c2; 500 ppm/c3; 1000 ppm/c4). Paddy variety being used is IR 64. Pot dimension is 40 cm height and 30 cm bed. Each pot was filled with 10 kgs of air dried soil sample with the size of soil granule that passed the strainer of 2 mm, Observation was made within 0, 5, 25, 45, 65, 85. 100 and 140 incubation day, Each treatment is repeated for four times. ANOVA (Analysis of Variance) was used to rind out the actual difference between the treatments. ANOVA calculation was made by using GLM (General Linear Model) procedure from SAS -(Statistical Analysis System) version 8.0 (SAS Institute, 1991). The Statistical accurateness and error being used in this research was at P 5 0-05 (Wade et al., 1998).

The analysis of carbofuran residue was conducted by using standard method from Pesticide Committee (1997) by using gas Chromatography Shimadzu GC-4CM-PFE equipped with Electron Capture Detector (ECD) with the following device condition; DC-200 column content 5%, CW (AW), 60-80 mesh, column inner diameter 0.3 cm and length 150 cm, injector and detector temperature 230°C, column temperature 220°, nitrogen gas rate was 40 mi/minute, sensitivity 102) MQ, range 4 x 0.01 v, pulse 1.25. carbofurane and 3-OH carbofuran retention times under the above conditions was 4.5 minutes and 7.7 minutes. During fortification test, carbofuran recovery value with the above method ranges between 92-98%. Minimum detection limit with the above condition was 0.001 ppm.

Bacterial isolate was taken from experimental soil sample at green house that consisting of Inceptisol Karawang and Ultisol Jasinga soils at every observation time interval. Each isolate was inoculated into 5-mL nutrient liquid medium and breed through incubation for 2 days of aeration at temperature 28°C. Some colonies that formed on plate are counted by ?most probable numbers? (MPN) method. Further, bacterial strain is identified by "Bergey?s Manual of Determination Bacteriology, 8?? ed.? Method (Chaudhry and Ali, 1988).

Bacterial colony from previous step that occurred on gel plate in soil without carbofuran treatment is then test for carbofuran degradation ability. The bacterial ability to degrade carbofuran is tested in mineral media [MgSO4.7H2O 0.2); K2HPO 0.1, CaSO4, FeSO4.7H2O 0.002 g liter-1 in distilled water pH 6.2]. If the insecticide found is less then 50% from initial concentration, it means the tube containing insecticide degrading organism (Chaudhry and Ali, 1988; Mohapatra and Awasthi, 1997).

According to quality criterion of active carbon (SNI, 1995) mainly sorption test on iod, the coconut shell active carbon (KATK) has high sorption ability larger that SN! criterion minimum of 750 mg/g. while the sorption ability of iodin from active carbon of rice husk (KASP) is lower than SNI criterion.

Based on the determination of Langmuir isotherm sorption capacity, it is found that KATK interaction with 250 ppm dosage with soil, either with Inceptisol Karawang soil (IKM) or Ultisol Jasinga soil (UK250), has the highest carbofuran sorption capacity, namely respectively 135.1351 pg/g and 769.2308 ug/g.

The addition of active carbon into soil has an actual impact on the increase of soil characteristics such pH value, organic material content and cation exchange capacity as well as the increase of soil microbe activity. With the increase active carbon in soil, soil pH will altered from formerly acid to become neutral. The chemical properties of active carbon surface such as carbonyl, carboxylate acid, Iactone, phenol, and either are greatly influencing the alteration of soil pH.

The condition of soil neutral pH is a good condition for Pseudomonas sp bacteria to degrade carbofuran into metabolite (3-OH carbofuran), NHZCH3 and CO2. Pseudomonas sp bacteria prefers to stay in active carbon pores, because there is nutrient source in the pores from the result of carbofuran dispersion namely NH2CH3 and C02 that used as energy source for microbe, so that the population and activity of microbe in 'soil increased.

With the of bacteria population and soil characteristic improvement, the concentration of carbofuran residue in soil, paddy (rice) and water is decreased up to less than maximum residue limit (MRL), that will not endanger life creature however still toxic to plant pest organism. In so doing, KATK has a future prospect as the control agent for carbofuran residue in soil.
2004
D1238
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Panggih Dwi Raharjo
Abstrak :
ABSTRAK
Indonesia merupakan negara agraris yang merupakan produsen padi ketiga di dunia setelah Cina dan India. Hal ini menyebabkan banyaknya sekam padi yang terbuang menjadi limbah. Di dalam sekam padi ini terdapat ~20% silika yang dapat diberdayakan. Silika dalam sekam padi ini dapat diekstraksi dengan melakukan proses pelindian menggunakan larutan asam klorida 1 M, dengan variasi waktu pelindian 30, 75, dan 120 menit, yang kemudian dilanjutkan dengan pembakaran hingga suhu 650°C dengan kecepatan peningkatan suhu 5°C/menit. Hasil akhir kemudian dikarakterisasi kadar dan morfologinya. Hasil penelitian didapatkan bahwa kadar akhir silika yang didapatkan dengan pelindian selama 30, 75 dan 120 menit masing-masing sebesar 98,282%, 99,323%, dan 99,429%, Sekam padi hasil ekstraksi mengalami perubahan morfologi menjadi lebih halus dengan penambahan waktu pelindian. ABSTRACT
Indonesia is an agricultural country that produces rice number three in the world, after China and India. It makes there are bulk of rice husks that goes to waste. Rice husks contain approximately 20% of silica that can be empowered. Silica from rice husks can be extracted through leaching method using chloric acid 1 M, with time variate from 30, 75, and 120 minutes, and then continued with combustions until temperature 650°C with rate of 5°C/minutes. The results from this study then characterized and achieved the final concentration of silica for leaching time 30, 75 and 120 minutes is 98.282%, 99.323%, and 99.429%. The final sample encountered a morphology change to become smoother as the leaching time increase.
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S62719
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>