Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amila Hasya
Abstrak :
Artikel ini membahas mengenai persoalan ketidakadilan epistemik yang muncul dalam rape culture. Rape culture dianggap sebagai hal yang normal karena tiadanya pengakuan tubuh dan pengalaman di ruang publik, sementara tubuh privat sendiri diatur. Perbincangan sarat pelecehan sering kita temui sehari-hari, bahkan korban tidak dapat menolak. Penelitian ini membongkar epistemologi yang terjadi di masyarakat, hingga rape culture bisa dinormalkan. Penelitian ini menerapkan metode analisis, yaitu metode epistemologi feminis yang fokus pada standpoint knowledge dalam pengumpulan data. Saya memiliki argumen bahwa masyarakat mampu berpikir demikian, dikarenakan ada epistemologi yang bekerja secara menyimpang. Cara kerja epistmeologi ini membuktikkan bagaimana standar pengetahuan masyarakat membiarkan rape culture terbentuk dan terus dibiarkan dalam kehidupan sehari-hari. ......This article discusses the issue of epistemic injustice that arises in rape culture. Rape culture is considered as a normal thing because there is no recognition of the body andexperience in the public space, while the private body itself is regulated. We often encounter conversations full of harassment every day, even victims cannot refuse. This research dismantles the epistemology that occurs in society, so that rape culture can be normalized. This study applies an analytical method, namely a feminist epistemologicalmethod that focuses on standpoint knowledge in data collection. I have an argument that society is able to think that way, because there’s an epistemology that works in a wrong way. The way this epistemology works is proves how public knowledge standards allow rape culture to form and continue to be allowed in everyday life.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Adiva Thara Rahmadianti
Abstrak :
Masa remaja merupakan fase kritis dalam perkembangan manusia, ditandai dengan perkembangan secara fisiologis dan psikologis yang pesat, serta perubahan dalam dimensi sosial. Ini adalah masa pertumbuhan dan penemuan diri, di mana seorang individu bertransisi dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan. Perubahan di masa ini mendorong munculnya keinginan dan kebutuhan baru yang juga tercerminkan dalam dimensi spasial. Dalam upaya menciptakan batasan antara dirinya dengan orang lain dan mencari kemandirian, remaja sering kali menginginkan ruang untuk menyendiri atau bersama teman sebaya, dan fenomena ini kemudian dapat dilihat melalui sudut pandang architectural privacy. Studi ini mengeksplorasi cara remaja memenuhi kebutuhannya akan architectural privacy dengan melibatkan 4 responden yang tinggal di dua tipe permukiman yang berbeda. Remaja yang tinggal di permukiman formal dengan ruang sendiri di rumah mencapai keadaan privasi yang tinggi dengan keberadaan batas-batas tetap di kamarnya sendiri. Remaja di pemukiman informal yang berbagi ruang di rumah dengan anggota keluarga lainnya, mencari privasi dengan menciptakan teritori sementara di ruang di luar rumah, seperti di taman. Mereka menciptakan keadaan privasi menggunakan semi-fixed features dan jarak dengan orang lain. ......Adolescence is a critical phase in human development, characterized by rapid physical and psychological development, as well as changes in the social dimension. It is a time of growth and self-discovery, where an individual transitions from childhood to maturity. The changes in this period of development encourage new wants and needs, and it is reflected in the spatial dimension. In an effort to create boundaries between the self and others, as well as the search for independence, adolescents often seek spaces to be alone or to be with friends, and this phenomenon can be seen through the lens of architectural privacy. This study explores how adolescents fulfill their need for architectural privacy by involving 4 respondents who live in two different types of settlements. Adolescents who live in formal settlements with their own space at home achieve a high state of privacy through the fixed boundaries of their own rooms. Adolescents in informal settlements who share their space at home with other family members seek privacy by creating temporary territories in spaces outside their home, such as parks. They create a state of privacy using semi-fixed features and distance from others.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Azka
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini mengenai bagaimana ruang yang dialami oleh penyendiri mengingat ruang publik dan privat yang semakin rancu dalam batasannya. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain purposif. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor yang memengaruhi penyendiri dalam mengalami ruang. Kegiatan yang dilakukan penyendiri di ruang publik menciptakan fokus perhatian yang dapat menimbulkan ruang-ruang baru baginya Ruang-ruang tersebut bersifat tidak kasat mata yang berada dalam ruang interiornya sendiri. Hubungan ruang kasat mata dan tidak kasat mata ini adalah faktor-faktor bagi penyendiri dalam mengalami ruangnya.
ABSTRACT
This study is about how space is experienced by a loner considering public and private space is more ambiguous in the boundary. This research is using qualitative purposive interpretive method. Results show that there are factors affecting the loner in the experience of space. Activities conducted by a loner in public space create a focus of attention that could produce new spaces for them. These spaces are not visible inside their interior space of mind. The relationship of visible and invisible space is the factor for a loner in the experience of space.
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S42241
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library