Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
Rajagukguk, Chelsea Raphael
"Penelitian ini membahas aspek hukum perdata internasional terkait perkawinan pengungsi Rohingya di Indonesia. Sebagai negara transit yang tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, sulit bagi Indonesia untuk mencatatkan perkawinan yang melibatkan perkawinan pengungsi Rohingya, baik dengan WNI maupun dengan sesama pengungsi. Padahal, mereka pun berhak untuk menikah dan membentuk keluarga sebagaimana dijamin dalam Pasal 16 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Melalui metode pendekatan doktrinal, permasalahan ini dianalisis berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Administrasi Kependudukan, Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia, dan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 1975. Selain itu, Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata Internasional digunakan juga sebagai
comunis opinio doctorum. Penelitian ini menganalisis bagaimana status Rohingya sebagai pengungsi dan apatride menjadi hambatan dalam mencatatakan perkawinannya. Hal tersebut berimplikasi pada ketidakabsahan perkawinan dan maraknya praktik nikah siri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan prinsip lex loci celebrationis dapat menjadi solusi untuk mengatasi konflik hukum ini. Penelitian ini pun merekomendasikan penerbitan surat peristiwa penting yang secara resmi menerangkan perkawinan antar sesama pengungsi Rohingya yang tidak dapat diabsahkan. Selain itu, terhadap perkawinan antara pengungsi Rohingya dan warga negara Indonesia, direkomendasikan pula pewarganegaraan untuk menjamin hak-hak asasi mereka sebagai manusia.
The following research discusses international private law aspects related to the marriage of Rohingya refugees in Indonesia, particularly due to the legal vois in regulating their personal status. As a transit country that has not ratified the 1951 Refugee Convention and the 1967 Protocol, refugees are not officially recognized as legal subjects by Indonesia. However, they have the right to marry and form families, as guaranteed in Article 16 of the Universal Declaration of Human Rights. Using a doctrinal approach, this issue will be analyzed based on the Marriage Law, Population Administration Law, Indonesian Citizenship Law, and Presidential Regulation No. 9 of 1975. Additionally, the draft of the International Private Law Bill will also be used as a communis opinio doctorum. This research further analyzes how the Rohingya’s status as refugees and stateless persons prevents them from obtaining the necessary documents to register their marriages, which impacts their civil family rights being deemed invalid. This legal gap leads to difficulties in recognizing marriages between Rohingya refugees and Indonesian citizens as mixed marriages, while marriages among refugees fail to meet the criteria for being recognized as legal foreigner marriages under the Population Administration Law. This research concludes that applying the lex loci celebrationis principle could resolve this legal conflict. It recommends issuing an official certificate to document marriages between Rohingya refugees that cannot be legalized. Additionally, it suggests granting citizenship or using refugee documentation as a substitute for citizenship documents to guarantee their human rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Rifda Galuh Atsania
"
Meskipun tidak meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967, Indonesia dikenal sebagai negara yang terbuka terhadap pengungsi Rohingya. Atas dasar kemanusiaan, sejak tahun 2015 Indonesia secara kontinu memberikan izin tinggal sementara, memberikan bantuan kemanusiaan, dan aktif mendorong penyelesaian krisis melalui berbagai upaya diplomatik. Namun pada 2023, respons tersebut mengalami perubahan yang ditandai oleh pergeseran retorika pengungsi sebagai beban dan masalah keamanan, peningkatan patroli oleh lembaga keamanan, dan desakan kepada negara-negara pihak Konvensi untuk mengambil alih tanggung jawab penanganan pengungsi. Perubahan ini menunjukkan orientasi kebijakan yang semakin restriktif dengan penekanan pada isu keamanan dan kontrol perbatasan. Menanggapi hal tersebut, penelitian ini mempertanyakan mengapa kebijakan Indonesia terhadap pengungsi Rohingya mengalami peningkatan pembatasan pada tahun 2023. Dengan menggunakan kerangka analisis kebijakan luar negeri, penelitian ini menemukan bahwa konvergensi faktor eksternal dan internal mendorong perubahan kebijakan Indonesia terhadap pengungsi Rohingya ke arah peningkatan pembatasan. Faktor eksternal menyediakan konteks dan stimulus pengetatan kebijakan melalui stagnasi proses resettlement, penurunan bantuan internasional, dan kebijakan suaka negara lain yang semakin tertutup. Hal ini kemudian diamplifikasi oleh faktor internal berupa penolakan publik terhadap pengungsi Rohingya, konsensus pendekatan keamanan dalam birokrasi, lemahnya pengaruh kelompok kepentingan, serta karakteristik kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang memperkuat arah kebijakan menuju restriktivitas.
Despite not being a party to the 1951 Convention and the 1967 Protocol, Indonesia is known for its welcoming approach toward Rohingya refugees. On humanitarian grounds, since 2015 Indonesia has continuously granted temporary residence permits, provided humanitarian assistance, and actively engaged in diplomatic efforts to resolve the crisis. However, in 2023, this response shifted significantly. The rhetoric began portraying refugees as a burden and security threat, security agency patrols increased, and pressure on Convention member states to take over responsibility for handling refugees. This marked a shift toward a more restrictive policy orientation, emphasizing national security and border control. Therefore, this study investigates the reasons behind Indonesia’s increased restrictions on Rohingya refugees in 2023. Using foreign policy analysis framework, this study finds that the convergence of external and internal factors drives changes in Indonesia's policy towards Rohingya refugees. Externally the stagnation of the resettlement process, decreased international assistance, and increasingly closed asylum policies of other countries provided context and stimulus for tighter controls. Internally, rising public rejection of refugees, the dominance of security narratives within the bureaucracy, the weak influence of civil society, and the leadership characteristics of President Joko Widodo strengthened the direction of policy towards restriction."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library