Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 25 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sydney: Ashgate, 2001
346.02 Res
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
New York: Clarendon Press, 1991
346.033 ESS (2)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Alexandra Hartono Lee
Abstrak :
Penipuan asuransi yang dilakukan oleh nasabah asuransi atau pihak tertanggung merupakan tindak pidana yang banyak terjadi di masyarakat. Penipuan asuransi atau insurance fraud tergolong pada tindak pidana penipuan, yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dapat dikenakan sanksi berupa pidana penjara. Peraturan perundang-undangan yang mengatur sanksi pemidanaan penjara bagi pelaku penipuan asuransi kurang tepat karena bentuk kerugian yang ditimbulkan oleh para pelaku penipuan adalah kerugian ekonomis. Kerugian ini tidak hanya berdampak kepada korban penipuan yaitu perusahaan asuransi selaku pihak penanggung, namun juga masyarakat luas selaku calon nasabah dan nasabah asuransi. Tindak pidana penipuan asuransi menimbulkan kerugian secara finansial terhadap perusahaan asuransi secara spesifik, dan terhadap perekonomian asuransi secara luas. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hukuman yang selama ini dikenakan terhadap pelaku tindak pidana penipuan asuransi oleh nasabah di Indonesia serta perbandingan sanksinya dengan negara-negara lain, yaitu dengan Spanyol dan Singapura. Metode penelitian yuridis normatif digunakan dalam penelitian ini untuk inventarisasi dan analisis terhadap peraturan perundang-undangan seputar asuransi, penipuan asuransi, dan sanksinya di Indonesia, Spanyol, dan Singapura. Hasil analisis berupa bentuk sanksi yang lebih tepat diberikan bagi pelaku tindak pidana penipuan asuransi sebagai tindakan represif terhadap fraud asuransi akan diuraikan secara eksplanatoris analitis.  ......Insurance fraud committed by insurance clients or the insured parties is a crime which occurs quite a lot within society. Insurance fraud is classified as the crime of fraud or cheating or swindling, which based on the regulations may be penalized by imprisonment. The rules which regulate that insurance fraud perpetrators may be sanctioned with imprisonment still have room for improvement because the losses that occur due to the crime is economical loss. Harm caused by the crime affects not only the victim of said fraud which is the insurance company or the insurer party, but also potential clients and existing clients which is the public. Insurance fraud causes financial damage specifically to the insurance company, and widely to the economy of insurance. This research aims to analyze the preexisting sanctions given to clients who are perpetrators of insurance fraud in Indonesia and the comparison of sanctions with other countries, namely Spain and Singapore. Juridical normative methods are used in this research to inventorize and analyze the rules and regulations regarding insurance, insurance fraud, and the sanctions in Indonesia, Spain, and Singapore. Analysis results showing a more suitable sanction for insurance fraud perpetrators as a repressive act towards the crime of insurance fraud will be elaborated in an analytical explanatory method.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kovacic-Fleischer, Candace S.
St. Paul, MN : Thomson/West, 2011
347.077 KOV e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Syah Alam
Abstrak :
ABSTRAK
Pembangunan nasional Indonesia saat ini telah memasuki tahap Pembangunan Jangka Panjang . Untuk melaksanakan Pembagunan itu tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Tidak dapat dielakkan lagi pemerintah harus menyediakan dana untuk membiayai pembangunan tersebut.

Mengingat semakin tingginya peranan pajak sebagai salah satu sumber dana pembangunan, maka pada tahun 1983 pemerintah melakukan perombakan besar di bidang perpajakan dengan Tax Reform. Keleluasan yang diberikan kepada wajib pajak oleh sistem pajak yang baru menempatkan fiskus sebagai pengawas dan pembimbing pelaksanaan kewajiban perpajakan oleh wajib pajak. Kewajiban membuat faktur pajak bagi PKP akan sangat penting artinya dalam pengamanan penerimaan negara dari pajak.

Jika Pajak masukan lebih besar dan Pajak keluaran maka terjadi pajak lebih besar yang dapat dikompensasikan dengan utang pajak Masa Pajak berikutnya atau diminta kembali (restitusi). Pembuatan Faktur Pajak sepenuhnya diberikan kepada PKP, sehingga dalam pelaksanaannya sering terjadi pembuatan Faktur Pajak yang tidak semestinya (Faktur Pajak Fiktif).

Restitusi merupakan hal yang sangat rentan terhadap itikad tidak baik dari wajib pajak/PKP untuk membobol keuangan negara melalui permohonan restitusi yang tidak benar (fiktif). Unsur yang sangat menentukan kebenaran permohonan restitusi adalah Faktur Pajak baik itu Pajak Masukan maupun Pajak Keluaran.

Peraturan yang telah ada ancaman sanksi terhadap penyalahgunaan, pelanggaran, atau kejahatan di bidang pajak khususnya yang berhubungan dengan faktur pajak sebenarnya telah cukup.

Mengoptimalkan pengenaan sanksi terhadap pelanggaran norma perpajakan sehubungan dengan Faktur Pajak maka perlu dilakukan penatausahaan atas Faktur Pajak - Faktur Pajak yang tidak dapat dikreditkan pada waktu penelitian kantor terhadap permohonan restitusi. Terlepas dari kenyataan yang ada, saat ini hal yang perlu dilakukan oleh para aparat pajak adalah mengoptimalisasi usaha-usaha pengamanan restitusi secara nyata. Salah satunya tentu dengan meningkatkan peranan penerapan sanksi terhadap penyelewengan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku.
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Adisaputra
Abstrak :
Secara kriminologis, terorisme sebagai suatu bentuk kejahatan tidak terlepas dari munculnya korban. Terhadap korban kejahatan terorisme, negara memberikan hak-hak korban sebagaimana yang tercantum pada pasal 36 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Terdapat 2 (dua) hak korban pada pasal tersebut, yaitu kompensasi dan restitusi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang tingkat perhatian dan pelayanan negara kepada korban terorisme, yang terkait dengan pemberian kompensasi dan restitusi. Serta untuk mengetahui tentang reaksi masyarakat (korban) terhadap pelaksanaan kewajiban negara terhadap para korban terorisme. Metode Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptifanalitis. Penelitian ini mendapatkan informasi bahwa, para korban terorisme mendapatkan perhatian negara hanya terbatas ketika pada saat setelah terjadinya terorisme, dan perhatian tersebut bersifat pertolongan pertama. Sedangkan untuk kelanjutan proses pemulihan secara umum yang seyogyanya dapat diatasi dengan pemberian kompensasi dan restitusi, para korban tidak mendapatkannya. Untuk mengatasi hal itu para korban banyak berinisiatif untuk membentuk paguyuban/kelompok para korban yang bertujuan untuk saling menyemangati dan berjuang untuk mempertahankan dan melanjutkan hidup mereka. Pada aspek negara, penelitian ini memperoleh informasi yang terkait dengan tidak dilaksanakannya kewajiban negara dalam hal pemberian kompensasi dan restitusi kepada para korban terorisme. Kesimpulan dari penelitian ini adalah ; Pertama, negara belum memberikan hak korban terorisme berupa kompensasi dan restitusi karena terhambat dengan belum adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pelaksanaan pengajuan dan pemberian kedua bentuk hak korban terorisme tersebut, Kedua, Paguyuban/kelompok yang didirikan oleh para korban terorisme, adalah merupakan bagian dari bentuk reaksi yang tidak positif terhadap tidak terlaksananya kompensasi dan restitusi oleh negara.
According to Criminology, terrorism is a crime with victims. In regard of the crime victim of terrorism, state grants victim?s right as set out in Article 36 of the Law of Republic of Indonesia No.15 Year 2003 related to Government Regulation as Substitution of Law No. 1 Year 2002 related to Fight Against Terrorism Action. There are two (2) victim?s rights as set out in the Article, i.e. right of compensation and restitution. The purpose of this research is to identify level of attention and service of a state for terrorism victim, related to compensation and restitution provision, and to identify public reaction (victims) against states liabilities for terrorism victim. This Research method is using qualitative approach (descriptive-analytic). This research has acquired information that terrorism victim received attention from the state limited to a period after the terrorism action, and such attention is a kind of first aid. However further recovery process that is generally by compensation and restitution provision has not been obtained by the victims. To resolve this problem, victims took initiative to form victim group with purpose to support each others and fight for sustaining their lives. Regarding the state, this research has found information related to state?s default in granting compensation and restitution for terrorism victim. This research concludes that, firstly, state has not yet provide compensation and restitution for terrorism victim due to there is not any Government Regulation regulating the detail execution of granting both rights of terrorism victim. Secondly, a group established by any terrorism victim is constituting a part of their negative reaction against lack of compensation and restitution by the state.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T25241
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dondang Kristine
Abstrak :
Korban kejahatan pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana. Pada umumnya korban dirumuskan sebagai seseorang yang menderita kerugian fisik, mental, emosional, maupun ekonomi. Masalah keadilan dan penghormatan hak asasi manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan saja, tetapi juga korban kejahatan. Namun, korban tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan. Apabila terjadi suatu pelanggaran hukum, tentu saja mengakibatkan ketidakseimbangan dalam diri korban atau keluarganya. Misalnya dari aspek finansial (materiel), yaitu bila korban merupakan tumpuan hidup keluarga, aspek psikis (immateriel) berwujud pada munculnya kegoncangan pada diri korban. Untuk menyeimbangkan kondisi korban tersebut, maka harus ditempuh upaya pemulihan baik materiel dan/atau immateriel, yaitu melalui hak restitusi korban. Dalam tesis ini penulis membahas mengenai hak restitusi korban tindak pidana perdagangan orang, dengan menganalisa dari hasil putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang nomor 1633/PID.B/2009/PN.TK, atas nama Fitriyani Binti Muradi yang merupakan satu-satunya putusan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang yang menghukum pelaku untuk membayar restitusi kepada korban. Hak restitusi korban tindak pidana perdagangan orang sudah diatur dalam Pasal 48 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Penelitian tersebut membahas mengenai peranan penegak hukum dalam melaksanakan hak restitusi korban tindak pidana perdagangan orang. Dari hasil penelitian tersebut, peranan penegak hukum baik di tingkat penyidikan, penuntutan, sampai dengan proses persidangan tidak maksimal dalam memperjuangkan hak restitusi korban, yaitu sebatas menanyakan besarnya kerugian yang diderita korban baik materiel maupun immateriel. Kurangnya upaya yang maksimal dari penegak hukum menyebabkan dikabulkannya hak restitusi korban hanya sebatas putusan saja atau hanya di atas kertas saja. Hal ini dikarenakan terdapat kendala-kendala, diantaranya: kendala dari perundang-undangan yang tidak memiliki peraturan pelaksanaan dan dimuatnya pidana kurungan sebagai pengganti dari restitusi, sehingga memberikan pengaruh pada upaya pemenuhan restitusi yang pelaksanaannya tidak secara total, kemudian kendala dari kurangnya kesadaran penegak hukum dan sumber daya manusia yang terlatih dan terampil dalam memperjuangkan hak restitusi korban. Selanjutnya, kendala dari kesadaran hukum korban, yang mana korban beranggapan seandainya melakukan tuntutan ganti rugi hasil yang ia dapatkan tidak sebanding dengan yang ia alami (tidak bisa mengembalikan keadaan semula) bahkan ia juga beranggapan jika melakukan tuntutan ganti rugi justru akan menambah penderitaan dan mengalami kerugian lain sehingga mereka menjadi apatis. ...... Victims of crime is basically a party that suffered most in a crime. In the most cases the victim is defined as a person who suffers physical harm, mental, emotional, and economic. Issues of justice and respect for human rights does not only apply to offenders but also victims of crime. However, victims do not get much protection as provided by law the perpetrators. In the event of a violation of law, of course, lead to an imbalance in the victim or his family. Example of the financial aspects (material), that is when the victim is the foundation of family life, psychological aspects (immaterial) tangible to the emergence of shock on the victim. To balance the condition of the victim, then the remedy should be taken both the material and / or immateriel, namely through the restitution rights of victims. In this thesis the author discusses about the restitution rights of victims of trafficking in persons, by analyzing the decision of the Court of Tanjung Karang number 1633/PID.B/2009/PN.TK , in the name of Fitriyani Binti Muradi which is the only decision that sentenced the offender to pay restitution to victims. Restitution rights of victims of trafficking in persons has been regulated in Article 48 of Act Number 21 / 2007 on Combating the Crime of Trafficking in Persons. The study discusses the role of law enforcement agencies in carrying out the restitution rights of victims of trafficking. From this research, the role of law enforcement both at the level of investigation, prosecution, court proceedings are not up to the maximum in the fight for the rights of victims restitution, which is limited to asking the amount of loss suffered by the victims of both material and immaterial. Lack of a maximal effort of law enforcement led to the granting of the rights of the victim restitution was limited to ruling only, or only on paper. This is because there are constraints, including: the constraints of legislation that does not have implementing regulations and publishing imprisonment in lieu of restitution, thereby giving effect to the implementation of restitution compliance efforts are not in total, then the constraint of lack of awareness of law enforcement and human resources are trained and skilled in fighting for the restitution rights of victims. Furthermore, the constraints of the legal consciousness of the victim, where the victim thinks that if their demands compensation she has received the results not comparable to those he experienced (can not restore the original state) even if it is also assumed to compensation claims will only add to the suffering and loss other so that they become apathetic.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T29881
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Marino Maztreeandi
Abstrak :
Berkembangnya ilmu viktimologi membuat korban tindak pidana tidak lagi menjadi ?pihak yang dilupakan? dalam sistem peradilan pidana. Pemenuhan hakhak korban tindak pidana telah banyak diakomodasi dalam instrumen-instrumen internasional dan peraturan nasional berbagai negara. Salah satu hak yang dimiliki oleh korban tindak pidana adalah restitusi, yang merupakan ganti kerugian yang dibayarkan oleh pelaku atas penderitaan yang dialami. Di Indonesia, peraturan mengenai restitusi pertama kali ada pada PP No. 3 Tahun 2002, namun hanya untuk korban pelanggaran HAM. Baru kemudian pada PP No. 44 Tahun 2008 restitusi untuk korban tindak pidana lainnya diakomodasi. Mengingat masih barunya pengaturan restitusi di Indonesia, maka perlu dilakukan perbandingan dengan ketentuan negara lain demi kemajuan pengaturan restitusi di Indonesia. Dalam skripsi ini, pengaturan restitusi di Indonesia dalam PP No. 3 Tahun 2002 dan PP No. 44 Tahun 2008 dibandingkan dengan pengaturan federal restitusi di Amerika Serikat, yaitu dalam 18 U.S.C. 3663, 3663A, dan 3664. Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah konsepsi restitusi di kedua negara dan bagaimana tata cara permohonan dan eksekusi restitusi di kedua negara, kemudian dilakukan perbandingannya. Penelitian skripsi ini merupakan penelitian yuridis normatif yang menitikberatkan pada data sekunder dengan desain deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disarankan agar pengaturan restitusi di Indonesia diunifikasikan saja dalam satu peraturan perundang-undangan, pengaturan tersebut dilengkapi dengan pengaturan tentang eksekusi putusan restitusi, restitusi jika korban telah mendapatkan ganti rugi dari asuransi, restitusi sebagai pengganti pemidanaan dalam tidak pidana ringan, restitusi jika korban mendapatkan ganti kerugian perdata, jaminan pembayaran restitusi, pengalihan restitusi menjadi kompensasi, dan upaya hukum terhadap permohonan restitusi.
The development of victimology brought the awareness of the victim?s needs in the criminal justice system. Victim?s rights are now accommodated not only by international law, but also by national law of some states. One of the rights that a victim has is the right to victim restitution which is paid by the offender for the victim?s suffering. In Indonesia, the first regulation of victim restitution is The Government Regulation No. 3 of 2002, but that regulation only accommodates victim restitution for victims of violation of Human Rights. Only after the enactment of Government Regulation No. 44 of 2008 that victim restitution for other types of victim is accommodated. Considering the regulation of victim restitution is relatively new in Indonesia, comparative study of victim restitution's regulation on other countries is needed for the sake of our own progress. In this thesis, the regulations of victim restitution in Indonesia on Government Regulation No. 3 of 2002 and Government Regulation No. 44 of 2008 is compared with the federal regulations of victim restitution in The United States on Title 18 U.S.C. Sections 3663, 3663A, and 3664. The main issues in this thesis are about the concepts of victim restitution in Indonesia and The United States and about the mechanism for requesting victim restitution and its enforcement in both countries, and its comparison. This research is a juridical normative research that focuses on secondary data with descriptive design. The result of this research suggests that the regulations of victim restitution in Indonesia should be placed in one regulation, should regulate about: the enforcement of order of victim restitution, victim restitution if the victim already receives compensation from insurance, victim restitution in lieu of punishment in misdemeanor, victim restitution if the victim receives compensation from civil proceedings, guarantee of payment of victim restitution, the transfer of victim restitution to state compensation, and appeals for victim restitutio.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1289
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bagiyo Ardananto
Abstrak :
Dari tahun ke tahun, peran pajak sebagai sumber pendapatan negara semakin penting. Hal ini selain karena pendapatan dari minyak dan gas yang semakin menurun, juga untuk mengurangi ketergantungan dari pinjaman luar negeri yang semakin membebani. Untuk meningkatkan penerimaan pajak, profesionalisme aparat pajak dalam melakukan pelayanan pajak menempati posisi yang sangat penting. Dengan semakin meningkatnya profesionalisme aparat pajak diharapkan akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Untuk menganalisis profesionalisme aparat pajak terutama dalam pelayanan restitusi PPN serta untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kepatuhan wajib pajak, maka dilakukan penelitian di Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa (KPP PMB). Penelitian dilakukan dengan menggunakan kuesioner pada seluruh pemeriksa pajak di KPP PMB sebanyak 25 orang. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis profesionalisme aparat pajak dalam melakukan pelayanan restitusi PPN, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi profesionalisme aparat pajak dalam melakukan pelayanan restitusi PPN, dan menganalisis pengaruh profesionalisme aparat pajak terhadap kepatuhan wajib pajak. Profesionalisme aparat pajak dalam penelitian ini diukur dari indikator yang terukur, yaitu pemahaman aparat pajak terhadap prosedur pelayanan restitusi PPN, Kesesuaian pelaksanaan pelayanan restitusi dengan peraturan yang ada, dan ketepatan waktu pelayanan restitusi PPN. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi profesionalisme aparat pajak adalah tingkat pendidikan dan pengalaman kerja aparat pajak. Sementara kepatuhan wajib pajak diukur dari ketepatan wajib pajak dalam melapor dan membayar kewajiban pajaknya. Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa pemeriksa pajak di KPP PMB sudah melakukan pelayanan restitusi PPN secara profesional, baik dari segi pemahaman terhadap prosedur pelayanan, kesesuaian pelaksanaan pelayanan dengan peraturan yang ada, dan dari segi ketepatan waktu pelayanan. Sementara itu, tingkat pendidikan berpengaruh kuat dan positif terhadap profesionalisme aparat pajak dalam pelayanan restitusi PPN. Demikian juga dengan pengalaman kerja yang berpengaruh kuat dan positif terhadap profesionalisme aparat pajak. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa profesionalisme aparat pajak berpengaruh pada kepatuhan wajib pajak. Dari hasil penelitian, penulis menyarankan profesionalisme aparat pajak yang ada dipertahankan dan ditingkatkan di masa yang akan datang. Faktor pendidikan pemeriksa pajak, baik formal maupun non formal merupakan hal yang sangat panting sehingga perlu diperhatikan dan ditingkatkan. Selain itu, peningkatan profesionalisme dapat dilakukan dengan meningkatkan sarana dan prasarana untuk pelayanan perpajakan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12341
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tressieta M
Abstrak :
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Indonesia menganut metode Indirect Substraction Method untuk mendeteksi atau menguji kebenaran jumlah pajak yang terutang. Jumlah output tax lebih kecil daripada input tax, selisihnya merupakan kelebihan pembayaran pajak yang dapat direstitusi ataupun dikompensasi. Dengan menggunakan sistem self assessment dapat mengajukan restitusi Pajak Pertambahan Nilai atas penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Pertambahan Nilai dengan status lebih bayar. Studi ini merupakan penelitian implementasi kebijakan perpajakan atas restitusi PPN pasca pemberhentian Pemeriksaan Bukti Permulaan yang terjadi di PT. ABC dengan menggunakan pendekatan kualitatif melalui studi literatur dan wawancara mendalam. Dalam proses restitusi Pajak Pertambahan Nilai yang sedang diajukan oleh PT ABC, pihak DJP melakukan pemeriksaan bukti permulaan terhadap PT. ABC. Dengan dilakukannya pemeriksaan bukti permulaan kepada PT. ABC maka restitusi PPN yang diajukan oleh PT. ABC tertangguhkan. PT. ABC tidak terbukti melakukan tindak pidana dibidang perpajakan dengan demikian pemeriksaan bukti permulaan terhadap PT. ABC diberhentikan. Hasil penelitian ini yaitu Setelah diberhentikannya pemeriksaan bukti permulaan terhadap PT. ABC, DJP tidak langsung menerbitkan SKPLB sebagaimana diatur didalam Pasal 17B Undang-Undang KUP. Adapun dampak implementasi kebijakan restitusi PPN setelah dihentikannya pemeriksaan bukti permulaan bagi PT. ABC yaitu menyebabkan ketidakpastian atas restitusi yang diajukan dan tidak mendapatkan imbalan bunga atas SKPLB yang diterbitkan melebihi jangka waktu 12 bulan dan meningkatkan compliance cost PT. ABC. ......The Indonesian Value Added Tax Act adheres to the Indirect Subtraction Method to detect or test the correct amount of tax payable. The amount of output tax is smaller than the input tax, the difference is the excess payment of taxes that can be refunded or compensated. By using the self assessment system, taxpayers can claim a Value Added Tax refund for the submission of Value Added Tax Return with overpayment status. This study is about the implementation of taxation policies on Value Added Tax (PPN) restitution after the termination of the Preliminary Investigation Tax Audit that occurred at PT. ABC by using a qualitative approach and in-depth interviews. In the process of value added tax restitution that is being submitted by PT ABC, the DGT execute the preliminary investigation tax audit to PT. ABC. By conducting preliminary investigation tax audit to PT. ABC then the VAT refund submitted by PT. ABC is suspended. PT. ABC is not proven to have committed a criminal act in the taxation field, thus preliminary investigation tax audit to PT. ABC was terminated. The results of this study are after the termination of preliminary investigation tax audit of PT. ABC, DGT does not directly issue SKPLB (Overpayment Tax Assessment Letter) as stipulated in Article 17B of the KUP Law. As for the impact of the implementation of the VAT restitution policy after the termination of the preliminary investigation tax audit PT. ABC, that is, causes uncertainty over the restitution that is submitted and does not receive interest benefits for SKPLB issued over a period of 12 months and increase compliance cost PT. ABC.
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>