Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 34 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Monica Margaret
Abstrak :
Penelitian mengenai community policing telah banyak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia, bahkan di berbagai negara. Dengan mengusung kinerja kepolisian yang lebih humanis dan berpendekatan kepada penyelesaian masalah gangguan keamanan dan ketertiban yang ada di masyarakat, community policing menjadi konsep pemolisian yang dianggap positif dengan menempatkan masyarakat tidak lagi sebagai obyek pemolisian tetapi turut bermitra dengan polisi sebagai subyek dalam mengatasi masalah-masalah gangguan keamanan dan ketertiban. Dalam tesis ini, penulis (sekaligus sebagai peneliti) ingin memberikan gambaran yang berbeda dari sisi community policing yang notabene dikonsepkan oleh kepolisian dengan programnya yang sering disebut sebagai grand strategy Polri dengan mendekatkan diri kepada masyarakat. Community policing juga merupakan suatu filosofi bagi lahirnya pemolisian yang bermitra dengan masyarakat, tidak selalu dipandang sebagai konsep yang positif saja. Ternyata dari hasil penelitian ini, penulis mendapatkan realitas-realitas di lapangan bahwa terdapat relasi kuasa yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan community policing. Dengan metode penelitian kualitatif, penulis ikut berpartisipasi langsung dalam melakukan wawancara dan mengikuti kegiatan-kegiatan pengamanan yang dilakukan oleh Polda Bali dan pecalang. Penulis melakukan wawancara dengan para informan yang sudah ditentukan yang dapat memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan dalam penulisan tesis ini seperti anggota Satuan Pariwisata Polda Bali, Bhabinkamtibmas Pariwisata Polda Bali dan pecalang serta beberapa informan tambahan yang memiliki kompetensi untuk memberikan informasi mengenai relasi kuasa yang terdapat dalam pelaksanaan community policing di Denpasar, Bali diantara Polda Bali dan pecalang. Pemikiran Dahrendorf mengenai Teori Konflik terkait dengan penggunaan kekuasaan menjadi teori utama dalam penelitian ini. Dengan kerangka Teori Dahrendorf, penulis melihat bahwa relasi kuasa yang terdapat dalam pelaksanaan kegiatan community policing di Denpasar, Bali sesuai dengan buah pikir Dahrendorf mengenai kelompok superior dan kelompok subordinat. Polda Bali sebagai institusi formal dan pecalang sebagai wakil masyarakat jelas memiliki kapasitas kekuasaan yang berbeda dalam melakukan pengamanan di lingkungannya. Pecalang yang dijadikan mitra oleh Polda Bali dalam setiap kegiatan pengamanan di Bali menjadi bentuk kooptasi yang dilakukan Polda Bali dengan tujuan untuk melegitimasi kekuasaan yang dimiliki Polda Bali sebagai bagian dari pemerintah.
There are many studies about community policing that held in many regions in Indonesia, also in other countries. By doing the policing that comes to solve the criminal problems in the society, community policing became positively minded, because community policing puts the society not as an object of the policing, but the society is the subject of the policing to solve the society's problems in criminals. This thesis explains about the community policing from the form that already settled by the police in Indonesia as the program called Grand Strategy Polri that aiming the partnership between the police and the community. As a philosophy of humanist policing, community policing is not always give the positive impacts. In this thesis, the author (also as the researcher) got so many realities that there is a power relationship in doing the community policing. Using the qualitative method of study, the author participated directly in doing the interview and take part in the activities that put Polda Bali dan pecalang together in community policing. The author had interviewed with the purposive informans such as Satuan Pariwisata Polda Bali, Bhabinkamtibmas Pariwisata Polda Bali and pecalang and the other informans that competent to give the explanations about the power relationship in the community policing. Dahrendorf's theory about the power relationship in society is the main theory of this thesis. As seen by the author, there is the power relationship between Polda Bali dan pecalang in implementing the community policing in Denpasar, Bali, as Dahrendorf?s thought about superiority and the subordinant group.
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T35453
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erawati Dwi Lestari
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini bertujuan untuk memperlihatkan konstruksi relasi kuasa dalam novel Lengking Burung Kasuari LBK, 2017 karya Nunuk Y. Kusmiana. Novel LBK memperlihatkan terpinggirkannya orang Papua akibat pandangan rendah yang didasarkan pada atribut, ciri fisik, dan perilaku orang Papua, yang berujung pada dominasi pendatang di tanah Papua. Dengan menggunakan konsep stereotyping, relasi kuasa Pierre Bourdieu, dan semiotika Roland Barthes, orang maupun wilayah Papua dalam LBK dipandang sebagai objek, liyan, primitif, terbelakang, tradisional, miskin, dan terisolasi. Orang Papua juga digambarkan inferior karena hanya memiliki satu kapital, sementara pendatang memegang kapital simbolik yang mencakup tiga kapital lainnya; kapital budaya, sosial, dan ekonomi. Meski demikian, LBK memberi ruang bagi orang Papua untuk melakukan resistensi dengan cara mencibir dan mengusik kehadiran pendatang melalui peyebaran mitos. Kehadiran tokoh anak, Asih, turut membantu pihak Papua melakukan resistensi dengan cara membalik stigma negatif atas Papua dan menjadi penengah di antara pendatang dan pihak Papua. Kemunculan tokoh ini memperlihatkan kemungkinan runtuhnya dominasi di Papua.Kata Kunci: dominasi, Papua, relasi kuasa, resistensi, stereotip.
ABSTRACT
This research aims to describe power relation in Lengking Burung Kasuari novel LBK, 2017 by Nunuk Y. Kusmiana. The novel shows that Papua characters are marginalized because of subordinate opinions based on Papuan people rsquo s attribute, physical characters, and behavior. By employing stereotyping concept, Bourdieu rsquo s power relation, and Barthes rsquo semiotics, Papuan characters and territory are regarded as an object, others, and primitive, isolated, poor, traditional, and underdeveloped people. Papuan characters of the novel are depicted as inferior because they only have one capital while comer characters have symbolic character consisting of three other capitals cultural, social, and economical capitals. Nevertheless, Papuan people in the novel are given space to perform resistance by teasing comers rsquo attendance through spreading myths. Papuan rsquo s capital becomes their capital resistance represented in the form of scorn on comers. The presence of child main character, Asih, helps Papuan perform their resistance. Asih is depicted as having ability to reverse negative stigma to Papua, aspirate Papuan rsquo s hope, and mediate between comers and Papuan who always contradict. In the novel her presence shows any possible collapse of domination in Tanah Papua.Keywords domination, Papua, power relation, resistance, stereotype.
Depok: Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
T49986
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vhira Nadiandra Pratiwi
Abstrak :
Melalui kuasa yang dibentuk oleh budaya patriarki perempuan pekerja seks dilihat sebagai domain of power. Dalam berbagai peneltian perempuan pekerja seks kerap diposisikan sebagai korban dan digambarkan sebagai pihak yang tidak memiliki kuasa atas dirinya. Tesis ini mengkaji bagaimana perempuan pekerja seks di gang Kabar memperlihatkan kesadaran atas tubuhnya melalui pengetahuan yang mereka miliki untuk menunjukkan kuasanya terhadap pelanggan. Menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus penelitian ini menemukan bahwa perempuan pekerja seks di gang Kabar memiliki kuasa untuk mengatur transaksi seksual yang terjadi antara dirinya dan pelanggan. Pengetahuan diidentikkan dengan kekuasaan. Melalui relasi kekuasaan, pengetahuan memiliki kekuatan untuk mempengaruhi yang lain. Perempuan pekerja seks dalam penelitian ini menolak diposisikan sebagai objek dan menjadikan prostitusi sebagai suatu bentuk profesi yang membebaskannya mengeksplorasi tubuhnya. Menggunakan konsep relasi kuasa Michel Foucault dapat dilihat bahwa pengalaman yang telah dilalui oleh perempuan pekerja seks membentuk pengetahuan dan kesadaran mereka atas tubuhnya serta membuat mereka berdaya untuk melakukan negosiasi dan menunjukkan kuasanya terhadap pelanggannya. ......Under the power moulded by patriarchal culture, female sex workers are seen as the domain of power. In various studies, women sex workers are often portrayed as victims and described as those who do not have power over themselves. This thesis explores how female sex workers in Kabar brothel show their awareness of their bodies using the knowledge they possess to control their clients. Using a qualitative approach with a case study method, this research found that female sex workers in Kabar brothel have the power to regulate sexual transactions that occur between themselves and clients. Knowledge is identified with power. Through power relations, knowledge has the power to influence others. The female sex worker in this study resists being positioned as an object and views prostitution as a form of choice that liberates her to explore her body. Using Michel Foucault's concept about power relations, it appears that the experiences of female sex workers shape their knowledge and awareness of their bodies and empower them to negotiate and control their clients.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deny Gunawan Susandi
Abstrak :
Penelitian ini berfokus pada negosiasi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam dua novel karya Asma Nadia yang berjudul Surga Yang Tak Dirindukan (2014) dan Surga Yang Tak Dirindukan 2 (2016). Penelitian ini bertujuan untuk memahami dalil-dalil agama bekerja dan mempengaruhi seseorang dalam mengambil tindakan terhadap sebuah praktik poligami, serta membentuk relasi antara lakilaki dan perempuan. Kaidah-Kaidah Perkawinan Dalam Islam, Konsep Gender dan Pembagian Peran, Objektifikasi Perempuan, serta Konsep Relasi Kuasa digunakan dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa praktik perlawanan terhadap sebuah praktik poligami tidak bisa dilakukan secara langsung bagi mereka yang hidup di tengah lingkaran dalil-dalil agama. Dalil-dalil agama, yang disebarkan tanpa pengkajian ulang, membentuk hierarki dalam relasi suami-istri dan mengakibatkan seorang istri sulit untuk bernegosiasi terhadap praktik poligami yang terjadi karena dalil-dalil yang diterimanya. ......This study focuses on the negotiations carried out by the characters in Asma Nadia's two novels, entitled Surga Yang Tak Dirindukan (2014) and Surga Yang Tak Dirindukan 2 (2016). This study aims to understand the arguments of religion at work and influence a person in taking action against a practice of polygamy, as well as forming relationships between men and women. The rules of marriage in Islam, the concept of gender and the division of roles, the objectification of women, and the concept of power relations are used in this study. In this study, it was found that the practice of resistance to a polygamous practice could not be carried out directly for those who live in the middle of a circle of religious arguments. Religious arguments, which are propagated without review, form a hierarchy in husband-wife relations and make it difficult for a wife to negotiate the practice of polygamy that occurs because of the arguments she receives.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ursula Toding Allorante
Abstrak :

Seiring berkembangnya budaya selebriti dan teknologi, fenomena selebriti mikro kini marak dijumpai dalam media baru. Penelitian ini bertujuan untuk membongkar relasi kuasa melalui pencarian bentuk-bentuk komodifikasi oleh selebriti mikro dalam media sosial Instagram. Sesuai bentuk komodifikasi milik Mosco (2009), peneliti melihat praktik tersebut dilanggengkan oleh selebriti mikro dalam media sosial. Penelitian ini menggunakan kacamata kritis, serta mengacu pada semiotika sosial dari Halliday sebagai teknik analisis data. Peneliti menemukan bahwa selebriti mikro menciptakan relasi yang tidak setara melalui penyusunan caption, serta melanggengkan komodifikasi konten melalui konten berbayar dan komodifikasi pengikut. Meskipun identik dengan kebebasan bersuara dan perluasan akses, media sosial tetap sarat akan kepentingan ekonomi dan pemasaran. ......Within the development of celebrity culture and technology, the phenomenon of micro celebrities is now prevalent in new media. This study aims to dismantle the power relations through the search for forms of commodification by micro celebrities on social media Instagram. Following Moscos commodification form (2009), researcher see that the practice is perpetuated by micro celebrities in social media. This study uses critical point of view, referring to Hallidays social semiotics as a data analysis technique. Researcher found that micro celebrities create inequality through captions, and perpetuate the commodification of content through paid content and the commodification of followers. Although social media is known for its accessibility and freedom of speech, it remains full of economic and marketing interests.

Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noorca Maya Regita
Abstrak :
Arsitektur dalam pandangan umum adalah usaha manusia untuk membangun tempat tinggal yang aman dan nyaman. Proses penciptaan bangunan yang dikenal selama ini selalu melibatkan ukuran matematis, tetapi sesungguhnya keseluruhan rangkaian usaha ini merupakan proses yang sangat kompleks. Arsitektur, secara konseptual, didefinisikan sebagai usaha untuk membangun ruang bagi manusia, yang melibatkan penambahan satu dimensi tertentu, yaitu dimensi kemanusiaan. Penciptaan bangunan didasari oleh relasi kuasa yang terjadi dalam lingkungan sosial. Hal inilah yang melahirkan berbagai gaya arsitektur bangunan secara kultural. Keberadaan bangunan memberi peluang bagi penghuni untuk memacu inteligensi melalui adaptasi dan desain menjadi mediasi bagi intensionalitas penghuni terhadap bangunan. ......Architecture in general is a human’s effort to build a secure and comfort home. The creation of a building as we know, is always involving the mathematical measure, however, the whole sequence of these efforts is a complicated process. In a conceptual understanding, architecture is defined as a matter of making a human space, which is adding a particular dimension, i.e. humanistic dimension. The creation of a building is based on the relation of power, which is happened in a social environment. This is what produce so many different style of architectur in culture. The exsistence of a building gives the probability to the dweller for boosting his/her intelligence through the adaptation and the design stance, which is become a mediation for the dweller’s intentionality to the building.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S53449
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novianti Mawar Sari
Abstrak :
Pembangunan yang ada di Indonesia merupakan sebuah karya arsitektur yang tidak hanya diimajinasikan oleh arsitek tetapi terdapat campur tangan rezim pemerintahan yang sedang berjalan. Pemerintahan Orde Baru mempunyai andil besar dalam membuat representasi bagi bangsa Indonesia untuk mewarisi tradisi. Relasi kuasa berjalan beriringan pada setiap konstruksi arsitektur sehingga memberi pengaruh kepada masyarakat. Padepokan Pencak Silat Indonesia menjadi bangunan bangsa yang mewujudkan nasionalisme serta budaya tradisi pencak silat asal Indonesia. Proyek arsitektur pascakolonial Orde Baru perlu diperhatikan kaitannya dalam mewujudkan sebuah representasi.
The development in Indonesia is an architectural work that not only imagined by architects but there is interference from the ongoing government regimes. The New Order government has a big hand in making representation for the Indonesian people to inherit tradition. Power relations go hand in hand with each architectural construction so that it gives influence to the community. Padepokan Pencak Silat Indonesia became a nation building that embodies nationalism and the cultural tradition of pencak silat from Indonesia. Postcolonial architecture projects of the New Order need to be considered in relation to realizing a representation.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harfiana Ashari
Abstrak :
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana beauty influencer berupaya meredefinisi kecantikan di media sosial dan bagaimana audiens menegosiasikan wacana tersebut. Studi sebelumnya telah menunjukkan beauty influencer dapat membuat sebuah tindakan untuk meredefinisikan standar kecantikan, salah satunya dengan meluncurkan produk kecantikan dengan model yang memiliki tampilan visual tidak sesuai dengan standar kecantikan. Meskipun demikian, belum banyak studi membahas upaya beauty influencer meredefinisi standar kecantikan di media sosial, bagaimana strategi penyebaran wacana tersebut, dan bagaimana audiens menegosiasikannya. Berdasarkan konsep Mitos Kecantikan Naomi Wolf, studi ini melihat beberapa beauty influencer berperan dalam mereproduksi diskursus yang meredefinisikan standar kecantikan ideal. Berpijak dari teori resepsi Stuart Hall, maka studi ini berargumen beauty influencer yang berupaya meredefinisi kecantikan masih menjadi pihak yang juga melanggengkan standar kecantikan. Temuan penelitian menunjukkan bahwa beauty influencer menggunakan lima strategi untuk menyebarkan wacana redefinisi standar kecantikan, yaitu foto tanpa filter, video, berkolaborasi dengan industri kecantikan dan beauty influencer lain, menjadi narasumber webinar, dan menjalin relasi dengan audiens. Namun hal tersebut masih dinegosiasikan karena relasi kuasa dari budaya patriarkal dan kapitalisme di kalangan audiens. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus, sehingga teknik pengambilan data menggunakan teknik observasi daring melalui berbagai praktik yang dilakukan beauty influencer di media sosial dan wawancara mendalam. ...... This study aims to explain how beauty influencers try to redefine beauty standards on social media and how audiences negotiate it. Previous studies have shown that female beauty influencers are able to make an action to redefine beauty standards, one of which is by launching a beauty product that displays a model with a visual form that is not in accordance with beauty standards. However, there are not many studies yet that discuss the beauty influencers’s method to redefine beauty standards on social media, how to spread, and how audiences negotiate it. Reflecting on the concept of the Beauty Myth by Naomi Wolf, this study sees several beauty influencers play a role in reproducing the discourse that redefines the ideal beauty standards. Based on reception theory by Stuart Hall, this study argues that beauty influencers who try to redefine beauty are still the ones who also perpetuate beauty standards. The research findings show that beauty influencers use five strategies to spread the discourse on redefining beauty standards, namely unfiltered photos, making videos, collaborating with the beauty industry and other beauty influencers, hosting webinars, and establishing relationships with the audiences. The efforts is still being negotiated due to the power of the relation between patriarchal cultural values and capitalism among the audiences. This research uses a case study method, so that the techniques for the data collection will use online observation through various practices carried out by beauty influencer on social media and in-depth interviews.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Milki Amirus Sholeh
Abstrak :
Aktivitas dunia jawara memiliki ciri khas yang unik. Selain didukung oleh bentuk struktur sosiologis masyarakat Madura, para jawara melakukan banyak cara untuk mempertahankan diri dalam upaya perebutan legitimasi. Di Kabupaten Pamekasan, jawara dikenal dengan sebutan bhejing yang memiliki realitas unik dibandingkan dengan ciri-ciri jawara di kabupaten lain di Madura. Dilihat dari cara produksi simbol kuasa, terlihat usaha para bhejing agar tetap dianggap sebagai sosok berpengaruh. Di sisi lain, minimnya sarana budaya penunjang dan tekanan arus legitimasi kelompok sosial keagamaan membuat mereka secara kreatif dan aktif membentuk citra dan aktivitas yang acak. Melalui modal sosial yang ada seperti ketangkasan mengolah infomasi dan pertahanan diri, mereka berusaha membangun relasi kuasa dengan cara membentuk satu ruang ekosistem dan penampilan pengaruh yang beruba-ubah. Hal ini dianggap lebih efektif mengingat sempitnya sumber daya penghasilan di Pamekasan. Sumber daya sekecil apapun berpengaruh pada mode relasi kuasa bhejing kepada lingkungan di luarnya. Penelitian ini juga menyoroti etos hidup dan cara mereka dalam melakukan pendekatan kultural di bawah tekanan stigma sosial. Pada akhirnya penelitian ini melihat bhejing dalam melakukan kontestasi kultural dan resiliensi dengan sumberdaya yang mereka miliki. ......Jawara's world activities have unique characteristics. In addition to being supported by the sociological structure of the Madurese society, the jawara carried out many ways to defend themselves in the struggle for legitimacy. In Pamekasan Regency, jawara is known as ‘bhejing’ which has a unique reality compared to the characteristics of jawara in other districts in Madura. Judging from the way the production of the power symbol, it can be seen that the “bhejing’ are trying to remain considered influential figures. On the other hand, the lack of supporting cultural facilities and the pressure of the legitimacy of religious social groups make them creative and active in forming random images and activities. Through existing social capital such as agility to process information and self-defense, they attempted to build power relations by forming an single ecosystem space and the appearance of changing influences. It is considered more effective given the limited income resources in Pamekasan. The slightest resource affects the mode of bhejing's power relation to the environment outside. This research also highlights their ethos of life and the way they approach culturally under the pressure of social stigma. In the end, this research looks at bhejing in conducting a cultural contestation and resilience with the resources they have.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rifdah Aliifah Putri Aspihan
Abstrak :
Mitos dan legenda merupakan bagian yang bermakna di kehidupan sehari-hari masyarakat Afrika. Artikel ini membahas mengenai kepercayaan tradisional yang terdapat di masyarakat Afrika tak terkecuali Kongo yang sering kali digunakan sebagai dalih atas kekerasan dalam novel Mémoires de Porc-épic (206) karya Alain Mabanckou. Novel tersebut menceritakan tentang bagaimana seorang manusia memiliki sebuah hewan spiritual, dalam konteks ini, tokoh Kibandi memiliki seekor landak sebagai hewan spiritualnya. Perjalanan kisah mereka berputar di pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh Kibandi melalui hewan spiritualnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan kepercayaan dapat mengendalikan seseorang untuk melakukan kekerasan dan bagaimana Kibandi melakukan kekerasan melalui hewan spiritualnya sebagai penanda kepercayaan yang ia pegang. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif yang didukung dengan teori naratologi Gérard Genette (1972), teori analisis struktur naratif oleh Roland Barthes (1975), teori relasi kuasa oleh Foucault (1980), teori ekokritik oleh Graham Huggan dan Helen Tiffin (2006) dan konsep kepercayaan tradisional oleh Shweder (1991). Hasil analisis pada akhirnya menunjukkan bahwa terdapat relasi kuasa yang membuat seseorang melakukan kekerasan. Dalam relasi kuasa tersebut ada keterlibatan ilmu kepercayaan yang kemudian kepercayaan tersebut dijadikan dalih untuk melakukan kekerasan. ......Myths and legends are a significant part of everyday life in Africa. This article discusses traditional beliefs in African societies, including the Congo, which are often used as an excuse for violence in the novel Mémoires de Porc-épic (2006) by Alain Mabanckou. The novel tells the story of how a human has a spiritual animal, in this context, the character Kibandi has a porcupine as his spiritual animal. Their story revolves around the murders committed by Kibandi through his spiritual animal. This study aims to reveal how beliefs can control a person to commit violence and how Kibandi commits violence through his spiritual animal as a marker of the beliefs he holds. The research method used is qualitative, supported by Gérard Genette's narratology theory (1972), Roland Barthes' narrative structure analysis theory (1975), Foucault's power relations theory (1980), Graham Huggan and Helen Tiffin's ecocritical theory (2006) and Shweder's concept of traditional beliefs (1991). The results of the analysis ultimately show that there are power relations that make someone commit violence. In this power relation, there is the involvement of beliefs which are then used as an excuse to commit violence.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>