Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hani Adhani
Abstrak :
Pasca Amandemen UUD 1945, Proses pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan melalui pemilihan langsung. Hal mengenai mekanisme pemilihan Kepala Daerah tersebut selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah. Pelaksanaan demokrasi dalam Pilkada langsung ini menimbulkan konsekuensi yang besar terhadap kelangsungan kehidupan demokrasi di Indonesia. Proses pelaksanaan Pilkada yang syarat dengan berbagai kepentingan akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan dan selalu berujung dengan sengketa. Lembaga peradilan yang merupakan benteng terakhir untuk menyelesaikan sengketa Pilkada harus selalu dituntut untuk mengedepankan putusan yang menjunjung rasa keadilan bagi semua kepentingan yang terkait dengan sengketa Pilkada. Adanya konflik yang berkepanjangan pasca putusan sengketa Pilkada oleh Mahkamah Agung menimbulkan kegamangan yang berujung dengan pengalihan kewenangan untuk mengadili sengketa Pilkada dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak secara jelas mengatur tentang mekanisme pengalihan kewenangan mengadili sengketa Pilkada dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi, hal tersebut menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda terkait tenggat waktu pelimpahan kewenangan tersebut, meskipun pada akhirnya permasalahan tersebut berakhir setelah ditandatanganinya Berita Acara Pelimpahan Kewenangan Mengadili Sengketa Pilkada dari Mahkamah agung ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 29 Oktober 2008. Proses penyelesaian sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi tidaklah jauh berbeda dengan penyelesian sengketa di Mahkamah Agung, adanya tenggat waktu 14 (empat belas) hari untuk menyelesaikan sengketa tersebut, menyebabkan proses penyelesaian sengketa tersebut harus dilaksanakan secara cepat dengan acuan yang menjadi dasar pertimbangan hakim adalah hal mengenai hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Adanya upaya hukum berupa kasasi dan peninjauan kembali yang dilakukan oleh Mahkamah Agung pasca putusan yang bersifat final dan mengikat, menyebabkan upaya menyelesaikan sengketa Pilkada berlarut-larut sehingga menimbulkan adanya ketidakpastian hukum. Hal tersebut yang menjadi salah satu pembeda antara proses penyelesaian sengketa Pilkada di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25202
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
As one indicator for measuring the success of district autonomy is the government in serving citizen an lead the to a better life. In fact,district government's work has not met the expectation that they still can not serve people optimally ......
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Hayati
Abstrak :
The adoption of Law Number 22 Year 1999 led to the expansion of regional governments? autonomy, applying autonomy in the broadest sense of the word, by focusing merely on ?decentralization?, while disregarding the principle of de-concentration. Governmental affairs submitted based on decentralization refer to authority by attribution, whereas de-concentration refers to authority by delegation. Prior to the reform era, the management of mining was based on Law Number 11 Year 1967, whereby the basis of management authority was the classification of excavated materials namely category a, category b, and category c. Subsequently, with the implementation of the reform era, Law Number 11 Year 1967 was negated by the adoption of Government Regulation Number 75 Year 2001, granting mining management authority to the Minister, Governor, Regent or Mayor concerned in accordance with their authority respectively. As a result of the above, the concept as provided for in Law Number 11 Year 1967 became inapplicable. This continued to be the case up to the adoption of Law Number 4 Year 2009 concerning Mineral and Coal Mining, which in principle adopts the concept which has been adjusted to the concept of granting autonomy to the regional government as set forth in Law Number 22 Year 1999.

Berlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, membawa dampak pembesaran otonomi pemerintah daerah, terutama pada Kabupaten dan Kota, dengan diterapkannya otonomi seluasluasnya, dimana asas yang diterapkan hanya ?desentralisasi? semata, tanpa penerapan asas dekonsentrasi. Urusan pemerintahan yang diserahkan berdasarkan desentralisasi merujuk pada kewenangan atribusian, sedangkan dekonsentrasi merujuk pada kewenangan delegasian. Sebelum era reformasi pengelolaan pertambangan didasarkan pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967, dimana kewenangan pengelolaan didasarkan pada penggolongan bahan galian golongana, golongan b, dan golongan c. Kemudian setelah berlangsungnya era reformasi, Undangundang Nomor 11 Tahun 1967 ternegasikan dengan dibentuknya Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001, yang memberikan kewenangan pengelolaan pertambangan kepada Menteri, Gubernur, Bupati atau Walikota sesuai kewenangan masing-masing. Dengan demikian konsep sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 menjadi tidak dapat diterapkan. Hal ini berlangsung sampai terbitnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang pada dasarnya menganut konsep yang disesuaikan dengan konsep pemberian otonomi kepada pemerintah daerah sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999.
University of Indonesia, Faculty of Law, 2014
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Firsada
Abstrak :
Berdasarkan berbagai pertimbangan manajerial, administrasi, dan kemungkinan untuk berkembang, peletakan Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II (Daerah Otonom Tingkat Kabupaten/Kotamadya) adalah tepat dan wajar. Permasalahannya adalah bagaimana keberadaan Daerah Tingkat I Lampung kelak, apakah masih tetap hidup atau ditiadakan. Dari hasil penelitian dengan mempergunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, menunjukkan bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada Daerah Tingkat II untuk diatur dan diurus sebagai urusan rumah tangganya. Ada jenis jenis urusan tertentu dari suatu urusan yang karena sifatnya dan kemanfaatannya lebih tepat, berdayaguna dan berhasilguna apabila diurus oleh Daerah Tingkat I. Kenyataan menunjukkan, peletakan Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II hanya mengakibatkan jenis urusan dari suatu urusan rumah tangga Daerah Tingkat I yang berkurang, bukan jumlah urusannya. Peletakan Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II berimplikasi kepada peranan Daerah Tingkat I, peranan internal dan peranan eksternal. Peranan internal berupa upaya maksimalisasi urusan-urusan rumah tangga sendiri, sedangkan peranan eksternal berupa pembinaan terhadap Daerah Tingkat II bersifat konsultatif dan koordinatif dalam rangka mendorong kemandirian Daerah Tingkat II dalam berotonomi. Berdasarkan landasan konstitusional; pendemokrasian, peranan Daerah Tingkat I sebagai Daerah Otonom serta berdasarkan sistem otonomi nyata, maka keberadaan Daerah Tingkat I Lampung tetap diperlukan, meskipun urusan (jenis urusan) rumah tangganya relatif sedikit karena diserahkan kepada Daerah Tingkat II. Efektifitas dan efisiensi merupakan salah satu pertimbangan dari diletakkannya Titik Berat pada Daerah Tingkat II. Dalam hubungan ini ternyata meniadakan Daerah Tingkat I (pada Propinsi), sistem penyelenggaraan dan Struktur Organisasi Pemerintahan Daerah akan menjadi tidak efisien dan efektif.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Belinda Gunawan
Abstrak :
ABSTRAK
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2014 dan UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2014 Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah menyebabkan permasalahan-permasalahan tentang keberadaan dan fungsi dari wakil kepala daerah di Indonesia karena tidak mengatur secara tegas mengenai tata cara pengisian jabatan dan jumlah wakil kepala daerah yang dapat dimiliki oleh tiap-tiap daerah. Tesis ini berbentuk yuridis-normatif yang menggunakan data sekunder sebagai sumber datanya, serta bersifat preskriptif, yaitu memberikan saran, penyelesaian dan saran terhadap penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa akibat karena tidak tegasnya pengaturan tentang wakil kepala daerah dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, yaitu ketidakpastian hukum untuk mengadakan jabatan wakil kepala daerah karena pengaturannya mudah berubah-ubah dan tergantung pada undang-undang lain. Oleh karena itu perlu diadakan perubahan atas undang-undang tentang pemerintahan daerah, khususnya mengenai keberadaan dan jumlah wakil kepala daerah harus diatur secara eksplisit di dalam undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah.
ABSTRACT
Law number 23 on 2014 of Regional Governance which has been amended by Law Number 2 of 2015 on Amendment of Law Number 23 on 2014 and Law Number 9 of 2015 on Second Amendment of Law Number 23 on 2014 Law of Regional Governance caused problems about Deputy Head of Regional Government 39 s existence and functions in Indonesia because Law Number 23 on 2014 did not regulate the mechanism to fill the deputy head position and also did not determine the possible number of deputy heads that can be appointed by each regions. This is a prescriptive and juridical normative thesis that used secondary data as it source and intended to give solutions and recommendations. The result is, there are implications that caused by unclear norms in Law of Regional Governance in Indonesia. The implication is, the rule about legal standing of deputy head of regional governance becomes uncertain, because the norm is easy to be changed and depends on another regulation outside the Law of Regional Governance. Therefore, the norms in Law of Regional Governance needs to be revised, especially the norms about number and existence about deputy head of regional governance.
Depok: 2017
T49645
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library