Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Angghina Khansa
Abstrak :
ABSTRAK
Perkembangan profesi ilmu komunikasi yang terdiri dari hubungan masyarakat, periklanan, jurnalisme, penyiaran, dan pemasaran berkembang seiring perjalanan Indonesia dalam membentuk identitas nasional nya. Profesi hubungan masyarakat sebagai juru bicara sangat berperan penting untuk meningkatkan efektifitas pekerjaan Presiden. Metode kualitatif dengan stratified sampling terhadap praktisi hubungan masyarakat aktif dan juru bicara di suatu perusahaan umum diambil untuk memenuhi data yang menentukan seberapa efektif seorang juru bicara di Indonesia. Hasilnya, juru bicara setelah masa Reformasi hanya menjadi utilisasi negara untuk mengungkapkan metode propaganda dan komunikasi politik dari satu pihak.
ABSTRACT
The development of the communication science profession consisting of public relations, advertising, journalism, broadcasting, and marketing evolved along Indonesia 39 s journey in shaping its national identity. Public relations profession as a spokesperson plays an important role to increase the effectiveness of the President 39 s work. Qualitative methods with stratified sampling of active public relations practitioners and spokespersons in a public company are taken to meet data that determines how effective a spokesperson is in Indonesia. As a result, the spokesperson after the Reformation period only became a utility by the state, to promote propaganda and political communication that is conducted by one party.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
This papaer describe that World Bank's role in forestry management in indonesia, have changed. In new order era, the world Bank's role in indonesian forestry has given opportunity for increasing forest degradation.
Yogyakarta: Universitas Pembangunan Nasional "Veteran",
300 PJM
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Asrulsani Habib
Abstrak :
Penelitian ini membahas tentang Perkembangan Masyarakat Madani Di era Reformasi kaitannya dengan Ketahanan Nasional, Studi Kasus ICMI dan The Habibie Center. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini meliputi : 1. Masyarakat Indonesia yang bagaimana yang disebut dengan masyarakat madani, yang selama ini berkembang. 2.Perkembangan masyarakat Madani dalam gerakan reformasi yang bagaimana yang bisa membangun pranata sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mengantar Indonesia yang demokratis. 3. Masyarakat Madani dalam prespektif Ketahanan Nasional. Metodologi yang dipakai dalam tesis ini, termasuk jenis penelitian kualitatif yang menghasilkan data diskriptif. Kerangka teoritis yang digunakan adalah konsep masyarakat madani. Sehubungan konsep tersebut, sebenarnya terdapat sejumlah sudut pandang. Salah satu diantaranya yang digunakan dalam studi ini adalah prespektif yang melihat masyarakat madani sebagai kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan yang bermunculan berdasarkan insiatif dari masyarakat, yakni antara lain ICMI dan The Habibie Center. Hasil Penelitian menemukan (1) Masyarakat Indonesia yang disebut masyarakat madani adalah masyarakat Indonesia yang berbudi luhur atau berahlak mulia, masyarakat yang berperadaban yang bercirikan persamaan (egaliter), toleransi pluralis, penghargaan seseorang berdasarkan prestasi bukan sebalikya prestise, seperti keturunan, kesukuan dan kedaerahan, ras dan lain-lain, keterbukaan partisipasi seluruh masyarakat, penentuan pemimpin melalui pemilu, juga masyarakat yang mandiri bebas , sukarela taat pada peraturan yang berlaku dan berfungsi sebagai alat pengawas terhadap negara, mampu menentukan keinginannya sendiri sesuai dengan pandangan yang berlaku dikalangan warga masyarakat. (2) Membangun masyarakat madani di Indonesia sebagaimana pernah dibangun Nabi Muhammad saw di Medina perlu berpijak pada landasan historis dan wahyu dengan didukung oleh pengembangan pemikiran rasional, ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi sosial budaya dan pertahanan keamanan yang dilaksanakan dengan menjalin hubungan sosial didalam negara maupun hubungan diplomatik dengan pihak negara lain. (3) Dalam Membangun masyarakat madani ada aspek pertahanan keamanan yang mencakup dua dimensi yang harus diselaraskan yakni kesejakteraan dan perwujuan keamanan.
This research studies about civil society development at reformation era related with national resilience, case study ICMI and the Habibie Center. Set of problems promoted on this research cover. I. How Indonesia society is it called civil society, which has been developing till now. 2. How civil society development in reformer movement can build social institution in nation and state life to bring at democratic Indonesia. 3. Civil society in National Resilience perspective. Methodology which is used in this thesis, belongs to qualitative research kind that produces descriptive data. Theoretical framework which used is civil society concept. Related with that concept, actually there are numbers of viewpoints. One of them which is used in this research is perspective considering civil society as social groups community which appear in numbers based on initiative of community, for instance ICMI and the Habibie Center. The research outcome have found (1) Indonesia society which is called civil society is Indonesia society who has good morals or noble characters, society which have civilization characterized by equality (egaliter) pluralic tolerance, appreciation for someone is based on achievement, not based on prestige like heredity, ethnic and localism, race and so on, openness participation of all community which is autonomous independently, obey voluntarily the rules which is in effect and have function as supervisory tools for government, can determine it's self desire as appropriate as norm which is on effect among society members. (2) Build civil society in Indonesia as like as it has ever been built by the prophet Muhammad saw at Medina need to stand on historic and divine retevatiou base, being supported by development of rational thinking, science and technology, culture social economic, and security defense which is brought about by making social relation into nation, as well as diplomatic relation with another nation. (3) In developing civil society, there is security defense aspect which cover two dimension must be adjusted that are welfare (prosperity) and security appearance.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14655
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meyrinda Rahmawati Hilipito
Abstrak :
ABSTRAK Secara yuridis formal partisipasi perempuan di bidang politik telah dijamin konstitusi. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyatakan perlakuan yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan. Disamping itu terdapat komitmen resmi pada konvensi-konvensi internasional menyangkut partisipasi politik perempuan yang sudah diratifikasi yakni Konvensi tentang Hak-hak politik perempuan (The Convention on Political Rights for Women) melalui Undang-Undang Nomor 68 tahun 1958 dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk diskriminasi terhadap Perempuan (the Convention on Elimination of all Forms of Discrimination) melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984. Dapat dikatakan Indonesia telah mengikatkan diri untuk melaksanakan kebijakan untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, antara lain mencantumkan prinsip persamaan hak dan kewajiban, kedudukan, peranan, dan kesempatan bagi perempuan dan laki-Iaki dalam peraturan perundang-undangan, terutama yang berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan keterlibatan perempuan dalam politik. Namun, kenyataan politik di Indonesia masih jauh dari idealisme tersebut. Dilihat dari proporsinya, jumlah perempuan sebagai anggota parlemen masih belum signifikan. Rendahnya porsi perempuan tersebut jika dikaitkan dengan keterwakilan sebagai salah satu mekanisme dalam dunia politik, maka hasilnya sangat memprihatinkan. Akibatnya pun, banyak kebijakan dan program pembangunan yang ditujukan kepada perempuan sering tidak peka gender. Realitas demikian tampaknya ikut melatarbelakangi akomodasi kuota 30 persen perempuan di lembaga parlemen melalui kebijakan affirmative action yang diterapkan melalui UU No. 31 tahun 2002 tentang Partai Politik dan UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilu, khususnya dalam Pasat 65 ayat (1). Namun persoalan yang timbul kemudian adalah bagaimana ketentuan-ketentuan yang terkait dengan representasi politik perempuan yang ada dalam undang-undang politik tersebut dilaksanakan. Dalam mengkaji dan menganalisis permasalahan tersebut, metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris yang dititiberatkan pada yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif atas permasalahan keterwakilan perempuan di parlemen akan ditinjau dari produk perundang-undangan yang dikhususkan pada undang-undang partai politik dan undang-undang pemilu. Sedangkan pendekatan yuridis empiris akan diarahkan pada implementasi kedua undang-undang politik tersebut. Adapun hasil penelitian yang diperoleh terkait dengan pokok permasalahan itu adalah: ketentuan-ketentuan yang terkait dengan representasi politik perempuan yang ada dalam undang-undang politik tersebut khususnya yang menyangkut kuota 30 persen sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 65 ayat (1) UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilu dalam pelaksanaannya belum efektif. Karena ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan implementatif yang dapat menjamin keterwakilan perempuan sebagai talon jadi. Frasa "dapat" yang ada dalam Pasal 65 ayat (1) UU No. 12 tahun 2003, dinilai merupakan klausul yang menyediakan celah bagi partai politik untuk menegaskan sifat sukarela atau rekomendatif dari undang¬undang tersebut. Ditinjau dari perspektif hukum, frasa "dapat" dikategorikan sebagai frasa yang abu-abu, tidak mencerninkan suatu ketegasan atau keharusan langkah yang harus diambil oleh partai politik dalam mengajukan calon legislatif perempuan. Sehingga ada celah kelemahan yang pada akhirnya memberikan implikasi politik terhadap pencalonan anggota perempuan di DPR. Kondisi diatas, lebih diperparah dengan sistem pemilu dalam UU No. 12 tahun 2003 yang senyatanya mengadopsi sistem prorposional dengan calon terbuka untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD sesungguhnya tidak mengadopsi daftar calon terbuka. Hal ini tercermin dari pasal-pasal tentang pencalonan, pemberian suara dan penentuan calon terpilih. Belum lagi, jika ditinjau dari sisi partai partai politik, yang pada kenyataanya dalam organisasi-organisasi mereka sendiri, partai-partai politik belum menunjukkan komitmen yang kuat dan rumusan-rumusan kebijakan mengenai kesempatan yang setara bagi anggota perempuan agar terpilih sebagai fungsionaris partai dan anggota parlemen. Tidak dapat dipungkiri hal itu memang sangat dimungkingkan terjadi karena lemahnya ketentuan dalam UU No. 31 tahun 2002 tentang Partai Politik yang dalam beberapa ketentuannya seperti rekrutmen maupun kepengurusan belum ditindak lanjuti ke dalam bentuk yang lebih melembaga oleh partai politik. Bahkan hal ini didukung dengan dimensi kultural yang masih dipengaruhi oleh budaya patriarki. Berangkat dari hasil penelitian itu pula maka kesimpulan yang dapat dicatat dari penelitian ini ialah walaupun saat ini hak-hak politik bagi perempuan sudah diakui, namun adanya hak-hak politik tersebut belum dapat menjamin adanya pemerintahan atau sistem politik yang demokratis dimana asas partisipasi dan keterwakilan diberi makna sesungguhnya. Ini artinya, adanya keterwakilan perempuan di dalamnya, dan berbagai kebijakan yang muncul memiliki sensivitas gender, tidak serta merta dapat terwujud kendatipun hak-hak politik perempuan tersebut sudah diakui.
ABSTRACT In formal jurisdiction, women participation in politics is secured by Constitution. Article 27 paragraph (1) of the 1945 Constitution (UUD 1945) clearly specifies the equality before law and government. Furthermore, there is a formal commitment in International Conventions on women political participations, that is, by the Convention on Political Rights for Women ratified through "Undang-Undang Nomor 7 Tahun 198- (The 1984 Act No. 7). It is said that Indonesia has bound herself for the implementation of policy in order to eliminate any form of discrimination against women such as specifying the principles of equal rights and duties, position, roles and opportunities for women and men in the rules of law, especially those related o the efforts of increasing women involvement in politics. However, the political reality in Indonesia is still far from idealism. In proportion, number of women as members of the parliament is not significant. Lower proportion of women, if related to their representation as a mechanism in the political world, is still disheartening. As a consequence, many development policies and programs for women are not sensitive to gender. Also such reality seems forms the accommodation background of 30 % female quota in the Parliament through affirmative action applied through the 2002 Act No.21 (Undang-Undang No. 31 Tahun 2002) re Political Party and the 2003 Act No. 21 (Undang-Undang No. 12 Tahun 2003) re General Election, especially Article 65 paragraph (1). However, the likely major problem arising out later is how to implement clauses about: existing women political representation in the political laws. Reviewing and analyzing the problem, the method used is normative and empirical judicial research which emphasizes on normative judicial method. Normative judicial approach to the problem of women representation shall be viewed from the product of legislation especially centered on the laws of political party and general election. Well, research findings drawn from the topic reveal that clauses are not effective yet related to the women political representation according to the political law especially concerned with the 30% quota as specified in the Article 65 paragraph (1) of the 2003 Act No. 12 (Undang-Undang No. 12 Tabun 2003) re General Election and its implementation. As the clauses have no power of implementation which secures the women representation as the clearly-won contestant. A phrase "dupal". ('may, be able to') as set forth in the Article 65 (1) of the 2003 Act No. 12 is deemed to be a clause which gives a chance for any political party to confirm the recommendation of the law. In judicial perspective, the phrase "dapaP (may, be able to') is categorized into an ambivalent phrase, reflecting no determination or obligation for the political party to take steps in order to nominate women for legislative contestants. Therefore, there is a chance which will by itself imply politics to the nomination of women contestants to the Parliament. The conditions mentioned above get worse with the general election system in the 2003 Act No.12 which clearly adopts proportional system with open nominee for electing Central Parliament ("Legislative Assembly") and DPRD (Regional Parliament) with still do otherwise. Unfortunately, if it is viewed from the point of political party as in their own organizations, the political parties are not strongly committed and have no formulation of policies on the equality for women members to be elected as party's functionary and members of the parliament. It is likely to happen because the weak clauses in the 2002 Act No. 31 re Political Party concerning requirements of recruitment and administration are not yet taken in action plan in more institutional form by the Political Party. This is even backed up with cultural dimensions which are under the influence of patriarchal culture. According to these findings, a conclusion likely drawn up from the research is even if political rights for women are now accepted; the political rights could not secure the existence of democratic government and political system in which the principles of participation and representation are given real significance. It means that women representation in the democratic government and political systems and any policy with gender sensitivity can not come to reality given if the Political rights for women are accepted.
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19536
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irhash A. Shamad
Abstrak :
Gejolak tuntutan otonomi daerah yang muncul di era Reformasi, mengindikasikan mandegnya pembangunan politik dan proses demokratisasi di Indonesia selama ini. Sejak lebih kurang empat dasawarsa yang lalu, rezim Orde Baru dalam menjalankan pemerintahannya, telah memperlihatkan hegemoni yang berlebihan bahkan cendrung mendominasi terhadap kehidupan berbangsa. Pluralisme kultural dalam negara bangsa semakin tidak dihargai, ketika sistem politik itu memaksakan homogenitas struktural dan kultural melalui jalur birokrasi yang sentralistis. Pembangunan ekonomi yang diwarnai intervensi politik dan eksploitasi sumber daya alam yang semakin menusuk ke unit sosial terbawah, telah menggerogoti kemandirian etnik di banyak daerah. Pemberlakuan UUPD tahun 1979 sebagai upaya penyeragaman sistem pemerintahan, ditujukan untuk mengefektifkan pelaksanaan pembangunan di tingkat pedesaan. Pemberlakuan UU ini di Sumatera Barat telah mengakibatkan perubahan-perubahan struktural secara mendasar pada sistem sosial yang sudah mapan dan nyaris tidak pernah terusik semenjak masa kolonial. Pemecahan Nagari menjadi Desa telah menimbulkan berbagai akses negatif tidak hanya terhadap struktur kepemimpinan tradisional, juga berimplikasi pada perubahan-perubahan kultural dalam masyarakat Sumatera Barat. Berbagai anomi dan anomali dalam kehidupan masyarakat pedesaan terjadi akibat perubahan ini, pola kultur tradisional komunitas yang demokratik dan egaliter semakin terserabut di akarnya Namun demikian, ketika struktur baru "dipaksakan", ternyata tidak menimbulkan konflik eksternal yang berarti pada komunitas yang dulunya punya elit kritis terhadap kebijakan-kebijakan Pusat ini. Signifkansi penulisan ini justru ditempatkan pada persoalan bagaimana komunitas Minangkabau beserta elitnya -pada waktu ini- menanggapi sebuah perubahan. Bila ditelusuri secara teoritis, terdapat dua kelompok kepentingan, yaitu : di tingkat subordinasi adalah komunitas Minangkabau dan di tingkat superordinasi (kelompok dominan) adalah Pemerintah Pusat. Sementara Pemerintah Daerah sebagai kelompok menengah berada di antara keduanya, setidaknya begitu menurut konsepsi formalnya. Benturan kepentingan antara kelompok dominan dan kelompok subordinasi telah menempatkan kelompok menengah pada posisi "ketegangan". Dari sisi inilah peran elit kepemimpinan daerah telusuri. Metodologi strukturisme sejarah digunakan dalam melihat faktor-faktor penyebab (causal factors) dari perubahan struktural yang terjadi di daerah ini. Tiga priode pemerintahan di Sumatera Barat selama Orde Baru yang dijadikan subyek penelitian untuk pembahasan ini adalah : Priode Kepemimpinan Harlin Zain (1966-1977), Anwar Anas (1977-1987), dan Hasan Basri Darin (1987-1997). Ketiga priode ini masing-masing memiliki karakteristik yang tidak lama dan dalam kondisi politik yang berbeda pula Harlin Zain yang tampil di awal pemerintahan Orde Baru adalah seorang ekonom sipil yang tidak memiliki basis sosial di daerah ini. Sementara kondisi daerah yang "terpuruk" akibat PRRI, sangat memerlukan penanganan yang tepat. Program-program yang dijalankan dalam rangka pemulihan kondisi sosial dan politik masyarakat di daerah ini, ternyata berhasil meletakkan fondasi-fondasi sebagai landasan yang diperlukan dalam pembangunan ekonomi selanjutnya. Faktor keberhasilan ini, selain ditentukan oleh strategi dan pendekatan yang baik terhadap masyarakat, juga sangat diuntungkan oleh adanya hubungun simbiosis antara daerah dan pemerintah pusat di awal pemerintahan rezim ini. Namun demikian prioritas yang diberikan terhadap aspek ekonomi telah gagal dalam mengembangkan kesadaran subyektif kelompok semu (elit tradisional) kepada kesadaran komunitas mereka, sehingga resistensi kultural komunitas ini tidak makin menguat dalam progam pemulihan yang dijalankannya. Azwar Anas yang teknokrat dan militer kemudian melanjutkan kepemimpinan Harun Zain. Program pembangunan ekonomi yang dirintis sejak masa Harun Zain telah memapankan struktur perekonomian masyarakat. Akan tetapi ketergantungan pada pemerintahan pusat tidak makin menurun. Otoritas kekuasaan pusat mulai menggerogoti hak-hak sosial komunitas di daerah dengan diberlakukannya UU No.5 Tahun 1979. Pemerintahan Nagari yang telah dikukuhkan kembali di masa Harun Zain, dimentahkan lagi justru juga oleh pemerintah Daerah sendiri, yaitu dengan menetapkan Jorang -yang dulu merupakan bagian dari Nagari- menjadi Desa sebagai unit pemerintahan terbawah. Pertimbangan ekonomi serta peluang mobilitas lebih mempengaruhi elit daerah dalam mengambil keputusan ini. Di sini, terlihat kecenderungan kelompok menengah terseret ke kepentingan kelompok dominan. Kondisi teknis seperti ini tidak cukup untuk memunculkan pemimpin yang berorientasi pada pembentukan kesadaran ideologi kelompok subordinasi, apalagi sentralisme birokrasi pemerintah pusat makin mewarnai perkembangan politik saat itu, sehingga tidak terpenuhi prasyarat pembentukan kelompok kepentingan yang bersifat konflik. Dalam priode kepemimpinan Hasan Basri Durin muncul kesadaran akan kepentingan kelompok komunitas. Kesadaran ini kelihatannya lebih dipengaruhi oleh terkendalanya berbagai program pembangunan ketimbang berkurangnya otoritas pusat di daerah. Sikap apatis masyarakat terhadap pelaksanaan dan pemeliharaan hasil pembangunan itu sendiri serta munculnya berbagai konflik internal telah mendorong pemerintah daerah mencari solusi-solusi baru dalam format lama. Manunggal Sakato don Musyawarah Pembangunan Nagari sebagai aplikasi prinsip kegotong royongan dan musyawarah (dalam nilai tradisional) yang diupayakan untuk menggalang partisipasi rakyat dalam pembangunan, telah "menjawab" tuntutan masyarakat untuk kembali ke format pemerintahan nagari. Meskipun dalam prakteknya masih dibungkus dengan budaya formalisme Orde Baru, namun apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah saat ini, setidaknya telah sedikit menggeser pola kebijakan pemerintah daerah dari kepentingan kelompok dominan ke kesadaran kepentingan kelompok semu (komunitas).
Hegemony of Central Politics and Local Ethnics Autonomy: Leadership of West Sumatera in New Order Indonesia The turbulence of regional autonomy demand that arise during Reformation era indicates slowing political and democratization development process in Indonesia so far. Since the past approximately four decades, the New Order regime in running its government has shown excessive hegemonic power - even trend to dominate-towards the nation life. Cultural pluralism in the nation state is no longer appreciated, when the political system forced structural and cultural homogeneity through centralized by political intervention and exploitation of natural resources that penetrated the lowest social unit, have undermined ethnic self-reliance in many region. Enactment of WPD 1979 (Villages Government Laws 1979) as an act of homogenization of the government system, is intended to make more effective development implementation in village level. Enactment of this law in West Sumatera has caused fundamental structural changes in the established social system which is almost unchanged since the colonial period Splitting of Nagari into Desa have caused various negative excess, but also it has implication towards cultural changes in the people of West Sumatera . Various anomie(discrepancies) and anomalies in the life of village community occurred due to this changes, democratic and egalitarian as traditional cultural pattern of this community has become more uproot. However, when the new structure is "forced", it turned that it not caused significantly external conflict in this community which previously has aitical elites towards the policies of the central government one. The significance of this writing is the problem how the Minangkabau community and its elites -presently- respond a change. If we trace it theoretically, there are two interest groups, namely: in subordination level is the Minangkabau community and in super ordination level (dominant group) is the central government. While the regional government as medium group that exists between them, at least according its formal conception. Clash of interest between the dominant group and subordinate group has placed the medium group in "strain" position. From there, the role of regional elite leadership will trace. The historical structures methodology is used in considering the causal factors of structural change in the established social system in this region. The three government periods in the West Sumatera during the New Order that become the subject of this research to be discussed is : Harlan Zain leadership period (1966-1977), Azwar Anas (1977-19871 and Hasan Basri Durin (1987-1997). The three periods have dissimilar characteristics and it was also exist within different political condition. Harun Zain that emerged dining the beginning of New Order government is a civil economist that do not have social basis in this region. While the condition of the region that was in crisis due to PRRI badly, needed a proper handling. It turned out the programs that he made in order to recover the social and political of the community in this region have become foundation needed in the next economic development. This successful factor, only determined by proper strategy and approach towards the people, but also favored by existence of mutual Symbiosis relationship between the region and the central government at the beginning of this regime. However, the priority given to economic aspect has failed in developing subjective quasi group awareness (traditional elite) to their community awareness that this community cultural resistant was not growing within the recovery program that he performed. Azwar Anas who was a technocrat and military then continued the leadership of Harlin Zain. The economic development that has been initiated since the period of Harlin Zain has made economic structure of this community established. However, the dependency on the central government was not decreased. The authority of the central government started to undermine the social rights of the community in the region with the enactment of UUPD 1979. The Nagari government that has been reestablished during Harun Zain period, failed even in the hands of the regional government itself, namely by deciding that Jorang -which was formerly part of the Nagari-become Desa as the lowest government unit. Economic consideration and opportunity for mobility affects the regional elite in making this decision. At this point, there is tendency that the medium group to be drifted to the interest of the dominant group.Such technical condition is not sufficed to bringing up a leader that oriented to formation of ideological awareness of the subordinate group, even more with centralism of central government bureaucracy that characterized the political development at that time, not sufficed the pre conditions for formation of conflict interest group During the leadership of Hasan Basri Durin give a rise to awareness towards the community group interest It seems that this awareness is more affected by various imperfect development programs rather than the decreasing central government authority in this region. The apathy attitude of the people towards implementation and maintenance of the development result itself and the growing internal conflicts have encouraged the regional government to find out new solution in old format. Manunggal Sakato and Musyawarah Pembangunan Nagari as application of cooperation and consensus (in the traditional values) to mobilize people participation in the development, have "responded" the people demand to return to Nagari government format. Even though in its implementation it is still framed with formalism of New Order, however, the efforts done by the regional government at this time, at least have shifted the policy of the regional government from dominant group interest to quasi group interest (community).
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
T7594
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Martin
Abstrak :
Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan tradisional di Indonesia dalam catatan sejarah selalu menampakkan performance yang tidak konstan, namun selalu bcrdasar pada kaidah keagamaan (fighiyah). Periode pertama NU yang dibidani para ulama-pesantren lebih sebagai gerakan keagamaan Islam ala ahlussunah wal Jamaah (seperti penetapan dari Islam 1936, Resolusi Jihad, waliyyul amri ad-dlaruri bissyaukah pada Soekarno). Periode kedua NU mengalami diversifkasi gerakan yang didominasi para santri-politisi dengan melakukan gerakan politik praktis (structural oriented) dengan berubah sebagai partai politik. Seperti ditunjukkan dalam perjuangan Piagam Jakarta dan di Konstituante, sampai kemudian harmonisasi pada kasus dcmokrasi terpimpin, Nasakom dan Pancasila. Di periode ketiga ditandai dengan khittah sebagai rumusan harmonisasi nilai-nilai ajaran Islam dalam konteks kebangsaan dan ke-Indonesiaan. Dan pasca khittah, terjadi depolitisasi formal yang telah membawa NU ke arah gerakan politik cultural (cultural oriented), yang diperankan oleh genre pembaharu yang di back-up oleh para ulama kharismatik, Implementasi khittah yang cenderung dimaknai "tafsir bebas", saat itu terderivasikan pada gerakan politik cultural, yang ternyata di kemudian hari menimbulkan problem konflik internal berujung pada polarisasi aspirasi politik NU dalam partai politik (PPP, Golkar dan PM). Saat itu NU mengalami marginalisasi, namun ternyata blessing in disguise dalam gerakan kultural NU untuk lebih concern pada internal organisasi, dakwah, keagamaan dan pendidikan. Di era reformasi yang disebut sebagai periode keempat, NU melakukan itihad politik dengan menampilkan kedua gerakan secara komplementer baik cultural oleh NU maupun struktural dengan pembentukan PKB, meskipun muncul tiga partai lain PKU, PNU, Partai SUNI sebagai counter hegemony dan tafsir bebas khittah atas Islam ahlussunah wal jamaah yang dilakukan elit NU saat itu. Pergeseran politik NU tersebut sebagai wujud reorientasi dan keputusan politik terhadap interaksi dan kepentingan-kepentingan yang dikompromikan (David E. Apter: 1992.232) sesuai yang dipahami dan dilakukan oleh para aktor yang mendominasinya (weberian theory). Sifat gerakan politik NU selama perjalanan sejarah seperti kasus Islam dan negara, Pancasila, demokrasi dan pluralisme tidak sendirinya hadir dalam konteks pragmatis an sick Akan tetapi melalui rumusan fiqhiyah seperti tasamuh (toleran), tawasuth (tengah), tawazun (seimbang) dan i'tidal (lurus), serta mekanisme organisasi yang baku seperti Muktamar, Konbes, Munas dan sebagainya. Hingga gerakan NU dan Poros Tengah yang mengantarkan Abdurrahman Wahid ke kursi presiden meski tidak sampai akhir periode, ternyata membawa ekses yang besar pada gerakan NU. Desakan mundur Abdurrahman Wahid ditanggapi warga NU dengan sikap radikal, keras, anti-demokrasi yang justru kontra produktif dan cenderung konflik horizontal. Maka pada konteks stabilitas politik dan ketahanan nasional legitimasi pada Abdurrahman Wahid dikemukakan, berdasar fihiyah mendukung presiden yang sah dan harus memerangi musuh yang makar (bughoot). Walaupun tidak menjadi kenyataan, namun hal itu merupakan wujud sifat, gerak dan wacana unik, ironis serta ambigu terhadap nilai-nilai yang di pegang NU selama ini seperti sifat gerakannya yang tasamuh, tawasuth, tawazun dan i'tidal. Pada nilai-nilai gerakan itu sifat NU lebih mengutamakan harmoni dengan kelompok dan kekuatan lainnya. Maka dalam konteks stabilitas politik, gerakan politik NU mempunyai signifikansi terhadap ketahanan politik yang mendukung ketahanan nasional. Karena sebenarnya NU adalah sebagai bagian kekuatan kebangsaan pula. NU as an Indonesia organization of traditional religious, in the historical record always appear the inconsistent performance, it always take the rule of religious as a principle (fighiyah). In the first period NU that be initiated by Moslem religious leader almost function as Islamic movement with take ahlussunah wal jama'ah as mind stream (with reference to dar Islam 1936, resolusi jihad, waliyyul amri ad-dlaruri bissyaukah to Soekarno). Second period, NU has experience for Moslem politician dominated movement diversification with carry out political practice and change into politic party. In the same manner as indicated in Jakarta Charter (Piagam Jakarta) building and strunggie in the constituent assembly (konstituante), and then the harmonization for political practice through mechanism of democracy be led by president (demokrasi terpimpin) till declare of Nasakom and Pancasila. Third period was signed with commitment to harmonize the value of Islamic tenet in conceptuality of nationality and the Indonesian minded, it's named by khittah. And after that there is happen formal depolitization have carried out NU become a cultural political movement that was initialed by reformer genre and was supported by moslem charismatic leader. Implementation of khittah was incline to interpreting with independent interpretation when it derivate at cultural politic movement. It could be cause of problem on internal conflict until happen the NU polarization of politic aspiration in the politic party (PPP, Golkar and PDI). NU was marginalized organization, nevertheless actually blessing undisguised onto NU cultural movement for all internal organization, missionary endeavor, religious and education. In the reformation era, or could be called by fourth period, NU have been doing the political interpretation and judgment (Ohad politic) through actuality the both of movement complementally. It's mean cultural movement through NU and structural movement through PKB, even though spring up three others party are PKU, PNU and SUNI party with their motive to counter the hegemony of PKB and as effort to interpreting with independent interpretation on ahlussunah wal jama'ah was committed by NU, leader at the time. The shifting of NU politic as manifestation of political reorientation and political decision on interaction and interest compromised (David E.Apter; 1992:232) similar with be understood and be committed by actor who dominated (weberian theory). During its histories, for some example in the cases of Islam and State, Pancasila, Democracy and Pluralism, character of NU political movement is not formed automatically (an sick) in the pragmatic context. But it formed through accordance of fiqhiyah among other things are tasumuh (tolerant), tawasuth (m idle). tawazun (balance) and i'tidal (straight) and also standard mechanism of organization for example Muktamar (congress), Konbes (large conference), Munas (national deliberative council), etc. And until NU movement and central axis (poros rengah) promote Abdurrahman Wahid to be president, even though his predicate was not finished up to final period, it turned out caused impact at NU movement. Pressure to bring Abdurrahman Wahid back away was responded by NU civic with radical attitude, violence and anti democracy that just become contra productive into democracy and stimulates the horizontal conflict. Because of that on the context of political stability and national resilience, so legitimation for Abdurrahman Wahid.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11382
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prayudi
Abstrak :
Tesis ini mencoba mengkaji masalah supremasi sipil yang terjadi di era reformasi politik. Seperti diketahui, politik supremasi sipil tidak saja ditandai oleh wewenang penuh Presiden sebagai Kepala Negara terhadap TNI sebagai cermin berlakunya nilai-nilai demokrasi, tetapi juga dicerminkan oleh dinamika di tingkat parlemen yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam Pemilu. Sebagai hasil Pemilu 1999 dan amandemen konstitusi, komposisi keanggotaan DPR sangat bersifat plural dan menunjukkan perpektif peranan pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap eksekutif menyangkut pengangkatan pejabat publik, termasuk dalam hal wewenang pemberian persetujuan bagi pengangkatan Panglima TNT oleh Presiden. Persoalannya adalah bagaimana supremasi sipil tercermin dalam salah satu aspek pelaksanaan fungsi pengawasan DPR dimaksud? Secara teoritis, antara lain terdapat beberapa prasyarat berkaitan dengan kontrol demokrasi sipil atas tentara yaitu mengenai kejelasan pengaturannya dalam perangkat hukum konstitusi dan peraturan perundang-undangan, peranan parlemen menyangkut legislasi dan anggaran militer, posisi menteri pertahanan dalam struktur kenegaraan, dan keterlibatan publik dalam mendiskusikan masalah-masalah keamanan nasional. Hasil penelitian kepustakaan dan lapangan dari tesis ini menunjukkan beberapa hal yang berperan sebagai dukungan dan kendala-kendala dalam menciptakan supremasi sipil di era reformasi. Khusus mengenai dukungan dalam menciptakan supremasi sipil, dilihat dari sudut peranan DPR dalam memberikan persetujuan terhadap pengangkatan Panglima TNI oleh Presiden, yaitu dinilai dari proses politik yang berkembang di Komisi dan Fraksi serta perangkat perundang-undangan yang mendukung. Sedangkan hal-hal yang menjadi kendala dalam menciptakan supremasi sipil, meliputi persoalan kedudukan Dephan terhadap Panglima TNI dalam struktur kenegaraan, persepsi TNI menyangkut ancaman keamanan nasional, alokasi anggaran pertahanan yang masih belum memadai untuk memenuhi kebutuhan minimal TNI, dan potensi instabilitas yang masih mudah terjadi terhadap pemerintah sipil hasil Pemilu 1999.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14067
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yahya Mahmud
Abstrak :
Maraknya pemberitaan pers tentang keterlibatan Prabowo Subianto dalam kasus penculikan aktivis politik, berlangsung di masa transisi dari pemerintahan Orde Baru yang menerapkan pengawasan ketat terhadap pers ke era reformasi yang diwarnai oleh euforia kebebasan pers. Pers bebas menulis, melaporkan dan memberitakan apa saja, tanpa perlu takut terhadap intimidasi pemerintah, berupa pencabutan dan pembatalan Surat 1zin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Selain itu, keterlibatan Prabowo daiam kasus penculikan aktivis politik dinilai kalangan pers laku di jual karena memenuhi kriteria layak berita, yakni mencakup unsur Conflict (menunjukkan sesuatu yang antagonis), Magnitude (peristiwa besar dan melibatkan banyak orang), Proximity (dekat dengan khalayak), Prominience (menyangkut individu atau institusi terkenal), dan Significance (peristiwa yang memiliki dampak pada manusia). Berdasarkan penilitian yang dilakukan, ditemukan persamaan dan perbedaan persepsi diantara tiga surat kabar yang diteliti, yakni Kompas, Media Indonesia, Republika. Perbedaan dan persamaan persepsi ditemukan pada lima fokus pemberitaan, yakni pernyataan Prabowo Subianto bahwa dirinya siap bertanggung jawab, pembentukan Dewan Kehormatan Perwira (DKP), hasil temuan DKP bahwa Prabowo Subianto salah menganalisa Bawah Komando Operasi (BKO), sanksi administratif bagi Prabowo Subianto, dan kelanjutan pengusutan. Penelitian tesis ini menggunakan kerangka berfikir kebebasan pers untuk mengamati cara pemberitaan oleh tiga surat kabar yang diteliti. Hasil temuan menunjukkan, tiga surat kabar yang diteliti tampil cukup santun dalam bahasa, independen dalam bersikap, dan cukup ketat menerapkan prinsip jurnalistik yang berlaku universal. Ketiga surat kabar yang diteliti dinilai mampu menghindar dari jebakan euforia kebebasan pers, seperti menafikkan fakta atas hal-hal yang signifikan, mengelabui pembaca serta menyembunyikan bias dan emosi wartawan dibalik kalimat yang sifatnya merendahkan objek berita.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T 4226
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ariyanto
Abstrak :
Akhir-akhir ini media massa begitu berani menayangkan fenomena homoseksualitas (gay, lesbian, waria) di Indonesia. Terutama sekali dari media elektronik seperti televisi. Melalui program khususnya masing-masing apakah itu program ?Duduk Perkara?, ?Kupas Tuntas?, ?Metro Malam?, ?Fenomena?, atau program khusus dari stasiun televisi lainnya ? mereka seolah tiada segan dan tabu lagi menampilkan fenomena homoseksualitas ini apa adanya. Bahkan terkesan ?vulgar? dan berani mendobrak tatanan seksualitas yang selama ini dianggap mapan atau ?normal?. Dengan demikian, jika seksualitas sebelumnya dianggap urusan pribadi dan tidak perlu dikemukakan ke publik, kini dengan pemberitaan di media massa sudah menjadi konsumsi umum. Tentu saja ini sebuah fenomena menarik. Jika sebelum era reformasi praktik media lebih membludak pada kekuasaan order daripada tuntutan kebenaran, kini praktik media justru melakukan sebuah resistensi atas wacana kebenaran yang diproduksi kekuasaan. Perlu diketahui, akibat dari kesantunan modern selam ini membicarakan soal seks sangat ditabukan, apalagi seks yang dianggap menyimpang. Namun seiring bergulirnya era reformasi, sedikit demi sedikit hal tabu ini menjadi lumrah serta berani membicarakan dan menyiarkannya ke publik.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2005
T17898
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Tirto Prima Putra
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang reproduksi kepatuhan dari Orde Baru hingga era Reformasi. Reproduksi kepatuhan dibutuhkan untuk keberlanjutan kegiatan perekonomian dan mempertahankan relasi eksploitatif. Negara menggunakan aparatus represif negara dan aparatus ideologis negara untuk melindungi perekonomian kapitalis. Rezim Orde Baru memulai reproduksi kepatuhan didasari ideologi pembangunan yang mendukung perekonomian kapitalis. Penelitian ini menemukan adanya upaya reproduksi kepatuhan oleh aparat negara. Aparat negara meneruskan reproduksi kepatuhan untuk melindungi perekonomian kapitalis Pasca Orde Baru. Reproduksi kepatuhan menguat dan mirip dengan era Orde Baru pada periode Presiden Joko Widodo
ABSTRACT
This research discusses the reproduction of submission since New Order until the Reformation era. The reproduction of submission is necessary for sustaining economic activities and for maintaining exploitative relations. State uses repressive state apparatus and ideological state apparatus to protect capitalist economy. New Order regime started reproduction of submission based on ideology of develepoment that support capitalist economy. This research discovers that there is an attempt by the state apparatus to reproduce submission. The state apparatus constant reproduce submission to protect capitalist economy post New Order era. The reproduction of submission more powerful and similar with New Order era in the period of Presiden Joko Widodo.
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library