Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 72 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Jakarta: Departemen Kehakiman, 1982
347.02 IND h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Teguh Wicaksono Saputra
Abstrak :
Sistem terbuka dan asas kebebasan berkontrak yang dianut oleh hukum perjanjian Indonesia memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang untuk dapat membuat atau menutup kontrak yang dikehendakinya secara bebas. Asas kebebasan berkontrak ini memiliki implikasi yang luas dalam aktivitas ekonomi masyarakat, sehingga apabila asas kebebasan berkontrak ini tidak dibatasi dan diawasi oleh pemerintah serta diterapkan tanpa mengakomodasi asas keseimbangan, maka akan menimbulkan dampak negatif. Hal tersebut disebabkan karena meskipun hukum memandang semua orang memiliki kedudukan yang sama, namun pada kenyataannya tidak semua orang memiliki kedudukan dan/atau kemampuan yang sama seperti misalnya secara sosiologis, psikologis dan/atau ekonomis. Oleh karena itu kebebasan berkontrak seharusnya memberikan kesempatan bagi para pihak untuk mengadakan tawar-menawar secara adil. Meskipun tidak terdapat ketentuan di dalam hukum perjanjian Indonesia yang secara tegas menyebutkan berlakunya asas keseimbangan di dalam pembuatan dan/atau pelaksanaan suatu Perjanjian, namun pada kenyataannya secara tidak langsung KUHPerdata Indonesia sesungguhnya telah mengadopsi asas keseimbangan di dalam ketentuan-ketentuannya. Hal ini membuktikan bahwa asas kebebasan berkontrak yang dianut oleh hukum perjanjian Indonesia sesungguhnya memiliki keterkaitan yang erat dengan asas keseimbangan. Pengadopsian asas keseimbangan terlihat dari ketentuan-ketentuan Pasal 1320 sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata Indonesia yang secara tidak langsung menghendaki adanya keseimbangan kehendak, keseimbangan kecakapan, dan keseimbangan informasi di antara para pihak. Selain itu, ditekankannya 'kesepakatan kedua belah pihak', 'pelaksanaan dengan iktikad baik' serta terikatnya suatu Perjanjian dengan 'kepatutan, kebiasaan dan undang-undang' di dalam ketentuan Pasal 1338 dan Pasal 1339 KUHPerdata Indonesia dan pengaturan 'keadaan memaksa' di dalam ketentuan Pasal 1244, Pasal 1245, Pasal 1444 dan Pasal 1445 KUHPerdata Indonesia juga menunjukkan bahwa ketentuan KUHPerdata Indonesia sesungguhnya menekankan harus adanya suatu keseimbangan (keadilan) di antara para pihak di dalam Perjanjian. Perjanjian yang pembuatannya hanya didasarkan pada asas kebebasan berkontrak telah menunjukkan bahwa Perjanjian tersebut berlangsung dalam suasana ketidakseimbangan. Oleh karena itu sesungguhnya suatu Perjanjian yang tidak seimbang tidak mempunyai kekuatan mengikat yang absolut sebab bertentangan dengan iktikad baik, rasa keadilan, dan kepatutan. Sehingga jika pelaksanaan Perjanjian menurut hurufnya justru akan menimbulkan ketidakadilan, maka demi memulihkan keseimbangan, hakim mempunyai wewenang untuk menyimpang dari isi Perjanjian menurut hurufnya baik dengan mengadakan penyesuaian terhadap klausul atau syarat-syarat yang tercantum dalam Perjanjian tersebut atau bahkan membatalkan Perjanjian tersebut. Hal tersebut pun ternyata juga telah diterapkan oleh pengadilan di Indonesia di dalam beberapa putusannya dalam perkara-perkara yang terkait dengan Perjanjian. ......The open system and the principle of freedom of contract that applied by Indonesian law on contract gives every person the freedom to draw up and conclude a contract. This principle of freedom of contract has large implications in the economic activities of the people that consequently if this principle of freedom to engage in contract is not restricted and supervised by the government and be applied without accommodating the principle of equality of contract, negative impacts arising therefrom may be unavoidable. It is because, even though every person is equal before the law, it is the fact is that people do not have the same position and competence compared with how they are sociologically, psychologically and/or economically. Hence, the freedom to engage in contract is supposed to gives people the freedom to negotiate fairly. While the Indonesian law system lacks the provision that firmly stipulates the applicability of the principle of equality of contract in the execution and delivery of a contract, the fact is that indirectly, the Indonesian Civil Code has actually adopted the principle of equality of contract in its articles. This proves the principle of freedom of contract that applied by the Indonesian law on contract actually has close relationship to the principle of equality of contract. The adoption of the principle of equality of contract is reflected in the provisions of Article 1320 until Article 1337 of the Indonesian Civil Code which indirectly requires equality in intention, equality in competence, and equality in information between the two parties. Besides with the emphasis on 'consent of both parties', 'performed in good faith' and the binding of an agreement with 'courteousness, customary and law' in the provisions of Article 1338 and Article 1339 of the Indonesian Civil Code and also the rule of 'force majeur' in the provisions of Article 1244, Article 1245, Article 1444 and Article 1445 of the Indonesian Civil Code which at the same time shows that the Indonesian Civil Code actually emphasize the need of equality (fairness) between the parties in an agreement. An agreement that made only based on the principle of freedom of contract has shown that such an agreement goes along with the atmosphere of inequality. Accordingly, an agreement without the basis of equality does not have an absolute binding effect because it is incompatible with good faith, justice and courteousness. Consequently, if the implementation of the agreement literally will actually produce injustice, than the judge has the authority to divert from the literal wording of an agreement by making adjustments of the clauses or terms and conditions contained therein and even cancel the entire agreement in order to restore the equality between the parties. It also shows that such practice has been applied by the court in Indonesia in a number of its decisions on cases relating to agreements.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29261
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Kumolosari
Abstrak :
Pemberian hak terhadap terpidana untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali yang diatur dalam Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana adalah dijiwai dan dilandasi oleh semangat dan cita-cita untuk melindungi hak-hak terpidana sebagai warga negara dengan tujuan terciptanya proses hukum yang adil. Undang-undang membatasi pelaksanaan Peninjauan Kembali terhadap suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja. Hal ini dengan pertimbangan bahwa suatu proses hukum tidak boleh berlangsung tanpa berhingga dan tanpa kepastian. Dalam praktek di pengadilan telah dilakukan Peninjauan Kembali lebih dari satu kali terhadap suatu putusan, yang tertuang dalam putusan Mahkamah Agung No. 4/PK/Pid/2000 dan No. 66/PK/Pid/2002. Selain itu, dalam praktek peradilan ternyata ada permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh pihak lain selain terpidana, dan dilakukan bukan hanya terhadap putusan pemidanaan, melainkan juga terhadap putusan Praperadilan. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui siapa saja yang berhak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, apa yang menjadi dasar hukum pelaksanaan Peninjauan Kembali terhadap suatu putusan Peninjauan Kembali, serta apa yang menjadi legitimasi yuridis bagi Mahkamah Agung dalam melaksanakan Peninjauan Kembali terhadap suatu putusan Peninjauan Kembali. Skripsi ini menganalisa kedua putusan Peninjauan Kembali tersebut. Untuk masa yang akan datang ketentuan mengenai Peninjauan Kembali perlu diperjelas lagi sehingga tidak menimbulkan persepsi yang berbeda-beda yang akan menimbulkan adanya ketidakpastian hukum.;Pemberian hak terhadap terpidana untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali yang diatur dalam Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana adalah dijiwai dan dilandasi oleh semangat dan cita-cita untuk melindungi hak-hak terpidana sebagai warga negara dengan tujuan terciptanya proses hukum yang adil. Undang-undang membatasi pelaksanaan Peninjauan Kembali terhadap suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja. Hal ini dengan pertimbangan bahwa suatu proses hukum tidak boleh berlangsung tanpa berhingga dan tanpa kepastian. Dalam praktek di pengadilan telah dilakukan Peninjauan Kembali lebih dari satu kali terhadap suatu putusan, yang tertuang dalam putusan Mahkamah Agung No. 4/PK/Pid/2000 dan No. 66/PK/Pid/2002. Selain itu, dalam praktek peradilan ternyata ada permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh pihak lain selain terpidana, dan dilakukan bukan hanya terhadap putusan pemidanaan, melainkan juga terhadap putusan Praperadilan. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui siapa saja yang berhak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, apa yang menjadi dasar hukum pelaksanaan Peninjauan Kembali terhadap suatu putusan Peninjauan Kembali, serta apa yang menjadi legitimasi yuridis bagi Mahkamah Agung dalam melaksanakan Peninjauan Kembali terhadap suatu putusan Peninjauan Kembali. Skripsi ini menganalisa kedua putusan Peninjauan Kembali tersebut. Untuk masa yang akan datang ketentuan mengenai Peninjauan Kembali perlu diperjelas lagi sehingga tidak menimbulkan persepsi yang berbeda-beda yang akan menimbulkan adanya ketidakpastian hukum.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teddy Cipta Lesmana
Abstrak :
Skripsi ini membahas tentang status kepemilikan barang bukti setelah putusan pengadilan, studi putusan kasus illegal logging Putusan No. 427/Pid.b/2012 /PN.Tsm dan Putusan No. 710/Pid.B/2011/PN.Mkt. Selain itu penulis juga menganalisis tentang putusan pengadilan terhadap barang bukti milik pihak ketiga dalam perkara tersebut. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif. Dari penelitian yang dilakukan, Pasal 78 ayat (15) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan tidak mengatur dengan jelas terhadap barang bukti milik pihak ketiga yang dipergunakan terdakwa sebagai alat angkut kayu ilegal. Hal tersebut menjadi dilematis bagi hakim dalam memutus status kepemilikan barang bukti tersebut apakah dinyatakan dirampas untuk negara ataukah dikembalikan. Sehingga tentang ketentuan Pasal 78 ayat (15) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan perlu diatur dan dijelaskan lebih lanjut lagi demi terwujudnya kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum.
This thesis discusses the ownership status of evidence after the court decision ruling illegal logging case study of decision number 427/Pid.b/2012 /PN.Tsm and decision number 710/Pid.B/2011/PN.Mkt. in addition, the author/writer also analyzed the evidence of the court decision against a third party in the case. The research method used is the method of literature research juridical-normatif. The research conducted, chapter 78 verse 15 law No.41 of 1997 on forestry is not set clearly against the evidence of a third party as a conveyance of illegal logging. This is a dilemma for the judges in deciding the ownership status of the evidence is otherwise deprived of or returned to the country. So on the provisions of article 78 paragraph 15 law No. 41 of 1999 on forestry needs to be regulated and explained further in order to create certainty, fairness, and legal expediency.
Universitas Indonesia, 2014
S53674
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), 2016
657.3 PUS l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Puspa Juita
Abstrak :
Salah satu kewajiban suami yang sekaligus merupakan hak seorang istri adalah pemberian nafkah yang berlangsung tidak hanya selama dalam perkawinan, tapi juga Pasca perceraian. Namun, walaupun sudah ada peraturan Yang mengaturnya, yakni Unang-undang NO.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, tetap saja masih terjadi. kasus-kasus pelanggaran terkait nafkah istri pasca perceraian. Skripsi ini secara umum bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan secara hukum mengenai pemberian nafkah oleh suami kepada istri pasca perceraian. yang terkandung dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Kepustakaan (Library research) yaitu Penelitian any dilakukan untuk memperoleh data sekunder di bidang hukum dengan cara melihat dan mempelajari buku-buku dan dokumen-dokumen atau peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan topik penelitian serta artikel-artikel dari majalah dan internet, yang berhubungan dengan judul dan pokok bahasan an diteliti. Pada akhirnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat ditarlk kesimpulan bahwa walaupun telah terjadi perceraian namun rmntan suami dapat diwajibkan oleb Pengaddlan untuk membayar nafkah pada mantan istrinya. Pertimbang. yang dipakai Majelis Hakim diantaranya adalah ada atau tidaknya tuntutan nafkah, kesalahan istri, anak hasil perkawinan, dan mata pencaharian mantan istri. Terhadap pelanggaran dalam kasus nafkah ini, upaya yang dapat ditempuh adalah pengajuan permohonan eksekusi ke Pengadilan oleh pihak mantan istri.
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia;, ], 2008
S21386
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nandira Sekar Guamaharani
Abstrak :
Dalam kegiatan pinjam meminjam (pemberian kredit), jaminan merupakan faktor yang sangat penting bagi Kreditur untuk mendapatkan kepastian dilunasinya hutang oleh Debitur. Jaminan yang umumnya dikehendaki dalam praktek adalah yang berbentuk jaminan kebendaan berupa tanah berdasarkan pertimbangan nilai benda jaminan. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT), tanah dan benda-benda yang berkaitan atas tanah dijaminkan dengan suatu lembaga jaminan Hipotik. Dalam praktek Hipotik saat itu, jarang sekali para pihak menempuh pembebanan Hipotik secara langsung, yang hampir selalu terjadi adalah melalui kuasa memasang Hipotik. Namun, pada dasarnya Surat Kuasa Memasang Hipotik hanya merupakan sarana ke arah pembebanan Hipotik. Kreditur baru akan memasang Hipotik apabila ada indikasi Debitur akan cidera janji. Hal itu dilakukan dengan pertimbangan bahwa melalui kuasa memasang Hipotik, Kreditur dapat sewaktu-waktu memasang Hipotik pertama, kedua, dan seterusnya. Selain itu pula, proses penandatanganan Akta Hipotik sampai dengan keluarnya sertipikat Hipotik memerlukan waktu yang lama serta biaya yang mahal. Sesuai dengan Pasal 1168 KUH Perdata, pembebanan Hipotik hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkuasa memindahtangankan benda yang dibebani Hipotik, dan menurut Pasal 1171 KUH Perdata hanya dapat dilakukan dengan suatu akta otentik (akta Notaris). Agar dapat dijadikan sebagai alas hukum yang sah, terhadap pembebanan Hipotik harus dilakukan pendaftaran pada Badan Pertanahan untuk dibuatkan aktanya, dan kemudian dibuatkan sertipikatnya. Sertipikat inilah yang kemudian menurut hukum dapat digolongkan sebagai suatu lembaga jaminan yang dapat dieksekusi secara serta merta untuk memperoleh pelunasan hutang Debitur. Tanpa dilakukannya pendaftaran, Hipotik/Hak Tanggungan tidak memiliki kekuatan hukum apapun baik terhadap Kreditur ataupun pihak ketiga.
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2008
S24559
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Denny Kurniawan
Abstrak :
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, pengikatan jaminan berupa hak atas tanah diatur melalui lembaga Hak Tanggungan. Permasalahan pokok yang dianalisis adalah disertakan Badan Pertanahan Nasional dalam Putusan Pengadilan Nomor 35/Pdt.G/2006/PN.BGR ikut dijadikan sebagai Turut Tergugat dan diperintahkan untuk melakukan pendaftaran peralihan hak serta keputusan Pengadilan yang menyatakan sah jaminan pelunasan hutang dengan jaminan sertipikat hak atas tanah yang dilakukan secara di bawah tangan dan tidak diproses sesuai dengan ketentuan UU No.4 Tahun 1996 dan peraturan pelaksanaannya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, dengan menghimpun dan menganalisis data sekunder, berupa literatur dan peraturan perundangundangan yang terkait dengan lembaga jaminan khususnya lembaga Hak Tanggungan. Hasilnya, dituangkan dalam kesimpulan bahwa menyertakan Kantor Pertanahan sebagai salah satu Tergugat dalam kasus cidera janji hutang pihutang dengan jaminan hak atas tanah yang dilakukan di bawah tangan bukan merupakan tindakan hukum yang tepat karena Kantor Pertanahanan- sama sekali tidak ada kaitannya dengan prosedur pengikatan jaminan yang dilakukan oleh Penggugat dan Penggugat. Melakukan gugatan hak atas tanah dalam pengikatan jaminan tanpa prosedur hukum yang sesuai dengan UU No. 4 Tahun 1996 hanya dapat dilakukan melalui proses gugatan perdata biasa. Gugatan melalui pengadilan tidak memiliki batas waktu kadaluwarsa sesuai dengan asas publikasi negatif yang dianut dalam konsep hukum tanah di Indonesia. Amar Putusan Pengadilan Negeri Bogor merupakan pertimbangan yang kontradiktif dalam kaitannya dengan penjualan tanah sebagai jaminan karena jika hak Penggugat untuk melakukan penjualan harus melalui prosedur pelelangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T24705
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>