Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 76 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Elsa Meutia
Abstrak :
Meningkatnya kesadaran masyarakat tentang hubungan antara kesehatan Hsik dan mental, mcndorong munculnya prograrn olahraga yang mcnawarkan lebih dari sekedar aktivitas tisik, terutama di Jakarta. Salah satunya adalah yoga yang mana diketahui memitiki dampalc positif pada kondisi psychological well-being (PWB) seseorang (Oken, Zajdel, Kishiyama, Flegal, et.a1, 2006). PWB adalah usaha pencapaian potensi psikologis, yang terdiri dari dimensi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan Iingkungan, tujuan hidup serta perkembangan pribadi (Ryf£ 1989). Penelitian ini berusaha melihat gambaran PWB pada 3 orang instruktur yoga. Dari penelitian kualitatif ini diketahui bahwa semua subyek mencerminkan adanya penerimaan terhadap keadaan diri; adanya hubungan yang hangat dan memuaskan dengan orang lain; mampu untuk menguasai keadaan lingkungan; memiliki tujuan hidup; sena menilai diri sebagai individu yang tumbuh dan berkembang. Sementara itu diketahui pula bahwa tidak semua subyek menunjukkan adanya kemandirian (otonomi) dalam berpe1ilaku_ Peran yoga dalam gambaran PWB instrulctur yoga terlihat menonjol pada dimensi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup Serta perkembangan pribadi. Sedangkan lama seseorang menjadi instruktur yoga tampak tidak terlalu berperan untuk mencapai kondisi PWB yang lebih baik. ......Yoga has become one of the most popular exercise training in big cities, especially in Jakarta. Mainly, this is because the rise of people awareness on the connection of mind and body on one’s mental health. it makes yoga become an exercise program which explore more than physical activity. Yoga has positive effect in one’s psychological well-being (Oken, Zajdel, Kishiyama, Flegal, et.al, 2006). Psychological well-being (PWB) concerned on formulations of human development and existential challenges of life. PWB include 6 psychological dimensions of challenged thriving, that is selfiacceptance; positive relation with others; autonomy; environmental mastery; purpose in life; and personal growth (Ryffl 1989). This study is focus on psychological well-being of 3 yoga instructor. From this qualitative study, can be concluded that every participant has positive attitude toward selil positive relation with others; sense of mastery and competence in managing the environment; has goals in life; and sees self as growing and expanding individual. This study also found that not every participant is self-detennining and independent. Yoga itself has brought great impact in PWB especially on self-acceptance, positive relation with others, purpose in life, and personal growth. Meanwhile, the length of period one’s become yoga instmctor doesn’t correlates on one’s PWB condition.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
T34200
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Arindina Meisitta Widhikora
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara forgiveness dan psychological well-being pada individu yang menikah. Pengukuran forgiveness menggunakan alat ukur transgression-related interpersonal motivation 12-scale form (McCullough., et al, 1998) dan pengukuran psychological well-being menggunakan alat ukur Ryff’s psychological well-being scale (Ryff, 1995). Partisipan berjumlah 74 individu yang memiliki karakteristik sebagai seseorang yang terikat dalam hubungan pernikahan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara forgiveness dengan psychological well-being pada pasangan yang menikah (r = 0.318; p = 0.006, signifikan pada L.o.S. 0.01). Artinya, semakin tinggi skor forgiveness yang dimiliki seseorang, maka semakin tinggi ia menampilkan kesejahteraan secara psikologis. Berdasarkan hasil tersebut, perlu diadakan intervensi untuk meningkatkan forgiveness sebagai salah satu faktor dibalik bertambahnya psychological well-being. ...... This research was conducted to find the correlation between forgiveness and psychological well-being in married couples. Forgiveness was measured by using an instrument called transgression-related interpersonal motivation 12-scale form (McCullough, et al, 1998) and psychological well-being was measured by using an instrument called Ryff‟s psychological well-being scale (Ryff, 1995). The participants of this research were 74 individuals with a characteristic of currently being married. The main result of this research showed that forgiveness is positively and significantly correlated with psychological well-being (r = 0.318; p = 0.006, significant at L.o.S. 0.01). That is, the higher the level of forgiveness in one‟s own nature, the higher that person shows psychological well-being inside oneself. Based on such results, there needs to be an intervention to increase forgiveness as one of the factors in increasing psychological well-being.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45734
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Handini Chryssagiati
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana tawakal dan psychological well-being perempuan pada pernikahan yang belum memiliki anak. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Subjek pada penelitian ini berjumlah lima orang . Data dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan pada pernikahan yang belum memiliki anak cenderung dapat mencapai indikator tawakal dengan cukup baik. Dalam penelitian ini didapati bahwa subjek mendapatkan beberapa manfaat tawakal yang dimiliki berupa, ketenangan dan ketentraman jiwa, kekuatan, ridho serta tumbuhnya harapan. Dengan manfaat tersebut kelima subjek dalam penelitian ini masih dapat mempertahankan pernikahan dan dapat mengatasi masalah yang ada pada pernikahan mereka masing-masing. Subjek juga dapat mencapai psychological well-being (kesejahteraan psikologis) yang baik atau positif, ditandai dengan subjek mampu menerima keadaan diri, berhubungan positif dengan orang lain, mandiri, menguasai lingkungan, memiliki tujuan hidup yang jelas dan pertumbuhan pribadi yang positif. Pada penelitian ini ditemukan bahwa dukungan, pengertian, keterbukaan dan komunikasi yang baik dari suami, dapat membantu tercapainya tawakal dan psychological well-being (kesejahteraan psikologis) perempuan sehingga pernikahan yang belum memiliki anak dapat dipertahankan. ...... This study aims to determine how tawakal and psychological well-being of women in marriage who have not had children. This study used a qualitative approach with case study method. Subjects in this study amounted to five people. The data in this study were obtained through interviews and observations. The results of this study showed that women in marriage who have not had children tend to reach indicators tawakal pretty well. In this study it was found that subjects get some benefit from tawakal such as serenity and tranquility of soul, strength, blessing and growth in hopefulness. Through these benefits, five subjects in this study may still maintain the marriage and can overcome the existing problems in their marriage. Subjects can also achieve good or positive psychological well-being, characterized by the subject have good self-acceptance, positive relation with others, autonomy, environmental mastery, has a clear purpose in life and a positive personal growth. This study found that the support, understanding, openness and good communication of the husband, can help to achieve tawakal and psychological well-being so that women who have not had a child marriage can be sustained.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lathifah Hanum
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran psychological well-being keluarga miskin di Kampung Pajeleran Gunung, Cibinong, dan faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi psychological well-being mereka. Psychological wellbeing merupakan kondisi dimana seseorang mampu menerima dirinya apa adanya, membangun hubungan positif dengan orang lain, mandiri, mengatur lingkungannya, memiliki tujuan yang ingin dicapai dalam hidup, dan mengembangkan potensi yang dimiliki. Sementara keluarga miskin adalah orangorang yang terhubung melalui darah, pernikahan, atau adopsi dan tinggal bersama yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tiga orang keluarga (ayah, ibu, dan anak di tahap remaja akhir) dengan jumlah pengeluaran perorang perbulan kurang dari Rp 175.179,00 serta tinggal di Kampung Pajeleran Gunung, Cibinong. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi psychological well-being ketiga keluarga miskin memiliki keunikan, dimana hal ini sangat dipengaruhi oleh penghayatan individu terhadap status sosial ekonomi dan pendidikannya, nilai-nilai agama yang diterapkan, dan interaksi yang terbentuk di dalam keluarga. Tentunya hal ini menimbulkan perbedaan dinamika psychological well-being pada ketiga keluarga, dimana salah satu keluarga memiliki kondisi psychological well-being yang lebih baik dibandingkan dua keluarga lainnya. ...... The study aimed to see the picture of psychological well-being of poor families in Kampung Pajeleran Gunung, Cibinong, and the factors that affect their psychological well-being. Psychological well-being is a condition where a person was able to accept him as it is, bulid positive relationships with others, independet, arranging the environment, has goals in life, and developing potential. While the poor are the people who are connected through blood, marriage, or adoption and living together who have an average monthly per capita expenditure below the poverty line. This stude uses a qualitative approach with three familiy (father, mother, and child in the late adolescent stage) with a total expenditure per person per month less than Rp 175.179,00 as well live in Kampung Pajeleran Gunung, Cibinong. The results showed that psychological well-being condition of the three poor families are unique, where this is strongly influenced by the appreciation of individual socioeconomic status and education, religious values are applied, and the interactions formed within the family. Obviously this causes differences in the dynamics of psychological well-being in all three families, where one family has a condition of psychological well-being better than the two other familiies.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2010
S3663
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurnia Widianti
Abstrak :
Dodge, Bates & Petit (dalam Berns, 1997) mengatakan bahwa abuse dan neglect memiliki dampak bagi perkembangan selanjutnya berupa tingkah laku agresif dan masalah emosional atau psikologis. Penelitian membuktikan bahwa maltreatment pada masa anak-anak memiliki dampak yang jauh hingga masa dewasa (Starr dalam Bern, 1997). Dari hasil-hasil penelitian mengenai child abuse tersebut dan yang lainnya kemudian peneliti tertarik untuk melihat kondisi psikologis seorang dewasa muda yang pernah mengalami child abuse. Untuk melihatnya peneliti menggunakan konsep psychological well-being yang dikemukakan oleh Ryff (1995) yang mengatakan bahwa untuk menjadi baik secara pikologis seseorang harus dapat menerima dirinya, adanya penguasaan lingkungan, otonomi, memiliki hubungan positif dengan orang lain, memiliki tujuan hidup dan merasakan pertumbuhan diri. Dan akhirnya permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan menjadi: bagaimana gambaran psychological well-being dewasa muda yang pernah mengalami child abuse serta faktor-faktor apa yang berperan? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus. Subjek dalam penelitian ini sebanyak 3 orang. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan observasi. Dan analisa yang dilakukan adalah analisa intra dan antar kasus. Dari penelitian ini diketahui bahwa pada dimensi penerimaan diri P dan R tidak dapat menerima beberapa aspek negatif pada dirinya dan ingin mengubah beberapa diantaranya, sedangkan Q hanya ingin mengubah satu aspek negatif pada dirinya. Pada dimensi hubungan positif dengan orang lain P dan R sering memiliki masalah dan hambatan karena beberapa sifatnya, Q merasa sulit bersosialisasi. Dan ketiganya sulit terbuka terhadap orang lain. Perkosaan pada R membuatnya trauma terhadap laki-laki. Abuse yang diterima P pun menjadikannya memiliki masalah dan hambatan dalam menjalin hubungan dengan laki-laki. Pada dimensi otonomi P membutuhkan orang lain untuk menemani dan membantunya memecahkan permasalahan-permasalahan dan mengevaluasi diri berdasarkan penilaian orang lain. Q dan R tidak tergantung pada orang lain dan mengevaluasi diri berdasarkan standarnya sendiri. Pada R kecuali terhadap pacarnya ia merasakan ketergantungan dan membiarkan dirinya diatur. Pada dimensi penguasaan lingkungan P melakukan berbagai reaksi ketika mengalami abuse, dari hanya berdiam diri dan berhayal hingga mengikuti kegiatan di luar sekolah/kuliahnya, namun aktivitasnya tersebut sering terganggu karena kesensitifannya, begitu pula aktivitas di sekolah/kuliahnya. Q mengikuti kegiatan di luar sekolah/kuliahnya, aktivitas di sekolah/kuliahnya tidak mengalami masalah. R tidak pernah mengikuti kegiatan di luar sekolah/kerjanya karena selalu merasa bahwa dirinya berada pada tempat yang tidak tepat. Pada dimensi tujuan hidup ketiga subjek dapat mengambil pelajaran dari abuse yang dialaminya dan ingin memperbaiki kehidupannya di masa yang akan datang. Namun P terkadang merasa putus asa hingga beberapa kali mencoba bunuh diri. Pada dimensi pertumbuhan pribadi ketiga subjek menyadari potensi-potensi dirinya, berusaha untuk mengaktualisasikannya dan mengalami pertumbuhan pribadi. Faktor-faktor yang berperan pada dimensi penerimaan diri: dukungan sosial, evaluasi terhadap pengalaman hidup dan variabel kepribadian. Pada dimensi hubungan positif dengan orang lain: dukungan sosial, evaluasi terhadap pengalaman hidup dan variabel kepribadian. Pada dimensi otonomi: dukungan sosial, evaluasi terhadap pengalaman hidup dan variabel kepribadian. Pada dimensi penguasaan lingkungan: dukungan sosial, evaluasi terhadap pengalaman hidup dan variabel kepribadian. Pada P dan R ditambah dengan faktor keberagamaan. Pada dimensi tujuan hidup: dukungan sosial, evaluasi terhadap pengalaman hidup dan variabel kepribadian. Pada Q ditambah dengan faktor keberagamaan. Pada dimensi pertumbuhan pribadi: dukungan sosial dan evaluasi terhadap pengalaman hidup. Pada Q ditambah dengan faktor keberagamaan. Dari hasil penelitian yang didapat maka ada beberapa saran yan dapat diberikan. Pertama, perluasan informasi mengenai child abuse. Kedua, membuka pusat-pusat rehabilitasi bagi korban child buse. Ketiga, meningkatkan kepedulian sosial.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3502
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desyana Kurniawan
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan untuk meneliti hubungan antara causality orientation dengan kesejahteraan psikologis pada mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian.Pengukuran Causality Orientation menggunakan alat ukur hasil adaptasi dari alat ukur General Causality Orientation Scale (GCOS) yang dibuat oleh Deci dan Ryan pada tahun 1985 dan pengukuran kesejahteraan psikologis menggunakan alat ukur hasil adaptasi Ryff Psychological Well-Being Scale (RPWBS). Responden dalam penelitian ini berjumlah 139 orang dengan menggunakan metode purposive sampling. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara autonomy orientation dengan kesejahteraan psikologis dengan skor signifikansi, sebesar 0.000, p<0.05; terdapat hubungan yang signifikan antara controlled orientation dengan kesejahteraan psikologis dengan skor signifikansi sebesar 0.012, p<0.05; terdapat hubungan yang signifikan dan bersifat negatif antara impersonal orientation dengan kesejahteraan psikologis dengan skor signifikansi sebesar 0.000, p<0.05. ......The purpose of this research is to study the correlation between Causality Orientation and Psychological Well-being of students Police College. The Causality Orientation was measured with an instrument that was adapted from the General Causality Orientation Scale (GCOS) that Deci and Ryan developed, while the Psychological Well-Being was measured with an instrument that was adapted from the Ryff Psychological Well-Being Scale (RPWBS). 139 people participated in this study and they were sampled using the purposive sampling method. The results of this research shows a significant correlation between autonomy orientation and Psychological Well-Being with a significance score of 0.000, p<0.05; a significant correlation between controlled orientation and Psychological Well-Being with a significance score of 0.012, p<0.05; a negative and significant correlation between impersonal orientation and Psychological Well-Being with a significance score of 0.000, p<0.05.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S46865
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Octaviani Putri
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan antara gratitude dan psychological well-being pada mahasiswa. Variabel gratitude diukur dengan SS8 (Skala Syukur 8) yang divalidasi dan diterjemahkan oleh Oriza dan Menaldi (2010), dari GQ6 (Gratitude Questionaire 6) yang diciptakan oleh McCullough, Emmons, dan Tsang (2001). Variabel psychological well-being diukur dengan alat ukur self-report yang diadaptasi dari penelitian sebelumnya oleh Hapsari (2011), yang menggunakan Ryff's Scale of Psychological Well-Being (RPWB) (1989). Penelitian ini melibatkan 340 responden yang berusia 17 sampai 25 tahun dari seluruh fakultas di Universitas Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara gratitude dan psychological well-being. Selain itu, dalam penelitian ini ditemukan bahwa mean skor kedua variabel tersebut tidak signifikan berbeda antara responden yang tergabung dalam perkumpulan keagamaan dan yang tidak tergabung dalam perkumpulan keagamaan. ...... The aim of this research is to investigate the correlation between gratitude and psychological well-being among college students of. Gratitude measurement used SS8 (Skala Syukur 8) which is validated and translated by Oriza and Menaldi (2010), from GQ6 (Gratitude Questionaire 6) which is created by McCullough, Emmons, and Tsang (2001). Psychological well-being measurement used self-report scale which is adopted by Hapsari (2011) from Ryff's Scale of Psychological Well-Being (RPWB) (1989). Respondents of this research are 340 college students of Universitas Indonesia aged 17 to 25 years old. Finding shows that gratitude and psychological well-being are significantly and positively correlated. Furhtermore, this research found there is no significant difference among respondents who are involved in religious group and who aren't involved in religious group.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Adinda Nurhaniriva
Abstrak :
[ABSTRAK
Pernikahan poligami merupakan salah satu fenomena yang berkembang di masyarakat. Berbagai penelitian terkait masalah ini mengkaji banyak aspek diantaranya dilihat secara hukum dan sosial. Penelitian ini meneliti pengalaman psikologis pria yang menjalani poligami, terutama dalam hal psychological wellbeing dan spiritual well-being. Penelitian ini melibatkan lima orang pria berpoligami sebagai subjeknya. Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam dan observasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pria berpoligami cenderung memiliki psychological well-being yang tidak utuh. Sedangkan dalam hal spiritual well-being, pria berpoligami di dalam penelitian ini cenderung cukup baik, terutama pada domain transendensi.
ABSTRACT
Polygamous marriage is one of the growing phenomenons happening in society. Various studies related to this issue have been examining many aspects seen both legally and socially. This study examines men?s psychological experienceundergoing polygamy, particularly in terms of psychological well-being and spiritual well-being. This study involves five polygamous men as the subject. The data collection of this study is gained from in-depth interview and observation. The result of this study reveals that the men undergoing polygamy tend to have psychological well-being that is not intact. Whereas polygamous men, in case of spiritual well-being, in this study tend to be quite good, especially in the transcendence domain.;Polygamous marriage is one of the growing phenomenons happening in society. Various studies related to this issue have been examining many aspects seen both legally and socially. This study examines men?s psychological experienceundergoing polygamy, particularly in terms of psychological well-being and spiritual well-being. This study involves five polygamous men as the subject. The data collection of this study is gained from in-depth interview and observation. The result of this study reveals that the men undergoing polygamy tend to have psychological well-being that is not intact. Whereas polygamous men, in case of spiritual well-being, in this study tend to be quite good, especially in the transcendence domain.;Polygamous marriage is one of the growing phenomenons happening in society. Various studies related to this issue have been examining many aspects seen both legally and socially. This study examines men?s psychological experienceundergoing polygamy, particularly in terms of psychological well-being and spiritual well-being. This study involves five polygamous men as the subject. The data collection of this study is gained from in-depth interview and observation. The result of this study reveals that the men undergoing polygamy tend to have psychological well-being that is not intact. Whereas polygamous men, in case of spiritual well-being, in this study tend to be quite good, especially in the transcendence domain.;Polygamous marriage is one of the growing phenomenons happening in society. Various studies related to this issue have been examining many aspects seen both legally and socially. This study examines men?s psychological experienceundergoing polygamy, particularly in terms of psychological well-being and spiritual well-being. This study involves five polygamous men as the subject. The data collection of this study is gained from in-depth interview and observation. The result of this study reveals that the men undergoing polygamy tend to have psychological well-being that is not intact. Whereas polygamous men, in case of spiritual well-being, in this study tend to be quite good, especially in the transcendence domain.;Polygamous marriage is one of the growing phenomenons happening in society. Various studies related to this issue have been examining many aspects seen both legally and socially. This study examines men?s psychological experienceundergoing polygamy, particularly in terms of psychological well-being and spiritual well-being. This study involves five polygamous men as the subject. The data collection of this study is gained from in-depth interview and observation. The result of this study reveals that the men undergoing polygamy tend to have psychological well-being that is not intact. Whereas polygamous men, in case of spiritual well-being, in this study tend to be quite good, especially in the transcendence domain.;Polygamous marriage is one of the growing phenomenons happening in society. Various studies related to this issue have been examining many aspects seen both legally and socially. This study examines men?s psychological experienceundergoing polygamy, particularly in terms of psychological well-being and spiritual well-being. This study involves five polygamous men as the subject. The data collection of this study is gained from in-depth interview and observation. The result of this study reveals that the men undergoing polygamy tend to have psychological well-being that is not intact. Whereas polygamous men, in case of spiritual well-being, in this study tend to be quite good, especially in the transcendence domain.;Polygamous marriage is one of the growing phenomenons happening in society. Various studies related to this issue have been examining many aspects seen both legally and socially. This study examines men?s psychological experienceundergoing polygamy, particularly in terms of psychological well-being and spiritual well-being. This study involves five polygamous men as the subject. The data collection of this study is gained from in-depth interview and observation. The result of this study reveals that the men undergoing polygamy tend to have psychological well-being that is not intact. Whereas polygamous men, in case of spiritual well-being, in this study tend to be quite good, especially in the transcendence domain., Polygamous marriage is one of the growing phenomenons happening in society. Various studies related to this issue have been examining many aspects seen both legally and socially. This study examines men?s psychological experienceundergoing polygamy, particularly in terms of psychological well-being and spiritual well-being. This study involves five polygamous men as the subject. The data collection of this study is gained from in-depth interview and observation. The result of this study reveals that the men undergoing polygamy tend to have psychological well-being that is not intact. Whereas polygamous men, in case of spiritual well-being, in this study tend to be quite good, especially in the transcendence domain.]
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>