Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Setya Widiana
Abstrak :
Konversi hutan lindung semakin meningkat seiring dengan berkembangnya pembangunan nasional yang memanfaatkan lahan hutan untuk kebutuhan energi listrik dari sumber energi yang terbarukan. Kondisi hutan lindung yang memiliki kemiringan lereng 45O dan fungsi hidrologisnya merupakan potensi PLTA yang menjanjikan sehingga banyak pengembang melakukan pembangunan PLTA pada kawasan hutan. Penelitian ini dilakukan pada rencana pembangunan PLTA Tumbuan Mamuju di Kabupaten Mamuju. Kabupaten Mamuju adalah salah satu Kabupaten di Indonesia yang berfungsi sebagai Kawasan Strategis Konservasi Nasional akan tetapi pada kenyataan dilapangan tutupan lahan pada hutan lindung Kabupaten Mamuju telah beralih fungsi sebagai kebun dan pemukiman. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui karakteristik fisik, dan kondisi sosial ekonomi Kabupaten mamuju, mengidentifikasi alih fungsi hutan lindung Kabupaten mamuju, dan menentukan strategi pengendalian alih fungsi hutan lindung Kabupaten Mamuju. Metode yang digunakan adalah dengan menggunakan analisis skoring dan analisis spasial dengan ArcGIS 10.1 dan Analitycal Hierarchi Proses. Hasil dari penelitian ini adalah karakteristik fisik berupa jenis vegetasi pada wilayah penelitian termasuk hutan sekunder campuran dengan kemiringan lereng di dominasi oleh katagori curam dan jenis tanah didominasi jenis tanah Podsolik, dan intensitas hujan termasuk dalam katagori sangat rendah. Kondisi sosial ekonomi masyarakat di kawasan hutan lindung Kabupaten Mamuju sebanyak 91 adalah petani. Identifikasi alih fungsi hutan lindung dengan skor 150 dengan luasan 190 Ha telah dikatagorikan sebagai kawasan non-lindung. Strategi pengendalian alih fungsi hutan lindung berdasarkan judgment dari para responden adalah dengan hutan kemayarakatan. Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam menganalisis kebijakan terkait dengan konversi hutan lindung berbasis partisipasi masyarakat. ...... Conversion of protected forests increasing in line with the growth of national development that utilizes forest land for electricity demand from renewable energy sources. The condition of protected forest that has slope of 45O and its hydrological function is a promising hydropower potential so that many developers undertake hydropower development in forest area. This research was conducted on the construction of PLTA Tumbuan Mamuju in Mamuju District. Mamuju Regency is one of the districts in Indonesia that functions as a National Conservation Strategic Area but in fact the field of land cover in protected forest of Mamuju Regency has changed function as garden and settlement. The purpose of this research is to know the physical characteristic, and socio economic condition of mamuju Regency, to identify the transfer function of protected forest of mamuju regency, and to determine the strategy of controlling the transfer of protected forest function of Mamuju Regency. The method used is by using scoring analysis and spatial analysis with ArcGIS 10.1 and Analitycal Hierarchi Process. The result is physical characteristic in the form of vegetation type in research area including mixed secondary forest with slope dominated by steep category and soil type dominated Podsolic soil type, and rain intensity is included in very low category. The socioeconomic condition of the community in protected forest area of Mamuju Regency is 91 is farmers. The identification of the protected forest conversion with a score of 150 with an area of 190 Ha has been categorized as a non protected forest area. The strategy control of protected forest conversion based on the judgment of the respondents is with the social forestry. This research is expected to contribute in analyzing policies related to the protection forests conversion based on community participation.
Depok: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2018
T51080
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Andharie Rahasthera
Abstrak :
ABSTRAK
Keberadaan Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) sangat penting karena salah satu fungsinya sebagai penyedia air bersih. Selain untuk Kota Balikpapan, air HLSW juga panting bagi penyediaan BBM nasional. Dalam perkembangannya, terdapat potensi perbedaan kepentingan antarpemangku kepentingan dalam pengelolaan air di HLSW. Berdasarkan permasalahan, tujuan penelitian adalah mengidentifikasi: 1) Siapa saja pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan air dari kawasan HLSW; 2) Bentuk konflik, posisi dan kepentingan yang diperjuangkan pars pemangku kepentingan terhadap permasalahan pengelolaan air dari kawasan HLSW; dan 3) Rumusan pendekatan alternatif penyelesaian konflik. Kerangka teoretik penelitian didasari atas pendekatan ekosistem (hutan lindung dan DAS), analisis konflik, posisi dan kepentingan, analisis pemangku kepentingan, dan kemitraan dalam pengelolaan lingkungan hidup sebagai solusi konflik. Kerangka berpikir penelitian didasari atas asumsi bahwa konflik pengelolaan air di HLSW disebabkan karena adanya interaksi antara komponen lingkungan alam (HLSW), lingkungan buatan (industri, pertanian, permukiman) dan lingkungan sosial (kelembagaan sektor negara-masyarakat-swasta). Penelitian dilakukan di Kota Balikpapan pada bulan Februari-Mei 2006 menggunakan metode kualitatif. Data primer diperoleh melalui wawancara semi terstruktur, diskusi kelompok terfokus (FGD), observasi, dan catatan lapang, sedangkan data sekunder diperoleh melalui penelusuran literatur dan bentuk data lainnya. Metode pencarian responden adalah metode bola salju (snowballing), dimana sampel adalah pemangku kepentingan pada pengelolaan air dari kawasan HLSW. Pemeriksaan keabsahan data dilakukan melalui triangulasi sumber dan dianalisis dalam uraian naratif. Kesimpulan analisis hasil penelitian adalah sebagai berikut: 1) Para pemangku kepentingan dibagi menjadi tiap sektor, yaitu pemerintah, masyarakat sipil dan swasta..Pemerintah diwakili oleh PPLH Regional Kalimantan dan pihak pengelola HLSW yaitu Pemerintah Kota Balikpapan dan BPHLSW. Masyarakat sipil diwakili oleh Perkumpulan STABIL dan Pokja Masyarakat HLSW sebagai penyedia jasa, sedangkan sektor swasta diwakili oleh PT. Pertamina UP V yang juga pengguna air dari HLSW. 2) Konflik yang terjadi adalah bagaimana para pemangku kepentingan memahami pembayaran jasa ekosistem air HLSW, serta besaran nominal yang harus dibayar PT. Pertamina UP V untuk pengelolaan HLSW sebagai klaim dari pengelola dan. masyarakat sipil. Dengan demikian, konflik yang terjadi berkaitan dengan relasi pemangku kepentingan hulu dan hilir, atau secara lebih tegasnya adalah antara pihak pengelola HLSW dengan pengguna air dari HLSW. Konflik berkembang dengan rencana pembangunan Bendungan Sungai Wain yang mengancam eksistensi waduk dan kontinuitas air yang selama ini diperoleh PT. Pertamina UP V dari Waduk Sungai Wain Pertamina. Ancarnan ini dianggap dapat mengganggu kelancaran produksi BBM nasional. Posisi para pemangku kepentingan mengenai rencana pembangunan bendungan terbagi dua, dimana pihak pengelola HLSW berada pada posisi menyetujui, dan PT. Pertamina UP V berada dalam posisi tidak menyetujui. PPLH Regional dan Perkumpulan STABIL berada dalam posisi netral-kritis. Meskipun memiliki posisi yang berbeda, pada dasamya konflik terjadi karena ketidaksepahaman bahwa sebenarnya masing-masing pemangku kepentingan bergantung atas HLSW guna memenuhi kebutuhannya. Kepentingan PT. Pertamina UP V terhadap keberadaan HLSW adalah jaminan kontinuitas air dari HLSW untuk kegiatan operasional kilang minyak Balikpapan; bagi pihak pemerintah, keberadaan HLSW sebagai penyedia air alternatif bagi Kota Balikpapan menjadikan pemerintah berencana untuk membangun bendungan baru; bagi masyarakat di sekitar HLSW, kepentingan mereka adalah adanya kontribusi atas usaha mereka menjaga kawasan hulu serta pemenuhan kebutuhan air yang selama ini tidak didapatkan clan pemerintah maupun dari PT. Pertamina sebagai pengelola Waduk Wain Pertamina; dan bagi BPHLSW, fungsi dan nilai HLSW hendaknya dapat dinikmati oleh warga Balikpapan dan penggunaan aimya hams diselaraskan dengan upaya pemeliharaan oleh pihak pengguna. Terlihat bahwa masing-masing pihak masih mengedepankan etika antroposentrisme yang ekstrem dalam relasinya dengan HLSW. 3) Dalam penelitian, diajukan alternatif penyelesaian konflik antara pemangku kepentingan dengan beberapa tahap berikut. Pada tahap awal, rekonsiliasi perlu dilakukan sebelum melakukan negosiasi. Pembayaran jasa lingkungan HLSW dipertimbangkan sebagai salah satu solusi karena dipercaya semu pihak dapat menjadi sarana penyelesaian konflik. Selain itu, peneliti menyarankan dibentuknya lembaga multipihak berupa dewan sumberdaya air untuk rpengakamodasi dan menyelesaikan permasalahan pengelolaan DAS di HLSW. Saran yang diajukan di dalam penelitian ini adalah: diperlukannya studi yang 1ebih mendalam khususnya mengenai penekanan pada dimensi lingkungan lainnya dalam pengelolaan air dari HLSW, konsep pembayaran jasa lingkungan sebagai metode konservasi mutakhir yang mulai diterapkan pada beberapa daerah di Indonesia.
ABSTRACT
The existence of the Sungai Wain Protected Forest (SWPF) has become important especially for the Balikpapan's citizens because one of its function as providing fresh water. In the progress, there is different interest between stakeholders on how to manage water from SWPF. Based on this problem, the aims of the study are to: 1) Identify stakeholders involved in water management from SWPF; 2) Identify position and interests of stakeholders in relation to water management from SWPF conflict; 3) To propose conflict resolution alternatives. The theoretical framework of the research was based in ecosystem approach (the interconnectedness of protected forest and water basin management) and the concept of conflict analysis, position and interest(s), stakeholder analysis and partnership on environmental management as the conflict solution. The thinking framework of the research is then based on assumptions that the conflict of SWPF's water management is caused by the interaction between the natural environment (the existence of SWPF), the constructed environment (industries, agriculture, housing) and social environment (the institution of the state-society private sector). The research conducted by using qualitative method. Primary data were attained by semi-structured interviews, FGD, observation and field reports, while secondary data were attained from literature and other document findings. Respondents were searched by snowballing method, where the respondents are the stakeholders of water management in SWPF. The observation of data validity was done by triangulation and analyzed narrative. The conclusion of the research findings are as follows: 1) the stakeholders were divided into government, civil society and private sector. The government sector was represented by PPLH Regional Kalimantan and the executives of SWPF (The Government of The Regency of Balikpapan and The Board Management of SWPF). The civil society sector were represented by Perkumpulan STABIL and the SWPF Community Work Group (the ecosystem service provider), and the private sector was represented by PT. Pertamina UP V Balikpapan (the ecosystem service user). 2) The conflict is how stakeholders understand the payment for watershed environmental services from SWPF, and how much PT, Pertamina UP V has to pay in order to contribute the SWPF management as it claimed from the executives of SWPF and civil society. Thus, the conflict that occurs is connected to the relation of the upstream-downstream stakeholder, as to more clearly is between the executives of SWPF and PT. Pertamina UP V Balikpapan. The conflict the developed into the next stage when the East Kalimantan government's was planning to build a dam at the Sungai Wain downstream, which the site plan is adjacent to the Sungai Wain Reservoir owned by PT. Pertamina. UP V. This plan in the progress was considered to hinder the Pertamina's water continuity from HLSW that in the future might be threating the national oil's production: The stakeholders' position of the Sungai Wain Dam plan were divided into two: where the executives od SWPF at pros and PT. Pertamina UP V Balikpapan at contras. In neutral-critical level there sre PPLH Regional Kalimantan and Perkumpulan STABIL. Although having a different position, the conflicts basically occurred because the stakeholders are not realized that each of them has the same need, basic interest and dependency to the SWPF. The interest of PT. Pertamina UP V to SWPF is the water continuity for the operational of Balikpapan's refinery; to the Government of Balikpapan, their interest is to provide the alternative source of water for Balikpapan's citizens by building a new dam near the SWPF downstream; to the community especially who lived in and surround the SWPF upstream area, their interests are having a contribution for their effort on preserving SWPF and the fulfilment of their clean water needs which has never been obtained from the government or from PT. Pertamina UP V as the direct beneficiary of SWPF water. To the Board Management of SWPF, their interets are how SWPF function and values can be enjoyed by the citizens of Balikpapan Regency, and how its utilization can be harmonious to the conservation effort by users. This research has analyzed that the conflict has also caused of the extreme anthropocentrism that used by the stakeholder on its relation to SWPF's ecosystem services. 3) As an alternative, this research proposes an initiation of reconciliation between stakeholders before making any negotiation. The payment for watershed environmental services (PES) can be considered as one of many potential solutions because it is believed by the stakeholders that its implementation can resolve the conflict. Before that, the research also suggests to form the multi stakeholder collaborative institution (water board) that can accommodate and solve the SWPF watershed management problems in the future. The suggestions of this research are the needs to the complementary praxis studies of the technical consideration on water management in SWPF, especially the environmental impact analysis if the dam is planned to be build. The same suggestion goes to the PES concept studies as the new conservation strategy that recently has been implemented to some areas in Indonesia.
2007
T20486
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi Y. Lutan
Abstrak :
Asam humat merupakan senyawa bioorganik polimer multiligan yang diisolasi dari slam. Kelimpahan dan sifat asam humat ini bergantung pada iklim, jenis vegetasi, waktu, senyawaan asal dan topografi. Selain itu asam humat merupakan zat pengompleks organik alamiah yang banyak terdapat di tanah, sedimen maupun perairan. Asam humat mempuayai banyak gugus fungsi yang mengandung oksigen yang berperan dalam pembentukkan senyawa kompleks asam humat-logam. Penelitian ini bertujuan menyelidiki kemampuan asam humat membentuk senyawa kompleks dengan ion logam berat kobal dan kadmium pada kondisi pH 4, 5, 6 dan 7, pada 6 lokasi penelitian dari sedimen hutan lindung bakau (mangrove) Muara Angke Teluk Jakarta. Pembentukkan kompleks asam humat-logam yang terjadi ditentukan dengan tetapan stabilitas kondisional (log IC) dengan menggunakaa metode pemadaman (quenching) fluoresensi. Isolasi asam humat dilakukan dengan mengekstraksi sampel sedimen kering pada kondisi alkali (campuran 0,1 M NaOH dan 0,1 M Na4P2O7 = 1 : 1). Selanjutnya pada fraksi larutan ditambahkan 6 M HC1 sampai pH 2. Hasil asam humat yang sudah murni ditentukan sifat kimianya melalui metode non degradatif (bobot molekul viskositas rata-rata, 111, UV-Tampak dan Fluoresensi) dan metode degradatif (analisis unsur, hidrolisis asam humat dengan HC1 serta analisis asam amino dengan HPLC). Hasil yang didapat menunjukkan bahwa asam humat lebih bersifat alifatis, dimana dari analisis unsur menunjukkan bahwa perbandingan HIC > 1. Dari hidrolisis asam humat dengan HC1, hasil yng didapat mempunyai paling sedikit 10 jenis asam amino. Dan perhitungan konstanta stabilitas kondisional pada pH 4 lokasi F paling kuat mengikat kobal maupun kadmium, dan ikatan humat-kobal lebih kuat dari pada humat-kadmium. Pada pH 5 ikatan humat-kadmium pads lokasi F lebih kuat dari pada humat kobal pada lokasi E. Path pH 6 ikatan humat-kobal pads lokasi E sebanding dengan ikatan humat-kadmium pada lokasi A. Sedangkan pada pH 7, ikatan humat-kobal pada lokasi A lebih kuat dan pada humat-kadmium pada lokasi E. Secara umum daerah laut dan muara mempunyai asam humat yang kuat mengikat logam kobal dan kadmium, disusul pada daerah daratan.
Humic acid is a group of polymer bioorganic and multiligand compound isolated from nature. Abondance and character of humic acid depend on climate, vegetasion, time, mother compound and topografi. The other humic acid is a natural organic complex substance which is plenty in terrestrial (soil, sediment), and aquatic (river, lacustrine, lake and marine) area. Humic acid has a lot of function groups that contain oxygen that takes part in forming humic acid complex substance. The research is performed to investigate humic acid ability to form complex substance with heavy metal ions, cobalt and cadmium, in pH-4,5,6,7 condition, on 6 research locations from protected mangrove forest' sediment at Muara Angke, Jakarta Bay. The forming of humic acid - metal substances which happens in conditional stability constant (log K') by using fluorescence quenching method. The isolation of humic acid is performed by extracting dry sediment samples in alkali condition (the mixture 0,1 M NaOH and 0,1 M Na4P2O7 = 1 : 1). Then in aqueous solution, we give 6 M HC1 up to pH 2. The characteristic of the result of pared humic acid is determined by non degradatif method (the average of viscosity molecules weigh, IR., UV-Visible and fluorescence) and degradatif method ( elemental analysis, humic acid hydrolysis with HCI and humic acid analysis with HPLC). The result shows that humic acid more aliphatic, where elemental analysis shows that the comparison is HIC > 1. From humic acid hidrolisis with HCI, we get at least 10 types of amino acid. From the calculation of conditional stability constantan in pH 4, location F has the strongest ability to bound cobalt and cadmium, and the boundary of humic-cobalt is stronger than humic-cadmium. In pH 5 the boundary of humic-cadmium on location F is stronger than humic-cobalt on location. E. In pH 6 humic-cobalt boundary on location. E is the same with humic-cadmium boundary on location A. In pH 7, humic-cobalt boundary on location A is stronger than humic-cadmium on location E. The sea and the bay area generally have humic acid that strongly bound cobalt and cadmium and then the terrestrial area.
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Prati
Abstrak :
ABSTRAK Angka laju kerusakan hutan, yaitu jumlah ha/tahun lebih sulit untuk didapat. Perkiraan deforestation FAO (1988) ialah 620.000 ha/tahun dan statistik Kehutanan (1993/1994) ialah 1.183.700 ha/tahun. Kerusakan hutan yang terus merambah ke dalam kawasan hutan lindung merupakan masalah yang banyak dihadapi hutan di Indonesia. Kerusakan lahan di Daerah Aliran Sungai Krueng Aceh dapat dikatakan pada tingkat lanjut yang ditunjukkan dengan nampaknya alur dan jurang serta batu-batuan indung di sebagian 5 Sub Das. Kerusakan hutan di kawasan lindung akan sangat berpengaruh pada kawasan-kawasan di bawahnya terutama kawasan budi daya, disebabkan kurang berfungsinya kawasan lindung sebagai pengatur tata air, sehingga menimbulkan erosi dan banjir. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui karakteristik kerusakan hutan lindung di DAS Krueng Aceh dan kegunaan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat untuk memberi masukan kebijaksanaan pengelolaan hutan lindung yang sesuai dengan kondisi kerusakan hutan lindung yang ada. Sistem Informasi Geografi (SIG} sebagai perangkat atau alat dalam penyajian hasil analisis data yang tersedia, analisis data yang digunakan adalah dengan analisis keruangan. Nilai-nilai yang ada pada masing-masing lapisan peta dibuat matriks yang selanjutnya dilakukan permodelan untuk mendapatkan karakteristik kerusakan hutan lindung. Hasil yang didapat dari analisis karakteristik kerusakan hutan lindung di Das Krueng Aceh, Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar mempunyai ciri sebagai berikut: 1. Relas Hutan Lindung Rusak 1.1. erosi tinggi; 1.2. terdapat belukar dan semak; 1.3. terdapat tanah kritis; 1.4. terdapat permukiman; 1.5. kondisi air tanah langka. 2. Kelas Hutan Lindung Rusak Sedang 2.1. erosi sedang; 2.2. tidak terdapat tanah kritis; 2.3. tidak ada permukiman; 2.4. tingkat ketersediaan air tanah termasuk akuifer sedang. Analisis konflik yang dilakukan dalam menganalisis kerusakan hutan lindung memberikan jawaban bahwa terdapat konflik penggunaan lahan, konflik sektoral dan konflik perencanaan. Dari hasil analisis, didapat bahwa erosi dan kelangkaan air tanah menjadi faktor yang hampir mendominasi karakteristik kerusakan hutan lindung di Aceh Besar (DAS Krueng Aceh). Kedua faktor tersebut dapat menjadi bahan masukan dalam upaya penanganan kerusakan hutan lindung yang terjadi atau dengan memperkecil faktor penyebab erosi dan kelangkaan air. Langkah pertama dalam pemulihan tanah kritis adalah dengan penanaman jenis pionir/pelopor, karena memang diperlukan jenis pohon-pohon yang agresif tumbuhnya dan mudah berkembang biak, untuk menancapkan akar-akar di tanah yang sudah tipis dan kurus, karena miskin zat hara. E. (Daftar kepustakaan: 1965/1995)
ABSTRACT It is difficult to ascertain the increasing rate of deforestation. FAO (1988) estimated a rate of 620,000 hectare/year, while the Forestry Statistics (1993/1994) estimated 1,183,700 hectare/year. Forest degradation and clearance that trespass into protection forests is a major problem for Indonesia. Land degradation in the watersheds of Krueng Aceh can be considered as a further level of deforestation and the impacts are gullying and scree slopes in 5 branch as of watersheds. Forest degradation and clearance in the protection forest area will produce potential impacts to downstream areas , or especially in inhabited and cultivated areas, because of the ill-functioning of protection forest hydrologically, and in its turn brought about against erosion and flooding. The objectives of this research is to investigate the characteristics of forest degradation in the protection forests of Krueng Aceh Watersheds, the result of this research will be useful to provide input to policies for appropriate management of protection forest in accordance with the present characteristics of deforestation The author used of Geographic Information Systems (GIS) as a tool in the presentation of the available analysed data. Data analysis undertaken was by available spatial analysis. The value at each layer of the map was entered into a matrix and by modeling the characteristics of damage to protection forest can be obtained. The results obtained from this characteristics of damage analysis to protection forest in the Krueng Aceh Watersheds, were as follows: 1. Protection Forest Severe Damage Class 1.1. High erosion level 1.2. Bush and Scrub vegetation 1.3. Critical land 1.4. Settlements 1.5. Poor condition of Groundwater minimal 2. Protection Forest Moderate Damage Class 2.1. Medium erosion level 2.2. No critical land 2.3. No settlements 2.4. Moderate Groundwater aquifers Conflict analysis carried out in the analysis of forest damage indicates the presence of conflict between sectoral institutions, namely in planning and land use. The analysis above disclosed that the dominant factors resulting from deforestation in the Krueng Aceh Watersheds are erosion and deficits in groundwater resource. Therefore, to minimize the main damage resulting from deforestation, it is imperative to manage these two factors properly. The first step in rehabilitation of critical land should be to establish pioneer plants that grow aggresively and easy to reproduce. Number Reference: 1965/1995)
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahbidin
Abstrak :
Salah satu wadah perlindungan bagi sumber daya alam dan keanekaragamana hayati yang kita miliki adalah hutan lindung Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Propinsi Kalimantan Selatan. Kawasan ini memiliki keanekaragaman hayati yang cukup mengesankan. Di hutan lindung Meratus terdapat berbagai fauna : 29 spesies mamalia, 62 spesies burung, dan 6 spesies reptilia, dimana 38 spesies diantaranya adalah jenis spesies yang dilindungi. Juga ditumbuhi flora : 141 jenis potion, 17 jenis rotan, 8 jenis palem-paleman, semua itu termasuk ke dalam 41 famili, yang terbanyak adalah famili dipterocarpaceae, kemudian famili graminea (rotan). Sebagian dari jenis diatas adalah flora endemik Pulau Kalimantan. Selain itu hutan lindung ini juga memiliki fungsi hidrologi bagi daerah-daerah di bawahnya seperti kota Barabai dan kota Birayang. Di sisi hutan lindung Meratus ini terdapat pemukiman penduduk yang telah lama menetap secara turun temurun, jauh sebelum status hutan lindung diberikan, yakni Batu Perahu. Pemukiman penduduk ini secara administratif diakui sebagai desa, yang berarti keberadaan mereka disana adalah legal (bukan sebagai perambah). Kondisi desa Batu Perahu masih memprihatinkan, miskin secara ekonomi, kualitas sumber daya manusia dewasa (angkatan kerja) sebagian besar masih buta huruf, masih terisolir dan hanya dicapai dengan berjalan kaki di jalan setapak.

Hutan lindung Meratus juga mempunyai fungsi hidrologi bagi daerah bawahannya seperti kota Barabai dan kota Birayang. Jika hutan ini rusak, maka kedua kota akan berada dalam ancaman bencana banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau.

Di sisi/tepi hutan lindung Meratus ini terdapat pemukiman penduduk yang telah lama menetap secara turun temurun, jauh sebelum status hutan lindung diberikan, yakni Batu Perahu. Pemukiman penduduk ini secara administratif diakui sebagai desa. Kondisi desa Batu Perahu masih memprihatinkan, miskin secara ekonomi, kualitas sumber daya manusia sebagian besar masih buta huruf, masih terisolir dan hanya dicapai dengan berjalan kaki di jalan setapak.

Para stakeholder memiliki dua kepentingan berbeda, pertama, membuka isolasi desa Batu Perahu. Kedua, mempertahankan kelestarian dan meningkatkan status hutan lindung Meratus menjadi taman nasional. Permasalahan muncul, karena beberapa pihak meragukan kemampuan pemerintah daerah menjaga kelestarian hutan lindung Meratus, jika jalan dibangun ke desa Batu Perahu. Alasannya sederhana, seandainya jalan telah dibangun, maka akses bagi penebang liar untuk masuk dan menebang kayu di hutan lindung akan lebih mudah. Para penebang liar biasanya memanfaatkan jalan umum untuk mengangkut kayu tebangan dengan menggunakan mobil truk atau mobil jeep. Disaat jalan tidak tersedia, maka akses penebang liar untuk mengangkut kayunya juga tertutup, dan hutan lindung akan aman dari penebang liar.

Melalui penelitian menggunakan Arialitycal Hierarchy Process (AHP), dengan beberapa kelompok : kelompok responden masyarakat lokal desa Batu Perahu diwakili Kepala Desa Batu Perahu, Sekretaris Desa Batu Perahu, dan Kepala Balai Adat Batu Perahu, Kelompok responden masyarakat kota diwakiii oleh Sekretaris Kecamatan Barabai, Lurah Barabai Barat, dan Ketua.Kelompok Tani Desa Wawai. Kelompok Kelompok responden LSM diwakiii ketua umum LSM Pecinta Pegunungan Meratus, dan Kelompok responden Pemda diwakili oleh Bappeda, Dinas Hutbun, Dinas Pertanian, dan Dinas PU dan Bangwil.

Hasil penelitian menunjukkan alternatif kebijakan yang paling tinggi bobotnya yakni 0,407 sebagai prioritas pertama adalah Pembangunan jalan skala roda dua & peningkatan hutan lindung menjadi taman nasional (R2&TN). Sedangkan alternatif kebijakan Peningkatan hutan lindung menjadi taman nasional (TN) dengan bobot 0,261 sebagai prioritas kedua, alternatif kebijakan Status quo (SQ) dengan bobot 0,203 sebagai prioritas ketiga, dan pembangunan jalan skala roda empat (R4) dengan bobot 0,129 sebagai alternatif terakhir.

Alternatif R2&TN dinilai sebagai win-win solution bagi stakeholder yang memiliki kepentingan. Alternatif ini bisa diterima oleh semua stakeholder.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T15305
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muslihudin Sharbinie
Abstrak :
Sumberdaya alam termasuk didalamnya sumberdaya hutan merupakan sumberdaya yang rentan terhadap konflik mengingat sumberdaya alam terikat dalam suatu lingkungan yang saling terkait. Suatu kegiatan tertentu yang dilakukan oleh individu akan berdampak terhadap lingkungan baik lingkungan sendiri atau lingkungan di luar dimana ia berada; sumberdaya alam terikat dalam suatu ruang sosial dimana hubungan yang komplek dan tidak seimbang terjalin yaitu antara berbagai aktor sosial seperti eksportir hasil bumi; petani, etnis minoritas maupun pemerintah; sumberdaya alam yang tersedia cenderung berkurang karena adanya perubahan-perubahan lingkungan yang pesat, permintaan yang cenderung meningkat dan distribusi yang tidak merata ; pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan dalam cara-cara yang berbeda dan merupakan suatu simbol tertentu. Karena faktor-faktor tersebut, konflik yang berkenaan dengan pengelolaan sumberdaya alam merupakan hal yang banyak ditemukan. Keadaan seperti itu terlebih lagi setelah berakhirnya Perang Dingin. Konflik dalam negara (intra-state conflict) terutama di negara-negara berkembang cenderung meningkat. Berbagai isu konflik muncul ke permukaan termasuk konflik yang berkenaan dengan isu lingkungan seperti konflik pengelolaan Hutan Lindung di Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung, Indonesia. Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi konflik di Kabupaten Lampung Barat adalah dengan melakukan kerjasama dengan salah satu INGOs yaitu the International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF). Sejak tahun 2000 ICRAF telah melakukan mediasi dalam upaya mencari pemecahan konflik. Fenomena tersebut membuktikan bahwa sebagai aktor non-state INGOs memiliki peranan yang signifikan. Mediasi sebagai salah satu pendekatan pemecahan konflik memiliki potensi terhadap perubahan pada aktor-aktor yang terlibat konflik maupun pada kebijakan yang berlaku. Pertanyaannya adalah bagaimana peta konflik pengelolaan sumberdaya tersebut, apa dampak mediasi ICRAF terhadap kebijakan yang berlaku dan bagaimana implikasinya terhadap kebijakan pengelolaan sumberdaya Hutan Lindung di Kabupaten Lampung Barat di masa yang akan datang. Peneltian ini bertujuan untuk mengkaji fenomena dampak mediasi ICRAF terhadap aktor-aktor yang terlibat konflik dan kebijakan pengelolaan Hutan Lindung di Kabupaten Lampung Barat. Untuk mengkaji fenomena tersebut digunakan perspektif pluralisme. Sebagai sebuah pendekatan pluralisme memandang bahwa gambaran hubungan internasional didasarkan pada empat asumsi pokok yaitu: Pertama, aktor non-negara, merupakan entitas yang penting dalam politik dunia. Organisasi internasional termasuk di dalamnya Non-Governmental Organisations (NGDs) misalnya dalam isu tertentu merupakan aktor yang independen. Mereka bukan hanya merupakan sebuah forum dimana negara-negara berlomba dan bekerjasama satu sama lain dengannya. Dalam organisasi internasional tertentu mereka memiliki kapasitas dalam hal menentukan agenda dan menyediakan informasi yang mampu mempengaruhi bagaimana suatu negara menentukan arah kebijakan tertentu. Kedua, bagi pluralis negara bukan merupakan aktor uniter. Negara merupakan aktor yang terdiri dari individu, kelompok kepentingan dan birokrat. Dalam pandangan pluralis, sebuah keputusan yang dibuat oleh suatu negara pada dasarnya merupakan sebuah keputusan yang sebenarnya dibuat oleh koalisi pemerintah, birokrat dan bahkan individu. Ketiga, bagi pluralis negara bukan merupakan aktor rasional. Pandangan ini bertentangan dengan asuinsi realis yang memandang bahwa negara merupakan aktor rasional. Keempat, bagi pluralis agenda politik internasional bersifat luas (ekstensif). Disamping isu keamanan negara isu-isu ekonomi, sosial, ekologi, perdagangan. moneter, energi, kelaparan dan degredasi lingkungan bagi pluralisme merupakan agenda internasional dan memerlukan pemecahan secara global. Tesis ini membuktikan bahwa, mediasi ICRAF dalam pengelolaan konflik Hutan Lindung di Kabupaten Lampung Barat berdampak terhadap aktor dan kebijakan-kebijakan yang berlaku. Terbentuknya kelembagaan yang memiliki kapasitas dalam mengkaji potensi sumberdaya alam dan memiliki wewenang dalam memformulasikan kebijakan-kebijakan telah memungkinkan aktor terkait sebagai bagian yang turut menentukan arah kebijakan pengelolaan sumberdaya alam tersebut. Kepemilikan lahan (land tenure) dalam bentuk ijin HKm. (Hutan Kemasyarakatan) yang diberikan oleh pemerintah kepada petani merupakan salah satu indikator bahwa pemerintah telah menaruh kepercayaan kepada petani dalam pengelolaan sumberdaya tersebut. Adanya jaminan kepemilikan lahan, peningkatan kemampuan dalam pengelolaan konflik dan peningkatan teknologi pengelolaan sumberdaya tersebut akan memungkinkan terbentuknya satu sistem pengelolaan sumberdaya Hutan. Lindung yang sesuai dengan perspektif pandangan aktor-aktor terkait. Dengan demikian visi pembangunan kehutanan Kabupaten Lampung Barat yaitu untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari akan lebih mudah tercapai.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14096
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Djuariah
Abstrak :
Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 menetapkan perlunya kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap DAS dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Namun degradasi hutan akibat berbagai aktlvitas legal maupun ilegal telah menyebabkan laju deforestasi + 2,8 juta ha/tahun selama kurun waktu 1997-2003 (Pusat Informasi Kehutanan, 2005). Di sisi lain pemanfaatan kawasan hutan yang berakibat pada pembukaan lahan hutan bagi kegiatan pertanian dan pernukiman semakin meningkat dengan bertambahnya penduduk. Program rehabilitasi hutan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan telah diwujudkan dalam Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) pada tahun 2003 serta program Hutan Kemasyarakatan (HKm) di luar Jawa dan Pengefolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Pulau Jawa. Upaya rehabilitasi hutan di hutan lindung sebagai safah satu fungsi hutan yang diperuntukkan bagi kepentingan fungsi tata air, di pihak lain juga menjadi tumpuan masyarakat sekitar hutan sebagai sumber pendapatannya. Guna mengintegrasikan kepentingan fungsi tata air dan pemanfaatan kawasan ofeh masyarakat di sekitar hutan lindung, maka permasalahan yang ditemui adalah bagaimana mengimplementasikan paradigma baru pengelolaan hutan berbasis masyarakat di hutan lindung, dengan mencermati perangkat kebijakan yang telah tersedia dan masih dibutuhkan, serta melakukan analisis dart sisi kelayakan proyek. Sehingga penelitian ini ditujukan untuk menganalisis kebijakan yang telah tersedia dan masih dibutuhkan guna mendukung PHBM di hutan lindung dan menilai kelayakan proyek terutama dari aspek kelembagaan dan aspek finansial pembuatan tanaman budidaya kopi yang diusuikan oleh masyarakat sebagai sumber pendapatan, dengan memperhatikan aspek tata air fungsi lindung di kawasan Hutan Lindung RPH Hanjawar Timur I, BKPH Sukanegara Utara, KPH Cianjur, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Hasil indentifikasi berbagai kebijakan yang terkait dengan pengelolaan hutan lindung bersama masyarakat di Pulau Jawa, menunjukkan ketersediaan program dan peraturan baik di tingkat nasional/pusat, propinsi, dan kabupaten, yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan, Perum Perhutani dan Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Peraturan dimaksud meliputi antara lain SK Menteri Kehutanan tentang HKm, Pedoman dan Evaluasl PHBM, Pedoman dan Petunjuk Teknis pengelolaan kawasan lindung dari Perum Perhutani, Pembentukan Kelompok Tani/Nelayan dan Tani/Hutan Propinsi Jawa Barat, Penunjukan Kader PHBM oleh ADM/KKPH Cianjur, dan pembentukan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) di Desa Campaka Mulya. Dari analisis kebijakan dan kelayakan proyek yang dilakukan, ternyata walaupun dari aspek hukum sudah tersedia peraturan yang melandasi kebijakan pengelolaan hutan bersama masyarakat di hutan lindung, namun dalam implementaslnya belum didukung oleh mekanisme perencanaan dan operasional di lapangan yang memadai. Mekanisme perencanaan pengelolaan hutan lindung yang melibatkan masyarakat sekitar hutan tergantung kepada kondisi spesifik di masing-masing lokasi hutan lindung, serta pemahaman masyarakat tentang fungsi lindung yang umumnya terbatas. Kelembagaan untuk mengelola hutan lindung bersama masyarakat yang sudah dibentuk di lokasi penelitian, belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan karena masih memerlukan peningkatan pemahaman masyarakat. Sehingga upaya penguatan kelerrrbagaan masih diperlukan melalui peningkatan kualitas sosialisasi/pendarnpingan dan perencanaan partisipatif, dengan meningkatkan kualitas penyuluhan dan koordinasi antar lembaga terkait di tingkat operasional. Penyuluhan diperlukan dalam aspek hukum dan aspek Iingkungan yang terkait dengan fungsi tata air. Sejalan dengan hal tersebut koordinasi dan kerjasama dengan berbagai pihak terkait seperti dari unsur pemerintahan, perguruan tinggi dan lembaga penelitian, perlu diupayakan. Berdasarkan aspek finansial dan ekonomi dalarn anallsis biaya manfaat untuk pengusahaan/penahaman tanaman kopi dengan pola tanam wanatani multistrata bersama jenis tanaman semusim (jagung) dan kayu-ka yuan pada hutan lindung di lokasi penelitian, layak untuk dilaksanakan terutama dengan memperhatikan aspek pasar dari harga kopi beras (hasil pengeringan. Dari aspek finansial maupun ekonomi, NPV untuk hasil kopi tanpa pengeringan bernilai positif pada tingkat infasi 7% dan 8%, dengan BCR > 1. Sec angkan dengan proses pengeringan NPV bare bernilai positif dengan BCR > 1 ketika harga kopi beras Rp.12.000, 00 untuk analisis financial dan Rp. 10.000, 00 untuk analisis ekonomi pada kedua tingkat Inflasi. Pengusahaan tanaman kopi mutu/strata bersama tanaman semusim dan kayu-kayuan selain layak secara finansial dan ekonoml, juga dapat mengintegrasikan kepentingan masyarakat dl sekitar hutan lindung dan keberlangsungan fungsi tata air. Kegiatan ini memberi hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan kawasan yang hanya didominasi oleh pohon kayu-kayuan saja, atau sebaliknya terjadi alih guna lahan hutan menjadl lahan pertanlan oleh masyarakat, Pengayaan tanaman di hutan lindung dengan jenis buah-buahan guna meningkatkan pendapatan petani dengan pengolahan tanah yang minimal, dapat pula dilakukan sesual kondisi tanah hutan. Untuk kelestarlan fungsi Iindung, penataan kawasan hutan lindung memerlukan penetapan blok pemanfaatan dengan mempertimbangkan daya dukung kawasan hutan lindung tersebut. Sedangkan dari aspek finansial dan ekonomi diperlukan pula peningkatan informasi pasar kepada petani hutan baik untuk saprodi maupun produksi kopi dan hasil hutan non kayu lalnnya. Dari aspek soslal ekonomi, pemerataan kesempatan kepada warga Dena Campaka Mulya yang belum terlibat dalam pengelolaan hutan lindung, perlu diupayakan melalui sosialisasi dan pendampingan yang melibatkan lembaga desa secara partisipatif guna menghindarkan kecemburuan soslal yang akan mendorong tindakan a sosial.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T17115
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nicko Ronny Gardono
Abstrak :
Tesis ini menelaah sebuah kebijakan publik yaitu Perpu 1/2004 yang berisikan tentang ijin kepada tiga belas perusahaan tambang untuk melakukan kegiatan pertambangan di hutan lindung. Alasan kegentingan memaksa karena krisis ekonomi patut yang melatar belakangi kebijakan publik ini patut dikritisi dengan melakukan kajian kebijakan dengan menggunakan analisa kronologis keluarnya Perpu 1/2004 dan dengan metode cost benefit analysis. Kajian kronologis keluarnya kebijakan menunjukan tidak ada transparansi dan akuntabilitas kepada publik dengan tidak diakomodasinya masyarakat sekitar hutan yang merupakan pihak yang akan terkena langsung dari kebijakan ini, secara materiil Perpu 1/2004 ini bertentangan dengan peraturan yang mempunyai kedudukan lebih tinggi seperti UUD' 45 pasal 28h dan pasal 33, UU No 10/2004, UU Na. 5/1990 pasal 19, UU 41/1999 pasal 24 dan pasal 38 serta UU 5/1994, secara formil perubahan bentang alam yang mempunyai fungsi khusus seperti hutan lindung sangatlah beresiko di tengah terjadinya deforestrasi di hutan Indonesia. Kajian menggunakan metode Cost & Benefit Analysis menunjukan bahwa secara jangka pendek kegiatan pertambangan memberikan keuntungan lebih tinggi daripada nilai intrinsik hutan lindung dan secara jangka panjang akan cenderung merugikan. Tampak perlu cara pandang baru dalam memandang sumber daya alam ini dengan lebih memperhitungkan nilai intrinsik alam yang selama ini diabaikan. Dengan cara itu akan timbul sikap humble economy, yang berarti tidak memandang kepentingan ekonomi sebagai satu-satunya alasan yang sah dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan maka rencana penambangan di hutan lindung tampaknya memerlukan kajian lebih mendalam dan dilihat secara kasus per kasus di setiap lokasi. Perhitungan alih fungsi lahan hutan menjadi areal pertambangan perlu ditelaah nilainya dalam kerangka analisis cost-benefit dalam jangka panjang.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T17114
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library