Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eka Prabowo Damanik
Abstrak :
Jika berbicara tentang gelandangan maka yang akan terlintas dalam pikiran adalah orang orang dengan kesejahteraan di bawah standar sosial dan kelompok masyarakat yang hidupdi jalan. Selain itu gelandangan juga digambarkan sebagai orang orang pemalas serta perusak tatanan kota sehingga keberadaannya selalu dikaitkan dengan hal hal negatif. Pandangan negatife ini dapat terlihat dari penggusuran atau pengusiran terhadap gelandangan berupa kebijakan dan peraturan yang diberlakukan oleh pemerintah atau pengusiran yang dilakukan secara pribadi oleh individu terhadap gelandangan. Namun demikian gelandangan kerap kembali ke lokasi mereka meskipun sudah mendapatkan pengusiran baik dari pemerintah atau individu. Dengan melihat gelandangan dari sudut pandang yang mereka miliki maka kembalinya mereka ke lokasi kita akan melihat perbedaan dari dalam melihat gelandangan dari sudut pandang kita selama ini. Kembalinya gelandangan ke lokasi yang mereka tempati dapat berupa upaya mereka mempertahankan lokasi pencarian rongsokan yang dilakukan oleh mereka serta kemudahan kemudahan yang mereka dapatkan selama di lokasi tersebut yang tidak dapat kita pahami jika tidak menggunakan sudut pandang yang mereka miliki. Dengan keberadaan gelandangan di suatu lokasi akan melahirkan ruang ruang sosial bagi gelandangan di lokasi tersebut. Dalam penelitian ini, saya berusaha melihat bagaimana gelandangan selalu bertahan pada suatu tempat walaupun sudah digusur berkali kali, apa yang menjadi alasan mereka dan bagaimana mereka bertahan dalam kehidupan yang berada di bawah standar sosial tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan penelitian kualitatif dengan melakukan wawancara terhadap lima orang informan yang berada di Tanah Abang. Penelitian ini menemukan bahwa keberadaan gelandangan di suatu lokasi kemudian melahir ruang sosial mereka dimana dalam ruang ini gelandangan kemudian menemukan kenyaman dan keamanan sehingga mereka berupaya mempertahankan lokasi ruang mereka kendati mendapatkan perlakuan penggusuran. ......When talking about homeless people, what comes to mind is people with substandard social welfare and community groups living on the streets. In addition, homeless people are also described as lazy people and destroyers of urban order, so their presence is always associated with negative things. This negative view can be seen in the eviction or expulsion of homeless people in the form of policies and regulations imposed by the government or evictions carried out personally by an individual against homeless people. However, homeless people often return to their locations despite being evicted from either the government or individuals. By looking at the homeless from their point of view, when they return to their location, we will see a difference in seeing the homeless from our perspective. The return of homeless people to the location where they live can be in the form of their efforts to defend the location of the search for junk that they carried out and the facilities they get while at that location which we cannot understand if we do not use their point of view. The existence of homeless people in a location will create social spaces for homeless people in that location. This study tries to see how homeless people always stay in a place even though they have been evicted many times, their reasons, and how they survive below social standards. This research was conducted using qualitative research by conducting interviews with five informants in Tanah Abang. This study found that the presence of homeless people in a location produces their own social space. In this space, the homeless found comfort and security, so they tried to maintain their spatial location despite eviction treatment.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ishaq Abdullah
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai produksi teritorial yang dilihat sebagai produksi ruang publik. Taman ekspresi bogor sebagai studi kasus hanya dilihat sebagai ruang publik yang digunakan untuk melihat produksi teritorial yang terjadi di dalamnya. Metode pengambilan data menggunakan observasi langsung terhadap studi kasus tanpa menggunakan data primer desain dari arsitek secara langsung. Hal tersebut dikarenakan ruang-ruang publik pada kawasan sekitarnya belum selesai terbangun, sehingga fokus penulisan hanya kepada observasi teritori yang terbentuk pada ruang taman. Pada skripsi ini ruang lingkup penulisan hanya membahas produksi teritorial sebagai proses produksi ruang secara satu arah tanpa melihat sebaliknya mengena i apakah produksi ruang dapat dilihat sebagai sebuah produksi teritorial.Teori produksi teritorial Mattias Karrholm digunakan sebagai dasar teori yang digunakan untuk melakukan pendekatan teori terhadap teori produksi ruang Henri Lefebvre. Pendekatan teori dilakukan dengan melihat empat aspek cara produksi teritorial strategi, taktik, asosiasi, dan apropriasi sebagai aspek relasi dalam proses produksi ruang ruang representasi, praktik meruang, ruang representasional . Hasilnya produksi teritorial yang dilihat sebagai proses produksi ruang pada taman ekspresi tersebut memproduksi ruang baru yang dihasilkan oleh aktivitas-aktivitas yang menciptakan pemaknaan dan pemfungsian ruang yang berbeda dari ruang yang seharusnya.
ABSTRACT
This thesis discusses the territorial production which seen as the production of public space. Taman ekspresi Bogor as a case study is only seen as a public space in which to view the production of territorial which happens in it. The method to collecting data using direct observation to study the case without using primary data from architect design directly. That is because the public spaces in the surrounding area of unfinished, so the focus of writing only the observation of territories that formed the park space. In this thesis only discusses territorial production in one writing scope as the process of production of space in one direction without seeing the opposite about whether the production space can be seen as a territorial production.Mattias Karrholm territorial production theory used as the basis for the theory used to make a theoretical approach to the theory of production of space Henri Lefebvre. Theoretical approach done by looking at four aspects of territorial production method strategy, tactics, associations, and appropriation as aspects of the relations in the production process space space representation, spatial practices, representational space . The result is the production of territorial which seen as a process of production space on taman ekspresi produce new spaces that generated by activities that create new meaning and different functioning of space from the space as it should be.
2017
S67319
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfilian Maulana Fajar Haryono
Abstrak :
Produksi ruang kehidupan masyarakat Kampung Bali muncul akibat adanya interaksi sosial yang terjadi di dalam lingkungan tempat tinggal masyarakat Kampung Bali. Interaksi sosial yang terjadi dalam lingkungan Kampung Bali dapat dilihat pada berbagai aktivitas yang dilakukan masyarakat setempat, termasuk pada saat proses pemanfaatan ruang dalam bentuk pembuatan mural, taman, kolam ikan, dan ornamen-ornamen khas Bali hingga proses tersebut selesai dilakukan. Pada proses pemanfaatan ruang yang dilakukan secara bersama-sama, menyebabkan masyarakat Kampung Bali melakukan suatu interaksi sosial. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan deskriptif analitis dan pengambilan data dilakukan dengan wawancara mendalam dan observasi lapangan. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa interaksi sosial dalam pemanfaatan ruang lingkungan tempat tinggal masyarakat Kampung Bali mendorong terjadinya produksi ruang-ruang di dalam Kampung Bali. Hal ini kemudian menyebabkan kehidupan masyarakat Kampung Bali memiliki ruang-ruang tertentu untuk melakukan aktivitasnya sehingga mendorong terjadinya interaksi sosial pada ruang-ruang tersebut. Ruang yang diproduksi dalam kehidupan masyarakat Kampung Bali bergantung pada tujuan dan interaksi sosial yang terjadi di Kampung Bali, seperti ruang berfoto, ruang berkumpul, ruang bermain anak, ruang menari, dan ruang bermusik. ......The production of living space for the people of Kampung Bali arises as a result of social interactions that occur in the environment where the people of Kampung Bali live. The social interactions that occur in the Kampung Bali environment can be seen in various activities carried out by the local community, including during the process of utilizing space in the form of making murals, gardens, fish ponds, and Balinese ornaments until the process is completed. In the process of using space together, it causes the people of Kampung Bali to carry out social interaction. The research method used is qualitative with an analytical descriptive approach and data collection is carried out by in-depth interviews and field observations. The results of this study concluded that social interaction in the use of environmental space where the people of Kampung Bali live encourages the production of spaces in Kampung Bali. This then causes the life of the people of Kampung Bali to have certain spaces to carry out their activities to encourage social interaction in these spaces. The space produced in the lives of the people of Kampung Bali depends on the goals and social interactions that occur in Kampung Bali, such as photo rooms, gathering rooms, children's playrooms, dancing rooms, and music rooms.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riska Rahma Arriani
Abstrak :
Pelecehan seksual di ruang publik merupakan fenomena produksi ruang yang terjadi akibat adanya perbedaan interaksi sosial yang saling bersinggungan yang akhirnya berdampak pada hak atas ruang aman dari pelecehan seksual. Komuter sebagai pelaku aktivitas di ruang publik memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk memproduksi ruang rawan pelecehan seksual. Sebagai area dengan pergerakan komuter terbesar di Indonesia, kejadian pelecehan seksual di Jabodetabek tidak bisa terelakkan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif menggunakan tabulasi silang dan inferensial. Penelitian ini melihat kejadian dari pelecehan seksual di Jabodetabek menggunakan Data Survei Komuter 2019 yang dikaitkan dengan faktor individu meliputi jenis kelamin, usia, dan keterbatasan fisik serta faktor perjalanan meliputi aktivitas utama, moda transportasi, jarak tempuh, waktu keberangkatan, dan waktu kepulangan. Dari hasil penelitian ini, sebanyak 1% perempuan di Jabodetabek mengalami pelecehan seksual dan memiliki peluang 2,6 kali dibandingkan laki-laki. Secara hasil inferensial keseluruhan, komuter yang memiliki peluang terbesar untuk mengalami pelecehan seksual adalah perempuan, komuter usia 26-39 tahun, komuter dengan keterbatasan fisik parsial atau tidak terlihat, komuter dengan aktivitas utama bekerja, komuter yang berangkat dan pulang pada waktu non-rush hour, dan komuter yang menggunakan transportasi umum. Pengurangan kejadian pelecehan seksual dapat didorong apabila korban berani untuk melawan kejadian pelecehan seksual yang didukung dengan perubahan nilai dan norma, dasar hukum yang memberikan efek jera, serta infrastruktur yang layak agar terproduksinya ruang kota tanpa pelecehan seksual dan hak aman bagi komuter di Jabodetabek. ......Sexual harassment in public spaces is one of the space production that occurs due to discrepancies of gender norms in social interactions. Commuters have higher risks to encounter sexual harassment as they spend more time in public spaces. Greater Jakarta has the largest number of commuters movement in Indonesia thus the incidents of sexual harassment in Greater Jakarta are inevitable. This study uses a descriptive quantitative approach using cross-tabulation and inferential methods. This study uses the 2019 Commuter Survey Data to analyze sexual harassment with individual factors including gender, age, and physical limitations as well as travel factors including main activity, mode of transportation, travel distance, time of departure, and time of arrival. From the results of this study, 1% of women in Jabodetabek experienced sexual harassment and has a higher probability than men by 2.6 times. From the inferential analysis, commuters who have the greatest probability to experience sexual harassment are women, commuters with age between 26 to 39 years, commuters with a partial or invisible disability, commuters with work as the main activity, commuters who depart and arrive during non-rush hours, and commuters using public transportation. Encouraging the victim to stand up against sexual harassment with the support of changing norms and values towards gender, the legal basis with deterrent effect, and also the proper infrastructure can help the production of urban space without sexual harassment and gain the safety rights for commuters in Jabodetabek.
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisa Zakiah
Abstrak :
ABSTRAK Fenomena penggusuran-bermukim kembali yang terjadi berulang kali pada masyarakat hunian pinggir rel kereta di Jakarta mengindikasikan adanya gejala hunian sebagai tempat kembali (home). Meskipun memiliki kondisi fisik yang buruk rupa (ugly), hunian masyarakat bawah ini juga memiliki kelebihan dalam hubungan sosialnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna home yang terbentuk dengan mengkaji proses produksi ruang sosialnya. Hal ini dilakukan untuk membuktikan adanya keterkaitan antara home dengan hubungan sosial. Kajian ini dilakukan dengan menganalisis interaksi yang terjadi antara manusia dengan lingkungannya dalam skala makro maupun mikro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari segi keteraturan, mekanisme produksi ruang sosial masyarakat hunian pinggir rel kereta ini terbentuk dalam skala personal, bukan skala kolektif. Meskipun demikian, saat terjadi ketidakteraturan (ancaman), muncul indikasi rasa keterikatan dan rasa identitas yang mengikat satu kesatuan kolektif dan mengikis rasa individualitas antar penghuni.
ABSTRACT Displacement-Re-dwelling phenomenon which occurs repeatedly on the rail-edge dwelling in Jakarta indicates sign of occupancy as a place of return (home). Despite having such a poor physical condition (ugly), low-income dwelling also have strength in its social milieu. The purpose of this study was to determine the meaning of a home that is produced by examining the production process of social space. This is done to prove the relation between home and social relationship. The study was conducted by analyzing the interactions between humans and their environment in the macro and micro scale. The results showed that in terms of order, the social space production mechanism of railedgeinhabitantsis formed in a personal scale, not a collective scale. Nonetheless, in the term of disorder (threat), there are indications of?sense of belonging? and ?sense of identity? that bind the collective unity and erode the ?sense of individuality? among the inhabitants.
2014
S55331
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heidy Octaviani Rachman
Abstrak :
ABSTRACT
Lingkup kajian Arsitektur bukan hanya membahas mengenai lingkungan yang terbangun. Jauh lebih esensial, Arsitektur merupakan seni meruang. Pemahaman mengenai ruang ini membawa seorang sosiolog, Henri Lefebvre, mendefinisikan ruang lebih dalam. Menurutnya, ruang adalah hasil dari aktivitas sosial. Namun di abad ke-21 ini, kehadiran teknologi cukup banyak mengintervensi aktivitas manusia. Kehadiran teknologi bukan hanya mempermudah aktivitas tetapi juga merubah produk ruang sosial. Dari pengamatan terhadap kasus ojek daring, dapat kita simpulkan bahwa benar teknologi yang membantu aktivitas manusia ternyata dapat merubah pembentukan ruang yang terjadi dari segi mental maupun fisik. Ruang sosial terbentuk karena aktivitas sosial masyarakat biasanya terbebas dari konflik, karena secara tidak sadar ataupun disadari terjadi negosiasi ruang. Berbeda dengan ruang sosial yang terbentuk atas bantuan teknologi, ia bisa berkembang dalam waktu yang relatif cepat, tetapi bisa menimbulkan pro dan kontra dari masyarakat sekitar karena kehadirannya yang tidak murni melalui aktivitas sosial.
ABSTRACT
The scope of Architecture study is not only discuss about built environment. More essential, Architecture is art of spatiality. An understanding of space brings a sociologist Henri Lefebvre, defining deeper about space. According to him, the space is the result of social activity. In the 21st century, the presence of sufficient technology intervenes human activity. The presence of technology not only facilitate the activity but also change the product of social space. From the observation of the online taxibike case, we can conclude that the technology that helps human activities, can change the formation of the space that occurs in mental and physical. Social space which formed by community social activities are usually free of conflict, because they shaped consciously or unconsciously by negotiation of space. Unlike the social space which is formed by help of technology, it can develop quickly, but it can be the pros and cons of the surrounding community because his presence is not purely through social activities.
2017
S66057
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisaa Aprilia Puspitasari
Abstrak :
Suatu ruang sosial terbentuk karena adanya tindakan sosial secara individual maupun beramai-ramai. Tindakan sosial ini kemudian berkontribusi dalam pemberian makna pada suatu ruang spasial dengan konteks penghidupan dan pemberian warna pada ruang dengan aktivitasnya. Produksi ruang merupakan sebuah ruang sebagai produk sosial yang kompleks melalui persepsi lingkungan yang dibangun atas dasar jaringan dengan berbagai aktivitas sosial seperti hidup secara pribadi, pekerjaan, dan waktu yang luang (Lefebvre, 1991). Third place atau ruang ketiga dimanfaatkan sebagai tempat untuk melepaskan stres, membuang rasa penat, atau mengalihkan pikiran-pikiran agar mental dan fisik terasa lebih segar dari sebelumnya. Dalam proses produksi ruang sosial sebagai ruang ketiga, terdapat pelaku dalam ruang yang mendominasi sebagai pembentuk ruang sehingga terdapat sebuah interaksi sosial di dalamnya. Kawasan Dukuh Atas sebagai tempat berlangsungnya fenomena ini merupakan kawasan perkantoran atau tempat melakukan transit transportasi umum yang dialihfungsikan oleh remaja-remaja pinggiran kota karena fasilitas penunjang yang mendukung aktivitas mereka. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pembentukan ruang baik secara spasial maupun sosial yang tercipta selama berlangsungnya Citayam Fashion Week dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dan menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi ruang yang terbentuk mengakibatkan pergeseran guna ruang akibat pemanfaatan ruang yang baru tidak seperti sebelumnya. Ruang publik pada tempat berlangsungnya fenomena Citayam Fashion Week memenuhi karakteristik dari ruang ketiga. ......A social space is formed because of social action individually or in groups. This social action then contributes to giving meaning to a spatial space with the context of life and giving color to space with its activities. Production of space is a space as a complex social product through the perception of the environment which is built on the basis of networks with various social activities such as private life, work, and leisure (Lefebvre, 1991). Third place is used as a place to release stress, get rid of fatigue, or divert thoughts so that mentally and physically feel fresher than before. With the production process of social space as a third space, there are actors in space who dominate as shapers of space so that there is a social interaction in it. The Dukuh Atas area as the place where this phenomenon takes place is an office area or a place for public transportation transit which is converted by suburban youth because of the supporting facilities that support their activities. Therefore, this study aims to determine the spatial and social formation process created during Citayam Fashion Week using qualitative research methods and using descriptive analysis. The results of the study show that the production of space that is formed results in a shift in the use of space due to the new use of space that is not like before. The public space where the Citayam Fashion Week phenomenon takes place fulfills the characteristics of the third space.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Qmaz Fawwaz Syafta
Abstrak :
Jakarta sebagai kota metropolitan memiliki sifat yang secara sosial heterogen dan individu cenderung lebih bebas dari kekakuan kontrol sosial patriarki, tetapi ketimpangan masih ada. Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik ruang publik Jalan/trotoar dan Sarana transportasi umum terkait dengan dominasi sosial serta perilaku yang terjadi oleh masing-masing gender. Dilakukan wawancara mendalam terhadap delapan informan yang hasilnya dikaji dengan menggunakan teori produksi ruang, proksemika, dominasi sosial, dan tindakan sosial. Ditemukan bahwa perempuan cenderung lebih behati-hati di ruang publik. Karena kecenderungan menjaga jarak yang lebih jauh terhadap orang asing, dilakukan taktik yang merupakan tindakan rasional-instrumental. Laki-laki cenderung tidak menganggap ruang publik sebagai tempat yang membahayakan, sehingga cenderung bertindak secara tradisional. Bagi individu dengan ekspresi gender silang, pengekspresian di ruang publik termasuk ke dalam tindakan rasional-nilai. Ruang publik Jalan dan Sarana transportasi digenderkan menjadi maskulin ditandai dengan asosiasinya dengan gender dan sifat-sifat maskulin. Pada sarana transportasi umum, kebutuhan perempuan akan keamanan dan sifat ruangnya yang tertutup kemudian membuat diciptakannya strategi oleh para voyeur berupa penciptaan ruang terseks perempuan, sehingga ruang publik tetap bisa menjadi tempat aman untuk perempuan. Bagi individu dengan ekspresi gender silang, ruang tersebut cenderung dianggap sebagai tempat yang kurang nyaman karena bias gender dari regulator ruang dan orang sekitar yang sifatnya cisnormatif. ......Jakarta as a metropolitan city has a socially heterogeneous nature and individuals tend to be freer from the rigidity of patriarchal social control, but inequality still exists. This study aims to determine the characteristics of public space such as roads/sidewalks and public transportation facilities in relation to social domination and behavior that occurs by each gender. In-depth interviews were conducted with eight informants whose results were examined using the theories such as production of space, proxemics, social domination, and social action. It was found that women tended to be more careful in public spaces. Because of the tendency to maintain greater distance from strangers, a tactic which is a rational-instrumental action is adopted. Men tend not to perceive public space as a dangerous place, so they tend to act traditionally. For individuals with cross-gender expression, expression in the public space is considered to be value-rational action. Public spaces such as Roads and transportation facilities are gendered to be masculine, characterized by their association with masculine traits. In public transportation, women's need for security and the closed nature of the space then led to voyeurs creating a strategy that is the creation of women's sexed spaces, so that public spaces can still be safe places for women. For individuals with cross-gender expressions, this space tends to be seen as an uncomfortable place because of the gender bias of the space regulator and the surrounding people.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Wahyuni
Abstrak :
Simpul sebagai titik strategis seringkali berada di sekitar kita sebagai ruang yang diproduksi oleh masyarakat melalui kegiatan yang terangkum di dalamnya. Fenomena keberadaan simpul ini bukan hanya berada di konteks pusat kota saja, tetapi juga terjadi di dalam permukiman penduduk. Dalam konteks permukiman ini simpul hadir sebagai ruang yang menyediakan kebutuhan masyarakat di sekitarnya. Namun keberadaan ini menjadi fenomena ketika dalam suatu permukiman terdapat beberapa simpul yang masing-masing memiliki perbedaan mengenai penilaian titik strategis. Dalam tulisan ini saya mencoba untuk menguak faktor apa saja sehingga suatu simpul yang pada dasarnya merupakan titik strategis menjadi memiliki perbedaan penilaian tersebut. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan menggali informasi kepada pengguna ruang di sekitar persimpangan untuk mendapatkan penjelasan bagaimana ruang yang strategis ini terbentuk. We can find node as a strategic point around us as the space produced by the community through activities that are covered in it. We can find the phenomenon of the nodes not only in the center of the city but also in the settlement area. In the context of settlement, the nodes as a space to fulfill the needs of society. But its existence become a phenomenon when a settlement has some of nodes which has different judgments about the strategic point. In this thesis, I will try to analyze what factor to make the nodes as a strategic point. The approach in this analyzing is interviewing the society who use the space in the nodes to get the information about how the strategic space is formed.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S42307
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Andry Tirtarahardja
Abstrak :
Pembahasan dari skripsi ini adalah ambiguitas ruang kota yang terjadi akibat dari variasi persepsi akan suatu tempat publik. Studi kasus yang dipilih adalah trotoar di Bunderan Slipi. Fokus pembahasan yang digunakan adalah teori ambiguitas arsitektur kota. Mengerucut pada bagaimana aktor-aktor yang berhubungan dengan sebuah ruang menjalani kegiatan di dalam ruang tersebut. Kehidupan publik dilihat berdasarkan respon terhadap unsur-unsur yang ada di dalam tapak. Respon ini merupakan sebuah persepsi ruang yang unik dan berbeda-beda bagi tiap individu. Persepsi ruang yang berbeda-beda akan sebuah tempat menjadikan sebuah ruang kota ambigu. Ambiguitas ini sangat jelas terjadi di trotoar Bunderan Slipi dengan banyaknya pedagang liar yang ada di dalam tapak. ...... The study in this essay is about urban space ambiguity that happens because of various perception of one public place. The chosen case is Bunderan Slipi Sidewalk. The study focused on urban space ambiguity theory. Pursed in how the actors who have something to do with the space do something inside the space. The public life observed as an unique and different form of perception from each individual. These different perception ought to make a place become an ambiguous urban space. Bunderan Slipi sidewalk have a very clear ambiguity with many street vendor on the sidewalk.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
S56786
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>