Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 36 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Heri Hariyanto
Abstrak :
ABSTRAK
Perusahaan X merupakan kontraktor asing yang menggalang kerjasama dengan Pertamina dalam bentuk Production Sharing Contract (PSC) untuk mengetola aktivitas kegiatan minyak dan gas bumi pada suatu witayah kerja (contract area) di Indonesia. perusahaan X mengelola beberapa wilayah kerja dl Indonesia. diantaranya adalah Pantai Utara Jawa Barat. Pantai utara Pulau Bali, Wirriagar. Bomberai, Berau. Kalosi, Madura East, dan Seram. Dalam mengelola beberapa wilayah kerja ini. Perusahaan minyak Iainnya yang disebut Partner juga ikut membiayaì semua pengeluaran serta menanggung resiko keseluruhan pelaksanaan aktivitas perminyakan yang dilakukan oleh Perusahaan X. Masing-masing wiiayah kerja ini dikelola oleh Perusahaan X dalam bentuk ketentuan PSC yang berbeda. serta keikutsertaan dar para Partner yang berbeda pula.

Setiap periode akuntansi tertentu, Perusahaan X diwajibkan menyajikan laporan keuangan sebagai pertanggungjawaban atas aktivitas kegiatan perminyakan yang dilakukan oleh Perusahaan X. Untuk menghasilkan laporan keuangan tersebut. Perusahaan X menggunakan Sistem Informasi Akuntansi yang terintegrasi. sehingga dapat melakukan pengolahan data untuk beberapa PSC.

Pengolahan data yang dliakukan oleh Sistem Informasi Akuntansi Perusahaan X Untuk menghasilkan laporan keuangan dilakukan melalul Oracle General Ledger. Oracle General Ledger melakukan pemrosesan transaksi setiap harinya, serta pemrosesan General Monthly Closing setap bulannya. Dan pemrosesan transaksi setiap harinya, serta pemrosesan General Monthly Closing setiap bulannya pada Oracle General Ledger akan dilihat bagaimana laporan keuangan dihasilkan untuk selanjutniya dikirim ke Pertamina, Perusahaan Induk, serta para Partner.

Dan penelitian yang ditakukan, dapat diketahui bahwa salah satu faktor yang dapat mernpengaruhi keakuratan laporan keuangan adalab dasar pengalokasian semua pengeluaran ke Perusahaan X, serta para Partners. Dasar pengalokasian yang digunakan oleh Perusahaan X adalah Time Allocation Table dan Allocation Factor. Analisa yang akan dilakukan adaIah apakah dasar pengalokasian yang digunakan tersebut dapat mengikuti perkembangan kegiatan usaha perminyakan pada masing-masing wiLayah kerja yang dilakukan oleh Perusahaan X dalam tahap kegiatan eksplorasi pengembangan serta produksi yang senantiasa dirtamik. Selain pengalokasian semua pengeluaran ke Perusahaan X serta para Partners yang senantiasa akurat ini merupakan kewajiban bagi Perusahaan X. juga akan dapat menjaga atau meningkatkan kerjasama dan kepercayaan dan Pertamina, para PartnerS serta Perusahaan Induk atas semua aktivitas perminyakan yang dilakukan oleh Perusahaan X pada masing-masing wilayah kerja di Indonesia.
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1990
S25903
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tjetjep Muljana
Abstrak :
ABSTRAK
Industri minyak dan gas bumi yang merupakan tulang punggung pembangunan Indonesia, dikelola oleh Pertamina bersama dengan Kontraktor Asing dalam bentuk Kontrak Production Sharing, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, ?Undang Undang No.44/PRP/1960 dan No.8/1971. Dalam kontrak tersebut Kontraktor Asing membiayai semua operasi perminyakan yang akan diganti dan hasil minyak/gas yang dihasilkan, sedang sisanya akan dibagi antara Pertamina dan Kontraktor Asing dengan rasio yang ditentukan dalam kontrak.

Dalam melaksanakan bisnisnya, Kontraktor Asing dan Pertamina melaksanakan pengendalian biaya melalui prosedur program kerja dan anggaran, pelaporan keuangan dan statistik, serta pengadaan barang dan jasa. Sistem pengendalian biaya yang digariskan oleh Pertamina bertujuan mengendalikan biaya seefisien mungkin bagi kepentingan Pertamina sesual dengan misi yang ditetapkan dalam Undang Undang No.8/1971. Sedangkan ?X? Petroleum Company (sebagai salah satu kontraktor yang menjadi tempat penelitian) melaksanakan sistem pengendalian biayanya sesuai ketentuan dan kantor pusatnya, yang kemudian dijabarkan dan disesuaikan dengan sistem yang ditentukan Pertamina.

Dengan adanya perbedaan misi antara Pertamina dan Kontraktornya, maka pelaksanaan sistem pengendalian biaya tidak dapat berjalan secara optimal dan tujuan agar biaya dapat dikeluarkan secara efisien tidak sepenuhnya dapat dicapai.

Dari hasil penelitian yang dilaksanakan pada ?X? Petroleum Company, ada beberapa hal dalam sistem pengendalian biaya yang dapat diperbaiki agar sistem ini bekerja secara optimal baik bagi kepentingan Pertamina maupun Kontraktornya. Kesimpulan dan saran bagi perbaikan sistem pengendalian pada Kontrak Production Sharing adalah sebagai berikut:

1. Secara umum sistem pengendalian biaya pada Kontrak Production Sharing tidak disesuaikan dengan perkembangan lingkungan yang kadang bergejolak (misalnya perkembangan harga minyak). Untuk itu sebaiknya dibuat sistem yang dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan tidak kaku.

2. Perlakuan akuntansi yang digabung dengan negosiasi bisnis dapat mengakibatkan rancunya sistem pengendalian biaya, sebaiknya perlakuan akuntansi tetap mengacu kepada Standard Akuntansi Keuangan sedangkan insentif bisnis dapat diberikan dalam bentuk lain. Dengan demikian pengendalian biaya tidak dipengaruhi oleh kepentingan pihak-pihak tertentu.

3. Saat ini Pertamina hanya menerima laporan keuangan dan Kontraktor, sehingga Pertamina tidak mengetahui sistem alokasi biaya yang dilaksanakan Kontraktornya dan mengakibatkan salah interpretasi. Hal ini dapat diatasi bila Pertamina menerapkan Accounting Procedure yang terdapat dalam kontrak, yaitu menentukan daftar perkiraan (Chart of Accounts) serta sistem alokasi biayanya bagi seluruh Kontraktor di Indonesia.

4. Perbedaan kepentingan antara Pertamina dan Kontraktornya dalam hal-hal tertentu dapat menghambat lancarnya operasi. Hal ini hanya dapat ditanggulangi dengan keterbukaan antara Pertamina dan Kontraktor dalam merumuskan tujuan perusahaan balk jangka panjang, menengah maupun pendek dalam bentuk program kerja dan anggaran.

5. Pengukuran kinerja dengan cara benchmarking melalui laporan operasional statistik kurang dapat dipergunakan karena kniteria maupun kiasiflkasi biayanya belum seragam. Untuk ¡tu sebaiknya semua Kontraktor Production Sharing dipertemukan dan bersama-sama membuat bench marking, agar dapat dihasilkan suatu tolok ukur yang benar dan perbaikan yang menuju kearah efisiensi biaya dapat dllaksanakan dengan Iebih akurat.

6. Persetujuan pengeluaran biaya melalui anggaran, AFE (Authorization For Expenditure) dan penetapan lelang yang sering memerlukan waktu yang lama membuat anggaran sebagai salah satu sistem pengendalian biaya tidak dapat melaksanakan fungsinya dan . perencanaan sering tertunda dan mengakibatkan membesarnya pengeluaran biaya. Hal ini hams segera ditunggulangi dengan mengurangi waktu dan jenjang tingkat persetujuan.

7. Keppres No.16 tahun 1994 beserta semua petunjuk teknis pelaksanaan yang bertujuan untuk mengetatkan pengeluaran biaya, ternyata dapat juga mengakibatkan bertambah besarnya biaya yang disebabkan oleh adanya syarat kandungan lokal yang memberikan toleransi harga yang lebih mahal dan prosedur penunjukan pemenang lelang yang berjenjang dan makan waktu. Hal ¡ni hams segera ditanggulangi dengan tidak sepenuhnya menerapkan Keppres no.16 tahun 1994 terhadap Kontraktor Production Sharing, atau segera menetapkan peraturan yang bersifat debirokratisasi dan deregulasi untuk menyederhanakan rantai persetujuan pengadaan barang dan jasa, agar biaya clapat ditekan serendah mungkin.
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arina Novizas Shebubakar
Abstrak :
Industri migas merupakan industri yang beresiko, mahal dan rumit. Industri migas yang mempunyai karakteristik high cost dan high risk technology, harus dikelola oleh tenaga-tenaga ahli dibidang minyak dan gas bumi. Sesuai dengan Undang-undang no. 44 Tahun 1960 tentang pertambangan minyak dan gas bumi dan Undang-undang No. 8 Tahun 1971 tentang PERTAMINA, pengusahaan minyak dan gas bumi dapat dikerjasamakan dengan kontraktor dalam bentuk kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract). Masalah utama dalam kontrak bagi hasil ditinjau dari kepentingan Nasional adalah bagaimana mengoptimalkan sumbangan pengusahaan sumber daya minyak dan gas bumi bagi perekonomian Negara, pemerataan kesempatan kerja, menciptakan peluang bagi perusahaan Swasta Nasional untuk berpartisipasi serta terjaminnya suplai BBM dan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri. Sementara itu, kepentingan Investor Asing dan pengusaha Swasta Nasional untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Berkenaan dengan pengelolaan migas dalam Production Sharing Contract, terdapat masalah tentang pengaturan perpajakan pada sektor migas khususnya kebijakan uplift berkaitan dengan pengenaan pajak penghasilan dalam sumber penerimaan Negara. Permasalahan ini menjadi kontroversi berkaitan dengan pengembalian biaya operasional yang diakui oleh kontraktor (cost recovery claim). Pajak uplift yang berbuntut kontroversi ini hanya dipungut atas mitra BUMN migas yang berkontrak dalam skema Joint Operation Body (JOB) terutama yang mengelola lapangan tua dengan teknologi lanjutan (Enhanced Oil Recovery/EOR). Kontroversi yang berkembang sejalan dengan menurunnya jumlah produksi dan meningkatnya biaya produksi yang diakui oleh kontraktor sehubungan dengan kewajaran dari biaya-biaya operasional yang dibebankan oleh kontraktor, baik dari segi jumlah maupun klasifikasi biaya. ...... Oil and gas industry is an industry that is risky, expensive and complicated. Oil and gas industry which has the characteristics of high cost and high risk technology should be managed by experts in the field of oil and gas. In accordance with Law No.44 Year 1960 regarding oil and gas mining and Law No.8 year 1971 regarding Pertamina, exploitation of oil and gas can be cooperated with the contractor in the form of a Production Sharing Contract. The main problem in terms of the production sharing contracts viewed from national interest is how to optimize resource utilization contribution of oil and gas for the State's economy, employment opportunities, creating opportunities for national private companies to participate and ensuring the supply of fuel and gas for domestic needs. Meanwhile, the interest of foreign investors and national private entrepreneurs are to gain the profit as much as possible. With regard to the management of oil and gas in the Production Sharing Contract, there is problem of setting the tax on oil and gas sector particularly uplift policy relating to the taxation of income in the state revenue sources. This issue is related to the return of controversy of operational costs recognized by the contractor (cost recovery claim). Uplift tax culminated by this controversy is only levied at state-owned enterprises as partners in the oil and gas with contracting scheme of Joint Operation Body (JOB), especially the old fields with advanced technology (Enhanced Oil Recovery/EOR). The controversy that developed in line with the declining number of production and increased production costs are recognized by the contractor with respect to the reasonableness of operational expenses charged by contractors, both in terms of quantity and cost classification.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
D2215
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriani Hapsari
Abstrak :
Rezim fiskal merupakan salah satu faktor terpenting yang harus dipertimbangakan dalam melakukan keputusan investasi dalam industri minyak dan gas bumi. Besaran nilai royalti, cost recovery, bagi hasil untuk kontraktor, domestic market obligation, investment credit, First Tranche Petroleum, dan tarif pajak memiliki efek yang cukup signifikan dalam keputusan investasi. Fokus dalam penelitian ini adalah membandingkan rezim fiskal PSC di Indonesia dan PSC di Malaysia. Untuk menganalisa kelebihan dan kekurangan dari tiap rezim fiskal, maka digunakan data yang sama untuk menganalisa keekonomian dari rezim fiskal yang berbeda. Informasi dalam penelitian ini berguna bagi pemerintah terutama ketika pemerintah ingin membandingkan tingkat efektifitas dari rezim fiskal yang ada, terutama dengan rezim fiskal Malaysia. Hal yang paling penting adalah untuk bahan pertimbangan dalam mengatasi situasi saat ini, dimana cost recovery semakin meningkat namun produksi minyak dalam negeri semakin menurun. Kesimpulan dari karya akhir ini, Pemerintah sebaiknya mengontrol cost recovery yang ada baik melalui kebijakan pemerintah maupun dengan mengubah kebijakan dalam rezim fiskal menjadi lebih progresif dan fleksibel. ......Fiscal Regimes is one of the most important factors to be considered for investment decisions in oil and gas industry. Royalty rate, cost recovery, contractor share, domestic market obligation, investment credit, first tranche petroleum and tax rate have a significant effect on the investment decisions. The focus of this study to compares the fiscal regimes PSC in Indonesia, and PSC in Malaysia. In order to analyze the advantages and disadvantages of each fiscal regime, the economic analysis of the same fields with the applications of those different fiscal regimes. The information of this paper is useful for the governments when they want to assess their fiscal regime competitiveness compared to other fiscal regime especially Malaysia. The most important is to handle the current situations in Indonesia which are the cost recoveries are increasing but the productions and oil price are getting decrease. Conclusion Indonesia should control the cost recovery either by government's policy or by their fiscal regime.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
S44727
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dicky Sondani
Abstrak :
Kita patut bersyukur karena termasuk menjadi bagian dari sebuah Negara yang dilimpahi kekayaan sumber daya alam, termasuk berbagai jenis sumber daya energi seperti minyak dan gas bumi (migas). Peranan migas dalam pembangunan nasional selama ini sungguh tidak diragukan lagi. Bukan saja sebagai sumber energi di dalam negeri, tetapi juga berperan menjadi sumber penerimaan Negara dan devisa, serta bahan Baku industri nasional. Hingga lima tahun terakhir ini subsektor migas menyumbang penerimaan dalam negeri sebesar rata-rata 33,55%. Namun, selama sepuluh tahun terakhir, ekspor minyak mentah Indonesia mengalami penurunan walaupun kecil yaitu rata-rata sebesar 3,8% per tahun. Produksi minyak Indonesia mengalami penurunan jauh di bawah volume yang ditargetkan dalam APBN. Untuk menanggulangi penurunan produksi minyak Indonesia, perlu dilakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi serta mengundang investor untuk menanamkan investasinya di bidang Migas. Agar investor berminat maka perlu diciptakan iklim investasi yang kondusif. Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, dimana secara jelas telah diatur dalam pasal 4 bahwa minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam strategis takterbarukan yang terkandung di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai Negara. Dengan diberlakukannya Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, secara resmi kegiatan usaha minyak dan gas bumi tidak lagi berpedoman pada UU No 44 Prp Tahun 1960 tentang pertambangan minyak dan gas bumi dan UU No 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Tambang Minyak dan Gas Bumi Negara. Sesuai dengan amanah Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002, pengawasan dan pembinaan kontrak kerja sama (KKS) atau kontrak bagi hasil yang sebelumnya dilaksanakan oleh PT Pertamina (Persero) beralih ke BP Migas. Kontrak Kerja Sama (KKS) dalam kegiatan eksplorasi dan produksi yang diperbolehkan tidak hanya sebatas bentuk Kontrak Bagi Hasil atau Production Sharing Contract, tetapi dimungkinkan juga dalam bentuk Kontrak Kerja Sama lain yang Iebih menguntungkan Negara.
We make proper grateful because including becoming the part of a State which exuberant properties of natural resources, including various resource type of energy like gas and oil (Migas). Role of Migas in national development during the time really do not in doubting of again. Not only as source of energy in Country, but also share to become the source of acceptance of State and Foreign exchange. and also industrial raw material [of] National. Till this five the last year of atonal migas subsection of acceptance in energy equal to flattening - flatten 33,55 %. But, during ten the last year, Indonesia crude oil export of degradation although small that is flattening equal to 3,8 % per year. Natural Oil Indonesia production of degradation far below Volume which targeting in APBN. To overcome degradation of Indonesia oil production, need conducting activity of exploration and also invite investor to inculcate the investment of area of migas. So that enthusiastic investor hence needing in creating investment climate which is contusive. Section 33 Invitor - Elementary Invitor 1945, where clearly arranging in section 4 that gas and oil as strategic natural resources isn't it which consist in Indonesia mining right region is properties of National which mastering State. With the of Invitor No 22 Year 2001 concerning Gas and oil, officially oil business activity and gas shall no longer at UU No. 44 Prp Year 1960 concerning mining of gas and oil and of UU No.8 Year 1971 About Company Of Mine Gas and oil Public Ownership. As according to Invitor trust - Invite Migas Number 22 Year 2001 and Regulation of Government of No. 42 Year 2002, observation and Production Sharing Contract (KKS) or previous sharing holder contract in executing by PT. Pertamina ( Persero) change over to BP Migas. Contract Work. Production Sharing Contract in activity of enabled production and explorers do not only limited to form of Production Sharing Contract, but enabled also in the form of other Production Sharing Contract which more beneficial of state.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2007
T19669
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fans Namara Nazar
Abstrak :
Kelebihan produksi gas bumi dari lapangan-lapangan gas di Kalimantan Timur disebabkan oleh alokasi contracted demand yang sebelumnya untuk ekspor telah berakhir. Kontradiktif dengan hal itu pemenuhan kebutuhan akan gas bumi nasional masih mengalami kekurangan (defisit). Hal ini disebabkan oleh infrastruktur transportasi gas bumi di Indonesia yang belum memadai dan kurang menariknya harga jual gas bumi domestik jika dibandingkan harga jual gas bumi untuk ekspor. Salah satu pemasok gas bumi di daerah Kalimantan Timur berasal dari tipe cadangan gas stranded. Produksi Lapangan X yang menjadi obyek dalam penulisan ini merupakan bagian dalam pemasok gas bumi untuk daerah Kalimantan Timur yang berasal dari jenis cadangan gas stranded. Dalam mengembangkan lapangannya, kontraktor memiliki kendala dalam mencapai parameter keekonomian yang ditentukan. Internal Rate of Return (IRR) lebih besar dari Minimum Attractive Rate of Return (MARR) sebesar 20% dan Bagian Pemerintah (Government Take) sebesar 30% digunakan sebagai ukuran (yardsticks) minimum ambang ekonomi dalam pengembangan Lapangan X. Analisis keekonomian Lapangan X dilakukan dalam rangka mempertahankan tingkat indikator keekonomian yang harus dicapai. Harga Gas (Gas Price), Biaya Operasi (Operating Cost) dan bagian antara pemerintah dengan kontraktor (Sharing Split) merupakan variabel PSC yang dianalisis untuk mendapatkan harga jual gas bumi yang memberikan pencapaian terhadap parameter keekonomian Lapangan X. Hasil dari analisis uji variabel PSC mendapatkan metode Uji Model Harga Gas Bumi dengan menggunakan model formula yang dilakukan eskalasi setiap tahunnya dan uji model Sharing Split sebagai metode terbaik yang dapat dipilih untuk pencapaian IRR masingmasing sebesar 20,6% dan 20,8% serta Government Take (GT) sebesar 37,4% dan 32,2%. Harga jual gas bumi yang dapat memberikan pencapaian ukuran (yardsticks) minimum keekonomian Lapangan X sebesar US$ 5,32-6,74/ MMBTU diberlakukan sebelum adanya perubahan titik serah terima gas bumi dan US$ 5,36-6,79/ MMBTU setelah adanya perubahan titik serah terima gas bumi. Jika dibandingkan dengan harga yang berlaku di pasaran (market), maka harga tersebut dapat digunakan sebagai harga jual gas bumi yang kompetitif untuk industri Pupuk. ......Over production of natural gas from gas fields in East Kalimantan is caused by the termination in allocation of previous contracted demand for exports. Contradictory to that, the needs of natural gas is still lacking (deficit). This is due to inadequacy of natural gas transportation infrastructure and less interesting selling price of domestic natural gas than the selling price of natural gas for export. One of the supply of natural gas in the East Kalimantan region is derived from the type of stranded gas reserves. Production of Field X which become object in this paper is a one of the suppliers of natural gas to East Kalimantan region derived from the type of stranded gas reserves. In developing their field, the contractor has a constraint in achieving the economic parameters defined. Internal Rate of Return (IRR) greater than the Minimum Attractive Rate of Return (MARR) by 20% and Government share (Government Take) by 30% is used as a measure (yardsticks) of minimum economic threshold in development of Field X. Economic analysis of Field X conducted in order to maintain the level of the economic indicators to be achieved. Gas prices, Operating Costs and part of the government and the contractor (Sharing Split) is a PSC variable analyzed to obtain the sale price of natural gas that yields to the economic parameters of Field X. The results of PSC variable test analysis showed the method of Model Price Gas Test done using a model formula which escalates each year and Sharing Split Test Model as the best methods that can be selected for achieving 20.6% and 20.8% of IRR and 37.4% and 32.2 % of Government Take respectively. The selling price of natural gas that can give attainment of Field X's economical minimum yardsticks is US $ 5.32 to 6.74/ MMBTU applied before the delivery point changes and about US $ 5.36 to 6.79/ MMBTU after changes in the delivery point of natural gas. When compared with the prevailing price in the market then this price can be used as the selling price of natural gas is competitive for fertilizer industry.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
T45710
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denies
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis risiko investasi yang perlu dipertimbangkan oleh KKKS A selaku investor dalam periode 2017 s.d. 2055 terkait skema pembiayaan proyek LNG berdasarkan analisis keekonomian dan analisis tata kelola migas, kebijakan pemerintah terhadap gas bumi, kepatuhan dan regulasi. Hasil analisis berdasarkan perhitungan keekonomian menyimpulkan bahwa skema pembiayaan proyek LNG dengan metode Trustee Borrowing Scheme TBS maupun Production Sharing Contract PSC memberikan nilai tambah bagi perusahaan. Melalui metode TBS diperoleh tingkat pengembalian investasi yang lebih besar dibandingkan dengan skema PSC. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa jangka waktu kontrak bagi hasil dan alokasi penjualan gas untuk domestik merupakan variabel yang paling sensitif terhadap nilai keekonomian proyek. Analisis hasil wawancara mendalam terkait tata kelola migas, kebijakan pemerintah terhadap gas bumi, kepatuhan dan regulasi menyimpulkan bahwa ketidakpastian regulasi dan inkonsistensi kebijakan pemerintah terhadap gas bumi merupakan faktor utama yang dapat menghambat investasi dan mengurangi nilai keekonomian proyek.
ABSTRACT
This research is conducted to analyze the investment risk that should be considered by PSC A as an investor during 2017 ndash 2055 in relation to LNG project financing scheme based on economic analysis and analysis on governance in oil and gas, government policy on natural gas, compliance and regulation. Result of analysis on economic calculation has concluded that LNG project financing scheme with both methods of Trustee Borrowing Scheme TBS or Production Sharing Contract PSC has added value to the company. TBS method can generate higher investment return than PSC scheme. Result of sensitivity analysis has shown that the production sharing contract term and gas for domestic market obligation are the most sensitive variables that can effect to project economic. Analysis through in depth interview to assess governance in oil and gas, government policy on natural gas, compliance and regulation has concluded that the uncertainty regulation and inconsistency of government policy on natural gas are the main factors that possibly obstruct the investment and reduce the project economic value.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedy Hidayat
Abstrak :
ABSTRAK
Sumber energi bahan bakar konvensional di dunia semakin berkurang. Cadangan gas konvensional di Indonesia diperkirakan hanya tersisa 59 tahun. Diperlukan sumber energi baru untuk memenuhi kebutuhan energi di masa depan. Salah satu sumber energi nonkonvensional yang potensial adalah gas hidrat. Potensi gas hidrat Indonesia diperkirakan mencapai 850 TCF yang tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Penelitian ini membahas mengenai analisis teknik dan ekonomi pengembangan lapangan gas hidrat di Cekungan Kutai perairan Kalimantan Timur menggunakan metode depresurisasi dengan stimulus termal menggunakan metode wellbore electrical heating dan metode hot gas injection serta dua kontrak kerja sama blok migas non-konvensional, yaitu kontrak bagi hasil dan kontrak gross split. Estimasi potensi gas hidrat di cekungan Kutai adalah 10,01 TCF. Hasil simulasi produksi gas dengan program HydrateResSim menunjukkan bahwa semakin rendah variabel tekanan, maka laju alir dan kumulatif produksi gas semakin tinggi, sedangkan variabel temperatur tidak berpengaruh terhadap laju alir dan kumulatif produksi gas. Laju alir produksi gas dari hasil simulasi yaitu 4.432 m3/hari sampai dengan 20.515 m3/hari atau 0,16 MMSCFD sampai dengan 0,72 MMSCFD. Efisiensi energi EROI produksi gas dari gas hidrat pada penelitian ini berkisar antara 2,2 sampai dengan 21,1. Pada harga 6,5/MMBTU dan MARR 11,8 , keekonomian proyek untuk kontrak PSC dan gross split semuanya tidak layak. Harga jual gas minimum untuk kontrak PSC yaitu antara 18,43/MMBTU sampai dengan 200,63/MMBTU. Harga gas minimum untuk kontrak gross split 13,27/MMBTU untuk variabel tekanan 10 bar dan temperatur 13oC sedangkan untuk variabel lainnya tidak mampu mencapai IRR 11,8 . Keekonomian kontrak gross split lebih baik dari pada kontrak PSC dengan perbandingan parameter NPV, IRR, PI kontrak gross split lebih tinggi dari pada kontrak PSC dan untuk parameter POT kontrak gross split lebih rendah dari pada kontrak PSC.Kata kunci : efisiensi energi, gas hidrat, gross split, kontrak bagi hasil
ABSTRACT
Conventional fuel energy source in the world is decreasing. Conventional gas reserve in Indonesia is estimated about only 59 years left. New energy source is needed to fullfil energy demand in the future. One of the potential unconventional energy source is gas hydrate. Gas hydrate potential in Indonesia is predicted reached 850 TCF which spread in Sumatera, Jawa, Kalimantan and Sulawesi. This study will discuss technic and economic aspect of gas hydrate field development in Kutai Basin, East Kalimantan offshore by depressurization method combine with thermal stimulation using wellbore electrical heating method and hot gas injection methode and two contract scheme of unconventional oil and gas block which are production sharing contract and gross split contract. Gas in Place GIP estimation hydrate gas in Kutai basin is 10,01 TCF. Simulation results using HydrateResSim program show that the lower pressure variabel, the higher flowrate and cumulative production of gas, but for the change of temperatur variable doesn rsquo t give any effect to flowrate and cumulative production of gas. Gas flowrate from the simulation is about 4.432 m3 day to 20.515 m3 day or 0,16 MMSCFD to 0,72 MMSCFD. The efficiency energy EROI of the production process is about 2,2 to 21,1. At gas price 6,5 MMBTU and MARR 11,8 , the economic feasibility of the project for PSC contract and gross split contract are not feasible. Minimum gas price for PSC contract is 18,43 MMBTU to 200,63 MMBTU, and for gross split contract is 12,27 MMBTU for variable pressure 10 bar and temperature 13oC, others variable can not meet IRR 11,8 . Economic gross split contract is better than PSC contract where NPV, IRR, PI gross split contract are higher than PSC contract and POT gross split contract is lower than PSC contract.
2018
T51631
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>