Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Steinberg, Charles Side
New York: Hastings House, 1980
342.73085 STE i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Gandhi, M.L.
Jakarta: Rajawali, 1985
070.026 GAN u
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Chafee, Zechariah
Chicago: The University of Chicago Press, 1947
323.445 CHA g I
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Neneng Rahmadini
"Dalam melaksanakan profesinya, seorang wartawan perlu mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini karena kebebasan pers penting demi tegaknya negara hukum yang demokratis, bahwa press as a fourth estate. Mengingat sejarah Indonesia sebagai negara bekas jajahan dimana hukum yang digunakan masih merupakan warisan hukum kolonial Belanda yang memang ditujukan untuk meredam segala bentuk pergerakan perjuangan kemerdekaan kaum nasionalis, maka dianutlah kriminalisasi pers. Hal ini tetap terus dipertahankan setelah Indonesia merdeka, hanya rezim yang melakukannya berbeda. Pers terus berada dibawah cengkeraman kekuasan pemerintah yang mempertahankan status quonya. Kebebasan pers pun masih jauh dari kenyataan.
Paradigma kebebasan pers di Indonesia baru mulai berubah seiring era Reformasi, dimana terbit UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dihapuskan aturan mengenai izin terbit pers atau SIUPP sehingga tidak mungkin ada lagi pers yang dibreidel. Khusus mengenai penyelesaian permasalahan berkaitan dengan pers, dalam UU tersebut diaturlah penggunaan Hak Jawab, Hak Koreksi, dan Mediasi melalui Dewan Pers. UU Pers ini mempunyai ketentuan pidana, walau disisi lain tak ditutup kemungkinan penggunaan pasal-pasal KUHP. Hal inilah yang kemudian menimbulkan persoalan, dimana ternyata dalam prakteknya kemudian banyak permasalahan-permasalahan berkaitan dengan pers diselesaikan dengan jalur hukum pidana, tanpa menempuh jalur-jalur yang telah tersebut dalam UU Pers itu. Timbul perdebatan apakah UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers tersebut lex specialis atau tidak sehingga dapat/tidak digunakan mengecualikan pasal-pasal KUHP. Hal ini memicu resistensi kalangan pers yang kemudian memperjuangkan untuk diakuinya UU Pers sebagai lex specialis dan dipergunakannya jalur-jalur selain hukum pidana dalam menyelesaikan permasalahanpermasalahan berkaitan dengan pers. Dimana hukum pidana dalam perkara pers haruslah diletakkan sebagai ultimum remedium atau tuntutan yang lebih ekstrim lagi untuk mendekriminalisasi pasal-pasal KUHP terhadap pers. Hal ini selain mengikuti perkembangan dunia internasional yang telah lama menghindari penyelesaian permasalahan pers melalui jalur pidana, juga bahwa dalam konteks karya jurnalistik sebenarnya tidak ada suatu kebenaran mutlak. Selain itu bukankah kebebasan pers sebagai bagian dari kebebasan berbicara, mengemukakan pendapat dan berekspresi seharusnya dilindungi oleh negara? Disinilah kemudian timbul pertanyaan besar, apakah perjuangan masyarakat pers tersebut memang mungkin untuk dilakukan? Bagaimana hal tersebut bila dikaji dari sudut pandang akademis? Hal-hal itulah yang coba dijawab dalam tesis ini."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15569
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Sadono S. Y.
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994
343.099 PER
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bonaventura Satya Bharata
"Penelitian ini selain berupaya mengetahui bagaimana manajemen redaksional suratkabar nasional Indonesia merekonstruksi kontroversi yang menyertai penyusunan RUU Penyiaran 2002 yang akhirnya disahkan oieh DPR RI pada akhir November 2002 lalu menjadi berita, juga berupaya untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses rekonstruksi tersebut. Seperti yang kita ketahui bersama proses penyusunan RUU Penyiaran 2002 yang sudah berlangsung selama hampir tiga tahun lamanya, diwarnai oleh suasana pro dan kontra. Berbagai demon masyarakat; baik dari kalangan praktisi penyiaran, akademisi, LSM, dan lembaga-lembaga lainnya berupaya untuk memberikan masukan kepada DPR guna menghasilkan draft RUU yang sekiranya dapat memuaskan semua pihak. Benturan-benturan pemikiran dari masing-masing lembaga kemasyarakatan tersebut inilah yang mengesankan proses penyusunan RUU yang akan segera menggantikan UU Penyiaran No. 2411997 penuh dengan warna-warni kontroversi. Namun yang jelas, sampai pada pengesahannya di akhir November tahun yang lalu, nuansa kontroversi ini tetap dapat dirasakan.
Kontroversi penyusunan RUU Penyiaran 2002 ini menjadi sangat menarik ketika terangkat menjadi berita di berbagai suratkabar. Keunikan terjadi bahwa pemberitaan prosesi RUU Penyiaran di suratkabar ternyata juga melibatkan pro dan kontra_ Pemberitaan di beberapa suratkabar ada yang menolak keberadaan RUU tersebut, namun tidak jarang pula yang memberikan dukungan. Di sinilah keunikan terjadi, realitas yang diliput adalah sama yakni proses penyusunan RUU Penyiaran 2002 yang diwarnai pro dari kontra, namun ketika muncul menjadi berita, yang satu menolak namun yang lain mendukung.
Deegan menggunakan pendekatan konstruktivisme, peneliti dapat memahami mengapa pemberitaan suratkabar seakan terlibat kontroversi ketika meliput realitas yang bersifat konflik. Dan menurut pendekatan ini pula, hal tersebut menjadi sah-sah saja mengingat institusi media bukanlah institusi yang hidup di ruang hampa, tanpa benturan sekian banyak kepentingan yang melingkupinya. Institusi media seperti halnya institusi suratkabar hidup bersama-sama bersama dengan dinamika institusi yang lain, seperti institusi politik, institusi ekonomi, dan institusi sosial budaya. Selain itu wartawan sebagai bagian panting dari institusi suratkabar pun, bukanlah individu yang pasif, yang hanya sekedar mem-fofocopy realitas yang terjadi menjadi berita. Namun ini merupakan individu yang aktif, yang dengan sedemikian banyak pertimbangan, turut berupaya merekonstruksi realitas yang terjadi untuk kemudian menjadi berita yang tersaji di hadapan kita.
Pada metodologi, penelitian di level teks media, yakni berita sebagai rekonstruksi realitas, peneliti menggunakan analisis framing model Robert N. Entman. Sedangkan untuk level konteks, yakni di level konteks manajemen redaksional dan konteks sosial budaya, peneliti mengadopsi metode Critical Discourse Analysis (CDA) milik Norman Fairclough. Di level teks media, dipilih beberapa berita seputar penyusunan (penundaan) dan pengesahan RUU Penyiaran 2002 pada bulan September dan akhir November tahun 2002. Sedangkan level manajemen redaksional, wawancara mendalam dilakukan pada staff redaksi dari masing-masing suratkabar. Lalu untuk level sosial budaya difokuskan seputar konteks ekonomi dan konteks politik yang melingkupi organisasi media dan dapat mempengaruhi proses kerja manajemen redaksional.
Hasil akhir penelitian menunjukkan bahwa Media Indonesia memiliki kecenderungan menolak keras RUU Penyiaran 2002, namun sebaliknya Jawa Pos terkesan memberi lampu hijau disahkannya RUU tersebut. Dart penelitian tekstual diketahtu bahwa keduanya memiliki strategi dan politik bahasa yang berbeda ketika merekontruksi kontroversi tersebut, lni dilakukan tentu dalam rangka menunjukkan sikap mereka terhadap fenomena RUU Penyiaran 2002, sekaligus upaya untuk meyakinkan pembaca masing-masing bahwa versi merekalah yang paling banal.. Sedangkan penelitian kontekstual, penelitian yang diarahkan pada manajemen redaksional di masing-masing suratkabar tersebut, menunjukkan adanya kebijakan yang memang berbeda berupa policy redaksional (di Media Indonesia) dan ideologi atau visi (di Javva Pos) dalam melakukan peliputan realitas konstroversi int. Kebijakan ini akhimya ?mampu memaksa" masing-masing manajemen redaksional tersebut untuk ikut terlibat melakukan peliputan dan penulisan berita menurut versinya sendiri-sendiri.
Walaupun tidak menjadi prioritas kajian; konteks ekonomi dan konteks politik yang melingkupi media ternyata berpengaruh pula bagi manajemen refaksional dalam merekonstruksi realitas. Kebijakan pemerintah selama Orde Baru yang lalu, walaupun di satu sisi merepresi kehidupan media, di sisi lain telah memberikan kesempatan bagi organisasi media untuk berkembang secara ekonomi. Ini memberikan kesempatan bagi organisasi media seperti halnya suratkabar (Media Indonesia dan Jawa Pos) berkembang sebagai bentuk industri baru, yang pada dasawarsa 1990-an mampu mengembangkan usaha baik vertikal maupun horizontal, Media Indonesia memiliki Metro TV dan Jawa Pos memiliki JTV. Keduanya memiliki kepentingan berbeda dalam hat RUU penyiaran 2002 ini. Akibatnya kedua suratkabar tersebut pun memiliki sikap yang berbeda pula ketika mereka merekonstruksi kontroversi RUU tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T11579
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tjipta Lesmana
"Pekerjaan wartawan di era Orde Baru sering dilukiskan "sulit", karena di satu sisi wartawan gigih menuntut kebebasan seperti yang dijamin oleh Undang-Undang Pokok Pers, tetapi di sisi lain pemerintah menilai kebebasan pers tanpa pembinaan dapat menciptakan situasi yang tidak kondusif bagi stabilitas nasional; padahal stabilitas nasional diyakini sebagai persyaratan mutlak bagi keberhasilan pembangunan nasional. Bagaimana pers, yang direpresentasikan oleh majalah Tempo, mengatasi kendala struktur dalam menjalankan tugasnya, tetapi pada waktu yang sama berupaya agar eksistensi penerbitannya tetap terjaga, itulah masalah yang hendak diteliti. Teori interaksi simbolik dipakai sebagai instrumen. Tujuannya, kecuali untuk menguji kebenaran ketiga asumsi dasar interaksi simbolik (Blamer, 1969:2), juga untuk mengkaji kegunaan model aksi Charon (1998) yang bertumpu pada definisi situasi (definition of situation) dalam memahami perilaku wartawan Tempo dalam hubungannya dengan pejabat-pejabat Departemen Penerangan.
Hubungan Tempo dan pemerintah dibatasi pada hubungan yang terjadi setelah keluarnya Undang-Undang Pokok Pers No 21 tahun 1982 hingga pembredelan majalah tersebut pada Juni 1994.
Ada empat pertanyaan penelitian yang diajukan: (1) Bagaimana obyek sosial didefinsikan sebagai berita? (2) Faktor-faktor apa yang mempengaruhi definisi obyek sosial sebagai berita? (3) Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pelaksanaan keputusan publikasi berita? (4) Bagaimana proses terjadinya konflik antara Tempo dan pemerintah?
Penelitian menggunakan desain kualitatif model interaksi simbolik (Muhadjir, 1990:125), mengambil majalah Tempo sebagai kasus studi. Data diperoleh dari wawancara mendalam (depth interview), analisis dokumen dan studi pustaka. Unit analisis adalah action, tindakan (Meltzer, 1964) dan dokumen; tindakan dari individu-individu yang berinteraksi sosial dan dokumen sebagai produk dari interaksi sosial. Duabelas informan Tempo dipilih dengan menggunakan teknik purposive dan snowball (Cresswell, 1994:148). Di kalangan pejabat, diwawancarai Subrata (mantan Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika) dan Brigadir Jenderal TNI (Purnawirawan) Nurhadi Purwosaputro (mantan Kepala Pusat Penerangan ABM). Semua wawancara dilakukan oleh peneliti sendiri, berlangsung antara Juli 1996 sampai Nopember 1997, dengan menggunakan alat perekam. Dari hasil wawancara dibuat transcripts yang kemudian dituangkan ke dalam "kartu penulisan catatan" (Faisal, 1990) untuk dibuatkan kategori-kategori. Berita, laporan dan opini yang dianalisis, terutama, berita, laporan dan opini yang menimbulkan reaksi keras dari pemerintah. Sedang dokumen yang diteliti, antara lain, semua peringatan tertulis yang dikeluarkan Departemen Penerangan kepada Tempo, Keputusan Dewan Pers No 79/XIV/1974 tentang Pedoman Pembinaan Idill Pers, pidato-pidato Presiden Soeharto dan Menteri Penerangan Harmoko yang berhubungan dengan masalah pers.
Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa (1) ketiga asumsi dasar teori interaksi simbolik dan model aksi Charon, secara umum, dapat menjelaskan hubungan majalah Tempo dan pemerintah yang bernuansa konflik. Namun, action sesungguhnya tidak selamanya ditentukan oleh makna obyek atau definisi situasi. Faktor kekuasaan dapat menghambat publikasi berita oleh wartawan serta tersumbatnya proses negosiasi. (2) Konflik Tempo dan pemerintah terutama disebabkan oleh perbedaan perspektif dan tidak adanya shared-meaning tentang simbol-simbol signifikan serta pemaksaan makna berita oleh pemerintah. (3) Faktor budaya kiranya juga dapat menghambat efektivitas aplikasi teori interaksi simbolik. Budaya Tempo yang individualistis tidaklah cocok dengan budaya Orde Baru yang bersifat kolektivistis, sehingga konflik pun tidak dapat dielakkan. Konflik yang berakhir dengan pembredelan Tempo.

Symbolic Interactionism as a Perspective In Understanding Press-Government Relations A Case Study on Tempo magazineA tough working condition was facing every journalist during New Order. Press freedom, while rigorously fought by journalists due to its guarantee in the Press Law, was not regarded as a positive factor in the maintenance of national stability. The government even constantly and systematically obstructing freedom of the press. How journalists fight against structural constraints, while not embarrassing the government officials, especially those in the Ministry of Information that is the core issue to be explored in this study. Symbolic interactionism is used as the instrument. Its objective is to make a further comprehension on the three basic assumptions of the interactionism (Blumer, 1969:2), as well as to see the relevance of Charon's (1998) action model which put a heavy stress on definition of situation in understanding social interaction, i.e. Tempo journalists' actions vis-a-vis government officials.
The study is restricted to the era following the proceeding of 1982 Press Law (Law No 21/1982) up to the clamp down of Tempo license permit in June 1994.
Four research questions are raised: (1) How social object is defined as news; (2) What factors influencing object definition as news; (3) What factors influencing decision in news publication and (4) How conflict between Tempo and government is proceeded.
The study is qualitative in design using symbolic interactionism model (Muhadjir, 1990:125). Data is collected through in-depth interviews. Twelve Tempo journalists were selected according to the purposive and snowball techniques. The unit of analysis is action (Mmeltzer, 1964), individuals (journalists and government officials) interacting each other and documents, such as government press guidance policy, sanction letters issued by the Ministry of Information to Tempo and speeches by the President and Minister of Information relating to the press issue. On the government' side, two ex high-ranking officials were interviewed: Subrata, former Director General of Press and Graphics Guidance (Ministry of Information), and Army Brigadier General (retired) Nurhadi Purwosaputro, former Armed Forces spokesman. All interviews, conducted from July 1996 to November 1997 by the researcher himself, were taped.
It was found that (1) symbolic interactionism perspective and Charon's action model are very relevant in explaining Tempo﷓government relation that is frequently colored by conflicts. Action, however, is not always determined by the meaning of object (assumption No 1). External power is also to be taken for granted in making decision on news publication. Power could make negotiation process obstructed, as well; contrary to the belief that meaning could always be negotiated through interaction (assumption No 2). (2) Conflict between Tempo and government is notably caused by perspective differences in interpreting political and social phenomena which, in turn, blocking the process of shared-meaning on significant symbols. (3) Cultural determinant also plays vital role in the effectiveness of symbolic interactionism. Tempo's orientation to Time magazine, heavily influenced by individualist culture, is not in line with New Order dominant collectivist culture. In the event of such cultural differences, conflict is unavoidable. And whoever in power is on the upper hand in conflict resolution."
2001
D198
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Insi Syahruddin
"Kajian ini membahas batasan kriminalisasi terhadap wartawan dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik. Terdapat dua prinsip dasar jurnalistik yang harus diperhatikan, yaitu menyediakan informasi yang diperlukan oleh publik dan memberikan publik informasi yang sebenar-benarnya, sehingga wartawan harus diberikan jaminan atas independensinya. Namun, permasalahan yang terjadi saat ini adalah banyak oknum yang menyalahgunakan profesi wartawan, sehingga berdampak pada wartawan yang sebenarnya. Permasalahan lainnya, kepatuhan wartawan terhadap Kode Etik Jurnalistik masih rendah, yang berdampak pada rentannya wartawan untuk dikriminalisasi. Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji sistem pers yang dianut oleh Indonesia saat ini; batasan kriminalisasi terhadap wartawan dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik; dan penegakan hukum pidana dalam penyelesaian kasus pers. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode doktrinal dengan mengkaji secara sistematis mengenai aturan hukum, putusan kasus, prinsip, konsep, teori, doktrin, institusi hukum, masalah hukum, dan isu mengenai pers. Hasil kajian menemukan bahwa sistem pers yang berlaku di Indonesia saat ini adalah pers bertanggungjawab bebas yang berarti hanya pers yang bertanggungjawab (dalam hal perizinan) yang dapat diberikan kebebasan. Batasan kriminalisasi wartawan dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik di Indonesia saat ini, diantaranya apabila terdapat laporan mengenai kegiatan jurnalistik atau produk jurnalistik dari wartawan yang tergabung dalam perusahaan pers berbentuk badan hukum atau terdapat laporan terhadap perusahaan pers berbadan hukum, maka penyelesaiannya menggunakan UU Pers. Laporan yang masuk akan dikomunikasikan dan dikoordinasikan dengan Dewan Pers sesuai Nota Kesepahaman antara Kepolisian dan Dewan Pers; apabila wartawan yang tergabung di perusahaan pers berbentuk badan hukum tanpa sadar lalai dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik kemudian melanggar kepentingan seseorang sehingga menimbulkan kebahayaan, maka diselesaikan dengan UU Pers; semakin suatu produk jurnalistik atau kegiatan jurnalistik mengakibatkan kebahayaan langsung secara fisik dan individual, maka semakin kuat alasan untuk mengkriminalisasi wartawan; semakin jelas niat jahat/buruknya perbuatan wartawan, maka semakin kuat alasan untuk mengkriminalisasi; dan apabila menimbulkan public wrong, maka semakin kuat alasan untuk mengkriminalisasi. Hasil penelitian juga menunjukkan terjadi disparitas dari keempat putusan tersebut dan perbedaan pandangan mengenai penyelesaian kasus pers antara kepolisian, kejaksaan, dan berbagai instansi yang bersangkutan.

This paper discusses the limits of criminalization against journalists in journalistic activities. Two fundamental principles of journalism must be considered, namely, providing information required by the public and providing the public with truthful information, so journalists must be guaranteed their independence. However, the current problem is that many people abuse journalism, which affects the journalists. Another issue is that journalists' compliance with the Journalistic Code of Ethics is still low, which impacts journalists' vulnerability to criminalization. Therefore, this study examines the press system adopted by Indonesia today; the limits of criminalization against journalists in journalistic activities; and criminal law enforcement in resolving press cases. The method used in this research is the doctrinal method, which systematically examines legal rules, case decisions, principles, concepts, theories, doctrines, legal institutions, legal problems, and issues regarding the press. The study found that the current press system in Indonesia is a free, responsible press, which means that only an accountable press (in terms of licensing) can be given freedom. The limitations on the criminalization of journalists in carrying out journalistic activities in Indonesia currently include reports on journalistic activities or journalistic products from journalists who are members of press companies in the form of legal entities or reports on press companies in the form of legal entities; then the resolution uses the Press Law. The incoming report will be communicated and coordinated with the Press Council through the Memorandum of Understanding between the Police and the Press Council; If journalists who are members of a press company in the form of a legal entity are unknowingly negligent in carrying out journalistic activities and then violate someone's interests, causing harm, then it is resolved by the Press Law; the more a journalistic product or journalistic activity causes direct physical and individual harm, the stronger the reason to criminalize journalists; the more precise the evil/bad intent of the journalist's actions, the stronger the reason to criminalize; and if it causes public wrong, the stronger the reason to criminalize. The results also show disparities between the four verdicts and different views on the resolution of press cases between the Police, the prosecutor's office, and various agencies concerned."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library