Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maryunani
Abstrak :
ABSTRAK
Dalam dunia penerbangan getaran merupakan suatu hal yang tidak dapat dihilangkan, tapi mengganggu tugas penerbangan. Mata merupakan salah satu indera yang paling terganggu fungsinya karena getaran, yaitu berupa turunnya ketajaman penglihatan saat membaca obyek dan ini sangat berbahaya dalam tugas mendaratkan pesawat udara, yang memerlukan pembacaan papan instrumen yang tepat dan cepat. Penelitian terhadap 120 subyek calon penerbang di Lakespra Saryanta ini bertujuan untuk mengetahui akibat getaran terhadap ketajaman penglihatan serta manfaat lensa kolimasi terhadap tajam penglihatan yang dipengaruhi oleh getaran. Penelitian dilakukan dengan memberi simulasi getaran terhadap subyek menggunakan kursi getar pada frekuensi 15 Hz dan 25 Hz dengan jarak obyek 75 cm dan 6 m dan dibandingkan efisiensi ketajaman penglihatan sebelum dan sesudah menggunakan lensa kolimasi saat mendapat getaran. Hasil penelitian : Pada penelitian ini ditemukan bahwa penurunan ketajaman penglihatan akibat getaran tergantung kepada frekuensi getaran dan jarak obyek, dari analisis statistik didapatkan bahwa frekuensi 15 Hz menurunkan ketajaman penglihatan lebih besar dibanding 25 Hz, pada jarak 75 cm maupun 6 m (P< 0.05). Sedangkan pada frekuensi 15 Hz, penurunan' ketajaman penglihatan pada jarak obyek 75 cm lebih besar dari pada 6 m (P < 0.05). Faktor umur, tinggi badan, dan berat badan pada penelitian ini secara statistik tidak mempengaruhi penurunan ketajaman penglihatan (CI melalui 1 dan uji P > 0.05) dengan analisa multivariat pengaruh umur, tinggi badan dan berat badan tersebut juga tidak bermakna ( P < 0.05 ). Sedang penggunaan lensa kolimasi dapat menghilangkan akibat getaran terhadap ketajaman penglihatan ( P < 0.05 ). Kesimpulan : Terbukti bahwa getaran menurunkan ketajaman penglihatan dan penggunaan lensa kolimasi dapat menurunkan akibat tersebut.
The Effect of Whole Body Sinusoidal Vertical and Horizontal Vibration Upon Visual Acuity and Its Correction by the Use of Collimation Lens on Pilot Candidates in Lakespra In aviation vibration is one of the obligatory effect in the air craft , and it can altere visual acuity for pilots in flight. Visual acuity may diminish due to vibration particularly in the approach and landing phases of flight. A 120 pilot candidates were subjects of this research as an effort to study the effect of vibration on visual acuity and the prospect of collimation lens as a correction device to improve the visual acuity under flight) vibration environment. Subjects were sitting on a vibratory chair to simulate whole body vibration at 15 Hz and 25 Hz with 75 cm and 6 m object distances to the eyes. The above values were then compared to the efficiency of visual acuity before and after using collimation lens during vibration. Results: The degree reduced of visual acuity depended on the frequency of vibration and the visual distance. Statistical analysis indicated that 15 Hz frequency reduced visual acuity more than 25 Hz at 75 cm or 6 m distance ( P < 0.005 ). At 15 Hz and 75 cm distance visual acquity reduced more than 6 m distance ( P < 0.05 ). Age, height, and body weight statistically did not give influence on visual acuity in this research and using multivariate analysis the above variables also gave insignificant relation ships ( P?0.05 ). The use of collimation lens was able to reduce the effect of vibration on visual acuity ( P < 0.05 ). Summary: It is concluded that vibration reduced visual acuity and the use of collimation lens can reduce the effect of vibration.
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suoth, Charles P.J.
Abstrak :
Latar Belakang: Waktu Reaksi adalah suatu pengukuran kecepatan reaksi, suatu proses mental dari pengaliran rangsang di dalam sel-sel otak dan saraf, sering digunakan untuk menilai kemampuan pelaksanaan tugas mental seseorang. Berkurangnya suplai oksigen, terutama dalam jaringan otak dan saraf oleh pengaruh hipoksia akan memperpanjang waktu reaksi seorang penerbang dalam misi penerbangan. Keadaan ini merupakan faktor utama meningkatnya risiko terjadinya kecelakaan dalam misi penerbangan. Metodologi: Penelitian ini adalah suatu eksperimen kuasi dengan desain pra dan pasca tes terhadap 64 orang calon siswa sekolah penerbangan TN1 Angkatan Udara dengan usia 21-26 tahun. Kadar hemoglobin, saturasi oksigen, fungsi kardio respirasi, kadar gula darah, dan waktu reaksi di ketinggian permukaan diukur. Subyek diintervensi ke ketinggian simulasi 18.000 kaki dalam ruang udara bertekanan rendah untuk mencapai kondisi hipoksia, yaitu dengan nilai saturasi oksigen 64-72%. Dilakukan pengukuran waktu reaksi di ketinggian permukaan dengan waktu reaksi di ketinggian simulasi 18.000 kaki. Hasil: Terjadi pemanjangan waktu reaksi yang signifikan di ketinggian simulasi 18.000 kaki. (100.11 mdet ± 15,76) dibandingkan dengan waktu reaksi di ketinggian permukaan (90.98 mdet ± 14.53) (p < 0.05). Pemanjangan waktu reaksi ini disebabkan oleh berkurangnya kecepatan pengaliran rangsang di dalam jaringan otak dan saraf akibat berkurangnya suplai oksigen. Kadar hemoglobin mempunyai hubungan yang kuat dengan terjadinya pemanjangan waktu reaksi ini. Kesimpulan: Hipoksia pada ketinggian simulasi 18.000 kaki menyebabkan pemanjangan waktu reaksi.
The Effect of Hypoxia on Reaction Time Among Indonesian Military Pilot's Candidates at a Simulated Altitude of 18.000 feet in the Hypobaric Chamber, 1999Background: Reaction time is a measure of the speed of reaction, it's a mental process that results from the impels processing through brain and nerves. It is often used to assess the ability of mental tasks performance. The lack of oxygen supply especially in the brain and nerves through hypoxia will prolong reaction time of the pilot which is a main factor to increase the risk of catastrophic in the flight mission. Methodology: A quasi experiment study with a pre and post test design on 64 Indonesian Military Pilot's candidate's age 22-26 years was conducted. Hemoglobin, oxygen saturation, cardio respiratory function, blood sugar and reaction time at ground level was measured. Subjects were exposed to a simulated altitude of 18.000 feet for hypoxia condition in the hypobaric chamber. Hypoxia condition was indicated by 65-72% oxygen saturation. Reaction times at ground level and at 18.000 feet were measured. Results: Reaction time was significantly longer at 18.000 feet (100.11 m sec ± 15.76) compared to ground level (90.98 m sec ± 14.53) (p < O.05). Prolonged reaction time at 18.000 feet is due to decrease of the speed of mental process in brain and nerves caused on reduced oxygen supply. Hemoglobin level showed strong correlation with prolonged reaction time (p-0,000). Conclusion: Hypoxia at a simulated altitude of 18.000 feet prolonged reaction.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hendarsetoprabowo
Abstrak :
Latar Belakang. Penglihatan perifer sangat penting disamping ketajaman mata bagi seorang penerbang. Penelitian mengenai penglihatan perifer yang pemah dilakukan adalah pada ketinggian 10.000, 12.500, 15.000 serta 23.000 kaki, belum pernah dilakukan penelitian pada ketinggian 18.000 kaki, dimana pada ketinggian 18.000 kaki ini tekanan menjadi 112 atmosfir dan subyek penelitian dapat dimanipulir selama 30 menit dengan aman. Oleh sebab itu akan dilakukan penelitian pengaruh hipoksia terhadap penglihatan perifer pada ketinggian 18.000 kaki dan untuk mengetahui beberapa faktor lain yang mempengaruhinya. Metodologi. Penelitian eksperimental terhadap 100 calon penerbang berumur antara 17 - 23 tahun. Diukur berat badan, tinggi badan, tekanan darah, denyut nadi, hemoglobin, saturasi oksigen, kapasitas vital paru dan penglihatan perifer pada permukaan tanah dan dalam ruang udara bertekanan rendah pada ketinggian 18.000 kaki dengan kondisi saturasi oksigen 64% - 72%, diukur denyut nadi, saturasi oksigen dan penglihatan perifer. Hasil. Rerata penglihatan perifer pada permukaan tanah 84,5° dengan simpang baku 4,94° dan pada ketinggian 18.000 kaki reratanya 76,5° dengan simpang baku 5,23° dan terdapat perbedaan bermakna (t tes berpasangan p = 0,000). Penurunan penglihatan perifer pada ketinggian 18.000 kaki berkorelasi positif bermakna dengan penglihatan perifer pada permukaan tanah (r = 0,48; p = 0,000) serta berkorelasi negatif dengan tekanan darah diastolik(r = -0,20; p = 0,050). Suatu model yang pantas untuk memprediksi penglihatan perifer pada ketinggian 18.000 kaki terdiri dari variabel tekanan darah distolik pada permukaan tanah (B= -0.2359) dan variabel penglihatan perifer pada permukaan tanah (B= 0.5087). Kesimpulan. Hipoksia menyebabkan penurunan penglihatan perifer. Untuk memprediksi penglihatan perifer pada ketinggian 18.000 kaki dapat digunakan variabel penglihatan perifer dan tekanan darah diastolik pada permukaan tanah. ...... Background. Peripheral vision is important for a pilot. Up to present time, the study on peripheral vision were conducted at 10.000, 12.500, 15.000 and 23.000 feet level. There was no study at 18.000 feet level where the barometer pressure 112 atmosphere where subjects can be safely manipulated untill 30 minute. Therefore it is beneficially to conduct study on influence hypoxya at 18.000 feet on peripheral vision and its relationship with the other factor. Methods. An experimental study using 100 candidate pilots, age 17 - 23 years. Height, weight, blood pressure, pulse rate, vital lung capasity, oxygen saturation, peripheral vision were meassured at a ground level and decompression chamber equal to 18.000 feet condition at 64% to 72 % oxygen saturation. Results. Peripheral vision at ground level, the mean was 84.5° with standard deviation of 4.94° and at 18.000 feet level the mean was 76.5° with standard deviation of 5.23°, It showed a significant difference (paired t test p = 0.000). Our data revealed the decreasing peripheral vision were significantly positive correlated with peripheral vision at ground level (r = 0.48 ; p = 0.000). and negative correlated with diastolic blood pressure (r= - 0.20 ; p = 0.050). The most suitable model for peripheral vision at 18.000 feet consisted of diastolic pressure at ground level (B= -0.2359) and peripheral vision at ground level (B= 0.5087). Conclusion. Hypoxia lowering peripheral vision. To predict peripheral vision at 18.000 feet, a varible of peripheral vision and diastolic blood pressure at ground level can be used.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T2578
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library