Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Czaczkes, J.W.
New York: Bruner Mozer, 1978
617.461 059 CZA c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
New York : Massen, 1981
617.461 059 CAP
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Michael Caesario
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang : Dialisis peritoneal (DP) merupakan modalitas terapi pengganti ginjal utama pada pasien bayi yang menjalani operasi jantung kongenital. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi DP pascaoperasi serta menilai pengaruh karakteristik lama penggunaan mesin pintas jantung paru, kompleksitas operasi, usia, dan berat badan terhadap kejadian dialisis peritoneal pascaoperasi pada pasien bayi yang menjalani operasi jantung kongenital dengan mesin pintas jantung paru. Metode : Dilakukan suatu studi cross sectional pada pasien bayi yang menjalani operasi koreksi penyakit jantung kongenital di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita dalam periode 1 Januari hingga 31 Desember 2018. Analisis statistik dilakukan pada faktor lama penggunaan mesin pintas jantung paru, kompleksitas operasi menurut kategori Risk Adjustment for Congenital Heart Surgery, usia, dan berat badan untuk menilai pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap kejadian DP pascaoperasi. Hasil : Sebanyak 181 pasien dilibatkan sebagai sampel penelitian. DP pascaoperasi dilakukan pada 13 (7,2%) pasien. Kelompok pasien yang menjalani DP memiliki median lama penggunaan mesin pintas jantung paru yang lebih tinggi (155 (44 - 213) vs 95,5 (13 - 279) menit; p = 0,008), rerata usia yang lebih muda (53 ± 54,79 vs 162 ± 88,59 hari; p < 0,001), serta median berat badan yang lebih rendah (3,6 (2,8 -4,5) vs 4,65 (2,6 - 11) kg; p < 0,001). Sebaran kompleksitas operasi antar kelompok yang tidak dilakukan DP dan kelompok yang dilakukan DP tidak berbeda bermakna (p = 0,11). hanya faktor lama penggunaan mesin pintas jantung paru > 90 menit yang secara bermakna memengaruhi kejadian DP (rasio odds 5,244 (1,128 - 24,382); p 0,02). Simpulan : Prevalensi DP pascaoperasi adalah 7,2 %. Kelompok pasien yang menjalani DP pascaoperasi memiliki usia yang lebih muda, berat badan yang lebih rendah, dan lama penggunaan mesin pintas jantung paru yang lebih lama dibanding kelompok pasien yang tidak menjalani DP pascaoperasi. Penggunaan mesin pintas jantung paru > 90 menit memengaruhi kejadian DP pascaoperasi secara bermakna.
ABSTRACT
Introduction: Peritoneal dialysis (PD) is the method of choice for renal replacement therapy in babies underwent congenital heart surgery. This study aimed to asses the prevalence of postoperative PD and to examine the influence of cardiopulmonary bypasss (CPB) time, surgical complexity, age, and body weight to the occurence of postoperative PD among babies underwent congenital heart surgery with CPB. Method: a cross sectional study was done on babies underwent congenital heart surgery in National Cardiovascular Center Harapan Kita from January 1st until December 31st 2018. Statistical analysis was done to CPB time, surgical complexity as classified according to Risk Adjusment for Congenital Heart Surgery categories, age, and body weight in order to asses the influence of those factors to the occurence of postoperative PD. Results: one hundred and eighty one patients were included in the study. Postoperative PD was done in 13 (7,2%) patients. Postoperative PD group showed longer median CPB time (155 (44 - 213) vs 95,5 (13 - 279) minutes; p = 0,008), younger mean age (53 ± 54,79 vs 162 ± 88,59 days; p < 0,001), and lower median body weight (3,6 (2,8 -4,5) vs 4,65 (2,6 - 11) kg; p < 0,001). Distribution of surgical complexity between postoperative PD group and no postoperative PD group was not differ significantly (p = 0,11). Only CPB time > 90 minutes that significantly affect the occurence of postoperative PD (odds ratio 5,244 (1,128 - 24,382); p 0,02). Conclusion: The prevalenve of postoperative PD was 7,2%. Patients underwent postoperative PD tend to be younger, had lower body weight, and had longer CPB time compared to those who did not underwent postoperative PD. CPB time > 90 minutes significantly affect the occurence of postoperative CPB.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58875
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuswinda Kusumawardhani
Abstrak :
Disfungsi seksual merupakan salah satu komplikasi dari penyakit gagal ginjal terminal. Pada pria yang menjalani CAPD, masalah pemenuhan kebutuhan seksual dipengaruhi oleh banyak faktor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor paling dominan yang mempengaruhi disfungsi seksual pria yang menjalani CAPD. Desain penelitian ini adalah analisis cross sectional dengan jumlah sampel 70 pria CAPD melalui teknik pengambilan sampel purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara usia (p=0,024), ureum (p=0,018), dan albumin (p=0,001) dengan kejadian disfungsi seksual. Faktor yang paling dominan mempengaruhi adalah albumin, dimana pasien yang memiliki kadar albumin < 3,5 g/dL berisiko untuk mengalami disfungsi seksual 9,3 kali lebih besar dibandingkan pasien dengan kadar albumin 3,5-5 g/dL setelah dikontrol oleh variabel usia. Rekomendasi dari penelitian ini adalah asupan protein sebanyak 1,2-1,5 g/kg berat badan setiap hari dengan setidaknya 60% berupa protein dengan nilai biologis tinggi serta evaluasi kemampuan perawatan dan penggantian CAPD di rumah.
Sexual dysfunction is a complication of terminal kidney failure. The problem of fulfilling sexual needs in men undergoing CAPD is influenced by many factors. This study aimed to find out the most dominant factor affecting man sexual dysfunction who undergo CAPD. The design of this study was cross sectional analysis with a sampel of 70 CAPD man using purposive sampling technique. The results showed there was a relationship between age (p=0,0024), urea (p=0,018), and albumin (p=0,001) with the incidence of sexual dysfunction. The most dominant factor affecting is albumin, where patients who have albumin levels < 3.5 g/dL are at risk of experiencing sexual dysfunction 9.3 times greater than patients with albumin levels 3.5-5 g/dL after being controlled by age variables. The recommendation of this study are protein intake of 1.2-1.5 g/kg body weight with at least 60% of protein with high bological value and evaluation of the ability of care and replacement of CAPD at home.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamidah
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini berfokus pada pengalaman dan persepsi kualitas hidup pada pasien dengan Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD). Disain kualitatif fenomenologi dipilih untuk mendapatkan informasi yang individual dan mendalam. Tujuh orang partisipan ditentukan dengan purposive sampling. Wawancara mendalam dilakukan menggunakan alat perekam, panduan wawancara semiterstruktur, dan catatan lapangan. Pendekatan Colaizzi?s Qualitative content analysis menghasilkan tema : Pengalaman ketidaknyamanan fisik dan psikis saat menjalani Hemodialisis; Dukungan orang terdekat dan tenaga kesehatan dalam menguatkan keyakinan membuat keputusan CAPD dan meningkatkan kemampuan selfcare; Pertimbangan kenyamanan memilih CAPD; Mengalami komplikasi yang kemungkinan dapat dicegah; Selfcare membutuhkan waktu; Adanya rentang konsep diri; Perasaan nyaman dengan CAPD; Koping positif dalam menyikapi perubahan pola hidup; Keterbatasan di pelayanan primer untuk CAPD dan Pengharapan untuk menjadi ?normal?. Pengalaman partisipan merupakan suatu kontinum. Studi lanjutan diperlukan untuk melihat faktor dominan yang mempengaruhi dalam pembuatan keputusan memilih modalitas CAPD
ABSTRACT
This study focuses on the experiences and perceptions of quality of life of patients with Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD). A Phenomenological qualitative design was chosen to obtain personal and in-depth information. Seven participants were determined using purposive sampling technique. An In-depth semi-structured interviews were tape recorded. Theme emerged from the Colaizzi?s qualitative content analysis : Experience of physical and psychological discomfort while undergoing Hemodialysis; Supports from the closest persons and health care professionals strengthen confidence on making CAPD decisions and improves selfcare abilities; Convinience reason for choosing CAPD; Experience preventable complications; Selfcare takes time process; Positive coping in response to changes in lifestyle; Existence of a range of self-concept; More comfort on CAPD; Limited service of CAPD in Primary Care; and Hoping of being 'normal'. Participant?s experience and quality of life perception laid in a continum. Further study related to dominan factors in choosing CAPD is recommended.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
T42422
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tatu Meri Marwiyyatul Hasna
Abstrak :
Pasien CAPD mengalami berbagai perubahan baik dari progresifitas penyakit maupun dari proses dialisis yang memberikan dampak terhadap penurunan kualitas hidup yang memiliki hubungan erat dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pada pasien CAPD. Desain penelitian ini adalah cross sectional dengan jumlah sampel sebanyak 64 orang. Monitoring dan evaluasi terhadap tipe transpor membran peritoneum, adekuasi dialisis Kt/V, status cairan, status nutrisi dan status anemia dilakukan dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini mendapati terdapat hubungan yang signifikan antara adekuasi dialisis Kt/V, status cairan, status nutrisi dan status anemia (P<0.05) dan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tipe transpor membran peritoneum dengan kualitas hidup (P>0.05). Simpulan dari penelitian ini adalah status anemia merupakan faktor dominan yang mempengaruhi kualitas hidup yang buruk setelah dikontrol dengan status nutrisi, adekuasi dialisis Kt/V dan status cairan. ......CAPD patients experience various changes, both from disease progression and from the dialysis process, which have an impact on decreasing quality of life and have a close relationship with increased morbidity and mortality. The purpose of this study is to identify the factors that affect the quality of life of CAPD patients. The research design was cross-sectional, with a total sample size of 64 people. Monitoring and evaluation of the type of peritoneal membrane transport, the adequacy of Kt/V dialysis, fluid status, nutritional status, and anemia status were carried out in this study. The results of this study found a significant relationship between Kt/V dialysis adequacy, fluid status, nutritional status, and anemia status (P 0.05), but no significant relationship between the type of peritoneal membrane transport and quality of life (P > 0.05). The conclusion of this study is that anemia status is the dominant factor affecting poor quality of life after being controlled by nutritional status, adequate Kt/V dialysis, and fluid status.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deka Viotra Kamaruddin
Abstrak :
Latar Belakang: Kekakuan arteri merupakan prediktor morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pasien menjalani dialisis. Beberapa studi yang membandingkan kekakuan arteri antara pasien yang menjalani hemodialisis dengan continuos ambulatory peritoneal dialysis CAPD masih kontroversi. Pelaksanaan hemodialisis yang dilakukan dua kali seminggu di Indonesia akan meningkalkan kekakuan arteri. Tujuan: Membandingkan kekakuan arteri antara pasien menjalani yang CAPD dengan hemodialisis dua kali seminggu.Metode: Studi komperatif membandingkan kekakuan arteri pasien yang menjalani CAPD dengan hemodialisis. Penelitian ini terdiri dari 30 subjek CAPD dan 30 subjek hemodialisis selanjutnya dilakukan pemeriksaan kekakuan arteri menggunakan SphygmoCor. Hasil: Karakteristik subjek yang menjalani CAPD dan hemodialisis tidak terdapat perbedaan pada usia, jenis kelamin, tekanan darah, lama menjalani dialisis dan diabetes melitus. Kadar fosfat subjek yang menjalani CAPD 5,09 1,83 mg/dL lebih rendah dibandingkan hemodialisis 6,07 1,83 mg/dL dan bermakna secara stastistik p = 0,046. Subjek yang menjalani CAPD mempunyai PWV 8,04 1,54 m/s lebih rendah dibandingkan hemodialisis 9,05 1,98 m/s dan bermakna secara stastistik p = 0,03. Simpulan: Pasien yang menjalani CAPD mempunyai kekakuan arteri yang lebih rendah dibandingkan hemodialisis dua kali seminggu.
Background: Arterial stiffness is a predictor of cardiovascular morbidity and mortality in dialysis patients. Several studies comparing arterial stiffness among patients undergoing continuous ambulatory peritoneal dialiyis CAPD and hemodialysis are still controversial. In, Indonesia hemodialysis is still performed twice a week that can cause the arterial stiffness higher than CAPD. Objective: This study is aimed to compare arterial stiffness between CAPD and hemodialysis that performed twice a week patients. Method: The comparative study between CAPD and hemodialysis patients. This study consisted of 30 CAPD and 30 hemodialysis patients. The examination of arterial stiffness used SphygmoCor. Result: The CAPD and hemodialysis patients were no different in age, sex, blood pressure, dialysis duration and diabetes mellitus. Phosphate levels in CAPD 5.09 1.83 mg/dL were lower than hemodialysis patients 6.07 1.83 mg/dL and stastically significant p = 0.046. CAPD patients have lower PWV 8.04 1.54 m/s than hemodialysis 9.05 1.98 m/s and stastically significant p = 0.03. Conclusion: The CAPD patients have lower arterial stiffness than hemodialysis patients that performed twice a week.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Makassari Dewi
Abstrak :
Saat ini data peritonitis rate dan angka kematian pasien penyakit ginjal kronik (PGK) stadium akhir pengguna terapi Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di Asian Tenggara masih terbatas. Angka peritonitis rate dan angka kematian pasien CAPD merupakan key performance indicator (KPI) yang diperlukan untuk melakukan evaluasi dan perbaikan mutu pelayanan secara berkelanjutan/continuous quality improvement (CQI) terhadap pelayanan terapi CAPD di rumah sakit. Peritonitis dapat menyebabkan kegagalan terapi CAPD sehingga pasien beralih ke metode hemodialisis atau berujung kematian. Metode CAPD memiliki keunggulan dibandingkan hemodialisis karena lebih hemat biaya, memberikan kualitas hidup lebih baik dan tidak memerlukan perawatan khusus di pusat hemodialisis. Metode ini cocok diterapkan di negara Asia Tenggara yang mengalami peningkatan jumlah penderita PGK tahap akhir yang membutuhkan biaya terapi sangat besar namun memiliki dana serta sumber daya terbatas. Tujuan utama systematic review ini untuk mengetahui peritonitis rate dan angka kematian pasien CAPD di Asia Tenggara. Systematic review menggunakan data renal registry serta basis data PubMed dan ProQuest khusus berbahasa Inggris dan Indonesia sejak tanggal 1 Januari 1992 sampai dengan 1 November 2022. Semua jenis studi yang memberikan informasi terkait peritonitis rate dan angka kematian pasien CAPD diambil dalam penelusuran systematic review. Penulis menyaring, memilih dan mengekstrak data sesuai skema systematic review PRISMA 2020. Artikel terpilih diberikan tinjauan kritis dan dilakukan sintesis data. Hasil sintesis data dilaporkan secara secara naratif serta diperjelas dengan tabel dan diagram. Dalam melakukan systematic review penulis menggunakan aplikasi Mendeley dan Microsoft Exel 2010 sebagai alat bantu. Hasil: Dari pencarian database Pubmed (1397) dan Proquest (422) serta laporan renal registry total terjaring 1819 artikel dan 5 laporan renal registry. Setelah proses penyaringan dan tinjauan kritis diperoleh 34 artikel dan 3 laporan renal registry. Hasil analisis menunjukkan telah terjadi penurunan tingkat peritonitis rate di Asia Tenggara dalam kurun waktu 1993-2022. Terdapat 4 negara yaitu Indonesia (0,25 episode per pasien-tahun),Vietnam (0,19 episode per pasien-tahun), Singapura (0,31-0,339 episode per pasien-tahun) dan Malaysia (0,13-0,33 episode per pasien-tahun) secara umum mencapai target International Society for Peritoneal Dialysis (ISPD)2022 yaitu tingkat peritonitis dibawah 0,4 episode episode per pasien-tahun. Adapun Thailand (0,39-0,864 episode per pasien-tahun) dan Brunei Darussalam (0,38-0,49 episode per pasien-tahun) belum mencapai target yang telah ditetapkan oleh International Society for Peritoneal Dialysis (ISPD) 2022. Sebagian besar angka kematian di bawah 20%. Angka kematian akibat peritonitis berkisar 3,2-5,5%. Mikroorganisme penyebab peritonitis yang paling sering ditemukan adalah Staphylococcus aureus dan Coagulase-negative Staphylococcus. Faktor risiko peritonitis yang ditemukan yaitu faktor usia tua (60 tahun keatas); diabetes milletus; sosial ekonomi rendah; tidak adanya sumber air bersih; hipoalbuminemia; kemampuan pasien CAPD dalam menerapkan tindakan aseptik saat pertukaran cairan dialisat yang buruk; rasio pasien-perawat lebih dari (50:1); jarak rumah yang jauh dari pusat dialisis; letak geografis dan penggunaan mupirocin topikal pada exit-site CAPD. Penggunaan cairan dialisat Dextrosa 4,2% yang sering dan terus menerus meningkatkan risiko kematian pada pasien CAPD sebanyak 2 kali lipat. Kesimpulan: Sebagian besar Negara di Asia Tenggara memiliki kualitas pelayanan yang baik terhadap pasien penyakit ginjal kronik stadium akhir pengguna terapi CAPD. Untuk mencapai kualitas pelayanan CAPD yang baik diperlukan bagi rumah sakit untuk memperhatikan faktor risiko peritonitis dan faktor risiko kematian dalam melakukan seleksi terhadap pasien CAPD serta melakukan pelatihan terhadap pasien CAPD sesuai rekomendasi International Society for Peritoneal Dialysis (ISPD). ......Currently data on the peritonitis rate and mortality rate of end-stage chronic kidney disease (CKD) patients using Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) therapy in Southeast Asia are still limited. The peritonitis rate and mortality rate of CAPD patients are key performance indicators (KPI) needed to evaluate and improve continuous quality improvement (CQI) for CAPD therapy services in hospitals. Peritonitis can lead to failure of CAPD therapy so that patients switch to hemodialysis methods or lead to death. The CAPD method has advantages over hemodialysis because it is more cost-effective, provides a better quality of life and does not require special treatment at a hemodialysis center. This method is suitable for use in Southeast Asian countries where there is an increasing number of end-stage CKD patients who require very large therapeutic costs but have limited funds and resources. The main aim of this systematic review is to determine the peritonitis rate and mortality rate of CAPD patients in Southeast Asia. The systematic review used renal registry data and the English and Indonesian PubMed and ProQuest databases from January 1 1992 to November 1 2022. All types of studies that provided information regarding the peritonitis rate and mortality rate of CAPD patients were included in a systematic review search. The author filters, selects and extracts data according to the PRISMA 2020 systematic review scheme. Selected articles are given a critical review and data synthesis is carried out. The results of data synthesis are reported in a narrative manner and clarified by tables and diagrams. In carrying out a systematic review, the author uses the Mendeley application and Microsoft Exel 2010 as a tool. Results: From a search of the Pubmed (1397) and Proquest (422) databases and renal registry reports, a total of 1819 articles and 5 renal registry reports were captured. After screening and critical review, 34 articles and 3 renal registry reports were obtained. The results of the analysis show that there has been a decrease in the peritonitis rate in Southeast Asia in the period 1993-2022. There are 4 countries namely Indonesia (0.25 episodes per patient-year), Vietnam (0.19 episodes per patient-year), Singapore (0.31-0.339 episodes per patient-year) and Malaysia (0.13-0, 33 episodes per patient-year) generally achieves the International Society for Peritoneal Dialysis (ISPD) 2022 target of a peritonitis rate below 0.4 episodes per patient-year. Meanwhile, Thailand (0.39-0.864 episodes per patient-year) and Brunei Darussalam (0.38-0.49 episodes per patient-year) have not yet reached the target set by the International Society for Peritoneal Dialysis (ISPD) 2022. Most of them mortality rate below 20%. The mortality rate from peritonitis ranges from 3.2-5.5%. The most common microorganisms that cause peritonitis are Staphylococcus aureus and Coagulase-negative Staphylococcus. The risk factors for peritonitis found were old age (60 years and over); milletus diabetes; low socioeconomic; lack of clean water sources; hypoalbuminemia; poor ability of CAPD patients to apply aseptic measures during dialysate fluid exchange; patient-nurse ratio more than (50:1); the distance from the house to the dialysis center; geographic location and use of topical mupirocin in CAPD exit-sites. Frequent and continuous use of Dextrose 4.2% dialysate fluid increases the risk of death in CAPD patients by 2 times. Conclusion: Most countries in Southeast Asia have good quality of care for patients with end-stage chronic kidney disease using CAPD therapy. To achieve good quality CAPD services, it is necessary for hospitals to pay attention to risk factors for peritonitis and risk factors for death in selecting CAPD patients and conducting training for CAPD patients according to the recommendations of the International Society for Peritoneal Dialysis (ISPD).
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Yaruntradhani Pradwipa
Abstrak :
Latar Belakang: Kadar asam urat darah berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular (PKV) serta meningkatkan angka kematian terutama pada populasi hemodialisis (HD) dan dialisis peritoneal (CAPD). Symmetric Dimethylarginine (SDMA) sudah sering dipakai dan diperiksa sebagai penanda PKV pada studi epidemiologi terutama pada populasi HD maupun CAPD. Pada populasi umum dewasa sehat dan HD, telah didapatkan adanya hubungan peningkatan kadar asam urat darah dengan peningkatan kadar SDMA. Namun pada populasi CAPD, peningkatan kadar asam urat darah terhadap peningkatan risiko yang terjadi masih menjadi kontroversi.  Tujuan: Studi ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kadar asam urat darah dengan kadar SDMA pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani CAPD. Metode: Penelitian dengan desain potong lintang yang dikerjakan pada bulan Juni 2021 sampai bulan Agustus 2021 pada pasien CAPD kronik > 3 bulan. Subjek dengan obat penurun asam urat, wanita hamil dan menyusui, dan pasien dengan riwayat keganasan tidak diikutsertakan pada penelitian ini. Kadar asam urat dan SDMA diambil saat pasien kontrol ke poli CAPD. Analisis bivariat dilakukan dengan analisis Mann – Whitney dan analisis multivariat dengan regresi logistik. Hasil: Total 55 subjek diikutsertakan pada penelitian ini. Didapatkan rerata kadar asam urat7.30 +1.59 mg/dl dan sebanyak 33 subjek (60%) dengan kadar asam urat > 7 mg/dl. Rerata kadar SDMA didapatkan sebesar 633.73 +231.54 ng/mL. Subjek dengan kadar asam urat > 7 mg/dl memiliki peningkatan kadar SDMA secara signifikan bila dibandingkan pada kelompok asam urat <7 mg/dl (721.58 + 220.57 vs 501.95 +182; P < 0.001). Didapatkan cut – off SDMA 536 ng/ml berdasarkan kurva ROC dengan Sensitivitas 81.8%, Spesifisitas 63.6%, PPV 77.78% dan NPV 73.68%. Setelah dilakukan adjustifikasi terhadap faktor perancu didapatkan bahwa DM (OR: 7.844; CI95%: 1.899 – 32.395: P value: 0.004) dan dyslipidemia (OR: 6.440; CI95%: 1.483 – 27.970; P value: 0.013) sebagai faktor risiko. Simpulan: Terdapat hubungan kadar asam urat darah > 7 mg/dl dengan peningkatan kadar SDMA pada pasien yang menjalani CAPD. Diabetes melitus dan dyslipidemia merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan kadar asam urat dengan peningkatan kadar SDMA. ......Background and Objectives: Uric Acid (UA) levels are associated with increased risk of cardiovascular events and mortality in hemodialysis (HD) and Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) patients. Symmetric dimethylarginine (SDMA) is a known marker of cardiovascular disease in a number of epidemiological studies, including in the HD and CAPD patient population. In a study with a population of healthy young adults and HD there was a correlation between high blood uric acid levels and blood SDMA level. However, in CAPD population, there are still conflicting data on the mechanism of increased risks related to uric acid levels. This study aimed to assess the association between uric acid levels and SDMA in the subjects undergoing CAPD. Materials and Methods: This was a cross – sectional study conducted in all the adults who underwent CAPD for at least three months in tertiary hospital in Jakarta, Indonesia. Subjects already on uric lowering therapy, pregnant or lactating women, and those with a history of malignancy were excluded. Uric acid and SDMA level were measured at the same time patients controlled to outpatient clinic. Bivariate analysis was performed using the Mann – Whitney test and multivariate analysis performed using logistic regression test. Results: A total of 55 subjects were included. The median level of UA was 7.30 +1.59 mg/dl and 33 subjects (60%) had UA levels of 7 mg/dl or higher. The median SDMA level was 633.73 +231.54 ng/mL. Subjects with UA levels > 7 mg/dl had significantly higher SDMA levels compared to subjects with UA levels <7 mg/dl (721.58 +220.57 vs 501.95 +182; P < 0.001). The cut – off value of SDMA 536 ng/mL was obtained from the receiver operating characteristic (ROC) curve with sensitivity 81.8%, specificity 63.6%, PPV 77.78% and NPV 73.68%. After fully adjusted with the confounders, the determinant factors in this study were diabetes mellitus (OR: 7.844; CI95%: 1.899 – 32.395: P value: 0.004) and dyslipidemia (OR: 6.440; CI95%: 1.483 – 27.970; P value: 0.013) as risk factors. Conclusion: In CAPD patients, UA levels above 7 mg/dl were associated with increased SDMA levels. This study demonstrates the determinant factors regarding association between UA level and SDMA in CAPD patients were diabetes mellitus and dyslipidemia. The cut – off value of SDMA above 536 ng/mL were significant to increased risk of cardiovascular events.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Iffatul Faizah
Abstrak :
Anak End-Stage Kidney Disease (ESKD) dapat mengalami berbagai komplikasi yang diantaranya berupa gangguan tidur. Umum diketahui bahwa tidur memiliki peran penting dalam pertumbuhan serta perkembangan anak. Sayangnya data terkait gangguan tidur pada anak ESKD yang menjalani continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) masih sangat sedikit yang menjadi alasan mengapa penelitian ini dilakukan. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui profil tidur anak ESKD yang menjalani terapi CAPD di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. (RSCM). Seluruh pasien anak ESKD yang menjalani CAPD dimasukkan menjadi subjek untuk dievaluasi sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi adalah menjalani CAPD minimal selama 1 bulan. Kriteria Eksklusi adalah konsumsi obat antikejang, antihistamin, antiansietas dan obat lain yang memiliki efek kantuk selama 3 hari sebelum pengisian kuesioner Skala Gangguan Tidur untuk Anak (SDSC). Gangguan tidur diidentifikasi pada 11 dari total sampel 20 pasien. Jenis gangguan tidur terbanyak berupa gangguan memulai serta mempertahankan tidur. Uji bivariat dilakukan dan tidak didapatkan hubungan bermakna antara usia, jenis kelamin, etiologi penyakit ginjal kronis (PGK) durasi CAPD, dan status gizi dengan skor total SDSC. Kesimpulan yang dapat diambil adalah prevalensi gangguan tidur anak ESKD yang menjalani CAPD di RSCM sebesar 55% serta belum ditemukan faktor bermakna terhadap gangguan tidur pada populasi anak tersebut. ......Children with End-Stage Kidney Disease (ESKD) can experience various complications, including sleep disturbances. It is commonly known that sleep has important roles in the growth and development of children. Unfortunately there is limited data regarding sleep disturbances in ESKD children undergoing continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) which is the reason why this study was conducted. The purpose of this study was to determine the sleep profile of ESKD children undergoing CAPD at Cipto Mangunkusumo Hospital. (RSCM). All ESKD pediatric patients undergoing CAPD were included as subjects. The inclusion criteria were undergoing CAPD for at least 1 month. Exclusion criteria were anticonvulsants, antihistamines, antianxiety drugs consumption or other drugs with drowsy effect for 3 days before filling out the Sleep Disturbances Scale for Children (SDSC) questionnaire. Sleep disturbance was identified in 11 of the total sample of 20 patients. The most common type of sleep disturbances is disturbance in initiating and maintaining sleep. Bivariate tests were carried out and found no association between age, sex, etiology of chronic kidney disease, duration of CAPD, and nutritional status with SDSC total score. Conclusion, the prevalence of sleep disorders in ESKD children undergoing CAPD at RSCM is 55% and no significant factors have been found for sleep disturbances in this population
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library