Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wahyunia Likhayati S
Abstrak :
Latar belakang: Hati kelinci yang dideselularisasi sebagai perancah untuk kultur organoid hati telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam meningkatkan viabilitas dan fungsinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan organoid dari kokultur sel yang dapat mendukung fungsi hati. Pemanfaaatan perancah hati yang dideselularisasi untuk mempertahankan viabilitas dan fungsionalitas hepatosit dan mengevaluasi organoid hati manusia yang ditransplantasikan ke model hewan coba dan mengetahui respons yang dimediasi sel imun. Metode: Sel hepatosit yang berasal dari iPSC manusia dikokultur dengan tiga sel lain untuk membentuk organoid hati. Delapan belas belas kelinci putih berusia 3 bulan digunakan dalam percobaan ini dan dibagi menjadi empat kelompok: Kelompok sham-operated (n = 3), kelompok ligasi duktus biliaris (n = 6), kelompok eksperimen dengan ligasi saluran empedu diikuti oleh transplantasi organoid hati (kelompok jangka pendek, (n=5); kelompok jangka panjang, (n=4). Hasil: Pada penelitian ini dilakukan analisis survival menggunakan metode Kaplan-Meier (KM) untuk menentukan probabilitas kumulatif kelangsungan hidup dari kejadian kematian pada kedua kelompok dengan dan tanpa transplantasi organoid hati. Hasil tes log-rank menunjukkan bahwa kemungkinan bertahan hidup secara keseluruhan antara kedua kelompok yang menerima perlakuan berbeda. (p=0,003). Kelompok jangka pendek menunjukkan peningkatan fungsi hati seperti albumin, CYP3A, dan tingkat AST yang lebih rendah daripada kelompok jangka panjang. Hati kelompok jangka pendek menunjukkan tingkat deposisi kolagen yang lebih rendah. Kesimpulan: Transplantasi organoid hati kokultur manusia dalam perancah hati yang dideselularisasi ke hewan yang diligasi duktus biliaris dapat mendukung kelangsungan hidup hewan dan fungsi hati untuk jangka pendek. Studi ini menyoroti potensi transplantasi organoid hati untuk mendukung fungsi hati jangka pendek. Namun, fungsi dan penolakan organoid hati dapat membatasi penggunaan pada jangka panjang. ......Background: Decellularized native liver scaffolds as a platform for liver organoid culture have shown promising results in improving their viability and function. This research aims to develop cocultured liver organoids that can recapitulate liver functions, utilize a decellularized native liver scaffold to maintain the viability and functionality of hepatocytes and evaluate human liver organoids transplanted into animal models to support liver function in two periods categories and immune-mediated response. Methods: The hepatocyte-like cells derived from the human iPSCs were cocultured with three other cells to form liver organoids. Eighteen 3-month-old New Zealand White Rabbits were used in the experiment, divided into four groups: A sham-operated group (n=3), a bile duct ligation group (n=6), an experimental group with biliary duct ligation followed by liver organoid transplantation (short-term group, n=5; long-term group, n=4). Results: We performed a survival analysis using the Kaplan-Meier (KM) method to determine the cumulative probability of survival from death events in both groups with and without liver organoid transplantation. The log-rank test results indicated a notable variation in the overall likelihood of survival between the two groups receiving different treatments. (p=0.003). The short-term group exhibited improved liver functions such as albumin, CYP3A, and lower levels of AST than the long-term group. The livers of the short-term group showed lower levels of collagen deposition. Conclusions: Transplanting human coculture liver organoids in decellularized native liver scaffold into bile duct ligated animals could support the animal's survival and hepatic function for the short term. This study highlights the potential of liver organoid transplantation for short-term liver support. However, the functionality and rejection of liver organoids may limit their long-term use.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriellius Chandra
Abstrak :
Rangka manusia tersusun atas struktur-struktur seperti: ligamen, tendon, otot, dan organ manusia yang lain. Dalam regenerasi jaringan tulang, rekayasa jaringan memiliki keunggulan dibandingkan metode allograft dan autograft karena hanya menginduksi respon sistem imun minor dan tidak memerlukan operasi kedua untuk mendapatkan tulang donor dari tubuh pasien sendiri yang mana terdapat peningkatan risiko infeksi ketika lebih banyak operasi dilakukan. Salah satu aplikasi rekayasa jaringan adalah pembuatan perancah mirip matriks ekstraseluler yang memberikan dukungan struktural pada sel karena struktur jaringnya. Kolagen adalah salah satu sumber perancah biokompatibel dan memadai untuk rekayasa jaringan untuk regenerasi tulang dalam hal sifat mekanik, struktur pori, permeabilitas, hidrofilisitas dan stabilitas in vivo. Dalam penelitian ini kolagen bersumber dari ikan King Kobia dengan metode ASC dan PSC. Freeze-dryingmerupakan proses pengeringan di mana pelarut dan/atau media suspensi dikristalisasi pada suhu rendah dan selanjutnya disublimasikan dari keadaan padat langsung ke fase uap. Metode ini menghasilkan bahan dengan stabilitas bentuk yang baik sehingga tidak berubah setelah rekonstitusi dengan air. Dalam penelitian ini penulis menambahkan material seng oksida (ZnO) dan titanium oksida (TiO2) yang selanjutnya akan diuji karakteristiknya. Penambahan TiO2 dan ZnO meningkatkan porositas perancah. Dalam penelitian ini ZnO meningkatkan persentase porositas dengan signifikan. Namun, struktur mekanik dari uji tekanan kompresif dan porositas belum menunjukan hasil yang menyerupai penelitian-penelitian sebelumnya. Hal ini mungkin terjadi akibat adanya kesalahan pengukuran volume atau konsentrasi pada proses pencampuran komposit dan ketidaksesuaian spesifikasi liofilisasi. Kedua faktor ini mengubah tekstur dan struktur perancah menjadi mengerut dan menempel pada wadah well-plate. ......The human skeleton is composed of structures such as: ligaments, tendons, muscles, and other human organs. In bone tissue regeneration, tissue engineering has advantages over allograft and autograft methods because it only induces a minor immune system response and does not require a second operation to obtain donor bone from the patient's own body where there is an increased risk of infection when more operations are performed. One application of tissue engineering is the fabrication of extracellular matrix-like scaffolds that provide structural support to cells due to their net structure. Collagen is one source of biocompatible scaffolds and is adequate for tissue engineering for bone regeneration in terms of its mechanical properties, pore structure, permeability, hydrophilicity and in vivo stability. In this study, collagen was sourced from King Cobia fish using the ASC and PSC methods. Freeze-drying is a drying process in which the solvent and/or suspension medium is crystallized at low temperature and then sublimated from the solid state directly into the vapor phase. This method produces a material with good shape stability so that it does not change after reconstitution with water. In this study the authors added zinc oxide (ZnO) and titanium oxide (TiO2) materials which would then be tested for their characteristics. The addition of TiO2 and ZnO increased the porosity of the scaffolds. In this study, ZnO significantly increased the percentage of porosity. However, the mechanical structure of the compressive stress and porosity tests has not shown results that resemble those of previous studies. This may occur due to volume or concentration measurement errors in the composite mixing process and non-compliance with lyophilization specifications. These two factors change the texture and structure of the scaffold to shrink and stick to the well-plate container.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adella Josephin
Abstrak :
Gangguan dan penyakit tulang merupakan hal yang mengkhawatirkan karena prevalensinya yang meningkat. Rekayasa jaringan tulang dengan pengembangan struktur melalui kombinasi perancah, sel, dan/atau faktor biologis merupakan solusi yang menjanjikan untuk regenerasi tulang. Kolagen dan hidroksiapatit termasuk bahan perancah yang paling umum digunakan untuk rekayasa jaringan tulang dan dapat diekstraksi dari sumber alam. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar dan produsen ikan terbesar kedua di dunia, memiliki sumber daya laut yang melimpah. Perikanan tuna yang termasuk paling besar dan paling produktif di dunia menghasilkan produk sampingan dengan jumlah yang besar. Pada penelitian ini, kolagen dan hidroksiapatit diekstraksi dari produk sampingan tuna, yaitu tulang kerangka dan kepala, menggunakan ekstraksi pelarutan asam untuk kolagen dan kalsinasi untuk hidroksiapatit. Kolagen hasil ekstraksi dikarakterisasi menggunakan UV-Vis spectrophotometry, FTIR, dan SEM-EDX, sedangkan hidroksiapatit hasil ekstraksi dikarakterisasi menggunakan FTIR, SEM-EDX, dan XRD. Berdasarkan hasil karakterisasi, kolagen hasil ekstraksi memiliki puncak absorbansi di 225 nm, memiliki struktur heliks rangkap tiga, struktur mikro lembaran berlapis, berpori, dan sedikit berkerut. Sedangkan hidroksiapatit hasil ekstraksi memiliki ukuran dan bentuk partikel bervariasi dengan ukuran kristal 16,64 nm, 15,62 nm, 16,63 nm, 4,39 nm, crystallinity index 0,643, 0,572, 0,613, 0,027, dan nilai Ca/P 1,753±0,052, 1,806±0,074, 1,792±0,021, 1,935±0,091 masing-masing untuk sampel kalsinasi 1, sampel kalsinasi 2, sampel kalsinasi 3, dan sampel ultrasonikasi. Kolagen hasil ekstraksi dapat dikembangkan sebagai bahan perancah tulang karena memliki struktur berpori yang dibutuhkan untuk penetrasi sel, nutrisi dan transfer limbah, serta angiogenesis; sedangkan hidroksiapatit sampel kalsinasi 1 memiliki nilai rasio Ca/P (1,753±0,052) yang paling mendekati rasio Ca/P pada tulang manusia (1,67). Ekstraksi kolagen dan hidroksiapatit ini diharapkan dapat memanfaatkan produk sampingan sumber daya laut dan dapat digunakan sebagai material perancah tulang untuk mengatasi gangguan dan penyakit tulang. ......Bone disorders and diseases are a matter of concern because of their increasing prevalence. Bone tissue engineering with structural development through a combination of scaffolds, cells, and/or biological factors is a promising solution for bone regeneration. Collagen and hydroxyapatite are among the most commonly used scaffold materials for bone tissue engineering and can be extracted from natural sources. Indonesia is the largest archipelagic country and the second-largest fish producer in the world, has abundant marine resources. Tuna fisheries, which are among the largest and most productive in the world, produce large amounts of by-products. In this study, collagen and hydroxyapatite were extracted from tuna by-products, including skeleton and head, using acid solubilization extraction for collagen and calcination for hydroxyapatite. The extracted collagen was then characterized using UV-Vis spectrophotometry, FTIR, and SEM-EDX, while the extracted hydroxyapatite was characterized using FTIR, SEM-EDX, and XRD. Based on the characterization results, the extracted collagen has an absorbance peak at 225 nm, has a triple-helix structure, a layered sheet microstructure, is porous, and is slightly wrinkled. While the extracted hydroxyapatite has various particle sizes and shapes with crystal sizes of 16.64 nm, 15.62 nm, 16.63 nm, 4.39 nm, crystallinity index 0.643, 0.572, 0.613, 0.027, and Ca/P values were 1.753±0.052, 1.806±0.074, 1.792±0.021, 1.935±0.091 for the calcined sample 1, calcined sample 2, calcined sample 3, and ultrasonicated sample, respectively. Extracted collagen can be developed as a bone scaffold material because it has a porous structure required for cell penetration, nutrition and waste transfer, and angiogenesis; while the hydroxyapatite of calcined sample 1 has a Ca/P ratio value (1.753±0.052) which is closest to the Ca/P ratio in human bone (1.67). The extraction of collagen and hydroxyapatite is expected to be able to utilize marine by-products and can be used as bone scaffold material to treat bone disorders and diseases.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silaen, Samsudin
Abstrak :
ABSTRAK
Penghitungan perancah kayu dilakukan dengan mengobservasi tiang tiang perancah, galang, multiplek, dan paku yang digunakan. Biaya tenaga kerja serta waktu yang diperlukan dilakukan wawancara langsung dengan pekerja/mandor. Sedangkan untuk scaffolding langsung mengunjungi lokasi dan mencatat berapa set scaffolding yang digunakan untuk luasan tertentu. Adapun luasan yang digunakan sebagai pembanding yaitu bangunan kantor SPBU No.14.201.103 Setia budi dengan ukuran 4m x 6m x 3,5m. sedangkan untuk perhitungan scaffolding pada bangunan mandiri yang di jalan pulau pinang disesuaikan dengan menghitung langsung jumlah scaffolding dengan luas kebutuhan seperti pada bangunan kantor SPBU No.14.201.103 Setia budi.berdasarkan perhitungan harga biaya perancah kayu untuk satu lantai Rp. 9.620.000,00 dan untuk lantai kedua Rp. 7.580.000,00 dan perhitungan harga biaya perancah scaffolding untuk satu lantai Rp.11.287.000,00 dan untuk lantai kedua Rp. 9.312.000,00. Untuk pelaksanaan pemasangan waktu yang diperlukan lebih lama perancah kayu daripada perancah scaffolding. Sedangkan bentuk hasil yang didapatkan (hasil cor) lebih baik dan stabil seperti pada gambar kerja. Berdasarkan penelitian ini maka biaya perancah kayu lebih murah daripada scafffolding bila dilihat dari jumlah tingkat ( tidak bertingkat banyak ). Dan untuk bangunan yang bertingkat banyak atau lebih dari dua tingkat dianjurkan menggunakan perancah Scaffolding.
Medan: Polimedia Negeri Medan, 2018
338 PLMD 21:4 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ridha Alviny Syakirah
Abstrak :
Kerusakan pada tulang atau cacat tulang merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia yang perlu diperhatikan, karena dapat mengganggu aktivitas kehidupan. Metode yang cukup menjanjikan untuk penyembuhan cacat tulang adalah fabrikasi perancah dari bahan biomaterial. Perancah adalah biomaterial padat berbentuk 3 dimensi dengan struktur berpori yang dapat mendukung interaksi sel biomaterial, proliferasi, diferensiasi sel, dan dapat terurai dengan tingkat toksisitas minimal. Penelitian ini bertujuan untuk memfabrikasi perancah dengan komposit berupa hidroksiapatit (HAp)/kolagen/kitosan, hidroksiapatit/kolagen/kitosan/functionalized-multi walled carbon nanotube (f-MWCNT) dengan hidroksiapatit serta kolagen hasil ekstraksi tulang ikan tuna, hidroksiapatit/kolagen/kitosan/titanium dioksida (TiO2), dan hidroksiapatit/kolagen/kitosan/functionalized-multi walled carbon nanotube (f-MWCNT). Fabrikasi dilakukan dengan menggunakan metode freeze drying. Perancah hasil fabrikasi dikarakterisasi sifat biologisnya melalui uji biokompatibilitas dengan MTS assay dan uji diferensiasi sel dengan pewarnaan alizarin merah. Uji viabilitas menunjukkan sel umumnya bermigrasi dan menempel dekat perancah. Penambahan bahan mekanik f-MWCNT dan titanium dioksida pada perancah dapat mengurangi viabilitas sel. Namun, pada kadar yang tepat, perancah dengan kandungan f-MWCNT atau titanium dioksida dapat memiliki sifat viabilitas yang baik. Uji diferensiasi menunjukkan penambahan bahan mekanik f-MWCNT dan titanium dioksida dapat menginduksi diferensiasi osteogenik namun hasilnya masih tidak optimal. ......Damage to bones or bone defects is a public health problem around the world that needs attention because it can interfere many life activities. A promising method for healing bone defects is the fabrication of scaffolds from biomaterials. Scaffolds are solid biomaterials in 3-dimensional sHApe with a porous structure that can support biomaterial cell interactions, proliferation, cell differentiation, and can be decomposed with minimal toxicity. This study aims to fabricate scaffolds with composites in the form of hydroxyapatite/collagen/chitosan, hydroxyapatite/collagen/chitosan/functionalized MWCNT (f-MWCNT) where the hydroxyapatite and collgen used were obtained from tuna fish bone extraction, hydroxyapatite/collagen/chitosan/titanium dioxide, and hydroxyapatite/collagen/chitosan/functionalized MWCNT (f-MWCNT). Fabrication was carried out using freeze drying method. The fabricated scaffolds were characterized for their biological properties through biocompatibility test with MTS assay and cell differentiation test with alizarin red staining. Viability tests showed cells generally migrated and adhered near the scaffold. The addition of mechanical material f-MWCNT and titanium dioxide to the scaffold can reduce cell viability. However, at the right levels, scaffolds containing f-MWCNT or titanium dioxide can have good viability. The differentiation test showed that the addition of mechanical material f-MWCNT and titanium dioxide could induce osteogenic differentiation but the results were still not optimal.
Depok: FaKultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Maesunah Gilang Maya
Abstrak :
Kanker ovarium merupakan tumor ganas dan mematikan yang mengancam wanita dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Terapi kanker ovarium saat ini belum optimal. Platform in vitro untuk uji coba obat anti-kanker ovarium diperlukan. Perancah kanker ovarium merupakan wadah atau alat yang menyediakan lingkungan mikro kanker ovarium untuk pengujian obat anti kanker. Pembuatan perancah dilakukan dengan kombinasi siklus freeze-thawing (-800C dan 370C), larutan NaOH 0,4 N dan orbital shaker. Kelompok penelitian terdiri dari set 1, set 2 dan set 3. Kelompok kontrol yang digunakan merupakan jaringan primer ovarium pasien kanker ovarium non- deselularisasi. Set 1 pembuatan perancah dengan 1x siklus freeze-thawing, set 2 dengan 2x siklus, dan set 3 dengan 3x siklus. Pengulangan tiga kali dilakukan pada masing- masing kelompok. Kelompok perancah dengan 3x siklus freeze-thawing memiliki konsentrasi DNA terendah, struktur matriks ekstraseluler yang utuh dengan sedikit kerusakan, topografi tanpa sel dan komponen matriks ektraseluler (kolagen, biglikan dan fibronektin) dipertahankan dengan baik dengan adanya penurunan yang tidak berbeda signifikan terhadap kontrol. Selain itu, perancah kanker ovarium yang dihasilkan memiliki toksisitas rendah terhadap SKOV-3. Teknik deselularisasi dengan tiga kali siklus freeze-thawing (-800C dan 370C), penggunaan NaOH 0,4 N dan orbital shaker merupakan metode deselularisasi efisien untuk pembuatan perancah kanker ovarium. ......Ovarian cancer is malignant and deadliest tumour that threatens women with high morbidity and mortality. Ovarian cancer therapy is currently not optimal. Platform in vitro for anti- ovarian cancer drugs testing is required. Ovarian cancer scaffold is a platform or tool that provides microenvironment of ovarian cancer for anti-cancer drugs testing. The manufacture of scaffold was carried out by combination of freeze- thawing cycles (-800C dan 370C), NaOH 0.4 N and orbital shaker. The research group consisted of set 1, set 2 and set 3. Control group used was ovarian primary tissue of ovarian cancer patients non- decellularized. Set 1 manufactured with 1x freeze-thawing cycle, set 2 with 2x cycles, and set 3 with 3x cycles. Three repetitions were performed on each group. Scaffold group with 3x freeze-thawing cycles has lowest DNA concentration, an intact extracellular matrix structure with little damage, topography of cells absence and extracellular matrix components (collagen, biglycan and fibronectin) are well preserved with significantly no different of decrease compare to control. In addition, the scaffold has low toxicity to SKOV-3. Decellularization technique with 3x freeze-thawing cycles (-800C dan 370C), NaOH 0.4 N and orbital shaker is an efficient decellularization method for the manufacture scaffold of ovarian cancer.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adrian Pragiwaksana
Abstrak :
Sel punca mesenkim (MSC) dan sel punca pluripoten terinduksi (iPSC) telah dilaporkan mampu berdiferensiasi menjadi hepatosit secara in vitro dengan berbagai tingkat maturasi hepatosit. Sebuah metode sederhana untuk proses deselulerisasi perancah hati telah dikembangkan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi diferensiasi hepatosit dari iPSC dibandingkan dengan MSC dalam perancah hati yang dideselularisasi. Langkah pada penelitian ini adalah mengkultur iPSC dan MSC, mendeselularisasi hati kelinci, menyemai kultur sel ke dalam perancah, dan mendiferensiasikan menjadi hepatosit selama 21 hari dengan protokol Blackford yang dimodifikasi. Pemeriksaan dilakukan dengan pewarnaan Haematoxylin Eosin (HE), Masson Trichrome (MT), imunohistokimia (IHK) albumin dan cytochrome 3A4 (CYP3A4). Ekspresi gen albumin, cytochrome P450 (CYP450), dan cytokeratin-19 (CK-19) dianalisis menggunakan qRT-PCR. Pemeriksaan scanning electron microscope (SEM) dan immunofluorescence (IF) marker hepatocyte nuclear factor 4 alpha (HNF4-α) dan CCAAT/enhancer-binding protein alpha (CEBPA) dilakukan. Diferensiasi hepatosit dari iPSC dalam perancah hati yang dideselulerisasi dibandingkan dengan diferensiasi hepatosit dari MSC dalam perancah hati yang dideselulerisasi menunjukkan pembentukan sel tunggal dan kapasitas adhesi pada perancah yang lebih sedikit, dan penurunan tren ekspresi albumin dan CYP450 yang lebih rendah. Jumlah penyemaian sel awal yang lebih rendah menyebabkan hanya beberapa iPSC menempel pada bagian-bagian tertentu dari perancah hati yang dideselularisasi. Injeksi jarum suntik manual untuk reselulerisasi yang tidak merata menciptakan pola pembentukan sel tunggal oleh hepatosit dari diferensiasi iPSC di perancah hati yang dideselulerisasi. Hepatosit dari diferensiasi MSC memiliki kapasitas adhesi lebih tinggi ke perancah hati yang dideselulerisasi yang mengarah pada peningkatan tren ekspresi albumin dan CYP450. Penurunan ekspresi gen CK-19 lebih banyak terjadi pada diferensiasi hepatosit dari iPSC. Hasil tersebut dikonfirmasi oleh adanya sinyal positif protein HNF4-α dan CEBPA dengan pemeriksaan IF yang menunjukkan hepatosit yang dewasa. Kesimpulan dari penelitian ini adalah diferensiasi hepatosit dari iPSC pada perancah hati yang dideselularisasi lebih dewasa dengan adhesi sel-matriks ekstraseluler lebih rendah, distribusi sel spasial saling berjauhan, dan ekspresi albumin dan CYP450 lebih rendah dibandingkan dengan diferensiasi hepatosit dari MSC pada perancah hati yang dideselularisasi. ......Mesenchymal stem cells (MSC) and induced pluripotent stem cells (iPSC) have been reported able to differentiate to hepatocyte in vitro with varying degree of hepatocyte maturation. A simple method to decellularized liver scaffold has been established by Faculty of medicine Universitas Indonesia. This study aims to evaluate hepatocyte differentiation from iPSCs compared to MSCs in decellularized liver scaffold. iPSCs and MSCs were cultured, rabbit liver were decellularized, cell cultures were seeded into the scaffold, and differentiated into hepatocytes for 21 days with modified Blackford protocol. Haematoxylin-Eosin (HE), Masson Trichrome (MT), immunohistochemistry (IHC) albumin and CYP3A4 was performed. Expression of albumin, cytochrome P450 (CYP450) and cytokeratin-19 (CK-19) genes were analyzed using qRT-PCR. Scanning electron microscope (SEM) and immunofluorescence (IF) examination of hepatocyte nuclear factor 4 alpha (HNF4-α) and CCAAT/enhancer-binding protein alpha (CEBPA) marker was performed. Hepatocyte differentiated iPSCs compared with hepatocyte differentiated MSCs in decellularized liver scaffold single–cell–formation and lower adhesion capacity in scaffold, and decrease trends of albumin and CYP450 expression. Lower initial seeding cell number causes only a few iPSCs to attach to certain parts of decellularized liver scaffold. Manual syringe injection for recellularization abruptly and unevenly create pattern of single–cell–formation by hepatocyte differentiated iPSCs in the decellularized liver scaffold. Hepatocyte differentiated MSCs have higher adhesion capacity to decellularized liver scaffold that lead to increase trends of albumin and CYP450 expression. CK-19 expression gene diminished more prominent in hepatocyte differentiated iPSCs. These results were confirmed by the presence of HNF4-α and CEBPA positive signal protein with IF examination, showing mature hepatocyte.The conclusion of this study is hepatocyte differentiated iPSCs in decellularized liver scaffold differentiation is more mature with lower cell-extracelullar matrix adhesion, spatial cell distribution far from each other, and lower albumin and CYP450 expression than hepatocyte differentiated MSCs in decellularized liver scaffold.
Depok: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqa Inayati
Abstrak :
Diferensiasi osteogenik dari Sel punca mesenkim (MSC) menjadi osteoblas memiliki signifikansi klinis yang sangat penting untuk mengobati cedera tulang. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk meneliti faktor-faktor yang dapat meningkatkan diferensiasi osteogenik, termasuk pengembangan perancah untuk kultur MSC. Perancah Polivinil Alkohol (PVA)/ Fibroblast-derived Matrix (hFDM) asal manusia menjadi salah satu kandidat perancah yang diduga dapat mendukung diferensiasi osteogenik MSC. Keberadaan matriks ekstraseluler (ECM) pada perancah dapat meregulasi berbagai aktivitas seluler melalui komponen protein matriks yang terdapat pada ECM. Protein matriks berperan sebagai sekuesterasi berbagai faktor pertumbuhan. Faktor pertumbuhan seperti BMP2 dan chordin diketahui dapat meregulasi diferensiasi osteogenik. Proses terjadinya diferensiasi osteogenik dapat diamati melalui akumulasi mineral kalsium yang terdeposit pada matriks ekstraseluler. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui metode optimum dalam pembuatan perancah PVA/hFDM, danmengetahui peran perancah PVA/hFDM dalam mempengaruhi diferensiasi osteogenik MSC dengan mengukur ekspresi gen BMP2, dan chordin, serta ekspresi kadar kalsium relatif pada matriks ekstraseluler. Optimasi pembuatan perancah PVA hFDM dimulai dengan optimasi medium kultur, waktu kultur, preparasi, dan teknik deselulerisasi. hFDM dikarakterisasi menggunakan pewarnaan Hematoxylin, Masson Trichrome, dan Imunohistokimia untuk mengetahui keberadaan protein matriks. MSC dikultur pada perancah PVA/hFDM untuk uji diferensiasi osteogenik selama 21 hari. Sampel RNA diisolasi pada hari ke-7,14, dan 21. Ekspresi gen BMP2 dan chordin dianalisis menggunakan metode qRT-PCR. Adapun ekspresi kadar kalsium relatif dianalisis dengan uji kualitatif dan kuantitatif pewarnaan Alizarin Red. Hasil penelitian ini menunjukkan protokol pembuatan perancah PVA/hFDM telah dioptimasi, dan karakterisasi hFDM memperlihatkan keberadaan protein matriks berupa kolagen dan biglycan. Ekspresi gen BMP2 menurun pada kelompok MSC yang dikultur pada perancah PVA/hFDM baik di hari ke-7, 14, dan 21. Sedangkan ekspresi gen chordin meningkat pada kelompok MSC yang dikultur pada perancah PVA/hFDM di hari ke 7, dan 14, kembali menurun di hari ke-21. Ekspresi kadar kalsium relatif cenderung meningkat pada kelompok MSC yang dikultur pada perancah PVA/hFDM dengan gambaran mikroskopis berupa bercak merah pada permukaan perancah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah perancah PVA/hFDM cenderung dapat mendukung diferensiasi osteogenik MSC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan perancah PVA/hFDM dapat menurunkan ekspresi gen BMP2, dan meningkatkan ekspresi gen chordin, serta cenderung meningkatkan ekspresi kadar kalsium relatif yang terdeposit pada matriks ekstraseluler. ......Osteogenic differentiation from Mesenchymal Stem Cell (MSC) to osteoblasts has great clinical significance for treating bone injury. Various studies have been conducted to investigate factors that can enhance osteogenic differentiation, including scaffold development for MSC culture. Scaffold Polyvinyl Alcohol (PVA) / human Fibroblast-derived Matrix (hFDM) is a scaffold candidate assumed to support osteogenic differentiation of MSCs. The extracellular matrix (ECM) presence on the scaffold can regulate various cellular activities through the matrix protein components contained in the ECM. Matrix protein plays a role in sequestering multiple growth factors. Growth factors such as BMP-2 and chordin are to regulate osteogenic differentiation. The process of osteogenic differentiation can be observed by accumulating calcium minerals in the extracellular matrix. The purpose of this study was to determine the optimal method for making PVA / hFDM scaffold and to determine the role of the PVA / hFDM scaffold in affecting MSC osteogenic differentiation by measuring the expression of BMP2 and chordin genes, as well as the expression of relative calcium levels in the extracellular matrix. Optimization of making hFDM PVA scaffold begins with the optimization of culture medium, culture time, preparation, and decellularization techniques. hFDM was characterized using Hematoxylin, Masson Trichrome, and Immunohistochemical staining to determine matrix proteins' presence. MSCs were cultured on the PVA / hFDM scaffold for osteogenic differentiation assay for 21 days. RNA samples were isolated on day 7,14 and 21. Expression of BMP2 and chordin genes were analyzed using the qRT-PCR method. The expression of relative calcium levels was analyzed by qualitative and quantitative tests of Alizarin Red staining. The results of this study indicate that the PVA / hFDM scaffold preparation protocol has been optimized, and the hFDM characterization shows the presence of matrix proteins in the form of collagen and biglycan. BMP-2 gene expression decreased in the MSC group cultured on the PVA / hFDM scaffold on days 7, 14, and 21. In contrast, the chordin gene expression increased in the MSC group cultured on the PVA / hFDM scaffold on days 7, and 14, back down on day 21. The expression of relative calcium levels tended to increase in the MSC group cultured on the PVA / hFDM scaffold with a microscopic appearance of red spots on the scaffold surface. This study concludes that Scaffold PVA / hFDM tends to support osteogenic differentiation of MSCs. The results showed that the use of the PVA / hFDM scaffold could decrease the expression of the BMP2 gene, and increase the expression of the chordin gene, and tended to increase the expression of the relative calcium levels deposited in the extracellular matrix.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhani Rinaldi Ardiansyah
Abstrak :
Perancah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari suatu pekerjaan konstruksi, Pekerjaan perancah berkontribusi pada munculnya faktor risiko gangguan otot tulang rangka akibat kerja (gotrak) atau musculoskeletal disorders (MSDs). Tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor risiko terjadinya gotrak pekerja perancah di PT X. Jenis penelitian adalah potong lintang dengan responden karyawan di PT X sebanyak 156 karyawan. Penilaian faktor risiko ergonomi di tempat kerja dilakukan dengan pendekatan penilaian tingkat risiko pekerjaan dan keluhan subjektif pekerja. Responden memberikan informasi karakteristik individu, risiko ergonomi menggunakan metode (Rapid Entire Body Assessment atau REBA) dengan hasil yang mencapai nilai tinggi dan sangat tinggi. Tingkat risiko ergonomi menunjukkan 66,23% responden termasuk kategori risiko tinggi dan 33,77 % responden termasuk kategori risiko rendah. Analisis keluhan gotrak pada pekerja menggunakan kuesioner Nordic Body Map menghasilkan 3 keluhan tertinggi yaitu leher bahu dan tangan/pergelangan. Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor risiko terjadinya Gotrak pekerja perancah di PT X pada gotrak 12 bulan yaitu usia ≥ 30 tahun OR 1,91(95% CI 1,37-3,25), masa kerja ≥ 10 tahun OR 2,42(95% CI 1,39-4,19), Jenis Pekerjaan perancah OR 8,77() (95% CI 3,93-19,55) dan Skor REBA tinggi OR 2,81 (95% CI 1,39-5,67). Sedangkan faktor risiko gotrak yang menyebabkan absen 12 bulan terakhir adalah usia ≥ 30 tahun OR 1.32 (95% CI 1.18-1.76), masa kerja ≥ 10 tahun OR 1.65 (95% CI 1.03-2.65), jenis pekerjaan perancah OR 10,98(95% CI 4,26-28,26), skor REBA tinggi 2,53(1,78-3,00), demands at work tinggi OR 1.65 (95% CI 1.02-2.51), work organization and job contents tinggi OR1.44 (95% CI 1.28-2.93), untuk faktor risiko 7 hari terakhir yaitu jenis pekerjaan perancah OR 2,79(95% CI 1,28-6,07), health and wellbeing rendah OR 1.43 (95% CI 1.09-1.84). ......Scaffolding is an inseparable part of a construction work. Scaffolding work contributes to the emergence of risk factors for skeletal muscle disorders due to work (gotrak) or musculoskeletal disorders (MSDs). The purpose of this study was to analyze the risk factors for the occurrence of scaffolding at PT X. This type of research was crosssectional with 156 employees as respondents at PT X. Ergonomics risk factor assessment in the workplace is carried out with an approach to assessing the level of occupational risk and subjective complaints of workers. Respondents provided information on individual characteristics, ergonomic risks using the method (Rapid Entire Body Assessment or REBA) with the results achieving high and very high scores. The level of ergonomics risk shows that 66.23% of respondents are in the high risk category and 33.77% of the respondents are in the low risk category. The analysis of cough complaints on workers using the Nordic Body Map questionnaire resulted in the 3 highest complaints, namely neck, shoulders and hands/wrist. This study shows that the risk factors for the occurrence of Gotrak scaffold workers at PT X at 12 months old are age 30 years OR 1.91 (95% CI 1.37-3.25), working period 10 years OR 2.42 (95 % CI 1.39-4.19), awkward posture OR 6.24 (95% CI 2.40-16.21). While the risk factors for gotrak that caused the absence of the last 12 months are age 30 years OR 1.32 (95% CI 1.18-1.76), years of service ≥ 10 years OR 1.65 (95% CI 1.03-2.65), type of work OR 10.98 (95% CI 4.26- 28.26), REBA score 2.53 (1.78-3.00), demands at work OR 1.65 (95% CI 1.02-2.51), work organization and job contents OR1.44 (95% CI 1.28-2.93, for risk factors for the last 7 days, namely type of work OR 2.79 (95% CI 1.28-6.07), health and wellbeingOR 1.43 (95% CI 1.09-1.84).
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ati Suci Dian Martha
Abstrak :
Pembelajaran daring merupakan hal umum dalam pendidikan di perguruan tinggi. Namun, faktor-faktor seperti regulasi diri (SRL) dan kelompok (CoRL) yang rendah dapat mempengaruhi keterlibatan kognitif dan motivasi pemelajar dalam kegiatan belajar daring. Dukungan eksternal berupa instruksional scaffolding (perancah) dalam domain metakognitif dan motivasi berperan penting dalam pembelajaran daring di tingkat perguruan tinggi. Solusi yang ditawarkan penelitian ini adalah agen pedagogis. Agen pedagogis dengan strategi pembelajaran perancah berpotensi meningkatkan hasil pembelajaran. Penelitian dilakukan menggunakan kerangka mixed-methods sekuensial eksplanatori. Partisipan penelitian ini merupakan pemelajar semester dua mata kuliah Design Thinking yang diselengarakan secara daring. Hasil pengujian menunjukkan, agen pedagogis memberikan peningkatan yang signifikan dengan pengaruh sedang terhadap keterampilan SRL dan CoRL. Hasil tersebut didukung dengan data LMS. Pemelajar merasa terbantu dengan kehadiran agen pedagogis. Mereka menilai kehadiran agen pedagogis memberikan petunjuk yang jelas, mendorong mempelajari kembali materi dan mengevaluasi jawaban, serta mendorong pemelajar terlibat dalam diskusi dan menghargai pendapat orang lain. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan integrasi perancah metakognitif dan motivasi melalui agen pedagogis, menumbuhkan keterlibatan kognitif dan mengelola motivasi pemelajar. Agen pedagogis memainkan peran kunci dalam menyediakan bantuan untuk meningkatkan SRL dan CoRL pemelajar. Peningkatan SRL dan CoRL pemelajar mendorong keterlibatan kognitif dan motivasi, yang menghasilkan pemahaman yang lebih baik. ......Online learning is common in higher education. However, low self-regulation (SRL) and co-regulation (CoRL) can affect learners' cognitive engagement and motivation in online learning activities. Instructional scaffolding in the metacognitive and motivational domains plays an essential role in online learning at the higher education level. This research offers a pedagogical agent as a solution. Pedagogical agents with scaffolding strategies have the potential to improve learning outcomes. The study was conducted using an explanatory sequential mixed-methods. The participants are second-semester students of the Design Thinking course, which is held online. The results showed that the pedagogical agent significantly increased with a moderate effect on SRL and CoRL skills. LMS data support these results. Learners feel helped by the pedagogical agent's presence. They assessed that the pedagogical agent provided clear instructions, encouraged reviewing the material and evaluating answers, and encouraged learners to engage in discussion and respect the other's opinions. This study showed that metacognitive and motivational scaffolding integration through pedagogical agents fosters cognitive engagement and manages learner motivation. Pedagogical agents play a crucial role in assisting to improve learners' SRL and CoRL. An increase in the learner's SRL and CoRL promotes cognitive engagement and motivation, which results in better understanding.
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>