Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Farihah Sulasiah
Abstrak :
ABSTRAK
Informasi tentang kesehatan sebagai usaha preventif dapat diperoleh melalui jalur pendidikan. Sekolah sebagai sarana pendidikan tidak hanya terbatas memberikan pengetahuan dan informasi tetapi juga memberikan bimbingan dan konseling kepada siswa yang diwujudkan dengan keberadaan guru BK. Guru BK memiliki 4 fimgsi dalam kesehatan reproduksi yaitu fungsi pemahaman, pencegahan, pcrbaikan dan pengembangan pribadi. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang peran gum bimbingan konseling dalam kesehatan reproduksi remaja pada dua SMP di Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan. Pengumpulan data melalui WM, FGD, observasi dan telaah dokumen pada bulan Mei 2007 di SMP Negeri X dan SMP swasta Y. Guru BK yang bermgas scbagai informan utama dan kepala sekolah, guru, siswa dan pejabat diknas sebagai informan pendukung. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa masalah kespro di SMP Ncgeri X lebih beragam dibandingkan dengan masalah kespro di SMP Swasta Y. Sementara im persepsi dan sikap guru BK di kedua sekolah terhadap kesehatan reproduksi memiliki persamaan, sehingga gum BK merasa perlu meiaksanakan perannya sebagai fasilitator maupun konselor dalam kesehatan reproduksi remaja. Namun karena keterbatasan pengetahuan tentang hal ini maka guru BK di kedua sekolah melaksanakan perannya sebatas pengetahuan dan pengalaman yang dimi|iki_ Gum BK di SMP Swasta Y lebih menunjukkan peranannya dibandingkan dcngan gum BK SMP Ncgeri X. Hal ini ditunjukkan dengan pelaksanaan tugas guru BK baik sebagai fasilitator dan konseior yang aktif berinteraksi dengan siswa dan mendapatkan kesan positifdari siswa_ Kenyataan ini didukung oleh keterlibatan kepala sekolah di SMP Swasta Y dalam mensosialisikan keberadaan layanan BK kepada siswa dan pelaksanaan bentuk kerjasama clengan instansi lain dalam memberikan pengeiahuan kespro kcpada siswa. Peran guru BK di SMP Ncgeri X belum dapat berjalan optimal, hal ini lebih diakibatkan karena kurangnya pendelcatan guru BK terhadap siswa, kesan negatif siswa terhadap keberadaan guru BK serta kurangnya kcyakinan guru dan siswa terhadap kemampuan BK dalam memberikan jaminan kcrahasiaan. Gum BK di SMP Negeri X juga merasakan kurang optimalnya peran guru BK sebagai akibat dari besarnya jumlah siswa yang ditangani dan tidak adanya insentif yang diberikan jika beban kerja melebihi ketentuan mengakibatkan menurunnya motivasi gum BK dalam pelaksanaan tugasnya. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan peran guru BK tidal: hanya dipengamhi oleh faktor individu tetapi juga ada faktor lain dalam hal ini keberadaan dukungan organisasi. Pada akhirnya agar pelaksanaan peran guru BK dalam kesehatan reproduksi remaja dapat berjalan optimal, maka perlu dilakukan berbagai usaha yang menjadi tanggung jawab bersama antara sekolah dan instansi yang terkait dalam hal ini Depdil-:nas dan Depkes. Pihak sekolah disarankan Iebih mensosialisasikan keberadaan guru BK seperti yang dilaksanakan di SMP Swasta Y, mempenimbangkan sumberdaya yang dapat mendukung pelaksanaan peran gum BK, melakulcan monitoring dan evaluasi terhadap kinerja guru BK dan mempertimbangkan pemberian insentif sesuai ketentuan yang berlaku sebagai reward atau salahsatu bentuk upaya memotivasi gum BK. Depdiknas dan Depkes sebaiknya mempenimbangkan strategi dalarn usahanya menangani masalah kespro remaja melalui keberadaan guru BK di sekolah balk berupa pelaksanaan pelatihan dan penyediaan buku atau media penunjang yang dapat dimanfaatkan gum BK dalam melaksanakan perannya.
ABSTRACT
Reproduction health campaign can be considered as a preventive action in education process. School as education institute shall perform not only in knowledge transfer, but also in giving guidance to student, which carried out by counselling teacher. Counselling teacher has four functions in reproduction health education; those are understanding, prevention, upgrading, and personality improvement. Research was conducted to get description about the role of counselling teacher in giving guidance for reproduction health. This research conduct on 2 Junior High School in District Jagakarsa, Jakarta Selatan. Data collection through Indepth Interview, Focus Group Discussion, observation, and documentation studies were held on May 2007 in Public Junior High School X and Private Junior High School Y. Counselling teachers provide main infomation source while headmaster and teachers provide additional information. Result has shown that reproduction eases in Public Junior High School X are varied than Private Junior High School Y. Meanwhile, counselling teachers in those schools have similarity in perception and action. Nevertheless, because of limitation of knowledge, those counselling teacher only perform as far as their knowledge and experience. Counselling teachers in Private Junior High School Y perform their role better than counselling teachers in Public Junior High School X. This shown in their action as facilitator and actively interact with student with good responses from student as result. ln Private Junior High School Y, They also supported by headmaster in socializing counselling function to student and creating cooperation with other institute in reproduction education. The Role of counselling teacher in Public Junior High School X could not perform optimal, mostly caused by minimum eITort by counselling teacher in approaching the student, negative opinion of student to their counselling teacher and confidentially aspect. Counselling teacher in Public Junior High School X already realize regarding their role but the ratio between students and counselling teachers are wide and no such given incentive. These affect their motivation in perform their role. This condition can show that results are affected not only by individual manner but also by organization manner. ln the end, rolc of counselling teacher in health reproduction could be perform well as if there is integrated effort between Department of National Education and Department of Health. School shall be strongly socialized their counselling, Private Junior High School Y as an example. School shall support to counselling?s role with monitoring and evaluating to their performance. A reward system shall be applied to motivate them, Department of Health and Department of National Education can consider to develop strategy to handle teenager reproduction health matter by utilize counselling in school and provide training and media to improve counselling teacher to perform their role.
2007
T34584
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Nur H.S
Abstrak :
ABSTRAK
Tuna grahita seperti populasi yang normal juga memiliki kebutuhan fisiolofis, sosial dan emosional yang sama dengan mereka yang normal. Seperti dikemukakan oleh Lindsey (1993) bahwa tidak ada kaitan langsung antara inteligensi dengan seksualitas, demikian juga pada remaja tuna grahita. Remaja tuna grahita mampu didik seperti remaja sebayanya yang normal, juga akan mengalami pubertas dan mulai mengalami ketertarikan dengan lawan jenis mereka. Mereka seperti yang dikemukakan oleh Richmond, Tarjan dan Mendelsohn (1976), memiliki dorongan seksual yang normal namun memiliki kontrol diri yang lemah. Mereka memiliki kesulitan dalam membedakan perilaku yang dapat diterima dan mana yang tidak dapat diterima secara sosial (Payne & Patton, 1981). Hal-hal diatas dapat menyebabkan mereka menunjukkan ketertarikan pada lawan jenisnya atau mengadakan hubungan interpersonal yang dianggap tidak sesuai dengan norma karena ketidakpahaman mereka akan baik buruknya suatu perilaku atau kurangnya kontrol diri mereka. Kurangnya mereka berinteraksi dengan populasi normal kecuali di rumah dan di sekolah dengan sesama siswa tuna grahita (Guralnick, 1986), menjadikan guru sebagai contoh penting dari populasi normal pada saat mereka berada di sekolah. Setiap perilaku adalah hasil pembelajaran dan karenanya contoh perilaku yang didapat seseorang akan menentukan perilaku selanjutnya dari orang tersebut (Haring, 1974). Penelitian ini dilakukan di SDS / SDLB Budi Waluyo II, dengan subyek 4 orang guru, yaitu 3 orang wali kelas dan 1 orang guru BP. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan metode pengambilan data wawancara dan observasi. Para siswa Budi Waluyo masih berada pada tingkatan hubungan interpersonal pertemanan dengan lawan jenis mereka (Deaux, Dane & Wrightsman, 1993). Sebagian kecil siswa yang telah mengalami pubertas memang mengalami masalah dalam hal hubungan interpersonal mereka dengan lawan jenisnya. Diantara mereka ada yang tidak dapat mengontrol diri dan mendekati lawan jenisnya tanpa menghiraukan norma. Dalam menangani masalah ini, guru menggunakan berbagai pendekatan seperti pengawasan, negative attenlion dan modelling (Gage & Berliner, 1992). Juga melakukan konferensi dengan orangtua, kepala sekolah dan konselor seperti pendapat Evertson, Emmer dan Worshan (dalam Santrock, 2001). Guru juga melakukan koordinasi dengan berbagai pihak seperti orangtua, para siswa itu sendiri dan orang-orang yang mengantar atau menunggui siswa seharihari di sekolah dalam hal pengawasan dan dalam penanganan masalah. Tindakan atau cara guru menangani masalah hubungan interpersonal dengan lawan jenis yang terjadi dapat menjadi masukan bagi siswa yang bersangkutan maupun bagi siswa lain untuk membantu mereka mengetahui mana perilaku yang dapat diterima secara sosial dan mana yang tidak.
2003
S3288
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumbantobing, Claudia Anastasia Putri
Abstrak :
ABSTRAK
Literasi gizi adalah derajat kapasitas seseorang dalam memperoleh, memproses, memahami informasi dasar gizi dan kemampuan yang dibutuhkan untuk membuat keputusan gizi yang benar. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran literasi gizi anak sekolah dasar di Jakarta Timur serta perbedaan proporsi variabel independen seperti jenis kelamin, pendidikan ayah, pendidikan ibu, pendapatan orangtua, penggunaan media, dan peran guru berdasarkan tingkat literasi gizi. Literasi gizi sendiri dibagi menjadi tiga domain utama yaitu fungsional, interaktif, dan kritikal. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain cross-sectional. Responden dalam penelitian ini adalah anak sekolah dasar kelas 4,5, dan 6 di Kelurahan Duren Sawit dan Kelurahan Pondok Kelapa. Jumlah responden sebanyak 87 orang dan pengambilan data dilakukan dengan instrumen Nutrition Literacy Scale NLit dan Nutrition Literacy Scale for Adolescent NLAA. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan proporsi literasi gizi fungsional berdasarkan jenis kelamin, pendidikan ayah, pendidikan ibu, pendapatan orangtua, penggunaan media. Terdapat perbedaan proporsi literasi gizi interaktif berdasarkan penggunaan media. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi studi awalan penelitian literasi gizi di Indonesia.
ABSTRACT
Nutrition literacy can be defined as the degree to which people have the capacity to obtain, process and understand basic nutrition information. This research discusses the description of nutritional literacy of primary school children in East Jakarta and the difference of independent variable proportion such as gender, father education, mother education, parent income, media use, and teacher involvement based on nutritional literacy level. Nutritional literacy itself is divided into three main domains functional, interactive, and critical. This research is a quantitative research with cross sectional design. Respondents in this study were elementary school children in grade 4.5, and 6 in Kelurahan Duren Sawit and Kelurahan Pondok Kelapa. The number of respondents was 87 people and the data was collected using Nutrition Literacy Scale NLit and Nutrition Literacy Scale for Adolescent NLAA. The results showed that there were differences in the proportion of functional nutritional literacy by sex, father 39 s education, maternal education, parent income, and media use. There is a difference in the proportion of interactive nutritional literacy based on media use. This research is expected to be a prefix study of nutrition literacy research in Indonesia.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Nabila Adzhani
Abstrak :
Literasi gizi merupakan kapasitas individu untuk memperoleh, mengolah, dan memahami informasi gizi dasar yang diperlukan untuk membuat keputusan gizi yang tepat. Literasi gizi mencakup pengetahuan dan keterampilan penting terkait gizi yang digunakan dalam membuat pilihan makanan. Remaja merupakan usia terbentuknya perilaku makan yang dapat berlanjut hingga dewasa dan berdampak pada kesehatan di kemudian hari. Namun, remaja rentan untuk mengembangkan perilaku makan yang buruk, sehingga memerlukan literasi gizi yang baik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran tingkat literasi gizi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat literasi gizi pada remaja, dengan menggunakan desain studi cross-sectional. Penelitian dilakukan pada bulan April hingga Mei 2024 dengan melibatkan 108 siswa/i kelas X dan XI di SMA Negeri 21 Jakarta, yang dipilih menggunakan metode quota sampling. Pengambilan data penelitian dilakukan dengan pengisian kuesioner secara mandiri oleh responden (self-administered). Hasil penelitian menunjukkan sekitar separuh dari responden memiliki tingkat literasi gizi total yang baik, serta tingkat literasi gizi fungsional, interaktif, dan kritikal yang tergolong baik. Terdapat perbedaan proporsi yang bermakna pada tingkat literasi gizi total berdasarkan tingkat pendapatan rumah tangga dan peran teman sebaya. Terdapat perbedaan proporsi yang bermakna pada tingkat literasi gizi fungsional berdasarkan tingkat pendidikan ibu. Terdapat perbedaan proporsi yang bermakna pada tingkat literasi gizi interaktif berdasarkan tingkat pendidikan ayah, peran teman sebaya, peran guru, dan keterpaparan informasi gizi. Terdapat perbedaan proporsi yang bermakna pada tingkat literasi gizi kritikal berdasarkan peran teman sebaya. Tingkat pendapatan rumah tangga merupakan faktor dominan yang berhubungan dengan tingkat literasi gizi total pada remaja di SMA Negeri 21 Jakarta (OR = 3,5). ......Nutrition literacy is an individual's capacity to obtain, process, and understand basic nutrition information needed to make appropriate nutrition decisions. Nutrition literacy includes important nutrition-related knowledge and skills used in making food choices. Adolescence is the age when eating behavior is formed which can continue into adulthood and can impact health in the future. However, this age group is vulnerable to developing poor eating behavior, so they need good nutrition literacy. This research was conducted to determine the level of nutrition literacy and factors related to the level of nutrition literacy in adolescents, using a cross-sectional study design. The research was conducted from April to May 2024 involving 108 students in grades 10 and 11 at SMA Negeri 21 Jakarta, in which the samples were selected using the quota sampling method. A self-administered questionnaires were used to collect data for this study. The results showed that around half of the respondents had a good level of total nutrition literacy, as well as a good level of functional, interactive and critical nutrition literacy. There are significant differences in the proportion of total nutrition literacy levels based on household income level and the role of peers. There are significant differences in the proportion of functional nutrition literacy levels based on the mother's education level. There are significant differences in the proportion of interactive nutrition literacy levels based on the father's education level, the role of peers, the role of teachers, and exposure to nutrition information. There are also significant differences in the proportion of critical nutrition literacy levels based on the role of peers. Household income level is the dominant factor associated with the level of total nutrition literacy of adolescents at SMA Negeri 21 Jakarta (OR = 3.5).
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library