Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dedi Priadi
"THE SEARCH FOR EQUILIBRIUM IN PEOPLE MOVEMENTS
Suyono Dikun, PhD Transportaion Bureau, Bappenas
The Wisdom :
Our unity as nation is sustained by free communication of thought and by easy transportation of people and goods .... Together, the uniting forces of our .communication and transportation systems are dynamic elements in the very name we bear- United States, Without them, we would be a mere alliance of many separate parts (President Dwight D Eisenhower message to Congress, February 22, 1955)
While our world is now in the process of shrinking and reshaping due to the transport technology, our big cities, paradoxically, are enlarging, and overcrowding in such a way that even the same technology is not able to overcome time and distance.
It is the movement of people that matters, not the movement of such mechanical deices as motorized private vehicles.
Urban transportations (and its related issues) is perceived to be a domain where complexity and mega-conflicts prevail : population concentration vs employment deconcentration.
Urbanization vs rural empowerment
Old fashioned, "power approach" law vs development, "welfare approach" law."academic thought" spatial planning vs economic driven urban activities. Economic growth vs regional disparity. High intensity of development vs land carrying capacity land use vs transport services (endless cycles) vehicle movement vs people movements mass rapid transit vs urban expressway comfort movements of the affluent vs forgotten transport disadvantages no government intervention vs redistribution of income environmental depletion vs taking nature into account
Problem Statements ( in Search of the Equilibrium)
1. The problem of urban congestion has become so great that we are coming to the conclusion that there could be sufficient highway space and parking capacity to permit the movement of all people in private cars.
2. Expressways and parking facilities not only will solve the problem of congestion but will actually make it worse. Elaborate urban expressways are futile because of the tremendous reservoir of traffic waiting to absorb any new street capacity.
3. Those who try to accommodate private cars "is doomed to inevitable failure; the better they do their job the greater will be their failure".
4. The cities just cannot resign themselves to private cars and let mass transportation slide to ruin and extinction, They must preserve mass transportation or stagnate. Downtown is doomed to die unless cities streets movement of people rather than movement of vehicles.
5. Neither private cars nor mass transportation nor any other mechanical contrivance can solve the problems of urban congestion. As a solution of the traffic problem these devices are pure deception. Putting the emphasis on supplying transportation facilities rather than controlling the demand: serves only to aggravate congestion is long , as nothing is done fundamentally to rehabilitate the cities themselves, the quicker will people forsake them and the greater the problems for those left behind to cope with.
6. Private cars and mass transportation are both guilty of promoting congestion; and that have resulted in the .successful attempt to crowd too many people and too much economic activity into too little space.
7. Metropolitan areas face difficult task of arriving at decisions than will determine the physical and financial future of tomorrow's city.
8. Emphasizing expressways and parking facilities to accommodate private car use, or modernizing mass transportation facilities to reduce the number of vehicles entering the city? Or will solutions depend instead on the extensive replanning and rebuilding of the city?
THE EQUILIBRIUM
The solution of urban transport massive congestion does not he in ;her two extremes MRT or Urban Expressways.
The solution lies in between, not only between those two system but in the equilibrium among transport supply systems, between supply and demand slides, between capital and non-capital management strategies, between public and private initiatives, and between growth and environmental quality.
The equilibrium is represented by an integrated, intermodal transport system which is safe, efficient, reliable and professional, where urban trip makers can have modal choice given by economically competitive services and their perceived travel time values.
For our big cities, the equilibrium can only be achieved by undertaking reforms and restructuring of our institutional settings dealing with urban transport, legal and regulator frameworks supporting the system, capacity building of the human resources, pricing and cost policy of urban travels, management skills and software's, and private sector participation.
The center point is of course of having a strong political will, emerging to the surface because of professional support systems, provided by professional transport groups/ organization.
"
Universitas Indonesia, 1997
Prosiding - Seminar  Universitas Indonesia Library
cover
Hendrik Ataupah
"Suku bangsa Meto merupakan satu komponen ekosistem sabana semi-ringkai Timor Barat yang berbukit-bukit dan bergunung-gunung. Suku bangsa itu menyesuaikan diri secara sosial budaya baik pada karakteristik ekosistem sabana itu maupun pada keadaan perkembangan sejarahnya. Melalui suatu sistem pemukiman terpencar-pencar dalam kelompok-kelompok kecil, sampai meliputi hampir sebagian besar wilayah Timor Barat. Persebaran penduduk itu dilakukan untuk dapat memanfaatkan pelbagai jenis sumber daya alam yang kesediaannya terpencar-pencar dalam ruang dan waktu, maupun untuk menghindarkan diri dari pengaruh kekuasaan asing yang mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia di Timor Barat. Jadi proses persebaran orang Meto itu tidak selalu didasarkan pada pemikiran tindakan sendiri untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan hidup mereka, melainkan juga terpaksa dilakukan untuk mempertahankan kebebasan dan kepentingan kehidupan sendiri.
Suku bangsa itu pun berinteraksi dengan suku bangsa tetangganya, pedagang dan pelaut Nusantara maupun asing, dari benua Asia. Proses interaksi dengan pelbagai pihak selama satu jangka waktu panjang itu pada hakekatnya merupakan suatu proses pembudayaan berjangka panjang bagi suku bangsa Meto.
Proses pembudayaan itu berlangsung tersendat-sendat. Pelbagai wujud dan unsur budaya serta benda kebudayaan diambil-alih suku bangsa Meto dari suku bangsa-suku bangsa tetangga maupun dari bangsa asing yang pernah berkuasa atas pah Meto dan suku bangsa Meto. Dalam proses pembudayaan itu warga suku bangsa tetangga maupun keturunan orang asing yang terintegrasi ke dalam suku bangsa Meto melalui proses perkawinan. Dalam suasana hidup pencar-pencar dan relatif terpencil secara geografik dan sosiologik itu banyak kali orang Meto menerima bendabenda budaya asing untuk digunakan atau dikonsumsi tanpa mengembangkan pemikiran dan kemampuan teknis untuk memproduksi atau memperbaiki keberadaan benda-benda itu. Pelbagai jenis tanaman dan ternak diterima dari luar Timor untuk dibudayakan tanpa memperhatikan proses produksi yang seharusnya disertai upaya rehabilitasi, restorasi dan atau konservasi lingkungan dan pelbagai jenis sumber daya alam yang rusak oleh proses produksi itu, sampai sekarang pada umumnya suku bangsa Meto belum sadar akan dampak negatif kegiatan produksi pertanian pangan dan peternakan atas pelbagai komponen dan unsur ekosistem sabana yang rapuh kombinasinya dan rentan terhadap proses kerusakan dan pengrusakan.
Di pihak lain lambat-laun tercipta suatu kemampuan budaya tradisional untuk melangsungkan kehidupan sebagai peladang dan peternak tradisional ekstensif di lingkungan sabana semi-ringkai Timor Barat itu. Bukit, gunung, sumber air perenial, hutan lestari yang berpohon besar yang rindang dan tinggi menjulang, tumbuhan pemanjat, padang rumput kering, pelbagai jenis satwa dan burung, tidak hanya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan biofisik. Pelbagai jenis komponen dan unsur ekosistern itu dijadikan pula alat peraga budaya, sumber pemikiran inspiratif, dan keyakinan religius untuk mengatur kehidupan perorangan, kehidupan kekeluargaan dan kekerabatan yang menjadi soko guru kehidupan bermasyarakat dan berpemerintahan tradisional. Terdapat suatu keyakinan religius bahwa suatu kekuatan adikodrati yang dinamakan nono yang dijunjungkan di atas kepala setiap bayi ataupun anak isteri akan melindungi keselamatan dan keberuntungan.
Nono pun digunakan sebagai satu nama keluarga dan dijadikan alasan religius untuk berpantang makan jenis satwa dan tumbuhan totem tertentu. Keyakinan religius itu diterapkan sejak saat upacara turun tanah setiap bayi, atau sejak saat penyelesaian perkawinan yang diikuti dengan upacara penggantian kekuatan adikodrati dan dipenggantian nama keluarga. Setiap warga suatu kesatuan kerabat dapat meninggalkan kampung-halaman dan keluarganya untuk mencari nafakah kehidupan dan bermukim di wilayah lain tanpa perlu khawatir bahwa is dan atau keturunan akan kehilangan komunikasi dengan warga kesatuan kerabat yang ditinggalkan di kampung halaman. Konsep nano dan penetrapannya dalam kehidupan sosial sehari-hari merupakan salah satu faktor penting bagi persatuan dan kesatuan kekerabatan dan sekaligus merupakan dasar kebudayaan tradisional suku bangsa Meto.
Warga yang berpindah maupun yang menetap beserta keturunan mereka dapat saling menelusuri dengan memperhatikan nama yang digunakan sehari-hari, nama sapaan kehormatan yang digunakan bahasa upacara, atau nama puisi yang digunakan ketika sedang bernaka-naka. Kesatuan kekerabatan diperkokoh melalui sistem perkawinan kemenakan silang, saling membantu pada masa suka dan duka, serta saling menyapa dan menyebut dengan istilah kerabatan dan atau teknonimi tertentu.
Pendatang baru yang tidak mempunyai hubungan kerabatan dengan para pemukim lebih dini dapat diterima untuk bermukim, berladang, dan atau beternak melalui upacaraupacara tertentu lalu dijadikan anak oleh pihak pemukim lebih dini. Melalui perkawinan dengan pihak pemukim yang lebih dini, keturunan pendatang/pemukim baru itu dapat diterima sebagai warga kesatuan kerabat fiktif setelah terjadi penyesuaian sosial budaya timbal-balik dengan sempurna. Keturunan orang asing pun diintergrasikan ke dalam suatu golongan orang Meto melalui proses penyesuaian sosial budaya dan rangkaian proses perkawinan yang lama dan fasih. Kefasihan berbahasa Meto, berlafal tertentu merupakan suatu syarat yang penting untuk ,diterima dalam lingkungan kehidupan sosial budaya suatu golongan orang Meto, yang memukimi suatu wilayah tertentu di Timor Barat. Orang-orang keturunan Portugis dan desertir Belanda, termasuk para pemimpin mereka yang pernah secara de facto menguasai pedalaman Timor Barat lebih dari dua abad, terintegrasi penuh ke dalam suku bangsa Meto karena proses penguasaan itu berlangsung bersamaan dengan proses adaptasi sosial budaya secara timbal-balik di antara suku bangsa Meto dengan para penguasa itu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992
D20
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library