Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Praditha Handayani
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S8145
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Iqbal
Abstrak :
Indonesia mengalami pemerintahan otoriter selama 32 tahun. Berakhirnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 meninggalkan permasalahan krusial terkait pelanggaran HAM berat. Tuntutan masyarakat terutama pihak korban dan keluarganya terhadap peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran HAM berat masih terus disuarakan sampai saat ini. Guna menindaklanjuti aspirasi masyarakat tersebut, Pemerintah bersama DPR telah membentuk Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Selanjutnya antara tahun 2002-2004 Pemerintah membentuk Pengadilan HAM ad-hoc yang tujuannya untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat kasus Timor Timur pasca jajak pendapat dan kasus Tanjung Priok. Masyarakat terutama korban dan keluarganya belum merasakan jawaban atas hasil Pengadilan HAM ad-hoc dimaksud berkenaan dengan tuntutan yang selama ini dilakukan. Hal ini karena proses yudisial tersebut tidak memberikan nilai-nilai keadilan, dan tidak berpihak kepada korban. Pendekatan yudisial hanya menyelesaikan aspek hukumnya saja, dan hanya berorientasi kepada pelaku. Sementara pelanggaran HAM berat mengandung dimensi politik, psikologis, dan sosial yang sangat kompleks, yang dialami oleh korban beserta keluarganya. Sistem hukum Indonesia disamping mengenal penyelesaian sengketa secara yudisial, juga mengenal alternatif penyelesaian sengketa secara non-yudisial. Salah satu pendekatan ekstrayudisial untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat yang dikenal oleh masyarakat internasional adalah rekonsiliasi. Pendekatan rekonsiliasi meskipun tidak menjamin terwujudnya rasa keadilan bagi semua pihak, akan tetapi lebih dari 20 negara yang sukses menerapkan rekonsiliasi untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti Afrika Selatan (1995), Chili (1990-1992), Guatemala (1995), Meksiko (1992), dan El Savador (1992-1994). Pemerintah bersama DPR melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi membentuk lembaga rekonsiliasi yang diberi nama Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Belum lagi Komisi ini memilih dan menatapkan anggotanya, UU KKR yang menjadi payung hukum pelaksanaan rekonsiliasi di Indonesia diuji materil terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan MK menyatakan bahwa UU KKR tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian kelembagaan yang sudah terbentuk dengan sendirinya dibubarkan, dan rekonsiliasi sebagai pendekatan ekstrayudisial belum pernah dilakukan di Indonesia. Rekonsiliasi merupakan bagian tak terpisahkan dari penegakan hukum yang bersifat ekstrayudisial. Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum, yang terdiri atas 3 (tiga) bagian, yaitu: substance, structure, dan legal culture. Penulis memanfaatkan ketiga komponen tersebut sebagai kerangka kerja analisis untuk membahas urgensi rekonsiliasi di Indonesia. Implementasinya dilakukan dengan membandingkan pengaturan, mekanisme, dan praktik rekonsiliasi di Afrika Selatan dan Chili. Komponen substance, dipergunakan untuk mengetahui apa urgensi pengaturan rekonsiliasi terkait dengan transitional justice, tanggung jawab dan kewajiban negara, serta politik hukum. Komponen structure, dipergunakan untuk mengetahui bagaimana mekanisme rekonsiliasi terkait dengan bentuk, struktur, dan mandat kelembagaan yang diperlukan guna mendukung rekonsiliasi. Komponen legal culture, dipergunakan untuk mengetahui bagaimana praktik pengaturan dan mekanisme yang sesuai dengan kebutuhan di Indonesia. ......Indonesia experienced authoritarian rule for 32 years. Orde Baru regime ended in 1988 left the crucial issues related to serious human rights violations. Public, especially the victims and their families demanded the Government to resolve the serious human rights violations in a fair and dignified. Finally, the Government and the Parliament has established the Law No. 26 Year 2000 on Human Rights Court. The Government has established a Human Rights Court ad-hoc which aim to examine and rule on cases of serious human rights violations cases in East Timor after the referendum and the Tanjung Priok case conducted between the years 2002-2004. Public, especially victims and their families, did not receive a fair response to the human rights court ad-hoc. The judicial process did not give the value of justice, and not to side with the victim. The judicial approach simply completing the legal aspects, and oriented to the perpetrator. On the other hand, human rights violations contains aspects of political, psychological, and social problems are complex. Indonesia imposed a judicial and extrajudicial approach in resolving a dispute. The international community recognize reconciliation as alternative dispute resolution. Reconciliation in principle does not guarantee justice, but nearly 20 countries in the world to apply this method to solve the problem of serious human rights violations of the past, such as: South Africa (1995), Chile (1990-1992), Guatemala (1995), Mexico (1992), and El Salvador (1992-1994). Government and Parliament enacting Law No. 27 Year 2004 on the Truth and Reconciliation Commission. This law established the Truth and Reconciliation Commission in Indonesia. Constitutional Court conduct a judicial review Law No. 27 Year 2004 on the 1945 National Constitution. Decision of the Court stated that the Law No. 27 Year 2004 does not have binding legal force. Thus, the institution that has been formed by itself had been disbanded. Moreover, the reconciliation as extrajudicial approach has never been done in Indonesia. Reconciliation is an integral part of law enforcement that is extrajudicial. Lawrence M. Friedman's said that the success of law enforcement always requires three components functioning legal system, namely substance, structure, and legal culture. I use these three components as an analytical framework to discuss the urgency of reconciliation in Indonesia. Its implementation is done by comparing the arrangements, mechanisms, and practices of reconciliation in South Africa and Chile. Substance, is used to identify whether an urgency of reconciliation arrangements associated with transitional justice, responsibility and state obligation, and legal politic. Structure is utilized to identify the reconciliation mechanism related to the shape, structure, and institutional mandate to reconciliation. Legal culture is employed to identify a practice of arrangements and mechanism that inline to the demands of reconciliation in Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46833
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendy Febrianto Kurniawan
Abstrak :
Pembahasan dalam tesis ini adalah bahwa putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 tentang Penetapan Tersangka sebagai Objek Praperadilan menciptakan peluang bagi penegak hukum melakukan pelanggaran HAM. Penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan terlibat, wawancara mendalam dan kajian dokumen. Hasil penelitian menunjukan: 1) Salah satu pertimbangan MK mengeluarkan putusan No. 21/PUU-XII/2014 adalah penetapan tersangka merupakan bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap HAM, maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan; 2) Keluarnya Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 berdampak pada penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, karena institusi Kepolisian, kejaksaan dan kehakiman merupakan institusi yang paling sibuk menerima aneka gugatan praperadilan dengan berpedoman pada perluasan enam objek praperadilan berdasarkan putusan MK tersebut; 3) Dampak putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 terhadap kompetensi penyidik Polri adalah dalam memutuskan penetapan status tersangka, penyidik dituntut lebih profesional dan lebih mampu menjalankan ketentuan dalam KUHAP dengan baik dan benar; 4) Dampak putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 terhadap Penegakan HAM di Indonesia adalah, dalam menetapkan status tersangka, penyidik harus melakukannya secara hati-hati, karena penetapan status tersangka tanpa dua alat bukti, tanpa ada konfrontasi dengan calon tersangka, dan kesahihan cara memperolah alat bukti, merupakan tindakan sewenang-wenang yang dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM. Implikasi dari kajian tesis ini adalah: (a) MA perlu mengeluarkan PERMA tentang batasan ruang lingkup Praperadilan; (b) DPR dan Pemerintah perlu segera merevisi KUHAP sehingga sesuai dengan tuntutan persoalan penegakan hukum pidana yang semakin kompleks dan multidimensi; (c) Perlunya melakukan peningkatan kompetensi para penyidik Polri dengan cara pelaksanaan sertifikasi penyidik tipikor berdasarkan kemampuan pengetahuan dan teknis penyidikan yang harus dimiliki; (d) Perlunya penyusunan SOP oleh Dit Tipikor Bareskrim Polri yang mengatur teknis dan administrasi penetapan tersangka setelah terdapat perluasan objek peradilan sebagaimana dalam putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 tentang Penetapan Tersangka Sebagai Objek Praperadilan. ...... This thesis discussed about the decision MK No. 21/PUU-XII/2014 on the provision of suspects as an object pretrial create an opportunity for law enforcement do violations of human rights. Research used is qualitative research. Data collection is conducted through the observation involved, in-depth interviews and study of documents. The research shows: 1) One of the consideration MK issued the ruling No. 21/PUU-XII/2014 is determination the suspect is part process investigation that is constitute deprivation of human rights, then it should the determination of the suspect by investigator is object which may be requested for protection through ikhtiar law pranata pretrial; 2) The emergence of the decision of the MK No. 21/PUU-XII/2014 impact on law enforcement in criminal justice systems in indonesia, because police institutions, attorney and judiciary is the institutions that the most busy received various a lawsuit pretrial with reference at expanding six object pretrial based on the judgment the constitutional court mentioned above; 3) The impact of the decision MK No. 21/PUU-XII/2014 to competence Polri investigators is in deciding the determination of status suspects, investigators are required more professional and more are able to run the provisions of kuhap well and correctly; 4) The impact of the decision the MK Nomor 21/PUU-XII/2014 towards enforcement of human rights in indonesia is , in setting status suspects , investigators have to do it carefully , because the determination of status suspects without two tools evidence , without any confrontation with the suspects , and kesahihan way to get instrument evidence , is a arbitrary who can be described as a form of violations of human rights. Implication this thesis discussion contains: (a) MA need to spend PERMA about the limitations of the scope of Pretrial; (b) Parliament and the government needs to revise the KUHAP so that it meets the demands of criminal law enforcement problems are increasingly complex and multidimensional; (c) The need to increase the competence of the Polri investigator in a way the implementation of the certification investigator Tipikor is based on knowledge and technical capabilities investigations that should be owned; (d) The need for the preparation of SOP by direktorat tipikor bareskrim Polri which govern about technical and administrative of determination of the suspect once there is expansion the object of pretrial as in the ruling of MK No. 21/PUU-XII/2014 concerning Suspect As Object Pretrial Stipulation.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Sari Amran
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pemenuhan hak reparasi bagi korban Peristiwa Talangsari 1989 untuk memperkuat ketahanan sosial serta implementasi sinkronisasi kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pemenuhan hak reparasi bagi korban Peristiwa Talangsari 1989. Peneliti menggunakan metode kualitatif dengan metode wawancara dan studi pustaka. Dari hasil penelitian, dapat diketahui bahwa pemenuhan hak reparasi yang dapat memperkuat ketahanan sosial diantaranya adalah reparasi materiil dan reparasi secara simbolik. Selain itu, pemenuhan hak atas kebenaran juga diperlukan untuk menciptakan kapasitas transformatif dalam ketahanan sosial. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa hingga saat ini, implementasi kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah memberikan dampak positif bagi korban Peristiwa Talangsari 1989. Meskipun demikian, terdapat beberapa kelemahan dalam kebijakan yang telah diimplementasikan. Sehingga, diperlukan suatu alternatif kebijakan untuk mengoptimalkan pemenuhan hak reparasi bagi korban Peristiwa Talangsari 1989 dan korban dugaan peristiwa pelanggaran HAM berat lainnya di Indonesia untuk memperkuat ketahanan sosial. ......This research aims to analyze the fulfillment of the right to reparation for victims of the 1989 Talangsari Tragedy to strengthen social resilience and the implementation of synchronization of the policies taken by Central Government and the policies taken by Local Government in the fulfillment of the right to reparation for victims of the 1989 Talangsari Tragedy. The writer used qualitative methods such as interviews and literature review. This research shows that the fulfillment of the right to reparation that is able to strengthen social resilience is material reparations and symbolic reparations. Moreover, the fulfillment of the right to the truth is needed to create transformative capacities in social resilience. This research also shows that until now, some policies that are implemented by Central Government and Local Government have made positive impacts on the victims of the 1989 Talangsari Tragedy. Nevertheless, there are some flaws in the policies that have been conducted. Hence, an alternative policy is necessary to optimize the fulfillment of the right to reparation for not only victims of the 1989 Talangsari Tragedy, but also the victims of other alleged gross violations of human rights in Indonesia in order to strengthen social resilience.
Depok: Sekolah Kajian Stratejik Dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hutahaean, Arief Raja Jacob
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas perkara PMH yang terjadi di Indonesia berupa pelanggaran HAM yang dimintakan ganti kerugiannya dengan Alien Tort Statute di Pengadilan Federal Amerika Serikat. Dua perkara yang dianalisis adalah perkara Tom Beanal v. Freeport-McMoran Inc, and Freeport MrMoran Copper and Gold, Inc., Civil Action No.96-1474 section "K", United States District Court For the Eastern District Court of Lousiana dan Doe v. Exxon Mobile Corp., No. Civ.A 01-1357 (LFO), United States District Court of Columbia. Hasil penelitian ini menunjukkan metode penentuan hukum yang berlaku yang digunakan oleh hakim tidak memuaskan.
ABSTRACT
This thesis analyzes the Tort in the form of the violation of human rights occurred in Indonesia but litigated before the Federal Court of United States of America using Alien Tort Statute. The Cases discussed in this thesis are Tom Beanal v. Freeport-McMoran Inc, and Freeport MrMorran Copper and Gold, Inc., Civil Action No.96-1474 section "K", United States District Court For the Eastern District Court of Lousiana and Doe v. Exxon Mobile Corp., No. Civ.A 01-1357 (LFO), United States District Court, District Court of Columbia. The Result of this research shows that the method used by the Judge in determining applicable law is unsatisfying.
2013
S52880
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Dinar Putri Suseno
Abstrak :
Tesis ini, disusun untuk mengungkapkan permasalahan Papua khususnya terkait pergerakan West Papua National Coalition For Liberation (WPNCL) di lingkungan internasional, serta dampaknya terhadap keutuhan NKRI. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya upaya WPNCL dalam memperjuangkan kemerdekaan Papua baik di dalam negeri maupun luar negeri. Landasan teori yang digunakan dalam Penelitian ini mengacu pada teori self determination, teori separatisme, teori ancaman, dan teori diplomasi publik. Jenis Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, dengan menggunakan data kualitatif, melalui metode pengumpulan data dari literatur dan studi referensi. Penelitian ini menjelaskan bahwa permasalahan Papua hingga saat ini masih belum menemukan titik temu atau solusi dalam penyelesaiannya. Bahkan akibat ketidakpuasan masyarakat Papua atas Pepera dan perbedaan paham tentang sejarah Papua yang semakin berkepanjangan memicu munculnya gerakan-gerakan kelompok separatis Papua di dalam negeri maupun luar negeri. Manuver gerakan politik kelompok separatis Papua di lingkungan internasional bertujuan untuk merepresentasikan tuntutan self determination di Papua. Isu-isu yang diusung dalam mencari dukungan di lingkungan diantaranya peninjauan kembali proses terciptanya New York Agreement, peninjauan kembali hasil Pepera, dan tingginya angka pelanggaran HAM di Papua. Salah satunya organisasi Papua merdeka yang terlibat dalam kegiatan propaganda di lingkungan internasional yakni WPNCL, dimana pergerakannya cenderung berfokus pada propaganda permasalahan Papua di lingkungan internasional. Menghadapi kondisi tersebut, Pemerintah Indonesia perlu menetapkan kebijakan luar negeri untuk mereduksi munculnya campur tangan pihak asing dalam penyelesaian permasalahan Papua maupun pergerakan kelompok separatis Papua. secara kesimpulan, Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis potensi ancaman dari pergerakan WPNCL di lingkungan internasional yang akan berdampak pada keutuhan NKRI. ......The issue of Papua, especially related to the movement of the West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) in the international environment, is likely to have an impact on the integrity of the Republic of Indonesia. This was motivated by WPNCL's efforts in fighting for Papuan independence both at home and abroad. The theoretical basis used in this study refers to the theory of self-determination, theory of separatism, and theory of threat, theory of public diplomacy. This type of research is descriptive analytical, using qualitative data, through data collection methods from the literature and reference studies. This study explains that the Papuan problem has yet to find a common ground or solution in its resolution. In fact, due to the dissatisfaction of the Papuan people over the Act of Free Choice and differences in understanding about Papua's history, which is increasingly protracted, it has triggered the emergence of Papuan separatist movements at home and abroad. The political movement maneuver of the Papuan separatist groups in the international environment aims to represent the demands of self-determination in Papua. Issues raised in seeking support in the environment include reviewing the process of creating the New York Agreement, reviewing the results of the Act of Free Choice, and the high number of human rights violations in Papua. One of them is an independent Papuan organization that is involved in international propaganda activities, namely WPNCL, whose movement tends to focus on propaganda for Papuan issues in the international environment. Facing these conditions, the Government of Indonesia needs to establish a foreign policy to reduce the emergence of foreign interference in resolving Papuan problems and the movement of Papuan separatist groups. In conclusion, this study aims to analyze the potential threats from the WPNCL movement in the international environment that will have an impact on the integrity of the Unitary Republic of Indonesia.
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amidhan
Jakarta: Branda Nusantara, 2020
323.4 AMI p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Amidhan
Abstrak :
Salam naskah UUD 1945 para pendiri bangsa telah meletakkan dasar-dasar yang kuat tentang hak asasi manusia (HAM) apalagi dalam perubahan UUD 1945 tahap kedua tahun 2000 ditambah lagi dasar hukum tentang HAM tersebut dalam satu lab lengkap dengan sepuluh pasal, akan tetapi sejak pemerintahan orde lama, orde baru hingga orde reformasi ordec informasi sekarang ini tetap saja yang terjadi pelanggaran HAM di Indonesia. Dan pelanggaran HAM terbanyak terjadi pada era orde baru. Kasus-kasus pelanggaran HAM masa orde baru tersebut hingga dapat diselesaikan secara tuntas dan adil. Terdapat kendala dan problem hukum sehingga kasus-kasus tersebut tidak dapat dituntaskan. Kendala dan problema apa dibahas dalam artiikel ini.
Jakarta: Lembaga Pangkajian MPR RI, 2019
342 JKTN 12 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>