Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 61 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hening Hapsari Setyorini
Abstrak :
Penyelesaian utang piutang antara kreditor dan debitor dapat dilakukan melalui dua cara yaitu Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), kedua cara ini pada hakekatnya berbeda baik dari segi proses, dasar pengajuan maupun akibat, namun keduanya saling terkait. PKPU berbeda dengan Kepailitan yang bertujuan mempergunakan seluruh harta kekayaan debitor pailit untuk meFnbayar seluruh utang-utang debitor pailit secara adil merata dan berimbang dibawah pengawasan seorang hakim pengawas, dalam PKPU dapat diajukan baik oleh debitor maupun kreditor bertujuan untuk mengajukan rencana perdamaian yang berisi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor. Jadi sebenarnya penyelesaian utang piutang melalui PKPU dapat dijadikan alternative untuk tercapainya win win solution. Di dalam Pasal 222 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah diadakan suatu ketentuan baru mengenai penundaan kewajiban pembayaran utang dimana kini tidak hanya debitor yang dapat mengajukan PKPU, kreditorpun dapat mengajukan permohonan PKPU. Yang menarik adalah bahwa Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 belum mengatur secara jelas mengenai prosedur pengajuan dan tata cara pemeriksaan untuk permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang yang diajukan oleh kreditor, sehingga terjadi ketidakjelasan prosedur seperti dalam kasus Investeringsmaatschappij Voor Vlaanderen N.V (GIMV) melawan PT. Cahaya Interkontinental di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Yang menjadi masalah dalam pengajuan permohonan PKPU oleh kreditor belum ada pengakuan utang, sebagaimana pengajuan permohonan PKPU oleh debitor, dan mengenai pembuktian adanya utang apakah dilakukan sebelum dikabulkannya PKPU Sementara atau setelah adanya PKPU Sementara yaitu dalam rapat-rapat verifikasi seperti yang terjadi pada kasus ini. Proses suatu permohonan PKPU oleh Kreditor ini berlangsung selama 20 hari sebelum majelis hakim niaga mengabulkan PKPU Sementara, seharusnya mengenai pembuktian adanya utang dilakukan dalam jangka waktu 20 hari tersebut sebelum adanya putusan PKPU Sementara. Pada kasus ini terkesan majelis hakim niaga terburu waktu untuk mengabulkan PKPU Sementara karena adanya batasan waktu sehingga untuk pembuktian adanya utang serta kapasitas para pihak sebagai kreditor dan debitor tidak diputuskan terlebih dahulu sebelum adanya putusan PKPU Sementara.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18476
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mewengkang, Belinda Martha Silvia
Abstrak :
PKPU merupakan pemberian kesempatan kepada debitor untuk merestrukturisasi hutang – hutangnya kepada kreditor dengan cara, debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran untuk melaksanakan pembayaran utang baik secara keseluruhan ataupun sebagian utangnya kepada para kreditor. Rencana perdamaian yang telah disepakati oleh mayoritas kreditor wajib disahkan oleh pengadilan. Namun didalam Pasal 285 Ayat (2) Huruf b UU Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU mengatur bahwasannya pengadilan dapat menolak suatu rencana perdamaian apabila pelaksanaan perdamaiannya tidak cukup terjamin. Oleh karena itu, tesis ini bertujuan untuk menganalisis kriteria rencana perdamaian yang pelaksanaannya dapat dinyatakan cukup terjamin dalam proses PKPU dan menganalisis implementasi kriteria rencana perdamaian yang pelaksanaannya cukup terjamin di Indonesia. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa UU Kepailitan dan PKPU tidak mengatur mengenai kriteria dalam membuat suatu rencana perdamaian yang pelaksanaannya dapat dinyatakan cukup terjamin. Hal ini berbeda dengan Amerika dan Singapura yang mengatur mengenai kriteria dalam membuat suatu rencana perdamaian. Walaupun tidak adanya pengaturan mengenai kriteria rencana perdamaian di Indonesia, namun terdapat kasus dimana debitor sudah menerapkan kriteria rencana perdamaian dalam PKPU sebagaimana yang terdapat di Amerika dan Singapura. ......PKPU is an opportunity for debtors to restructure their debts to creditors by means of the debtor's proposed accord plan which includes an offer to pay off debts in whole or in part of their debts to creditors. An accord plan that has been agreed by creditors must be approved by the court. However, in Article 285 (2) Letter b of UU No 37/2004, the court can reject an accord plan that is not adequately assured. Therefore, this thesis aims to analyze of proposal accord plan criteria that adequate assured in PKPU process and to analyze the implementation of the criteria in Indonesia. The results of this study indicate that in Act No. 37/2004 there is no criteria in making an accord plan whose implementation can be declared adequately assured. This is different from America and Singapore which are contained the criteria of an accord plan in their regulation. Although there is no regulation regarding the criteria for an accord plan in Indonesia, there have been cases where the debtor has applied the PKPU accord plan criteria as in America and Singapore.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Belinda Martha Silvia Mewengkang
Abstrak :
PKPU merupakan pemberian kesempatan kepada debitor untuk merestrukturisasi hutang – hutangnya kepada kreditor dengan cara, debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran untuk melaksanakan pembayaran utang baik secara keseluruhan ataupun sebagian utangnya kepada para kreditor. Rencana perdamaian yang telah disepakati oleh mayoritas kreditor wajib disahkan oleh pengadilan. Namun didalam Pasal 285 Ayat (2) Huruf b UU Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU mengatur bahwasannya pengadilan dapat menolak suatu rencana perdamaian apabila pelaksanaan perdamaiannya tidak cukup terjamin. Oleh karena itu, tesis ini bertujuan untuk menganalisis kriteria rencana perdamaian yang pelaksanaannya dapat dinyatakan cukup terjamin dalam proses PKPU dan menganalisis implementasi kriteria rencana perdamaian yang pelaksanaannya cukup terjamin di Indonesia. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa UU Kepailitan dan PKPU tidak mengatur mengenai kriteria dalam membuat suatu rencana perdamaian yang pelaksanaannya dapat dinyatakan cukup terjamin. Hal ini berbeda dengan Amerika dan Singapura yang mengatur mengenai kriteria dalam membuat suatu rencana perdamaian. Walaupun tidak adanya pengaturan mengenai kriteria rencana perdamaian di Indonesia, namun terdapat kasus dimana debitor sudah menerapkan kriteria rencana perdamaian dalam PKPU sebagaimana yang terdapat di Amerika dan Singapura ......PKPU is an opportunity for debtors to restructure their debts to creditors by means of the debtor's proposed accord plan which includes an offer to pay off debts in whole or in part of their debts to creditors. An accord plan that has been agreed by creditors must be approved by the court. However, in Article 285 (2) Letter b of UU No 37/2004, the court can reject an accord plan that is not adequately assured. Therefore, this thesis aims to analyze of proposal accord plan criteria that adequate assured in PKPU process and to analyze the implementation of the criteria in Indonesia. The results of this study indicate that in Act No. 37/2004 there is no criteria in making an accord plan whose implementation can be declared adequately assured. This is different from America and Singapore which are contained the criteria of an accord plan in their regulation. Although there is no regulation regarding the criteria for an accord plan in Indonesia, there have been cases where the debtor has applied the PKPU accord plan criteria as in America and Singapore.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Mega Victoria
Abstrak :
Dengan adanya tren kenaikan permohonan PKPU dan Kepailitan maka terdapat wacana Pemerintah Indonesia akan melakukan Moratorium PKPU/Kepailitan. Penelitian ini mencoba menjawab permasalahan pertama bagaimana pengaturan PKPU dan Kepailitan di Indonesia bagi sektor perbankan di masa Pandemi Covid - 19, kedua bagaimana pengaturan Moratorium PKPU dan Kepailitan di Singapura dan Inggris, dan ketiga bagaimana kebijakan yang ideal dalam mengatur Moratorium PKPU dan Kepailitan di Indonesia agar dapat mengakomodir kepentingan sektor perbankan. Penelitian ini merupakan bentuk penelitian hukum normatif dengan cara meneliti bahan pustaka dan wawancara sebagai sumber pendukung. Pendekatan penelitian ini ialah pendekatan perbandingan pengaturan moratorium di Inggris dan Singapura. Hasil dari penelitian ini; pertama, pada masa Pandemi Covid–19 tidak ada peraturan mengenai perubahan terkait mekanisme PKPU dan Kepailitan di Indonesia; kedua, Singapura telah mengeluarkan Covid-19 (Temporary Measures) Act 2020 (No.14 of 2020) sedangkan Inggris juga telah mengeluarkan Corporate Insolvency and Governance Act 2020, kedua negara ini mengatur kebijakan temporary measures yang mengubah sementara persyaratan pengajuan kepailitan di masa Pandemi Covid-19; ketiga, penerapan moratorium secara keseluruhan untuk kepailitan dan PKPU untuk mengatasi tingginya angka kepailitan dan PKPU di Indonesia bukan solusi yang tepat, namun dapat dilakukan kebijakan temporary measures dan juga perbaikan pada UU No. 37 tahun 2004 yang sifatnya long term. Penelitian ini menyarankan jika akan dilakukan Moratorium PKPU dan Kepailitan di Indonesia, sebaiknya Pemerintah perlu melakukan kajian terlebih dahulu dari berbagai sektor, pihak yang terlibat, dan para stakeholder khususnya pada industri perbankan, yang merupakan salah satu sektor penting dalam menunjang perekonomian negara, serta perlu adanya pengaturan temporary measures dan perbaikan dalam UU No. 37 tahun 2004. ......Following the rising trend of suspension of debt payment obligation (PKPU) and bankruptcy’s petition thus there’s a discourse that Government of Indonesia would apply moratorium on PKPU and bankruptcy. This research tries to answer issues such as: first, how’s the regulation regarding PKPU and bankruptcy in Indonesia for banking industry. Second, how’s the regulation regarding PKPU and bankruptcy in Singapore and United Kingdom, and thirdly, how’s the ideal policy to regulate moratorium for PKPU and bankruptcy in Indonesia so in order to accomodate banking industry’s interest. The form of this research is a normative based legal research which conducted by examining library materials or secondary materials and interview as supporting sources. The approach of this research is a comparative approach which compares moratorium regulation in United Kingdom and Singapore. The results of this research are: first, during the Covid – 19 pandemic, there is no a regulation regarding adjustment to PKPU and bankruptcy’s mechanism in Indonesia, second, Singapore has passed Covid – 19 (Temporary Measures) Act 2020 (No. 14 of 2020) meanwhile United Kingdom has passed Corporate Insolvency and Governance Act 2020, both of this countries has regulated a policy about temporary measures which temporarily adjusted the conditions to make a petition of PKPU and bankruptcy during Covid – 19 Pandemic; third, the implementation of the overall moratorium for bankruptcy and PKPU to overcome the high number of bankruptcy and PKPU in Indonesia is not the right solution, but temporary measures can be implemented and also improvements to Law no. 37 of 2004 which is long term. This research suggests that if the PKPU and Bankruptcy Moratorium is to be carried out in Indonesia, the Government should first conduct a study from various sectors, parties and stakeholders must be involved, especially in the banking industry, which is one of the important sectors in supporting the country's economy, and the need for setting temporary measures and improvements in Law no. 37 year 2004.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sianipar, Ebenezer
Abstrak :
ABSTRAK
Pembahasan dalam skripsi ini adalah perlindungan hukum kreditur dengan hak istimewa dalam PKPU, dengan studi kasus PT Bakrie Telecom. Pasal 1137 KUHPerdata telah mengatur secara jelas bahwa kedudukan tagihan terhadap kas negara merupakan tagihan yang diutamakan pembayarannya karena merupakan tagihan dengan hak istimewa. Adanya ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mendahulukan kepentingan negara dalam hal ini piutang negara yang tidak dibayarkan oleh PT Bakrie Telecom melalui Kominfo. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif. Dalam penelitian ini yang menjadi pokok perasalahan adalah apakah kedudukan Kominfo sebagai kreditor konkuren dalam PKPU PT Bakrie Telecom telah sesuai dengan Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan bagaimana upaya hukum yang dapat diajukan oleh Kominfo atas putusan homologasi tersebut sebagai bagian dari perlindungan hukum terhadap kreditor dengan hak istimewa. Pada akhirnya, peneliti memperoleh kesimpulan bahwa kedudukan Kominfo dalam PKPU PT Bakrie Telecom telah tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku yang oleh karena itu harus diajukan upaya hukum sebagai perlindungan terhadap kreditur dengan hak istimewa.
ABSTRACT
The main analysis of these bachelor thesis is focus on the legal protection of privileges creditors in Suspension of Debt Payment Obligations (PKPU) in correlation with PT Bakrie Telecom case studies. Article 1137 Civil Code of Indonesia mentioned comprehensibly regarding the position of state treasury debt as debt with privilege. The regulations intended to precedence the interest of states, thus, PT. Bakrie Telecom is not accomplish the obligation towards Ministry of Communication and Information (Kominfo). The research is based on normative juridical with typology descriptive study. The research is focus on the position of concurrent creditors under Suspension of Debt Payment Obligations (PKPU) of PT. Bakrie Telecom, which, pursuant to Law No. 37 Year 2004 regarding the Bankruptcy and Suspension of Payment, including the legal remedies Ministry of Communication and Information (Kominfo) to pursue; regarding the homologation decision as the legal protection of privileges creditor. Enclosing, the research conclusion is the position of Ministry of Communication and Information (Kominfo) is not in accordance with the applicable law in the grounds of the prior proposed remedies for protection against creditors with special privileges.
2016
S64865
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Himarasmi Jyesthaputri Aji
Abstrak :
Adanya mekanisme penundaan terhadap kewajiban pembayaran utang yang harus dilakukan oleh Debitor, dapat memberikan Debitor waktu untuk melakukan restrukturisasi terhadap utangnya. Pada praktiknya, upaya restrukturisasi utang ini seringkali tidak memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum kepada Kreditor PKPU. Hal ini dapat terjadi salah satunya karena tindakan Debitor yang mengulur-ulur proses beracara, sehingga perkara kepailitan yang sedang terjadi tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan marwah dari UU K-PKPU itu sendiri yang menghendaki terselesaikannya sengketa dengan cepat dan sederhana. Hal inilah yang melatarbelakangi perlunya pemberian perlindungan hukum dan kepastian hukum kepada Kreditor dalam perkara PKPU yang dapat menghindarkan Kreditor mengalami kerugian atas tindakan Debitor. Pemberian perlindungan hukum diperlukan untuk mencapai tujuan dari hukum itu sendiri, yakni menciptakan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Untuk menjawab permasalahan tersebut, Penulis kemudian menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif dengan meneliti bahan kepustakaan atau data sekunder. Penelitian ini menggunakan studi kasus Putusan No. 373/Pdt.Sus-Pkpu/2021/Pn.Niaga.Jkt.Pst dan akan dikaji melalui studi kepustakaan dalam rangka menjawab pokok permasalahan berdasarkan hukum yang berlaku untuk memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi Kreditor yang terlibat dalam perkara PKPU. Dalam Hukum Kepailitan, kepastian hukum dapat terwujud melalui penerapan prinsip penyelesaian perkara secara cepat dan pembuktian yang sederhana sesuai dengan prinsip kepailitan dan PKPU yang tercantum dalam UU K-PKPU. Penulis kemudian menarik kesimpulan bahwasannya UU K-PKPU pada dasarnya telah memberikan perlindungan hukum bagi Kreditor, meskipun demikian Majelis Hakim kurang cermat dalam menerapkan hukum sehingga putusan tersebut dapat merugikan Kreditor Konkuren. Selanjutnya, UU K-PKPU juga pada dasarnya telah memberikan kepastian hukum, namun demikian Majelis Hakim tidak konsisten dalam menerapkan hukum sehingga kepastian hukum tidak tercapai. ......The existence of a mechanism for delaying debt payment obligations that must be carried out by the debtor can give the debtor time to restructure his debt. In practice, these debt restructuring efforts often do not provide legal protection and legal certainty to PKPU creditors. This can happen, in part, because the debtor's actions are delaying the proceedings, so that the ongoing bankruptcy case cannot be carried out in accordance with the dignity of the K-PKPU Law itself, which requires the resolution of disputes quickly and simply. This is the background to the need to provide legal protection and legal certainty to creditors in the PKPU case which can prevent creditors from experiencing losses due to the actions of the debtor. Providing legal protection is necessary to achieve the objectives of the law itself, namely creating justice, benefit and legal certainty. To answer these problems, the author then uses normative juridical legal research methods by examining literature or secondary data. This research uses a case study of Decision No. 373/Pdt.Sus-Pkpu/2021/Pn.Niaga.Jkt.Pst and will be reviewed through a literature study in order to answer the main issues based on applicable law to provide legal protection and legal certainty for Creditors involved in the PKPU case. In Bankruptcy Law, legal certainty can be realized through the application of the principle of quick settlement of cases and simple proof in accordance with the principles of bankruptcy and PKPU as stated in the K-PKPU Law. The author then draws the conclusion that the K-PKPU Law has basically provided legal protection for Creditors, even though the Panel of Judges was not careful in applying the law so that the decision could be detrimental to Concurrent Creditors. Furthermore, the K-PKPU Law has basically provided legal certainty, however, the Panel of Judges has been inconsistent in applying the law so that legal certainty has not been achieved.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Raditya Alaiddinsyah Tanjung
Abstrak :
Homologasi merupakan pengesahan yang dilakukan Pengadilan terhadap rencana perdamaian yang ditawarkan debitur tentang skema pembayaran selama jangka waktu tertentu. Pengadilan harus memperhatikan bahwa tidak terdapat alasan-alasan untuk menolak pengesahan perdamaian. PT Griya Prima Pratama telah mengajukan permohonan PKPU atas dasar PT Asiapac Pancamakmur Abadi telah tidak membayar setidaknya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Dalam masa PKPU, rencana perdamaian memerlukan persetujuan dari kreditur konkuren dan kreditur separatis. Pemungutan suara dalam Putusan Nomor 268/Pdt.Sus/PKPU/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst. tidak memenuhi ketentuan Pasal 281 ayat (1) UUK-PKPU yang mengatur persyaratan minimum kreditur dan minimum tagihan diterimanya suatu rencana perdamaian secara kumulatif. Hasil pemungutan suara tidak memenuhi jumlah kepala kreditur meskipun dari segi tagihan telah terpenuhi. Pengadilan Niaga menyadari ketentuan tersebut tidak terpenuhi dan tetap melakukan pengesahan perdamaian. Mayoritas kreditur konkuren yang keberatan atas pengesahan rencana perdamaian telah mengajukan kasasi beserta memori kasasinya ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung menilai putusan Judex Facti telah salah dalam menerapkan hukum dan telah memutus Debitur Pailit dengan segala akibat hukumnya. ......Homologation is the endorsement that the Court makes of the peace plan that the debtor offers about the payment scheme over a certain period of time. The court should note that there are no grounds for rejecting the ratification of the peace. PT Griya Prima Pratama has applied for PKPU on the basis that PT Asiapac Pancamakmur Abadi has not paid at least one debt that has fallen due and can be collected. During the PKPU period, the peace plan required the approval of concurrent creditors and separatist creditors. Voting in Verdict No. 268/Pdt.Sus/PKPU/2019/PN. Niaga.Jkt.Pst. does not comply with the provisions of Article 281 paragraph (1) of UUK-PKPU which regulates the minimum requirements of creditors and the minimum bill for cumulative receipt of a peace plan. The result of the vote did not meet the number of chief creditors even though in terms of bills it had been met. The Commercial Court realized that the provision was not met and continued to ratify the peace. The majority of concurrent creditors who objected to the ratification of the peace plan have filed appeals along with their appeals to the Supreme Court. The Supreme Court held that Judex Facti's judgment had been wrong in applying the law and had severed the Insolvent Debtor with all its legal consequences.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Santanu Wijaya
Abstrak :
Suatu usaha tidak selalu berjalan baik sesuai dengan tujuannya, dan sering kali keadaan keuangannya keuntungan kerugian, dan hingga tidak sanggup membayar utang-utangnya. Penyelesaian utang melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terjadi pada Koperasi Cipaganti Karya Guna Persada yang mengalami kesulitan dalam membayar imbalan bagi hasil/keutungan bulanan kepada mitra usaha dalam bentuk Modal Penyertaan. PT. Pooling Asset merupakan rekonstruksi hukum untuk penyelesaian kewajiban dengan mitra usaha melalui mekanisme pengakuan utang piutang dengan Cipaganti Group berdasarkan Hasil Putusan Perdamaian. Permasalahan yang diangkat dari tesis ini adalah sistem pembentukan PT. Pooling Asset atas Putusan Perdamaian dalam PKPU terkait Ketentuan Undang-Undang dan kedudukan PT. Pooling Asset atas restrukturisasi perusahaan terkait asset koperasi Cipaganti Karya Guna Persada. Kedudukan PT. Pooling Asset dalam penyelesaian dengan pola restrukturisasi Debt to Equity dapat tetap berjalan. ...... An attempt does not always work well for their intended purpose, and often finances gains loss, and to not be able to pay its debts. Debt settlement through ?Penyelesaian Kewajiban Pembayaran Utang(PKPU)? occurs at the ?Koperasi Cipaganti Guna Karya Persada? are experiencing difficulty in paying rewards for results / monthly benefit to business partners in the form of Capital Investments. PT. Pooling Asset is a reconstruction of the law for the settlement of obligations with business partners through the mechanism of recognition of debts by Cipaganti Group is based on results of the Decision Peace. Issues raised in this thesis is the establishment of a system of PT. Pooling Asset on Decision Accord in PKPU relevant provisions of the Law and the position of PT. Asset Pooling on the company's restructuring related assets of the ?Koperasi Cipaganti?. Position PT. Pooling Asset in the completion of the restructuring scheme Debt to Equity can keep running.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T44996
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldo Aditya Pratama
Abstrak :
ABSTRAK
Kepailitan maupun jalan restrukturisasi utang menjadi suatu tindakan yang perlu diambil apabila debitur mengalami kesulitan dalam pembayaran utang. Apabila perusahaan tidak melakukannya maka akan timbul wanprestasi atau cacat yang dapat mengakibatkan masalah yang lebih besar bagi kelangsungan hidup perusahaan tersebut di masa yang akan datang. Peraturan Kepailitan meski memberikan citra hukum positif, tetapi dalam prakteknya penyelesaian utang melalui jalan ini berpeluang untuk merugikan debitur maupun kreditur. Alasan sederhananya, dari perspektif pihak debitur sendiri ada kendala sosio psikologis berupa rasa malu yang besar apabila publik mengetahui pihaknya mengadakan penyelesaian utang di pengadilan melalui jalan kepailitan. Dalam hal ini perusahaan yang digugat pailit tentu saja akan dicap sebagai perusahaan yang memiliki masalah keuangan sehingga hal ini dapat mempengaruhi reputasi perusahaan tersebut di mata publik. Hal ini dapat menimbulkan kekisruhan publik manakala perusahaan yang digugat pailit adalah perusahaan yang mengelola kepentingan masyarakat banyak, seperti halnya perusahaan asuransi atau perusahaan pengembang properti. Alternatif upaya penyelesaian penunggakan pembayaran utang yang dapat ditempuh selain melalui langkah kepailitan adalah melalui PKPU atau melalui langkah restrukturisasi utang secara bilateral antara debitur dan kreditur diluar PKPU. Upaya penyelesaian ini tidak diatur secara khusus dalam suatu undang-undang seperti halnya kepailitan dan PKPU yang secara khusus diatur dalam UUK-PKPU. Pada dasarnya skema penyelesaian utang di luar pengadilan ini merupakan suatu bentuk perjanjian bilateral antara debitur dan kreditur yang tunduk hanya pada ketentuan perjanjian secara umum yang diatur dalam KUHPerdata. Yang mana hal ini tidak memberikan kepastian pelaksanaan dan kepastian hukum bagi kedua pihak dalam melaksanakan restrukturisasi utang.
Abstract
Bankruptcy or debt restructuring is one of the necesary actions that need to be taken when debtor faces difficulty on their debt payment. The debt restructuring could prevent the debtor from caused of default or defects to their company which can lead to a bigger problems for the future. The regulation under the bankruptcy law, despite its positive image, but the fact that debt settlement through this kind of procedure has an impact to ruin the whole business of debtor and creditor. From the perspective of the debtor itself, debt settlement under the bankruptcy law has a sosio-psychological problem in the form of a great shame if public find out that the company hold the settlement of debt in bankruptcy. In this case, the company that being sued for bankruptcy would be labeled as a company that has financial problems so this could affect the company's reputation in the public. This could be a trigger to a public chatocic when the sued party is a public company, publicly-listed property developer, or an insurance company. An alternative debt settlement can be taken instead of bankruptcy is through PKPU or bilaterally debt restructuring between debtor and creditor outside the court. This settlement is not regulated specifically in the legislation as well as bankruptcy and PKPU which is specifically regulated under the UUK-PKPU. Basically a debt settlement scheme outside the court is a form of bilateral agreements between the debtor and creditor which is solely regulated under the provisions of general agreement in KUHPerdata. This scheme do not provide the certain kind of execution and legal certainty for both parties on implementing the debt restructuring.
Universitas Indonesia, 2012
S43145
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Indrianita Melissa Purnamasari
Abstrak :
Penelitian hukum ini membahas mengenai urgensi penghapusan bank sebagai kreditor separatis pada proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau Pailit debitor-nya, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, serta membahas mengenai bagaimana implikasi dari adanya penghapusan tersebut. Penelitian ini adalah penelitian normative yuridis dengan bentuk preskriptif, karena penelitian ini akan membahas mengenai permasalahan bank sebagai kreditor separatis dalam proses PKPU dan Kepailitan, sehingga akan memberikan saran dan solusi dari permasalahan yang dibahas. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa urgensi dari dilakukannya penghapusan bank sebagai kreditor separatis dalam proses PKPU dan pailit karena begitu banyak permasalahan dan kendala yang dihadapi bank sebagai kreditor separatis serta hak bank sebagai kreditor separatis yang telah dilindungi oleh KHUPerdata dan juga undang-undang tentang hak jaminan kebendaan lain bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, sehingga perlu adanya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Selain itu Implikasi dari adanya penghapusan bank sebagai kreditor separatis memberikan dampak bagi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU sendiri, kreditor lain debitor, pengurus/curator, dan juga bundle pailit. ......This legal research discusses the urgency of the elimination of banks as separatist creditors in the process of Postponing Debt Payment Obligations or Bankruptcy of their debtors, which is regulated in Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and PKPU. And also discusses the implications of elimination of the bank. This research is a normative juridical research with a prescriptive form, because this research will discuss the problems of banks as separatist creditors in the PKPU and Bankruptcy process, so will provide suggestions and solutions to the problems. The results of this research is indicate that the urgency of the elimination of banks as separatist creditors in the PKPU and bankruptcy process is because there are so many problems and obstacles faced by banks as separatist creditors and the rights of banks as separatist creditors which have been protected by the Civil Code and also the law on property security rights are contrary to Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and PKPU. So it is necessary to amend Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and PKPU. In addition, the implication of the abolition of banks as separatist creditors has an impact on Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and PKPU itself, other creditors, debtors, administrators/curators, and also the bankruptcy bundle.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>