Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indrayana Chaidir
Abstrak :
Sejak tahun 1988 sampai dengan 1994, Pemerintah telah mengeluarkan empat kebijakan insentif disektor hulu industri minyak dan gas bumi, yang dinamakan Kebijakan Paket Insentif Perminyakan. Tujuan dikeluarkannya kebijakan-kebijakan insentif tersebut adalah untuk mendorong investor/kontraktor Kontrak Bagi Hasil (KBH) meningkatkan investasi/kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi di Indonesia. Tantangan, peluang dan kendala yang dihadapi industri minyak dan gas bumi dimasa yang akan datang menuntut perlunya diadakan evaluasi terhadap kebijakan-kebijakan insentif tersebut sebagai dasar penyempurnaan atau penyesuaian/dikeluarkan kebijakan insentif baru. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kebijakan-kebijakan insentif yang telah dikeluarkan Pemerintah selama ini dengan melakukan analisis mengenai formulasi, implementasi dan implikasi dari kebijakan-kebijakan insentif tersebut serta perlu/tidaknya dikeluarkan kebijakan insentif baru dan bagaimanakah kebijakan insentif yang lebih menarik bagi kontraktor KBH. Data untuk penelitian diperoleh dari wawancara mendalam dengan beberapa pejabat yang berkompeten, menyebarkan kuesioner kepada beberapa kontraktor KBH yang beroperasi di Indonesia serta dari publikasi dan dokumentasi Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi. Dari hasil penelitian terungkap antara lain perkembangan investasi/kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi kontraktor KBH setelah dikeluarkannya Kebijakan Paket Insentif Perminyakan belum sepenuhnya mencapai sasaran yang diharapkan. Hal ini disebabkan disamping adanya beberapa kelemahan pada kebijakan insentif, juga diakibatkan pengaruh dari faktor-faktor diluar kebijakan. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya dorongan/kebutuhan untuk dikeluarkannya kebijakan insentif yang baru sebagai penyempurnaan/peningkatan dari kebijakan-kebijakan insentif yang telah dikeluarkan Pemerintah selama ini. Beberapa saran yang dapat dikemukakan adalah : melibatkan kelompok sasaran kebijakan (kontraktor KBH) dalam proses formulasi kebijakan insentif, penyempurnaan petunjuk pelaksanaan kebijakan, Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk mengeluarkan kebijakan insentif baru yang lebih menarik bagi kontraktor KBH, yaitu yang dapat meningkatkan "return" investasi yang ditanamkan dan dapat meringankan beban kontraktor KBH dalam tahap eksplorasi (risk sharing) terutama untuk daerah frontier, laut dalam dan Kawasan Timur Indonesia.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trihayati
Abstrak :
Kerjasama pengusahaan migas dimulai tahun 1870 dengan pemberian Konsesi. Setelah merdeka, konsesi diubah dengan bentuk lain, yaitu "Perjanjian karya",, yang dituangkan dalam UU No.44 Prp. tahun 1960. Selanjutnya pada tahun 1966 landasan kerjasama itu diubah kembali dengan bentuk. "kontrak Produktion Sharing", yang dikukuhkan dalam UU No.8 tahun 1971 tentang "PERTAMINA". Dalam pelaksanaan KPS, hasil produksi migas mengalami pasang dan surut. Pada tahun 1978 saat harga minyak melonjak dan negara teluk bergejolak, bidang usaha migas meningkat. Tetapi thn 80-an, saat harga minyak turun drastis dan negara teluk mulai aman, pengusahaan migas menurun. Ulntuk lebih meningkatkan pengusahaan tersebut, maka pemerintah memberikan insentif untuk menarik minat kontraktor. Namun sebenarnya pemberian insentif ini merupakan dilema, karena di satu pihak akan menarik minat kontraktor. Akan tetapi pada dasarnya secara kualitatif menurunkan pendapatan Negara. Di lain pihak bila tidak diberi insentif, maka kurang dapat menarik minat kontraktor asing untuk mengusahakan migas di Indonesia, terutama untuk KTI dan Frontier area.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Aidar
Abstrak :
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu daerah yang memiliki sumberdaya alam pertambangan terutama pertambangan minyak dan gas (migas). Berdasarkan alas harga konstan tahun 1993 PDRB Nanggroe Aceh Darussalam tahun 1998 sebesar Rp. 10.384.957,54 untuk PDRB dengan migas dan Rp. 6.149.195 23 untuk PDRB non migas. Dapat dilihat bahwa PDRB Nanggroe Aceh Darussalam masih didominasi oleh sektor minyak dan gas (migas) sebagai penyumbang nilai terbesar. Studi ini dilakukan untuk mengkaji peran sektor migas terhadap perekonomian dan distribusi pendapatan di NAD, dan juga menghitung pengaruh pengganda (multiplier effect), daya penyebaran dan derajat kepekaan sektor migas terhadap sektor¬-sektor lain yang ada di dalam perekonomian NAD. Studi ini menggunakan pendekatan model input-output untuk melihat pengaruh pengganda dan model Miyazawa untuk melihat pemeratan distribusi kelompok pendapatan yang dibangun berdasarkan input-output Aceh tahun 1998 ukuran 55x55 sektor. Dalam model Miyazawa, kolom variabel endogen konsumsi rumah tangga dianggap sebagai pelaku produksi dalam perekonomian dan dibagi menjadi tiga kelompok pengeluaran berdasarkan tingkat pendapatan yaitu: kelompok pendapatan rendah, sedang dan tinggi. Sebagai penyeimbang matriks maka baris input primer yang terdiri upah dan gaji serta sebagian surplus usaha juga dibagi menjadi tiga kelompok pendapatan yaitu: kelompok pendapatan rendah, sedang dan tinggi sehingga didapatkan tabel input-output baru dengan ukuran yang lebih besar yaitu 58x58. Berdasarkan basil perhitungan pengaruh pengganda model input-output sektor penggilingan beras, biji-bijian dan tepung menunjukkan sektor dengan pengganda output terbesar artinya bila pemerintah ingin meningkatkan output perekonomian investasi dan pengeluaran pemerintah lebih difokuskan pada sektor ini sedangkan sektor migas sendiri merupakan sektor yang memiliki nilai pengganda output paling kecil dalam perekonomian. Berdasarkan model Miyazawa sektor yang memiliki pengganda output terbesar yakni sektor pemerintah dan pertahanan, untuk sektor migas hanya menduduki ranking ke-44. Untuk nilai pengganda pendapatan tipe I dan tipe II model input output, sektor penggilingan beras, biji-bijian dan tepung pada tipe I serta sektor industri makanan, minuman dan tembakau pada tipe II menunjukkan angka pengganda pendapatan terbesar. Artinya setiap penambahan satu rupiah permintaan akhir disektor tersebut akan meningkatkan pendapatan total rumah tangga sebesar angka tersebut. Pada model Miyazawa sektor penggilingan beras, biji-bijian dan tepung merupakan pengganda pendapatan tebesar. Perhitungan keterkaitan antar sektor input-output sektor penggilingan beras, biji-bijian dan tepung merupakan sektor yang memiliki indeks BL terbesar dan terkecil adalah sektor migas. Sektor restoran berdasarkan model input-output memiliki nilai indeks FL terbesar. Untuk model Miyazawa sektor pemerintah dan pertahanan yang memiliki nilai indeks BL terbesar dan sektor penggilingan beras, biji-bijian dan tepung untuk nilai indeks FL terbesar. Simulasi dilakukan terhadap beberapa sektor yaitu: simulasi I, hanya sektor migas yang berubah sektor lain dianggap tetap; simulasi 2, sektor pendidikan yang berubah, sektor lain dianggap tetap; simulasi 3, sektor pengilangan minyak yang berubah sektor lain dianggap tetap; simulasi 4, sektor transportasi yang berubah sektor lain dianggap tetap; simulasi 5 dilakukan pada beberapa sektor sekaligus yakni sektor transportasi, sektor industri pengilingan beras, biji-bijian, dan tepung, sektor industri makanan, minuman dan tembakau, sektor industri penggergajian kayu dan sektor restoran. Hasil simulasi menunjukkan bahwa untuk setiap investasi dan pengeluaran yang dilakukan pemerintah, kelompok pendapatan menengah selalu mendapat kenaikan perubahan yang lebih besar dari pada kedua kelompok pendapatan lainnya. Hasil simulasi untuk sektor migas menunjukkan pengeluaran dan investasi yang dilakukan oleh pemerintah di sektor ini belum menyebabkan pendapatan terdistribusi lebih merata untuk ketiga kelompok pendapatan. Kelompok pendapatan rendah hanya mengalanii perubahan peningkatan pendapatan sebesar 17,53% sedangkan kelompok pendapatan sedang dan tinggi mendapatkan peningkatan yang lebih besar masing-masing sebesar 19,55%. Simulasi untuk sektor pendidikan memberikan hasil yang lebih merata untuk setiap kelompok pendapatan bila pemerintah melakukan investasi dan pengeluaran di sektor ini. Ketiga kelompok pendapatan yang terdiri dari kelompok pendapatan rendah, sedang dan tinggi masing-masing mendapatkan perubahan peningkatan pendapatan yang sama yaitu 0,11%, sehingga sektor ini lebih dapat memberikan distribusi pendapatan yang lebih merata. Dengan kata lain bila pemerintah ingin mendistribusikan pendapatan yang lebih merata untuk ketiga kelompok pendapatan maka pemerintah harus melakukan investasi dan pengeluaran yang lebih besar di sektor pendidikan.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T18868
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
“This engaged and vital edited volume brings together the varied viewpoints of academics, consultants and activists all concerned with the astonishing expansion of palm oil as a globally traded commodity. It reveals how this complex, contested and controversial expression of globalization transcends narrow national and sectoral interests, stimulating a transnational exchange of goods, capital and labour, as well as laws, norms, values and even understanding. Compelling, readable and insightful, the study shows that corporate responses to civil societys concerns about palm oils role in global warming, human rights abuses, land grabbing and biodiversity loss, now need to be complemented by legal, regulatory and governance reforms to be effective.” Marcus Colchester, Director, Forest Peoples Programme
Singapore: Institute of South East Asia Studies, 2013
e20442398
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Finnie, David H.
Cambridge, UK: Harvard University Press, 1958
338.256 FIN d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Heny Indriastuti
Abstrak :
Perusahaan Kulim (Malaysia) Berhad akan dijadikan bahan kajian khusus dalam penulisan karya akhir ini. Kulim merupakan salah satu perusahaan asing Malaysia yang telah lama menjadi pemain di dalam pasar global industri minyak kelapa sawit. Pada saat ini Kulim juga sedang melakukan ekspansi beberapa produk turunan minyak kelapa sawit di pasar global sepcrti minyak goreng, oleochemical, sabun, dan biodiesel. Oleh karena itu diperlukan strategi-strategi dari kantor pusat Malaysia agar dapat memenangkan persaingan dalam industri minyak kelapa sawit dan produk turunannya di peringkat pasar global. Tujuan dari karya akhir ini adalah membuat analisis kecenderungan permintaan produk minyak sawit di pasar Indonesia dan pasar global serta memberi masukan kepada perusahaan mengenai strategi-strategi yang dapat diterapkan dalam melakukan ekspansi produk-produk turunan minyak kelapa sawit terutama produk Biodiesel dalam memasuki pasar global. Pertumbuhan industri-industri yang menggunakan CPO salah satunya didukung oleh meningkatnya konsumsi dalam negeri dan permintaan dari Iuar negeri. Dengan adanya ketersediaan bahan baku yang melimpah akan menjadi daya saing yang cukup tinggi di pasar internasional. Pengembangan produk turunan berupa Biodiesel cukup menjanjikan seiring dengan semakin meningkatnya harga BBM. Pada tahun 2005 penggunaan bahan bakar Biodiesel dalam pembangkit listrik di Eropa mencapai I sampai 1,5 juta Ton. Di Asia Tenggara, Malaysia dan Thailand termasuk Indonesia juga sudah memulai pengembangan Biodiesel. Sebagai perusahaan global dalam industri minyak kelapa sawit, saat ini Kulim sedang melakukan diversifikasi produk minyak kelapa sawit menjadi produk BiodieseI mengingat permintaan produk ini sedang meningkat. Untuk memenangkan persaingan dalam industri ini, Kulim dengan core competency yang dimilikinya sedang menentukan strategi yang tepat. Untuk itu Kulim hendak melakukan ekspansinya ke negara lain yaitu Indonesia untuk mengembangkan produk Biodiesel dimana di wilayah ini Kulim belum mempunyai pengalaman dalam produk Biodiesel. Strategi yang mengkombinasikan antara biaya yang murah (Lower Cost Strategy) dengan memberikan nilai lebih terhadap konsumen atas kualitas dan manfaat serta pelayanan terhadap produk Biodiesel dapat dilakukan dengan Focus Strategy. Produk Biodiesel d+ produksi dengan spesifikasi yang sama untuk tiap negara dengan menggunakan learning curve yang sudah dilakukan sebelumnya. Kulim mempunyai pengalaman memproduksi Biodiesel di Malaysia dan Singapura. Teknologi dan knowledge yang sudah dilakukan di kedua negara tersebut dapat ditransfer ke negara bare dimana pabrik Biodiesel ini akan dibangun dalam hal ini di Indonesia sehingga terjadi efisiensi penggunaan tenaga kerja dan optimalisasi penggunaan teknologi. Indonesia menjadi negara tujuan Kulim untuk mengembangkan produk Biodiesel karena Kulim mempunyai kegiatan bisnis di negara ini yaitu dalam bidang perkebunan kelapa sawit dan industri pengolahannya. Sehingga apabila Kulim membangun industri produk Biodiesel di Indonesia akan mengurangi biaya produksi karena terdapat koordinasi kegiatan dalam rantai nilai. Untuk mengembangkan produk Biodiesel di Indonesia, salah satu strategi global yang dilakukan oleh Kulim adalah transfer know how dengan menjalankan kegiatan yang terintegrasi yaitu transfer sumber daya dan transfer knowledge. Knowledge dan teknologi merupakan core competency bagi Kulim, sehingga da]ani pengembangan Biodiesel di Indonesia, Kulim melakukan transfer kedua hal tersebut. Pengembangan industri Biodiesel di Indonesia dapat dilakukan Kulim dengan mentransfer knowledge dan teknologi yang ada di Malaysia dan Singapura. Untuk memudahkan pengembangan industri ini maka Kulim dapat berpartner dengan perusahaan lokal di Indonesia untuk memudahkan dalam penyesuaian dengan budaya lokal dan memudahkan dalam pemenuhan sumber daya yang dibutuhkan terutama dalam hal tenaga kerja serta kemudahan dalam mencari local supplier. Langkah-langkah utama yang hams dilakukan Kulim dalam pengembangan produksi biodiesel di Indonesia adalah : a. Membangun pabrik biodiesel dengan kapasitas 100.000 Tonltahun b. Melakukan rekruitmen sumber daya manusia c. Untuk menyampaikan explicit knowledge dalam aktivitas produksi Biodiesel dapat dilakukan melalui intemet, training dan learning by doing. Sedangkan tacit knowledge dapat ditransfer dengan menempatkan karyawan dari kantor pusat Malaysia dan Singapura d. Merencanakan pemasaran ke pasar Kulim dan parlnemya, yang sudah ada yaitu USA dan Eropa serta potensial market di China, Asia dan South America Dengan melihat kondisi persaingan yang ada di Indonesia, saat ini merupakan waktu yang tepat bagi Kulim untuk melakukan ekspansi pengembangan industri Biodiesel di Indonesia. Akan tetapi mengingat kebijakan pemerintah Indonesia dalam industri Biodiesel belum mendukung maka sebaiknya Kulim menunda pengembangan produk ini sampai ada aturan tata niaga Biodiesel yang jelas.
Kulim (Malaysia) Berhad Ltd will be the object of particular discussion for this thesis. Kulim is one of Malaysian foreign companies and the old player in the global market of palm oil industry. In the recent time, Kulim is executing an expansion into the global market through its expanded products which are derivative products of palm oil, such as cooking oil, oleochemical, soap, and biodiesel. For that reason, it is necessary for Kulim's head office in Malaysia to develop strategies in order to win the global market in this industry. The objectives of this study are: a) to make analysis on the tendency of demand in palm oil products, both in Indonesia and global markets; b) to give suggestions to Kulim management, particularly in applicable strategies for expansion of sawit coconut derivative products, especially biodiesel products, into global market. The growth of the industries that use Crude Palm Oil (CPO) is supported by the increase of domestic consumption and of overseas demand. Moreover, abundant availability of its raw materials becomes another good point for its high competitiveness in the international market. Due to the raising of the fuel (Bahan Bakar Minyak/BBM) price, the development of the derivative products such as biodiesel is reasonably promising. For instance, consumption of biodiesel for electricity power generation in Europe was more than 1.5 million ton in 2005. The biodiesel has also been developed in South-East Asia, namely in Malaysia, Thailand and Indonesia. Considering the increasing demand of biodiesel, Kulim, as a global company, is diversifying its sawit coconut product into biodiesel. Therefore, Kulim -- by its core competency --- now is figuring proper strategies to win the competition in this industry. For that purpose, Kulim plans to expand its company to Indonesia in order to develop biodiesel product in the region where Kulim does not have any experiences yet in the term of biodesel production. A strategy combining fewer expenses (Lower Cost Strategy) and providing more benefits to consumers through the quality, benefits, and the service in biodiesel product, can be done by so-called Focus Strategy_ In addition, biodiesel products are being produced with the same specification for every country which is using the previous learning curve. So far, Kulim has experiences in producing biodiesel in Malaysia and Singapore. Therefore, for the efficiency of labors and the optimal use of technology, the established technology and knowledge which have been implementing in those countries will be transferred to the new region where the biodiesel factory is going to be built, in this case is in Indonesia. Indonesia is being the target area for Kulim to develop biodiesel product since in this state, Kulim has businesses on sawit coconut plantation and its processing industry. The idea is that if Kulim is likely to take part into biodiesel product's industry in Indonesia, then it will reduce the production cost as there is activity coordination in the chain of the value. Additionally, to develop biodiesel products in Indonesia, one of global strategy that is conducted by Kulim is know-how transferring, by running an integrated activity such as human resource and knowledge transferring. Owning knowledge and technologies are Kulim's core competencies, so that in the biodiesel development in Indonesia, these two competencies are being transferred by Kulim. Furthermore, the development of biodiesel industry in Indonesia is able to be executed by Kulim through transferring the established knowledge and technology in Malaysia and Singapore. To facilitate that purpose, Kulim can have partnerships with local companies in Indonesia with the aims to facilitating the adjustment to local culture; and to facilitate the accomplishment of necessary resources such as labors and flexibility in seeking for local suppliers. Therefore, to develop biodiesel production in Indonesia, it is necessary for Kulim to carry out major points, as follow: a. To build biodiesel factory which capacity is 100.000 ton per year; b. To recruit human resources; c. To state the explicit knowledge of biodiesel production activity, which is able to deliver via the internet and trainings; while tacit knowledge can be transferred by settling employees from Malaysia and Singapore head offices; d. To plan marketing into both Kulim's and its partners' markets; which are USA and Europe; and also some potential markets in China, Asia, and South America. In this time represent the right time for Kulim to develop industry of Biodiesel in Indonesia. However considering governmental policy of Indonesia in industry of Biodiesel not yet supported hence better Kulim delay this product development until there is clear commercial Biodiesel.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2007
T19778
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ikhsan
Abstrak :
ABSTRAK
Untuk mencapai target penerimaan negara tiap-tiap Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) minyak dan gas bumi diberikan suatu target produksi sebagai penilaian kinerja perusahaan oleh SKK Migas. Untuk perusahaan pengelola blok migas yang memiliki lapangan-lapangan produksi tua memiliki kendala-kendala untuk mencapai target tersebut salah satunya adalah adanya permasalahan cross flow pada reservoir sumur. Dengan menggunakan flow optimizer kontraktor dapat mengatasi permasalahan tersebut. Namun perlu dilihat secara keekonomian apakah tambahan produksi tersebut dapat mencapai expected return yang dipersyaratkan oleh perusahaan. Dengan menggunakan cost benefit analysis dapat dihitung tingkat pengembalian yang dihasilkan karena adanya treatment yang dilakukan perusahaan. Kemudian hasil perhitungan cost benefit analysis tersebut dilakukan perhitungan real option analysis untuk memperhitungkan adanya opportunity yang diperoleh dari opsi karena adanya ketidakpastian dari harga minyak dan keputusan-keputusan strategis yang dapat diambil oleh manajemen. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa proyek tersebut memberikan imbal hasil yang positif sebesar 36.36% namun belum mencapai tingkat imbal hasil yang diharapkan oleh perusahaan sebesar 58.08%.
ABSTRACT
To achieve target revenue each of oil and gas Production Sharing Contractors (KKKS) is given production target as the corporate performance evaluation by SKK Migas. For companies managing oil and gas blocks that have the old production fields have several problems to achieving these targets, one of which is the problems with cross flow on the reservoir wells. By using flow optimizer contractor can resolve these problems. However, it should be evaluate whether additional production can achieve the expected return required by the company. By using cost benefit analysis, the company can calculated the return generated from treatment performed by them self. The calculation results of the cost benefit analysis will be used to calculate the real option analysis to calculate the opportunity generated from the option due to the uncertainty of oil prices and the strategic decisions which can be taken by the management. Based on calculations it is known that the project generate positive return amounting 36.36% but has not achieved the expected return that was set by the company amounting 58.08%.
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vivi Evertina
Abstrak :
Sebagai negara penghasil CPO terbesar kedua di dunia dan didukung pula oleh upaya yang dilakukan Pemerintah dalam menstabilkan harga minyak goreng sawit dengan menetapkan kebijakan, seperti pungutan ekspor harusnya Indonesia bias mengendalikan harga minyak goreng sawit domestik. Akan tetapi tidak begitu kenyataanya, harga minyak goreng sawit tidak stabil bahkan terus melambung naik, terutama sejak krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1998 lalu. Penelitian ini mencoba untuk mengidentifikasikan keadaan pasar sebenarnya dengan melihat struktur, perilaku, dan kinerja industri minyak goreng sawit menggunakan metode Structure Conduct Performance (SCP) sehingga dapat diketahui penyebab dari tidak stabilnya harga minyak goreng domestik. Kemudian dilakukan analisis ekonometrika menggunakan analisis regresi majemuk untuk mengetahui hubungan struktur terhadap kinerja industri (yang dipengaruhi oleh naiknya harga minyak goreng). Selanjutnya adalah mengevaluasi kebijakan yang dibuat Pemerintah dalam menstabilkan harga minyak goreng. Dari hasil penelitian didapat bahwa adanya perilaku dominasi dari beberapa perusahaan besar dalam menetapkan harga minyak goreng sawit akibat dari struktur pasarnya yang oligopoli (dengan nilai konsentrasi pasar 4 perusahaan terbesar (CR4) lebih dari 40%). Nilai tingkat kuntungan (PCM)/kinerja perusahaan industri minyak goreng sawit melebihi indeks lerner 0 (antara 0,2 - 0,35). Artinya perusahaan pada industri minyak goreng sawit memiliki kekuatan pasar. Dari hasil penelitian juga dapat diketahui juga bahwa kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah dalam menstabilkan harga minyak goreng kurang efektif, terbukti dengan harga minyak goreng yang selalu naik. ......As the second largest country producing CPO in the world, Indonesia should have As the second largest country producing CPO in the world, Indonesia should have had the power to control domestic palm cooking oil price. Even though the government made serious efforts to stabilize the price by establishing policies, such as export tax, as a matter of fact, palm cooking oil price is unstable and keep rising, particularly since Indonesia's economy crisis in 1998. This research tried to identify the real market condition by observing the structure, conduct, and performance of palm cooking oil industry using Structure Conduct Performance (SCP) method to find the cause of the instability of palm cooking oil price. To know the relationship between variables indicating structure and industry performance we used econometric analysis using multiple regression analysis, so the factors that affect the performance (affect by the rising of palm cooking oil price) can be identified. The next step is evaluating government policies in stabilizing domestic palm cooking oil. The research results are: there is the domination behavior from some big companies in order to decide the price of palm cooking oil as consequences of Oligopoly market structure (with four largest companies concentration ratio (CR4) is more than 0,4). The average profit margin (PCM) of palm cooking oil industry is more than 0 (between 0,2 ' 0,35). It means that company has a power to control the market. And also from the research is known that The government policies to stabilize palm cooking oil price are not effective because of the palm cooking price still increases until now.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
S50302
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Roni Dwi Susanto
Abstrak :
Semakin pentingnya kedudukan kelapa sawit sebagai bahan baku minyak goreng dan perolehan devisa telah menyebabkan pemerintah dihadapkan pada pilihan yang sulit antara kepentingan untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng sebagai salah satu bahan kebutuhan pokok atau kepentingan untuk meningkatkan perolehan devisa, melalui ekspor crude palm oil (CPO).

Mengingat bahwa industri minyak goreng sawit Indonesia sampai saat ini masih belum berjalan dengan kapasitas penuh, bahkan menurut beberapa survei hanya berkisar 50-60 persen dari kapasitas terpasang, maka kebijakan yang dilakukan pemerintah adalah meningkatkan ketersediaan CPO sebagai bahan baku industri minyak goreng. Untuk itu pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan, baik melalui penghapusan bea masuk maupun pengenaan pajak ekspor serta alokasi CPO kepada Badan Urusan Logistik (BULOG).

Dari gambaran intervensi pemerintah yang telah dilakukan selama ini terhadap minyak sawit Indonesia terlihat bahwa senantiasa terjadi benturan-benturan kepentingan dalam penerapan kebijakan. Dua dilema kebijakan yang dihadapi yaitu:
1. Pilihan antara pengembangan industri minyak goreng dalam negeri atau mengimpor minyak goreng dan mengekspor bahan mentah pembuatan minyak goreng (CPO) sebagai penghasil devisa;
2. Pilihan antara menggunakan instrumen minyak goreng impor atau pengaturan produksi minyak goreng dalam negeri untuk pengelolaan (stabilisasi) harga minyak goreng dalam negeri.Dilema ke dua ini langsung terkait dengan jaminan ketersediaan minyak goreng dalam negeri, dengan demikian harga minyak goreng tidak akan berfluktuasi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran terhadap kondisi penawaran dan permintaan minyak sawit Indonesia dan pengaruhnya terhadap industri minyak goreng serta gejolak harga minyak goreng di pasar domestik. Untuk itu dalam penelitian ini diidentifikasi faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap penawaran dan permintaan minyak sawit domestik dan pengaruhnya terhadap harga minyak goreng. Disamping itu penelitian ini juga berupaya mengkaji kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan pemerintah yang pada dasarnya bertujuan untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng. Analisis yang digunakan meliputi analisis deskriptif dan analisis kuantitatif dengan pendekatan ekonometrika.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila terjadi kenaikan harga bahan baku industri minyak goreng (CPO) maka harga minyak gorengpun akan naik, atau dengan kata lain harga minyak goreng berbanding lurus dengan harga CPO domestik. Secara teoritis hal ini sangat wajar, karena dengan naiknya salah satu harga input produksi maka perusahaan yang rasional akan menaikkan harga outputnya agar tetap dapat mempertahankan keuntungannya. Ditunjukkan bahwa apabila harga CPO domestik naik sebesar Rp. 1000,00 per ton maka harga minyak goreng sawit akan naik sebesar Rp. 2000,15 per ton. Hasil ini nyata pada tingkat kepercayaan di atas 90%. Sedangkan perubahan harga CPO di pasar internasional juga berpengaruh positif terhadap perubahan harga minyak goreng. Berdasarkan hasil regresi ditunjukkan bahwa kenaikan harga CPO di pasar internasional sebesar US$ 1 per ton akan menaikkan harga minyak goreng sebesar Rp. 0.42 per ton, cateris paribus.

Harga minyak goreng berhubungan negatif dengan penawaran CPO domestik. Hasil pengujian menunjukkan bahwa apabila pasokan CPO di pasar domestik meningkat maka akan dapat menurunkan harga minyak goreng sawit. Apabila penawaran CPO di pasar domestik meningkat sebesar 1 ton maka harga minyak goreng akan dapat turun sebesar Rp. 0,11 per ton, cateris paribus. Apabila pasokan CPO berkurang, maka produksi minyak goreng berkurang yang pada gilirannya menyebabkan minyak goreng di pasaran menjadi berkurang sehingga memicu kenaikan harga minyak goreng.

Bagi produsen CPO rangsangan untuk mengekspor CPO lebih menarik dibandingkan dengan kewajiban mereka dalam memenuhi kebutuhan domestik. Walaupun telah ditetapkan pajak ekspor, selama kegiatan ekspor masih memberikan keuntungan yang lebih besar daripada menjual di dalam negeri maka produsen CPO akan berusaha untuk mengekspor. Sehingga sering ditemukan ekspor CPO secara illegal. Dengan demikian catatan jumlah ekspor resmi berbeda dengan kenyataan aktual CPO yang dilarikan ke luar negeri yang cenderung lebih besar dari catatan volume ekspor. Sehingga jumlah CPO yang dipasok di dalam negeri berkurang lebih besar dari jumlah CPO yang diekspor.

Semakin meningkatnya kebutuhan minyak goreng masyarakat, maka kebutuhan CPO sebagai bahan baku industri minyak goreng juga meningkat. Dari hasil pengujian ditunjukkan bahwa apabila terjadi kenaikan permintaan bahan baku CPO untuk industri minyak goreng maka akan diikuti dengan kenaikan jumlah penawaran CPO di pasar domestik, walaupun kenaikan penawaran CPO di pasar domestik tidak sebesar permintaan CPO. Apabila permintaan CPO untuk industri minyak goreng meningkat sebanyak 10 ribu ton maka penawaran CPO domestik juga akan meningkat tetapi hanya sebesar 2,1 ribu ton, cateris paribus. Oleh karena itu untuk menutupi kesenjangan lonjakan permintaan tersebut, pemerintah seringkali harus campur tangan guna menjamin ketersediaan pasokan CPO.

Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi CPO adalah melalui pembukaan areal perkebunan kelapa sawit. Pengukuran terhadap pengaruh perubahan variabel luas areal perkebunan kelapa sawit terhadap penawaran CPO domestik menunjukkan bahwa apabila terjadi pertambahan areal perkebunan kelapa sawit seluas 1000 hektar maka akan terjadi kenaikan penawaran CPO di pasar domestik sebesar 2,13 ribu ton CPO, cateris paribus. Data Ditjen Perkebunan (1998) menunjukkan bahwa dari areal perkebunan kelapa sawit seluas 2,79 juta hektar-dihasilkan 5.64 juta ton CPO atau rata-rata satu hektar perkebunan kelapa sawit menghasilkan 2.02 ton CPO.

Untuk variabel kebijakan pemerintah tentang produksi dan tata niaga minyak sawit terlihat bahwa dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah sejak tahun 1979 telah berhasil meningkatkan penawaran minyak sawit domestik (berpengaruh positif). Akan tetapi pengaruhnya belum dapat memberikan dampak yang berarti dalam menjamin ketersedian pasokan CPO di pasar domestik, karena dengan adanya kebijakan tersebut penawaran CPO domestik hanya meningkat sebesar 199,84 ribu ton dalam kurun waktu 19 tahun.

Ketidakefektifan kebijakan pemerintah dalam menjamin ketersediaan CPO untuk keperluan industri minyak goreng dalam negeri menyebabkan harga minyak goreng senantiasa mengalami gejolak. Kebijakan pemerintah melalui instrumen alokasi CPO dalam negeri dan alokasi CPO untuk ekspor hanya bertahan dalam jangka pendek. Disamping itu kebijakan tersebut harus dibayar cukup mahal karena dalam jangka panjang menghambat promosi ekspor dan dalam jangka pendek menurunkan perolehan devisa negara melalui ekspor CPO.

Upaya stabilisasi harga minyak goreng melalui mekanisme alokasi dan penetapan harga bahan baku dinilai banyak kalangan tidak efektif. Dapat dikemukakan beberapa faktor sebagai penyebabnya, seperti:
a. Permintaan dunia terhadap minyak sawit (CPO) terus mengalami peningkatan dan harga di pasar internasional juga meningkat cukup pesat.
b. Secara operasional mekanisme alokasi CPO produksi PTP melalui KPB (Kantor Pemasaran Bersama) tidak lagi banyak pengaruhnya pada pemenuhan kebutuhan bahan baku industri minyak goreng.
c. CPO tidak hanya digunakan oleh industri minyak goreng. Penggunaan CPO untuk bahan baku industri lain (bukan industri minyak goreng) dalam negeri juga terus meningkat. Jenis industri tersebut antara lain adalah margarin, sabun dan oleokimia.
d. Mekanisme alokasi dan penetapan harga CPO yang disertai operasi pasar minyak goreng pada saat-saat tertentu (seperti menjelang tahun baru, bulan puasa dan lebaran) menyebabkan margin keuntungan produsen minyak goreng sangat tipis.
e. Harga CPO akan cenderung tetap tinggi karena permintaan domestiknya lebih besar daripada kapasitas produksi CPO.

Dari hasil perhitungan elastisitas harga CPO internasional terhadap penawaran CPO domestik menunjukkan bahwa setiap kenaikan harga CPO di pasar internasional sebesar 1% akan menurunkan penawaran CPO domestik sebesar 0,32%.

Harga CPO internasional berpengaruh negatif terhadap penawaran CPO domestik, ditunjukkan dengan nilai dugaan parameter sebesar -0.69, yang berarti apabila terjadi kenaikan harga CPO di pasar internasional sebesar 1 dollar US maka penawaran CPO domestik akan turun sebesar 0.69 ribu ton.

Dari hasil pendugaan dapat dinyatakan bahwa permintaan CPO domestik searah dengan jumlah produksi minyak sawit. Permintaan minyak sawit domestik sangat dipengaruhi oleh tingkat produksi minyak goreng sawit walaupun tidak dapat diabaikan permintaan CPO oleh industri margarin dan sabun yang konsumsinya meningkat di atas 15% dari tahun ke tahun.

Pertumbahan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan per kapita, berpengaruh positif terhadap permintaan minyak sawit domestik, hal ini ditunjukkan oleh koefisien yang bertanda positif sebesar 0.003 yang berarti setiap kenaikan penduduk 1.000 orang akan meningkatkan permintaan minyak sawit domestik sebesar 3 ton. Sedangkan hasil pendugaan parameter untuk pendapatan per kapita terhadap permintaan minyak sawit domestik sebesar 0,0006 menunjukkan bahwa apabila terjadi peningkatan pendapatan per kapita sebesar Rp. 1000 maka akan meningkatkan permintaan CPO domestik sebanyak 0,6 ton, dan sebaliknya.

Dalam jangka pendek, kebijakan yang berorientasi pada pengembangan industri minyak goreng dalam negeri jelas lebih buruk dalam hal perolehan devisa. Hal ini terjadi karena dalam jangka pendek, kebijakan ini bersifat sebagai subtitusi impor, sehingga akan menurunkan penerimaan ekspor. Disamping itu, kebijakan ini mungkin saja kurang efisien dalam jangka pendek karena teknologi dan manajemen industri pengelolaan pada umumnya belum dapat dikuasai dengan baik.

Namun demikian, faktor negatif kebijakan yang berorientasi pada pengembangan industri minyak goreng dalam negeri mestinya dapat diatasi dalam jangka panjang. Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong industri minyak goreng untuk terus menerus meningkatkan efisiensinya. Dalam kaitan ini, strategi yang perlu ditempuh adalah pemberian insentif dan kemudahan (proefisiensi) dalam proses produksi, bukan proteksi. Salah satu bentuk kebijakan yang bersifat proefisiensi ialah penghapusan berbagai faktor yang menimbulkan biaya ekonomi tinggi seperti perizinan usaha dan biaya-biaya non-fungsional. Bila hal ini dapat dilakukan, maka, dalam jangka panjang industri minyak goreng dalam negeri akan berubah dari industri yang bersifat subtitusi impor menjadi industri yang bersifat promosi ekspor.
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2000
T7501
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Edy Hermantoro
Abstrak :
Peranan penting minyak dan gas bumi sebagai modal utama pembangunan ditunjukkan dalam sepuluh tahun terakhir memberikan kontribusi rata-rata sebesar kurang lebih 30% dari seluruh penerimaan negara. Kemampuan penyediaan cadangan minyak dan gas bumi dewasa ini, tidaklah seperti yang diharapkan pada awal berkembangnya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di Indonesia, yaitu dengan berhasilnya diketemukan cadangan besar seperti lapangan Minas dan Duri di Riau atau lapangan Widuri di lepas pantai Sumatera Timur. Perkembangan kegiatan eksplorasi menghadapi suatu kenyataan bahwa penemuan cadangan baru relatif lebih lambat dan menjadi cukup sulit, karena target eksplorasi dihadapkan pada daerah-daerah yang semakin sulit back secara infrastruktur maupun geografs yang merupakan daerah dengan klasifikasi frontier, termasuk didalamnya adalah daerah laut dalam. Penemuan-penemuan lapangan minyak dan gas bumi baru pada saat ini berdasarkan besarnya tingkat cadangan, ukurannya relatif tidak terlalu besar walaupun masih cukup ekonomis untuk dikembangkan berdasarkan sistim kerjasama Kontrak Bagi Hasil (KBH) yang ada. Sedangkan di sisi lain cukup banyak pula penemuan-penemuan lapangan minyak dan gas bumi baru berdasarkan ukuran cadangan, ketersediaan infrastruktur (teknologi) dan kondisi geografisnya tidak cukup ekonomis apabila dikembangkan dan diproduksikan dengan menggunakan term and condition KBH yang ada sebagai landasan kontrak kerjasamanya, atau dalam industri hulu perminyakan dikenal sebagai marginal field. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji term and condition Kontrak Bagi Hasil dengan menggunakan pendekatan deskriptif untuk mendeskrisipsikan term and condition yang tertuang dalam Kontrak Bagi Hasil agar dapat diiketahui secara lebih rinci, sehingga memudahkan dalam pemahamannya. Untuk mengukur kelayakan pengembangan cadangan rninyak dan gas bumi pada suatu Kontrak Bagi Hasil dilakukan dengan pendekatan kausal melafui penilaian (assessment) dari fiscal regim-nya. Indikator yang digunakan dalam teknik analisis investasi sebagaimana disebut di atas mendasarkan pada penanganan nilai waktu dari uang (time value of money) atau teknis analisa ini lebih dikenal sebagai Discounted Cash Flow Analysis Techniques. Berdasarkan analisa keekonomian dari arus kas (cash flow) untuk mengetahui discounted faktor-nya sehingga dapat diketahui pengembangan cadangan miknyak dan gas bumi tersebut layak atau tidak. Hasil akhir analisis investasi untuk 34 struktur/lapangan marginal dengan menggunakan fiscal term standar, 20 struktur/lapangan dapat dikategorikan sebagai struktur/lapangan yang ekonomis dengan ROR>20%. Apabila dari 20 struktur/lapangan tersebut dikembangkan akan memberikan penambahan jumlah cadangan minyak bumi sebesar 58.372 MSTB dengan nilai NPV (@12%) sebesar US.$ 299.242 juta untuk Pemerintah dan US.$ 45.813 juta untuk Kontraktor. Untuk 14 struktur/lapangan yang kurang ekonomis, apabila dilakukan perubahan fiscal tend-nya, dengan perubahan besarnya investment credit semula 17% menjadi sebesar 50%, hanya akan memperbaiki tingkat keekonomian pengembangan 1 struktur/lapangan saja. Sedangkan apabila dilakukan perubahan bagi hasil (split) dari semula 85%:75% menjadi 65%:35% akan memperbaiki tingkat keekonomian pengembangan 7 struktur/lapangan yang kurang ekonomis menjadi lebih ekonomis dengan tingkat ROR berkisar antara 21,8% - 32,8%. 7 struktur/lapangan sisanya dari hasil akhir analisa keekonomian struktur/lapangan marginal dikategorikan sebagai struktur/lapangan yang tidak ekonomis, sehingga apabila dilakukan perubahan fiscal term-nya akan sangat merugikan negara. Daftar Pustaka: 18 Buku (Tahun 1985 - 2001)
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12146
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>