Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jean Tanuwibawa
Abstrak :
Sekitar akhir abad XIX sampai dengan sekitar awal abad XX, di Indonesia yang pada waktu itu masih dikenal sebagai Hindia-Belanda beredar cerita-rerita rekaan di masyarakat yang menampilkan topik-topik tentang masalah pernyaian dan perkawinan campuran atau perkawinan antar bangsa. Siapakah yang disebut Nyai? Kamus Umum Bahasa Indonesia II terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa memberikan definisi sebagai berikut: 1. gundik arang acing (terutama Orang Eropa); 2. panggilan kepada perempuan tua: 3. k.l. [s.i.c!] adinda (1983: 1459). Dalam skripsi ini arti nyai lebih mengarah pada definisi nyai yang pertama gundik orang asing. Dalam bahasa Jawa dan Sunda juga dikenal istilah nyai ini. S. Prawiro Atmodio (1987:285) dalam Bausastra Jawa mendefinisikan nyai sebagai sebutan untuk istri kyai atau sebutan untuk gundik arang belanda. Dalam Kamoes Soenda-Indonesia karya R. Satiadibrata (1950:237) dikatakan bahwa nyai atau nyi adalah panggilan untuk perempuan yang lazimnya di letakkan di depan nama perempuan; misalnya Nyai Misnem, atau Nyai Mas. Menurut Satiadibrata di daerah Pasundan gundik orang asing disebut nyai-nyai. Lebih jauh lagi, tim proyek penelitian dan Pencatatan Kebudayaan daerah (1979: 143) yang meneliti adat istiadat di Jawa Barat memberikan keterangan bahwa kata atau sebutan nyai kadang-kadang dipakai oleh seorang suami untuk memanggil istrinya; kita ingat misalnya tokoh Kabayan yang memanggil istrinya, lteung, dengan sebutan nyai. Dalam skripsi ini yang dimaksud dengan perkawinan carnpuran atau perkawinan antar bangsa adalah perkawinan yang dilakukan antara dua prang yang berbeda kebangsaan atau keturunannya; salah seorang dari pasangan tersebut adalah pribumi. Pada abad yang lampau perkawinan semacam ini yang terjadi di Hindia-Belanda, biasanya tidak disertai surat nikah. Surat nikah biasanya berlaku hanya untuk kalangan masyarakat Eropa yang tinggal di Hindia-Belanda. Sangatlah menarik jika ditelaah dengan seksama lamanya peredaran cerita-cerita perkawinan antarbangsa dan pernyaian ini; ternyata topik cerita semacam ini beredar lebih dari dua puluh tahun di Hindia-Belanda (Bacquet Siek, 1984; Salmon, 1981: 32, 38,57; Toer, 1985: 226). Lebih menarik lagi adalah kenyataan bahwa ternyata pengarang-pengarang cerita dengan topik tersebut berasal dari berbagai keturunan yang ada di Hindia-Belanda. Pengarang-pengarang tersebut ada yang berasal dari keturunan pribumi, keturunan Eropa seperti Inggris dan Belanda, ada pula yang berasal dari keturunan Tianghoa. Oleh karena itu, maka penulis merasa sangat tertarik untuk meneilitinya. Selain itu, penulis melihat bahwa belum banyak cerita-cerita ini diteliti. Umumnya penelitian yang telah dilakukan (hanya) terbatas pada satu buku saja jarang yang mengadakan studi perbandingan antara beberapa karya. Oleh sebab itu, penulis dalam skripsi ini berusaha membuat telaah perbandingan antara dua, karya yang ditulis oleh dua pengarang yang berasal dari keturunan yang berbeda. Buku pertama merupakan karya G. Francis, seorang keturunan Inggris, berjudul Tjerita Njai Dasima. Buku yang kedua adalah karya seorang pengarang keturunan Tionghoa., Thin Tjim Boren,berjudui Tjerita Njai Soemirah. Tjerita Njai Dasima pertama kali diterbitkan tahun 1896, dan karena kepopulerannya telah beberap kali mengalami cetak ulang (antara lain pada tahun 1926 dan tahun 1930) sering dipentaskan bahkan pernah difilmkan. Pemilihan Tjerita Njai Dasima bukan hanya karena kepopulerannya, tetapi terLitama karena cerita ini dianggap dapat mewaki1i karya-karya dari pengarang keturunan Barat. Dalam skripsi ini, Tjerita Njai Dasima yang dijadikan bahan analisis diambil dari buku Tempo Doeloe (1985) karya Pramoedya Ananta Toer. Buku ini dijadikan bahan analis karena penulis menganggap Tjerita Njai Dasima dalam karya ini masih terjaga keaslian bahasanya. Adapun cerita yang akan dijadikan pembanding adalah Tjerita Njai Soemirah Atama Peroentoengan Manoesia. Cerita ini dikarang oleh Thio Tjmn Boen dan diterbitkan pada tahun 1917. Seperti juga karya G. Francis, karya ini penulis anggap dapat mewakili karya-karya dari penulis keturunan Tionghoa. Ringkasan Tjerita Njai Dasima dan Tjerita Njai Soemirah terdapat dalam Lampiran.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutedja-Liem, Maya
Leiden: KITLV , 2007
BLD 839.313 09 SUT n (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Maya Sutedja-Liem
Abstrak :
In the Dutch colonial literature of the mid nineteenth century, the njai (Asian concubine) is the symbol of degeneration and of undermining colonial society in the Dutch Indies. Opposed to this portrayal, in Malay literature the image of the njai is on the whole positive: she is faithful and loyal to her partner, intelligent, and economical. However, she easily falls victim to external powers, which is often the masculine power of the society she belongs to. In many Malay texts she is represented as ready to fight back, primarily for the sake of the future of her offspring(s) or herself. Sometimes she succumbs, sometimes she triumphs. Examples can be found in texts like Tjerita Njai Dasima (1896), Tjerita Nji Paina (1900), Seitang Koening (1906), Hikajat Raden Adjeng Badaroesmi (1901-1903), Tjerita Njai Isah (1904), and Boenga roos dari Tjikembang (1927). These texts represent a re-evaluation of the njai and stand in opposition to nineteenth century Dutch colonial literature
University of Indonesia, Faculty of Humanities, 2008
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library