Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Najamuddin
Abstrak :
Sulawesi Selatan yang dijadikan sebagai pusat pemelintahan NIT dengan Ibukotanya Makassar antara tahun 1946 hingga tahun I949 temyata sangat mengecewakan pihak Belanda Rencana Pemerintah Belanda menjadikan NIT sebagai ?Pilar Projek ? bagi negara-negara bentukan federal sesudahnya tidak beljalan lancar. Secara tak terduga, di selumh kawasan Sulawesi Selatan merupakan daerah basis Republiken penentang utama kchadiran negara federal NIT. Walaupun demikian, perpecahan diantara nasionalis dan kaum bangsawan mcnjadi senjata ampuh bagi Belanda untuk melanjutkan politik federalnya di daefah ini. Kehadiran lembaga NIT yang ?dipaksakan? oleh Belanda semakin memperjelas keberadaan dua kelompok dalam masyarakat Sulawesi Selatan, antara yang menerima dan menolalc sistem federal. Kondisi ini lebih disebabkan oleh dua garis perjuangan yang berbeda, tetapi pada dasamya mereka sepakat untuk satu kata ?Merdelm dari Be!anda". Mengapa Nl'I` menjadi bagian daxi sistem yang pemah diterima oleh masyarakat Sulawesi Selatan, setidaknya dua faktor yang menjadi penyebab; Perrama, sistem politik pada tingkat nasional dengan pcnandatanganan Perselujucm Linggarjali, yang oleh sebagian masyarakat Sulawesi Selatan menganggap mereka telah diringgalkan oleh Republik, karena Indonesia Timur tidak menjadi bagian dari RI dalarn perjanjian itu.. Bagi orang Sulawesi Selatan yang setia terhadap Republik tidak ada jalan lain imtuk rnelanjutkan sikap Republikennya hanya dengan memasuki stniktur yang dibangim dalam lembaga NIT. Diantara kelompok ini tidak sedikit yang menempuh jalur militer melalui peijuangan kclasykaran Kedua, Kererpaksaan, Belanda seoara militer dan ekonomi tclah sangat jauh menguasai wilayah Indonesia Timur di banding wilayah Indonesia lainnya., termasuk Sulawesi Selatan sebagai pusat pemerintahan. Bagi nasionalis yang menganut gatis /cooperati kerjasama dengan Belanda merupakan satu keharusan Lmbuk mcmulai perjuangan bam menuju cita-cita ?kemandirian berpemerintahan". Dua kekuatan yang berbeda ini pada akhimya menunjukkan bahwa federal NIT hanyalah alat dan bukan tujuan, karcna begitu kelcuatan Belanda mulai merosot maka keduanya berbalik mcnjadi penentang utama sistcm federal dan menyatakan diri berdiri di bawah negara kesatuan Rl pada tahun 1950.
Abstract
South Sulawesi which ww made ofthe center of the govemment ofNIT which is capital Makassar between year 1946 till year 1949 appeared to be vary dissatisfaction the Dutch side. The intention of the Dutch Govemment to make NIT as ?Pilot Project? for the states formed by the Federal Government thereafter did not nm smooth Contrary to expectation, the whole area of South Sulawesi region became a bases area for Republicans, thc main opposing to the existence of a Federal State NIT. Nevertheless, non unity between the national group and the nobility became very a effective weapon for the Dutch to continue its Federal Policy in this area. The presence of ?imposed? NIT institution by the Dutch made more clear the existence of two groups in South Sulawesi, between those who accept and those who reject the Federal system. These conditions were more caused by two lines of different tights, what in essence they agree for one word ?Independent from the Dutch?_ Why NIT became part of a system which has once been accepted by the South Sulawesi community at least two factors were the cause: Firstly, The political System at the National level with the signing of the Linggarjati accord which by part of the South Sulawesi community was considered as being lelt by the Republic, since Fast Indonesia was not part of the Republic Indonesia in that agreement. For people of South Sulawesi were loyal to the Republic there is no other way to' continue their Republican attitude Only by entering a structure developed by the NIT institution. Among this group there were not a few who took the military road through military fight.
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T5295
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wisnu Jaya Surya Putra
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang politik hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia khususnya dalam pembentukan peraturan daerah sejak era orde baru sampai dengan era reformasi serta analisis pengaturan terkait dengan pelaksanaan pembentukan peraturan daerah di Indonesia. Pelaksanaan pembentukan peraturan daerah saat ini seringkali ditemukan berbagai macam permasalahan selain banyaknya peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, peraturan perundang-undangan yang ada belum mendukung mekanisme pembentukan peraturan daerah yang baik serta lemahnya hubungan koordinasi antara pemerintah daerah dengan instansi vertikal Kementerian Hukum dan HAM dalam pembentukan peraturan daerah. Tujuan penelitian ini adalah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menganut kesatuan sistem hukum maka dalam pembentukan peraturan daerah harus sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan melakukan studi kepustakaan dalam pengumpulan data, kemudian data-data yang diperoleh dianalisis melalui pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini menyarankan agar dalam pembentukan peraturan daerah harus mengedepankan prinsip Negara Kesatuan yang berdasarkan pada asas-asas yang berlaku dan peraturan perundang-undangan diatasnya serta berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Simpulan dari penelitian ini adalah memperbaiki peraturan perundang-undangan yang ada khususnya terkait dengan pengaturan pembentukan peraturan daerah dan membangun hubungan koordinasi antara instansi vertikal Kementerian Hukum dan HAM dengan pemerintah daerah dalam pembentukan peraturan daerah.Kata kunci :Pembentukan, Peraturan Daerah, Negara Kesatuan Republik Indonesia
ABSTRACT
This thesis discusses the legal politics of local governance in Indonesia, especially in the formation of regional regulations since the new order era until the era of reform and regulatory analysis related to the implementation of the formation of local regulations in Indonesia. Implementation of the current formulation of local regulations often found a variety of problems in addition to the many local regulations that contradict the higher legislation, the existing legislation has not supported the mechanism of the establishment of good local regulations and weak coordination between local government relations with vertical agencies Ministry of Justice and Human Rights in the formation of local regulations. The purpose of this study is in the Unitary State of the Republic of Indonesia which adheres to the unity of the legal system so in the formation of local regulations must be in accordance with Pancasila and the 1945 Constitution. This research is normative law research by conducting library study in data collection, then the data obtained is analyzed through qualitative approach. The results of this study suggest that in the formation of local regulations should prioritize the principle of the Unitary State based on the prevailing principles and the above legislation and guided by Pancasila and the 1945 Constitution. The conclusion of this research is to improve the existing legislation especially related to the regulation of the formation of local regulation and to build coordination relationship between vertical institutions of the Ministry of Law and Human Rights with local government in the formation of local regulations.Keywords Establishment, local regulations, the unitary State of the republic of Indonesia
2018
T50443
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustiah
Abstrak :
Kalimantan Barat periode 1945-1950, tidak banyak diketahui oleh bangsa Indonesia. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, tidak begitu sulit bagi Belanda (NICA) untuk menguasai kembali daerah Kalimantan Barat. Hal ini disebabkan tidak ada lagi tokoh yang menjadi pimpinan masyarakat. Mereka hampir semua dibunuh oleh Jepang, sedangkan yang masih hidup m asih terbayang atas kekejaman Jepang. Kini yang harus menghadapi Belanda adalah anak-anak muda yang belum berpengalaman. Dengan modal semangat untuk merdeka, anak-anak muda ini berjuang melepaskan diri dari pendudukan NICA dan berusaha berhubungan dengan RI di Jawa. Usaha mereka untuk menggabungkan daerah Kalimantan Barat ke dalam RI; mendapat hambatan dari Sultan Hamid II yang faderalis. Sultan Hamid menghendaki Kalimantan Barat adalah sebuah negara bagian atau setidaknya bagian dari negara Kalimantan untuk mewujudkan impian Sultan Hamid dan Belanda, maka Kalimantan Barat dijadikan Daerah Istimewa. Setelah penyerahan kedaulatan Indonesia, satu-persatu daerah bekas wilayah NICA bergabung dengan RI, tetapi daerah Kalimantan Barat belum bisa bergabung. Cita-cita para pemuda tidak berhasil, karena kuatnya kaum federalis di daerah ini dan juga di pusat Pererintah RIS Jakarta
1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
S8569
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Retnowati
Abstrak :
Kewenangan pemerintah daerah untuk membentuk peraturan daerah tidak jarang menimbulkan permasalahan. Karena itu, pada negara kesatuan, pelaksanaan kewenangan tersebut tidaklah lepas dari pengawasan dan pembinaan pemerintah pusat. Tingkat pengawasan tersebut bergantung pada sistem penyelenggaraan desentralisasi yang dianut oleh suatu negara. Dalam skripsi ini, akan dibahas pengawasan peraturan daerah di negara-negara kesatuan yakni Indonesia, Kolombia, dan Bolivia dengan menggunakan metode perbandingan yang menghasilkan bentuk penelitian yuridis-normatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persamaan pengawasan peraturan daerah di ketiga negara tersebut adalah adanya pengawasan berupa review. Sedangkan perbedaannya, Indonesia dan Bolivia juga memiliki mekanisme pengawasan preview. Akan tetapi, lain halnya dengan Kolombia, pengawasan review di Indonesia dan Bolivia dilaksanakan melalui persidangan tertutup. Pengawasan peraturan daerah dalam kerangka negara kesatuan sebaiknya dilaksanakan melalui mekanisme preview dan review. Pengawasan review sebagai bentuk perlindungan kepentingan masyarakat dari penyalahgunaan kekuasaan pemerintah sebaiknya dilaksanakan melalui persidangan terbuka. ......The authority of local governments to create local regulations often causes problems. Hence, in unitary states, the exercise of such authority is done under the supervision and guidance of the central government. The level of supervision depends on the decentralization system adopted by the country. This thesis focuses on the supervision of local government regulations in Indonesia, Colombia, and Bolivia by using comparative method which resulting into a normative juridical research. The result of this study indicates that these countries exercise review control over local government regulations. The difference is Indonesia and Bolivia have preview control mechanism, while Kolombia does not have preview control mechanism. However, unlike Kolombia, review control in Indonesia and Bolivia are conducted through closed courts. This study suggests that supervision of local government regulations within the framework of unitary state should be implemented through preview and review measures. Review control should be implemented through open courts to protect public interest and safeguard against government abuse.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
William Aditya Sarana
Abstrak :
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137 / PUU-XIII / 2015 dan Nomor 56/PUU- XIV/2016, Pemerintah Pusat tidak lagi dapat membatalkan Perda Provinsi dan Kabupaten Kota namun tetap dapat membatalkan Peraturan Kepala Daerah. Mahkmah Agung menjadi satu-satunya lembaga negara yang dapat membatalkan Peraturan Daerah yang bertentangan dengan Undang-Undang. Dalam dua Putusan tersebut, pendapat sembilan (9) Hakim Konstitusi terpecah menjadi dua pendapat, pendapat pertama mengatakan bahwa Pemerintah Pusat tidak dapat mencabut instrumen hukum daerah mengacu pada prinsip pemisahan kekuasaan, yaitu bahwa pengawasan instrumen hukum daerah hanya dapat dilakukan melalui mekanisme judicial review oleh Mahkamah Agung. Sedangkan pendapat kedua (dissenting opinion) menyatakan bahwa Pemerintah Pusat tetap dapat mencabut produk hukum daerah berdasarkan argumennya pada prinsip negara kesatuan, yaitu bahwa wajar jika Pemerintah Pusat dalam bentuk negara kesatuan bertanggung jawab untuk mengawasi produk hukum daerah sehingga daerah (melalui instrumen hukum yang dikeluarkan) tidak bertindak menyimpang dari prinsip negara kesatuan yang membutuhkan hukum nasional yang bersatu. Metode penulisan yang digunakan adalah penulisan yuridis normatif dengan meneliti putusan pengadilan dan peraturan perundang-undangan. Dari hasil riset didapati bahwa, proses pengujian peraturan daerah di Indonesia sudah diatur sejak masa Orde Lama, Orde Baru, dan Pasca Reformasi di mana terjadi tarik ulur pengawasan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah terkait pengujian Peraturan Daerah. Pasca dua Putusan tersebut, Pemerintah Pusat hanya dapat melakukan pengujian Peraturan Daerah secara preventif (executive preview). Di sisi lain, terdapat kritik terhadap Mahkamah Agung dalam menangani perkara judicial review misalnya tidak diungkapkannya proses judicial review di Mahkamah Agung, putusan Mahkamah Agung yang tidak langsung berlaku, biaya proses judicial review yang mahal sehingga mempersulit akses keadilan bagi masyarakat, dan tidak ada batasan waktu untuk proses judicial review.
After Constitutional Court Decision Number 137 / PUU-XIII / 2015 and Number 56 / PUU-XIV / 2016, the Central Government can no longer revoke the Provincial and District Regulations but still can revoke the Regional Head Regulation. The Supreme Court is the only state institution that can revoke Regional Regulation that is contrary to the Law. In the two Constitutional Court Decisions, nine (9) Constitutional Justices are divided into two opinions, the first opinion said that the Central Government could not revoke regional legal instruments referring to the principle of separation of powers, namely that supervision of regional legal instruments can only be carried out through a judicial review mechanism by the Supreme Court. Whereas a dissenting opinion states that the Central Government can still revoke regional legal products based on its argument on the principle of a unitary state, namely that it is natural that the Central Government in the form of a unitary state is responsible for supervising regional legal products in the regions (through legal instruments issued) does not act in violation of the principle of a unitary state that requires united national law. The research method used is normative juridical writing with qualitative approach by examining court decisions and legislation. From the research results it was found that, the process of testing local regulations in Indonesia has been regulated since the Old Order, the New Order, and the Post-Reformation period in which the Central Government supervised supervision of the Regional Government regarding the testing of Local Regulation. After the two Decisions, the Central Government can only conduct a Local Regulation testing preventively (executive preview). On the other hand, there was a critic of the Supreme Court in handling judicial review cases, for example the disclosure of a judicial review process in the Supreme Court, a Supreme Court ruling that did not immediately apply, the cost of an expensive judicial review process made it difficult to access justice, and there was no time limit for the judicial review process.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Tri Widodo W. Utomo
Abstrak :
There is no general agreemnet among sholars in the degree of decentralization in a certain country. There is also disagreement whether unitary states tend to be more centralized while federal states are likely more decentralized. Yet, comparing unitary and federal states in implementing decentralization and its variants is always interesting. This paper elaborates the nature of unitary and federal states, then explores some practical aspects on the implementation of nature of unitary in each type of state.
Bandung: Lembaga pengembangan administrasi STIALAN Bandung, 2012
JIA 9 : 1 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ridhwan Indra
Abstrak :
Beberapa wacana pemikiran yang berkembang dalam masyarakat Indonesia, sejak mulai goyahnya kepemimpinan Presiden Soeharto yang berkuasa lebih ’ dari ’30 tahun, pada akhir 1997, yang disebabkan krisis moneter yang populer disebut krismon dan kemudian berubah dengan amat cepat menjadi krisis multi dimensional, yang saat ini lebih populer disebut sebagai era reformasi, adalah: 1. Perubahan UUD 1945; 2. Mengurangi kekuasaan Presiden; 3. Pembatasan masa jabatan Presiden; 4. Pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat yang dalam tulisan ini selanjutnya disebut juga pemilihan langsung. Karena peneliti hanya membahas mengenai pemilihan Presiden, maka perubahan UUD 1945 tidak dibahas secara luas, terkecuali Pasal-pasal yang berhubungan langsung dengan kemungkinan perubahan pemilihan Presiden yaitu Pasal 6 dan Pasal 1 ayat(2)UUD 1945. Walaupun yang dibahas peneliti hanyalah pemilihan Presiden, tetapi karena pengaturan pemilihan Presiden biasanya dirangkaikan dan tidak bisa dipisahkan dari pemilihan Wakil Presiden, maka sedikit banyak, peneliti membahas juga tentang Wakil Presiden. Apalagi adalah suatu kenyataan dalam sejarah Republik indonesia, sampai tulisan ini selesai,2 orang Wakil Presiden menggantikan Presiden yang tidak menyelesaikan jabatannya, yaitu Wakil Presiden B. J. Habibie yang menggantikan Presiden Soeharto, yang menyatakan mundur pada tanggal 21 Mei 1998 dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri yang menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid, pada tanggai 23 Juli 2001, yang diberhentikan MPR karena dianggap MPR melanggar Garis-garis Besar Haluan Negara, yaitu dengan mengeluarkan Makluman. (Dekrit) presiden tanggai 23 Juli 2001. Hal pengurangan kekuasaan Presiden dan pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden sudah diatur dalam Perubahan Pertama undang-undang Dasar 1945, tahun 1999. Pengurangan kekuasaan Presiden yang terbesar diatur dalam perubahan Pasal 5 yang semula berbunyi "Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan DPR" menjadi "Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR" dan perubahan Pasal 20 UUD 1945 yang semula berbunyi "Tiap UU menghendaki persetujuan DPR” menjadi "DPR memegang kekuasaan membentuk UU". Setelah kedua hal diatas diatur, masalah pemilihan Presiden langsung oleh rakyat seolah-olah "terlupakan". Wacana pemilihan langsung Presiden baru muncul kembali setelan MPR menyelesaikan Sidang Istimewanya tanggal 25 Juli 2001, yang intinya melengserkan Gus Dur sebagai Presiden dan menggantinya dengan Megawati Soekarnoputri dan mengangkat Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden. Proses pemilihan Presiden langsung oleh rakyat ini memerlukan perubahan UUD 1945 dan tampaknya saat inididukung oleh seluruh Kekuatan Politik yang ada di Lembaga Tertinggi Negara MPR, yang menurut. UUD 1945 adalah Lembaga yang berhak untuk membentuk dan mengubah UUD. Ketentuan yang mengatur mengenai pemilihan Presiden langsung oleh rakyat sudah diputuskan pada Sidang Tahunan MPR 2001 pada tanggal 1 sampai 9 Nopernber 2001, yaitu dengan mengubah pasal 6 yang semula terdiri dari 2 ayat tetapi berubah isinya dan menambahkan pasal 6A. Hanya saja, bagaimana cara pemilihan Presiden langsung oleh rakyat tersebut, jika tidak ada calon yang mendapatkan suara lebih dari 50 % dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sekaligus mendapatkan sedikitnya 20% suara disetiap Propinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah Propinsi di Indonesia, belum disepakati oleh kekuatan-kekuatan politik yang berada di MPR.
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T36301
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Ananda
Abstrak :
ABSTRAK Pembentukan daerah otonomi khusus atau daerah yang bersifat istimewa, sekiranya perlu dimuat dan menjadi suatu landasan dalam menerjemahkan Pasal 18B ayat (1) UUD Tahun 1945. Aceh, Papua, Yogyakarta, dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta telah mempresentasikan pola desentralisasi asimetrik, namun pengaturan mengenai pembentukan daerah khusus di Indonesia tidaklah pernah diatur secara eksplisit sepanjang sejarah terbitnya berbagai macam aturan mengenai Pemerintahan Daerah baik pada era setelah kemerdekaan hingga saat reformasi. Ide-ide pembentukan yang ditinjau dari negara lain seperti Hong Kong dan Basque, dapat dijadikan suatu pijakan untuk menelaah lebih lanjut terhadap norma yang seperti apa yang dapat membentuk suatu daerah khusus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pembentukan daerah khusus dan istimewa melalui landasan hukum pembentuknya dengan melakukan perbandingan terhadap beberapa daerah secara historis dan beberapa daerah di negara lain, serta memberikan pandangan terhadap kemungkinan atas dibentuknya daerah khusus yang baru. Penelitian hukum ini dilakukan dengan menggunakan kajian kepustakaan dan perundang-undangan yang kemudian dikaji secara sistematis dan ditarik kesimpulan dalam hubungannya dalam masalah yang diteliti. Landasan hukum bagi terbentuknya Daerah Khusus dan Istimewa di Indonesia di dasarkan pada pengaturan mengenai Pemerintahan Daerah dalam UUD Tahun 1945, Undang Undang Pemerintahan Daerah sebagai pelaksana Konstitusi Indonesia, serta Undang Undang khusus dan istimewa yang dimiliki Daerah Khusus dan Istimewa di Indonesia. Aceh, Papua, DKI Jakarta, serta Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan empat daerah desentralisasi asimetrik di Indonesia yang terbentuk melalui faktor religi-etno politik, sosial-buadaya dan sejarah hukumnya. Sedangkan Hong Kong dan Basque memiliki ciri yang hampir serupa denan daerah asimetrik di Indonesia menjadikan sejarah hukum sebagai faktor pembentukan desentralisasi asimetrik yang kemudian dikukuhkan dalam beberapa instrumen hukum. Dilihat secara teori dan peraturan undang-undang, pembentukan daerah khusus dan istimewa dapat terjadi. Pembentukan daerah khusus dan istimewa sebaiknya tidak diberikan sertamerta dikarenakan ancaman akan disintegrasi dan menambahnya beban anggaran negara dalam pengelolaan dana khusus, akan tetapi daerah tersebut dapat dijadikan ?kawasan khusus? berdasarkan Pasal 360 UU No. 23 Tahun 2014.
ABSTRACT The establishment of special autonomous regions or special areas, should be made into a norm to interprate Article 18B paragraph (1) Constitution of 1945. Aceh, Papua, Yogyakarta and Jakarta has presented a pattern of asymmetric decentralization, but the arrangements regarding formation special areas in Indonesia is never explicitly regulated in the history of the publication of a wide variety of rules on good regional government in the era after independence until the reform. Ideas formation are reviewed from other countries such as Hong Kong and Basque, can be used as a sample model of asymmetric for further studying of the norm as to what may establish a special area. This study aims to determine the formation of a Spesial Autonomous Region and Special Area through its constituent legal basis to do a comparison of some areas historically and several regions in other countries, as well as provide insight into the possibility of the establishment of new specialized areas. Legal research was done by using study literature and legislation that then systematically studied and drawn conclusions in relation to the matter being investigated. The legal basis for the establishment of the Spesial Autonomous Region and Special Area in Indonesia is based on the setting of the Local Government in the 1945 Constitution, the Local Government Act as executor of the Indonesian Constitution, and the Law of spesial autonomous region and special area in Indonesia. Aceh, Papua, Jakarta and Yogyakarta Special Region is the fourth area of asymmetric decentralization in Indonesia formed through based ethno-religious of political, social-culture and legal history factor. While Hong Kong and Basque have almost identical characteristics with asymmetric regions in Indonesia made legal history as a factor in the formation of asymmetric decentralization which later confirmed in several legal instruments. Based on the theory and rule of law, the establishment of spesial autonomous region and special area can be made. The establishment of spesial autonomous region and special area should not be given because it built by legal-history factors, so the other area which had a special authorities can be used as a "special region" under Article 360 of Law No. 23, 2014.
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T45519
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>