Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 180 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Retno Aviantari P
"PENDAHULUAN: Omfalokel adalah kelainan bawaan berupa kegagalan penutupan dinding perut tetap masih ditutupi oleh selaput yang lapisan dalam terdiri dari peritoneum, lapisan luar dari amnion.Karena tidak dilapisi otot dan fascia dapat terjadi herniasi organ intrapertoneal viscera melalui defek tersebut. Dilaporkan bahwa insiden kelahiran hidup dengan predominan laki-laki, berkisar antara 1: 4.000-1: 10.000 Suatu penemuan yang mencolok pada kelainan ini adalah banyaknya ditemukan kelainan bawaan lain yang dapat berkisar antara 30%-100% yang sebagian besar berupa kelainan kardiovaskuler, traktus genitourinari, muskuloskeletal dan sistim syaraf pusat. 4 Ternyata kelainan bawaan ini atau komplikasinya seperti starvation akibat ileus lama, gagal nafas, sepsis dapat juga menyebabkan kematian yang sangat tinggi. Mortalitas dapat mencapai 80% bahkan dapat meningkat sampai 100% bila terdapat kelainan kromosom dan kardiovaskular. Peningkatan morbiditas bayi yang lahir di luar RS berhubungan dengan faktor suhu, perawatan, status hidrasi, defek, tekanan vaskular pada usus yang prolaps selama transportasi dan nutrisi. Makalah ini mencoba menganalisis penyebab morbiditas dan mortalitas kasus Omfalokel di Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo termasuk kelainan kongenital lain dan faktor resiko seperti ukuran defek, berat badan lahir rendah, waktu dimulainya terapi, omfalokel yang pecah. yang dirawat di divisi Bedah Anak Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, antara Januari 1999 sampai dengan Desember 2003."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58449
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi Salsabila
"Latar Belakang Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan virus yang menyerang sistem imun dengan tahap akhir berupa AIDS (acquired immunodeficiency syndrome). Penyebab kematian pada penderita HIV dapat dikelompokkan menjadi terkait AIDS dan tidak terkait AIDS. Sejak digencarkannya pemberian ARV, beberapa penelitian menunjukkan penurunan tren mortalitas serta perubahan tren penyebab mortalitas menjadi penyakit yang tidak terkait dengan AIDS. Penelitian terbaru diperlukan untuk mengevaluasi penyebab kematian pada pasien HIV rawat inap di RSCM selama periode 2020-2023. Metode Penelitian deskriptif observasional dengan metode kohort retrospektif ini menggunakan data rekam medis rawat inap RSCM periode Juli 2020-Juni 2023. Variabel yang diamati diantaranya adalah luaran, status terapi ARV, dan penyebab kematian. Hasil Dari total 497 pasien yang dianalisis dalam penelitian ini, proporsi mortalitas pasien sebesar 21,1% dengan proporsi tertinggi pada tahun 2020 (25,9%) dan mengalami penurunan hingga tahun 2023. Penyebab mortalitas didominasi oleh penyebab terkait AIDS (76,2%), dengan penyebab terbanyak berupa syok sepsis (20%). Sebanyak 81,6% pasien yang tidak pernah/putus terapi ARV mengalami kematian akibat penyebab terkait AIDS. Kesimpulan Proporsi mortalitas pasien HIV rawat inap RSCM mengalami penurunan dari tahun 2020 hingga 2023. Penyebab mortalitas masih didominasi oleh penyebab terkait AIDS, khususnya pada kelompok tidak pernah/putus terapi.

Introduction Human Immunodeficiency Virus (HIV) is a virus that attacks the immune system, with the final stage being Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). The causes of death in HIV patients can be categorized as AIDS-related and non-AIDS-related. Since the intensification of ARV administration, several studies have indicated a shift in the trend of mortality causes towards non-AIDS related cause of death. New research is needed to evaluate the causes of death in HIV inpatients at RSCM during the period 2020-2023. Method This observational descriptive study with a retrospective cohort design utilizes medical records data of hospitalized patient at RSCM from July 2020 to June 2023. Observed variables include outcomes, ARV therapy status, and causes of death. Results Of the total 495 patients analyzed in this study, the patient mortality rate was 21.1%, with the highest mortality rate in 2020 (25,9%) and continue to decrease until 2023. Mortality causes were predominantly AIDS-related (76,2%), with the most common cause being septic shock (20%). A total of 81,6% of patients who never/discontinued ARV therapy experienced death due to AIDS-related causes. Conclusion The proportion of mortality in HIV inpatients at RSCM has decreased from 2020 to 2023. The causes of mortality are still predominantly AIDS-related, especially in the group with no/interrupted therapy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardi Artanto
"Pekerja sandblast berisiko terpajan debu silica yang dapat menyebabkan silikosis dan mengakibatkan kematian. Laporan kasus berbasis bukti ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kemungkinan hidup pekerja dengan diagnosis silikosis. Penelusuran literatur dilakukan melalui PubMed dan Scopus dan seleksi dilakukan sesuai kata kunci. Total artikel yang didapatkan adalah tiga buah artikel yang relevan dan paling sesuai mendekati PICO. Setelah dilakukan telaah kritis, ketiga artikel dinyatakan valid. Penelitian Merlo F di Genoa, Italia, mendapatkan rasio mortalitas standar sebesar 1,61 (IK95% 1,48-1,86). Penelitian Carta P di Sardinia, Italia, mendapatkan rasio mortalitas standar sebesar 1,35 (IK95% 1,24-1,46). Sedangkan penelitian Bakan ND di Turki mendapatkan survival rate 5 tahun pada pekerja dengan silikosis adalah sebesar 69%. Berdasarkan satu studi yang ditemukan, pekerja dengan silikosis memiliki survival rate 5 tahun yang masih cukup tinggi yaitu sebesar 69%.

Sandblast workers are at risk of silica dust exposure that can cause silicosis and lead to death. This evidence-based case report aims to determine survival among workers with silicosis. The literature search was done through PubMed and Scopus and the selection was done according to the keyword. The total articles obtained are three relevant and most appropriate articles approached to PICO. After critically reviewed, all three articles are declared valid. Merlo F's research in Genoa, Italy, found the standard mortality ratio was 1.61 (IK95% 1.48-1.86).Carta P's research in Sardinia, Italy, found the standard mortality ratio was 1.35 (IK95% 1,24-1,46).  While Bakan ND's research in Turkey found 5 years survival rate in workers with silicosis was 69%. Based on one article found, 5 years survival rate in workers with silicosis was still quite high."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jaka Panca Satriawan
"Latar Belakang : Insidens Pneumonia HCAP semakin meningkat dengan angka mortalitas yang tinggi. Tatalaksana optimal dapat menurunkan angka mortalitas , salah satunya Time to First Antibiotic Delivery (TFAD). Pengaruh TFAD pada pasien pneumonia HCAP belum banyak diteliti.
Tujuan : Mendapatkan informasi perbedaan kesintasan 30 hari pasien pneumonia HCAP dewasa terhadap TFAD.
Metode : Penelitian kohort retrospektif berbasis analisis kesintasan pasien pneumonia HCAP RSCM periode Januari 2011-Desember 2014. Dilakukan ekstraksi data rekam medis jarak waktu pemberian dosis awal antibiotika di IGD, derajat keparahan pneumonia dan faktor perancu, kemudian dicari data mortalitas 30 hari. Derajat keparahan menggunakan Skor CURB-65. TFAD dikelompokkan menjadi TFAD ≤4 jam dan > 4 jam. Perbedaan kesintasan ditampilkan dalam kurva Kaplan Meier. Perbedaan kesintasan diuji dengan Log-rank test, batas kemaknaan <0,05. Analisis multivariat dengan Cox?s proportional hazard regression untuk menghitung adjusted hazard ratio (dan interval kepercayaan 95%-nya) dengan koreksi terhadap variabel perancu.
Hasil : Dari 170 subjek, dalam 30 hari sebanyak 51 subjek (40,5%) meninggal pada kelompok TFAD> 4jam dan 4 subjek (9,1%) meninggal pada kelompok TFAD ≤4jam. Median kesintasan seluruh subjek adalah 25 hari (IK95% 24-27), kelompok TFAD ≤4jam 29 hari (IK95% 27-31) dan kelompok TFAD > 4 jam 24 hari (IK95% 22-26) dengan log rank p 0,01. Kesintasan 30 hari kelompok TFAD ≤4jam sebesar 90,9% sedangkan kelompok TFAD > 4 jam 59,5%. Crude HR pada kelompok TFAD > 4 jam 5,293 (IK95% 1,912-14,652). Setelah dilakukan adjustment terhadap variabel perancu didapatkan fully adjusted HR pada kelompok TFAD> 4 jam sebesar 7,137 (IK95% 2,504-30,337).
Simpulan : Terdapat perbedaan kesintasan 30-hari pasien HCAP dewasa pada kelompok TFAD > 4 jam , semakin lama jarak waktu pemberian antibiotik awal, semakin buruk kesintasan 30-harinya.

Background : The incidence of pneumonia HCAP is increasing with a high mortality rate. Optimal management can reduce mortality, one of which Time to First Antibiotic Delivery (TFAD). TFAD influence on pneumonia patients with HCAP has not been widely studied.
Objective : Obtain information about the differences in 30-day survival adult patients with pneumonia HCAP against TFAD.
Methods : A retrospective cohort study based on analysis of the patient's survival against pneumonia HCAP period January 2011 to December 2014. Extraction of data from the medical records of the interval initial dose of antibiotics in the ED, the severity of pneumonia and confounding factor, then look for the data in 30-day mortality. Severity using CURB-65 score. TFAD divided into two groups, TFAD ≤4 hours and> 4 hours. Differences in survival is shown in Kaplan Meier. The difference in survival were tested by the log-rank test, with significance limit p<0.05. Multivariate analysis with Cox's proportional hazards regression to calculate adjusted hazard ratio (and its 95% CI) with correction for confounding variables.
Results : Of the 170 subjects, within a period of 30 days by 51 subjects (40.5%) died in the group TFAD> 4 hours and 4 subjects (9.1%) died in the group TFAD ≤4 hours. Mean survival of the whole subject is 25 days (IK95% 24-27), the group TFAD ≤4jam 29 days (IK95% 27-31) and group TFAD> 4 hours 24 days (IK95% 22-26) with a log-rank p 0.01 , 30-day survival in the group TFAD ≤4jam by 90.9% while the TFAD> 4 hours 59.5%. Crude HR group TFAD> 4 hours of 5.293 (1.912 to 14.652 IK95%). After adjustment for confounding variables obtained fully adjusted HR group TFAD> 4 hours amounted to 7.137 (2.504 to 30.337 IK95%).
Conclusions : There are differences in 30-day survival of adult patients with HCAP group TFAD> 4 hours; the longer the interval initial antibiotic treatment, the worse the 30-day survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Chrispian Oktafbipian Mamudi
"ABSTRAK
Latar Belakang: Angka mortalitas ARDS khususnya di RSCM masih tinggi, sebesar 75,3%. Prokalsitonin dan CRP bisa dipakai sebagai prediktor mortalitas pada ARDS. Saat ini belum didapatkan penelitian yang fokus pada peran PCT dan CRP sebagai prediktor mortalitas tujuh hari pada pasien ARDS di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui peran PCT dan CRP sebagai prediktor mortalitas tujuh hari pada pasien ARDS di RSCM.
Metode: Penelitian ini menggunakan disain kohort prospektif yang dilakukan secara konsekutif pada pasien ARDS di RSCM, November 2015-Januari 2016. Saat pasien didiagnosis ARDS, dalam 6-24 jam dilakukan pemeriksaan PCT dan CRP, diobservasi selama tujuh hari, lalu dilakukan analisis statistik. Data kategorikal disajikan dalam jumlah dan persentase. Data numerik dengan sebaran tidak normal disajikan dalam bentuk median dan rentang. Variabel faktor-faktor yang memengaruhi mortalitas diuji dengan analisis bivariat (menggunakan uji Mann Whitney bila memenuhi persyaratan distribusi tidak normal). Untuk menentukan cutoff PCT dan CRP dipakai kurva ROC dengan mencari sensitivitas dan spesifisitas yang terbaik.
Hasil: Dari 66 pasien ARDS, didapatkan 40 (60,61%) meninggal dan 26 (39,39%) hidup. Uji normalitas PCT dan CRP didapatkan distribusi dari data-data tersebut tidak normal. Dengan uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan p<0,05. Median PCT pada yang meninggal sebesar 4,18 (0,08-343,0) dibandingkan yang hidup sebesar 3,01 (0,11-252,30) p=0,390, AUC 0,563 (IK 95% 0,423-0,703). Median CRP pada yang meninggal sebesar 130,85 (9,20-627,78) dibandingkan yang hidup sebesar 111,60 (0,10-623,77) p=0,408, AUC 0,561 (IK 95% 0,415-0,706).
Simpulan: Pemeriksaan PCT dan CRP hari pertama pada penelitian ini belum dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas tujuh hari pada pasien ARDS.
Kata kunci: ARDS, CRP, mortalitas, PCT

ABSTRACT
Background: The mortality rate of ARDS, specifically in RSCM is still high, that is of 75.3%. Procalcitonin and CRP can be used as mortality prediktor on ARDS. Until today there is no research focusing in the role of PCT and CRP as seventh day mortality predictor on ARDS patients in Indonesia.
Objectives: To identify the role of PCT and CRP as mortality predictors on seventh day of ARDS patients in RSCM.
Methods: This research used a prospective cohort design that was done consecutively on ARDS patients in RSCM during November 2015 to January 2016. When a patient was diagnosed with ARDS, within the next 6-24 hours, the PCT and CRP test were run and an observation was done for seven days, and a statistical analysis followed after. The categorical data descriptions are presented in numbers and percentage. Numerical data with abnormal distribution are presented in the forms of medians and spans. The variables of the factors that influence mortality were tested by using bivariate analysis (using Mann Whitney’s test whenever they met the conditions of abnormal distribution). To determine the PCT and CRP cutoff (values), the ROC curve is used to search for the best sensitivity and specificity.
Results: Out of the 66 patients ARDS, 40 (60.61%) died and 26 (39.39%) survived. The PCT and CRP normality tests results obtained from the distribution of those data are not normal. By using the Kolmogorov-Smirnov the value of p<0.05 was obtained. The PCT median on those who died is 4.18 (0.08-343.0) compared to those who survived that is 3.01 (0.11-252.30) p=0.390, AUC 0.563 (CI 95% 0.423-0.703). CRP median on those who died is 130.85 (9.20-627.78) compared to those who survived that is 111.60 (0.10-623.77) p=0,408, AUC 0.561 (CI 95% 0.415-0.706).
Conclusions:, The PCT and CRP tests on first day in this research are not yet available to be used as mortality predictor on seventh day of ARDS patients.
Key words : ARDS, CRP, mortality, PCT"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Chrispian Oktafbipian Mamudi
"ABSTRAK
Latar Belakang: Angka mortalitas ARDS khususnya di RSCM masih tinggi, sebesar 75,3%. Prokalsitonin (PCT) dan C-reactive protein (CRP) bisa dipakai sebagai prediktor mortalitas pada ARDS. Saat ini belum didapatkan penelitian yang fokus pada peran PCT dan CRP sebagai prediktor mortalitas tujuh hari pada pasien ARDS di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui peran PCT dan CRP sebagai prediktor mortalitas tujuh hari pada pasien ARDS di RSCM.
Metode: Penelitian ini menggunakan disain kohort prospektif yang dilakukan secara konsekutif pada pasien ARDS di RSCM pada November 2015-Januari 2016.
Hasil: Dari 66 pasien ARDS, 40 (60,61%) meninggal dan 26 (39,39%) hidup. Uji normalitas PCT dan CRP didapatkan distribusi dari data-data tersebut tidak normal. Dengan uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan p<0,05. Median PCT pada yang meninggal sebesar 4,18 (0,08-343,0) dibandingkan yang hidup sebesar 3,01 (0,11-252,30) p=0,390, AUC 0,563 (IK 95% 0,423-0,703). Median CRP pada yang meninggal sebesar 130,85 (9,20-627,78) dibandingkan yang hidup sebesar 111,60 (0,10-623,77) p=0,408, AUC 0,561 (IK 95% 0,415-0,706).
Simpulan: Pemeriksaan PCT dan CRP hari pertama pada penelitian ini belum dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas tujuh hari pada pasien ARDS."
Bandung : Interna Publishing (Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam), 2019
CHEST 6:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hari Agung Asari
"Latar belakang: Operasi jantung terbuka dengan menggunakan mesin bypass kardiopulmoner (CPB) berpotensi menimbulkan respons inflamasi yang signifikan. Salah satu penyebab respons inflamasi ini adalah kontak darah dengan sirkuit ekstrakorporeal dan shear stress non-fisiologis selama operasi pompa CPB. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan teknik mana yang menghasilkan respons sindrom inflamasi sistemik (SIRS) yang lebih ringan.
Metode: Penelitian kohort retrospektif. Pengambilan data dilakukan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPDHK) sejak Juli 2018 hingga Februari 2023. Subjek yang direkrut secara konsekutif adalah pasien dengan diagnosis penyakit jantung koroner yang menjalani operasi bedah pintas arteri koroner, baik dengan menggunakan teknik CCABG atau dengan teknik OPCAB. Setelahnya subjek dilakukan pemeriksaan IL-6 pada 6 jam pasca operasi, CRP dan PCT pada 6, 24, dan 48 jam pascaoperasi. Setelahnya, pasien dinilai keluaran SIRS dan mortalitasnya.
Hasil: Total subjek penelitian ada 70 subjek, dengan perbandingan laki-laki yang menjalani OPCAB (82,9%) dan CCABG (91,4%), sisanya berjenis kelamin perempuan. Terdapat perbedaan bermakna antara SIRS dengan jenis operasi (p = 0,048). Kadar IL-6 pada 6 jam pascaoperasi menunjukkan hasil berbeda bermakna dengan jenis operasi (0,014). Pada 24 jam pascaoperasi, penanda inflamasi menunjukkan hasil berbeda bermakna pada CRP (p = 0,013) dan PCT (0,001). Sedangkan pada 48 jam pascaoperasi juga menunjukkan hasil berbeda bermakna pada CRP (p = 0,002) dan PCT (p = 0,022). Peningkatan angka kejadian aritmia pada CCABG menunjukkan perbedaan bermakna juga dengan nilai p <0,001 (IK95% 6,14(1,63-23,16)).

Background: Open heart surgery using a cardiopulmonary bypass (CPB) machine has the potential to induce a significant inflammatory response. One of the causes of this inflammatory response is blood contact with the extracorporeal circuit and non-physiological shear stress during CPB pump operation. This study aims to determine which technique yields a milder systemic inflammatory response syndrome (SIRS) outcome.
Method: This is a retrospective cohort study. Data collection was conducted at Harapan Kita Heart and Blood Vessel Hospital (RSJPDHK) from July 2018 to February 2023. Consecutively recruited subjects were patients diagnosed with coronary heart disease who underwent coronary artery bypass grafting (CABG) surgery, either using the conventional technique (CCABG) or off-pump technique (OPCAB). Subsequently, IL-6 levels were examined at 6 hours post-surgery, while CRP and PCT levels were measured at 6, 24, and 48 hours post-surgery. Following these assessments, patients were evaluated for the occurrence of systemic inflammatory response syndrome (SIRS) and mortality.
Result: There were a total of 70 subjects, with a comparison of males who underwent OPCAB (82.9%) and CCABG (91.4%), the rest were female. There was a significant difference between SIRS and the type of surgery (p = 0.048). IL-6 levels at 6 hours postoperatively showed significantly different results with the type of surgery (0.014). At 24 hours postoperatively, inflammatory markers showed significantly different results for CRP (p = 0.013) and PCT (0.001). Whereas at 48 hours postoperatively it also showed significantly different results on CRP (p = 0.002) and PCT (p = 0.022). The increase in the incidence of arrhythmias in CCABG also showed a significant difference with a value of p <0.001 (95%CI 6.14 (1.63-23.16)).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rido Prama Eled
"Latar Belakang. Sepsis merupakan masalah besar yang menyumbang tingkat mortalitas tinggi. Hal ini diperparah dengan adanya komorbid keganasan. Dalam salah satu penelitian menyebutkan pasien sepsis dengan komorbid keganasan mempunyai resiko 2,32 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa komorbid keganasan. Untuk itu diperlukan data faktor-faktor yang memengaruhi mortalitas pasien sepsis dengan komorbid keganasan agar dapat memberikan terapi yang efektif dan efisien dan menurunkan angka mortalitas.
Tujuan Penelitian. Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi mortalitas pada pasien sepsis dengan komorbid keganasan.
Metode. Penelitian dilaksanakan dengan desain kohort retrospektif . Data diambil dari rekam medis pasien sepsis dengan komorbid keganasan yang dirawat di RS Ciptomangunkusumo dan memenuhi kriteria inklusi dari tahun 2020 sampai 2022. Dilakukan uji kategorik dan dilanjutkan dengan Uji regresi log pada variabel-variabel yang memenuhi syarat.
Hasil. Dari 350 subjek sepsis dengan komorbid keganasan yang memenuhi kriteria inklusi didapatkan mortalitas sebanyak 287 (82%) subjek. Pada ujia kategorik bivariat didapatkan 2 variabel yang mempunyai kemaknaan secara statistik yaitu skor SOFA dan performa status dengan nilai P masing-masing <0,001 dan <0,001. Setelah dilakukan uji log regresi didapatkan Odds Ratio 5.833 IK (3,214-10,587) untuk variabel skor SOFA dan Odds Ratio3,490 IK (1,690-7,208) untuk variabel performa status.
Kesimpulan. Variabel skor SOFA dan performa status mempunyai hubungan yang bermakna terhadap mortalitas pasien sepsis dengan komorbid keganasan

Background. Sepsis is a major problem that contributes to a high mortality rate. This is exacerbated by the presence of malignancy. In one study, sepsis patients with malignancy had a 2.32 times higher risk compared to patients without malignancy. For this reason, factors that influence mortality in sepsis patients with malignancy are needed in order to provide effective and efficient therapy and reduce mortality.
Research purposes. Knowing the factors that influence mortality in sepsis patients with  malignancy.
Method. The study was conducted with a retrospective cohort design. Data were taken from the medical records of sepsis patients with comorbid malignancy who were treated at Ciptomangunkusumo Hospital and met the inclusion criteria from year 2020 to 2022. A categorical test was carried out and followed by a log regression test on eligible variables.
Results.  Of the 350 sepsis subjects with comorbid malignancy who met the inclusion criteria, 287 (82%) subjects had a mortality. In the bivariate categorical test, there were 2 variables that had statistical significance, namely the SOFA score and status performance with P values ​​of <0.001 and <0.001respectively. After doing the log regression test is obtained Odds Ratio 5.833 CI (3.214-1.587) for SOFA score variables and Odds Ratio 3.490 CI (1.690-7.208) for status performance variables.
Conclusion. SOFA score and performance status variables have a significant relationship to the mortality of sepsis patients with comorbid malignancy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Steven Mattarungan
"Latar belakang: Tuberkulosis (TBC) merupakan penyebab utama kematian akibat penyakit infeksi untuk anak dan remaja dari segala usia di seluruh dunia. TBC pada remaja menunjukkan angka kematian lebih tinggi dibandingkan kelompok usia yang lebih muda. Penyebab yang sering menyebabkan hal ini adalah keterlambatan diagnosis, gaya hidup dan masalah psikososial. Hingga saat ini data mengenai angka kejadian dan prediktor mortalitas TBC pada remaja masih sangat terbatas, terutama di Indonesia yang menjadi salah satu negara dengan prevalens TBC yang tinggi.

Metode: Studi ini merupakan penelitian kohort retrospektif yang melibatkan pasien usia 10-18 tahun dengan penyakit TBC di RSUPN Dr.  Cipto Mangunkusumo. Data berasal dari penelusuran rekam medis dan sistem pencatatan khsusus pasien TBC nasional (SITB) yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi pada periode 1 Januari 2019 hingga 1 Juni 2023

Hasil: Total jumlah subjek penelitian yang diikutsertakan adalah 319 pasien, dengan 50 pasien (15,6%) meninggal dan 269 (84,3%) pasien hidup. Prediktor mortalitas yang bermakna pada penelitian ini adalah status gizi buruk (HR 4,5; P<0,001) dan kepatuhan berobat (HR 4,8; P<0,001). Kesintasan pasien remaja TBC sensitif obat sebesar 92% pada bulan pertama dan 87% pada bulan kedua kemudian menurun hingga akhir pemantauan menjadi 83% pada bulan kelima belas.

Kesimpulan : Angka mortalitas pada remaja dengan TBC cukup tinggi terutama pada dua bulan pertama pengobatan dan dipengaruhi oleh berbagai prediktor. Intervensi perlu berfokus pada peningkatan status gizi dan kepatuhan berobat yang dapat membantu mengurangi risiko kematian.


Background: Tuberculosis (TBC) is the leading cause of death from infectious diseases for children and adolescents of all ages worldwide. TBC in adolescents shows a higher mortality rate compared to younger age groups.Common causes include delayed diagnosis, lifestyle factors, and psychosocial issues. Currently, data on TB mortality predictors in adolescents is limited especially in Indonesia, one of the countries with a high TBC prevalence.

Methods: This retrospective cohort study involved patients aged 10-18 years with TBC at Cipto Mangunkusumo National General Hospital. Data were derived from medical records, interviews, and the national specialized TB patient recording system that met inclusion and exclusion criteria for the period from January 1st, 2019 to January 1st, 2023.

Results:  Total of 319 patients were included in the study, with 50 patients (14.7%) died and 269 (84,3%) survived. Significant mortality predictors factors in this study were poor nutritional status (HR 4.5; P<0.001) and medication adherence (HR 4,8; P<0.001). The survival rate of adolescent patients with drug-sensitive TB was 92% in the first month and 87% in the second month, then decreased to 83% by the end of the monitoring period in the fifteenth month.

Conclusion: The mortality rate among adolescents with TB is relatively high, especially in the first two months of treatment, and is influenced by various risk factors. Interventions need to focus on improving nutritional status and medication adherence, which may help in reducing the risk of death."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aljira Fitya Hapsari
"COVID-19 merupakan infeksi virus yang menjadi pandemi dunia dengan dampak kesehatan masyarakat yang terjadi secara global. Sepanjang tahun 2020, Indonesia tercatat sebanyak 743.198 kasus konfirmasi pada tingkat nasional dengan 22.138 kematian akibat COVID-19. Upaya pengendalian COVID-19 dilakukan dari tingkat regional sampai nasional dan puskesmas memiliki peran untuk melakukan deteksi, pencegahan dan respon pengendalian COVID-19 di masyarakat. Tujuan penelitian adalah mengetahui gambaran epidemiologi, morbiditas dan mortalitas kasus konfirmasi COVID-19 di Puskesmas Kecamatan Pulogadung tahun 2020 dengan metode cross-sectional deskriptif. Hasil analisis univariat menunjukkan 2915 kasus konfirmasi COVID-19 dengan kasus bulanan terbanyak pada bulan Desember (34,3%), lebih banyak terjadi pada perempuan (53,7%), paling banyak terjadi pada kelompok usia 20-29 tahun (21,9%), paling banyak terjadi pada kelurahan Cipinang (21,2%), memiliki riwayat kontak erat (98,5%). Distribusi kasus konfirmasi COVID-19 berdasarkan klasifikasi gejala menunjukkan bahwa terdapat 13,9% kasus konfirmasi tanpa gejala (asimtomatik), 71,6% dengan gejala ringan dan 14,5% dengan gejala sedang. Gejala yang paling banyak adalah batuk (28,3%) pada seluruh kelompok usia dengan perbedaan distribusi gejala lain berdasarkan kelompok usia dan jenis kelamin. CFR sebesar 2,4% dengan perbedaan CFR berdasarkan kelompok usia dan jenis kelamin.Tempat perawatan paling banyak adalah fasilitas dan rumah sakit COVID-19 (52,2%). Analisis bivariat menunjukkan hubungan signifikan antara kelompok usia kasus konfirmasi COVID-19 ≥60 tahun (p=0,000) dengan kejadian gejala sedang, hubungan yang signifikan pada usia ≥60 (p=0,000) dan kelompok usia 50-59 tahun (p=0,002) dengan kejadian kematian, hubungan yang signifikan antara gejala sedang dengan kejadian kematian (p=0,000).

COVID-19 is a viral infection that has become a global pandemic resulting in global public health impacts. Throughout 2020, Indonesia recorded 743,198 confirmed cases at the national level with 22,138 deaths due to COVID-19. Efforts to control COVID-19 are carried out from the regional to the national level. Primary healthcare facilities have a role to detect, prevent and respond to COVID-19 control in the community. The purpose of this study is to describe the epidemiology, morbidity and mortality of COVID-19 confirmed cases at the Pulogadung Subistrict Health Center in 2020 with a descriptive cross-sectional method. The results of the univariate analysis showed 2915 \ COVID-19 confirmed cases with the most monthly cases in December (34.3%), more in women (53.7%), most occurring in the 20-29 year age group (21.9 %), mostly occurred in Cipinang (21.2%), had a history of close contact (98.5%). The distribution of confirmed cases of COVID-19 based on symptom classification showed that there were 13.9% confirmed cases without symptoms (asymptomatic), 71.6% with mild symptoms and 14.5 percent with moderate symptoms. The most common symptom was cough (28.3%) in all age groups with differences in the distribution of other symptoms by age group and gender. CFR is 2.4% with differences in CFR by age group and gender. The most common places for treatment are COVID-19 facilities and hospitals (52.2%). Bivariate analysis showed a significant relationship between the age group of confirmed cases of COVID-19 ≥60 years (p=0.000) with incidence moderate symptoms, a significant relationship between age ≥60 (p=0.000) and the age group 50-59 years (p=0.002) with the incidence of death and a significant relationship between moderate symptoms and the incidence of death (p = 0.000)."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>