Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
London: Oxford University Press, 1967
821.3 MET
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ismail
"Metafisika Aristoteles merupakan sebuah kritik terhadap dualisme Plato. Dalam teori bentuk, Plato berusaha menjelaskan sifat alami benda-benda namun ia menganggap benda alami tersebut merupakan tiruan yang tidak berarti. Sebuah tiruan dari dunia ide yang jauh di sana dan merupakan ide abadi sehingga antara dunia materi dan dunia ide terdapat jarak yang tak terjembatani. Kemudian Aristoteles datang dengan hylemorphisme bukan makna inti dari bentuk abadi pengetahuan melainkan pada pemisahan antara esensi dengan benda yang riil. Bagi Aristoteles benda merupakan kesatuan materi dan bentuk.
Bentuk benda ada dalam benda itu sendiri bukan di atas sana sebagaimana yang dikemukakan Plato. Materi dan bentuk merupakan aspek tak terpisahkan dari setiap substansi, bersifat universal dan partikular tersatukan dalam sebuah benda. Dari sini memungkinkan relevansi antara metafisika Aristoteles dengan pengetahuan modern. Untuk sampai pada pengetahuan modern, Comte diangkat sebagai pembanding, karena ia sebagai pencetus positivisme, ia menjelaskan tiga tahap pemikiran manusia: tahap teologis, tahap metafisik dan tahap positif. Ia menekankan dan identifikasi atas fakta-fakta, dengan pengamatan indera, dan berupaya untuk menjelaskan hukum-hukum umum dengan induksi berdasarkan fakta. Metafisika Aristoteles dan relevansinya terhadap pengetahuan modern di sini disatukan pada karakteristik yang dimiliki oleh ilmu pengetahuan modern yang mana antara lain memiliki sifat objektif, rasional dan universal. Di mana sifat-sifat ilmu pengetahuan ini telah ada pada Aristoteles."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11225
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karlina Leksono Supelli
"Salah satu ciri ilmu pengetahuan modern yang kita kenal sekarang ini adalah penanggalan subyek manusia dari proses pemerolehan dan pembentukan pengetahuan. Ciri ini berangkat dari pemahaman positivisme yang dirintis oleh Auguste Comte (1798-1857). Daaam pandangan positivisme, kegiatan keilmuan adalah langkah-langkah metodologis untuk mengkonstruksikan teori dan menguji kesahihannya. Subyek adalah pengamat yang bertugas menguji teori-teori keilmuan tanpa menimbulkan pengaruh baik pada obyek yang menjadi bahan penelitiannya, maupun pada proses pembentukan pengetahuan itu sendiri.
Bila dalam pandangan sebelurnnya penyelidikan terhadap pengetahuan yang mungkin masih mensyaratkan sintesis antara subyek dan obyek, dalam pandangan positivisme penyelidikan menjadi bermakna hanya bila ditempuh dalam bentuk penyelidikan metodologis terhadap syarat-syarat untuk membangun dan mengkoroborasikan teori-teori ilmu pengetahuan. Subyek-yang-mengetahui tidak lagi menjadi sistem acuan. Positivisme menandai puncak pergeseran peran subyek dalam membentuk pengetahuan tentang dunia. Sekalipun positivisme sudah mati, namun sikap dasar yang melandasi pemikiran positivistik tetap dominan dalam sebagian besar kerja ilmu pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan alam.
Sebetulnya, jauh sebelum positivisme berkembang, peran manusia yang berhubungan dengan posisi spasial dan epistemologis dalam pemerolehan pengetahuan mengenai alam semesta, telah menjadi bahan perdebatan yang panjang. Bila dalam kaitan ini kita meninjau sejarah perkembangan kosmologi, tampaklah bahwa semua upaya pemahaman tentang alam semesta sebetulnya merupakan sejarah perjuangan kesadaran untuk memahami posisinya dalam alam semesta.
Itu sebabnya ketika konsep heliosentris Copernicus (1473-1543) diperkenalkan pada pertengahan abad ke-15, akibat yang ditimbulkan bukan semata-mata pergantian paradigma di dalam astronomi. Ditinjau dari sudut pandang yang lebih luas gagasan Copernicus membawa serta pemikiran epistemologis penting, yaitu pengenalan kritis bahwa tampakan dunia obyektif ditentukan oleh kondisi subyektif. Dalam gagasan ini tampak penekanan pada pandangan, bahwa sekalipun posisi spasial manusia (Bumi) mengalami penggusuran dari pusat alam semesta, namun posisi epistemologisnya justru mendapat penguatan.
Selain sebagai suatu proses alihragam (transformation) dalam konsepsi manusia mengenai alam semesta, pengembangan gagasan Copernicus juga merupakan proses pergeseran pemahaman manusia mengenai hubungannya dengan alam semesta. Kuhn melihat revolusi Copernicus sebagai suatu titik balik bersifat plural dalam perkembangan intelektual masyarakat Barat yang berpengaruh besar pada perubahan konseptual baik dalam filsafat dan maupun agama. Ada tiga tataran makna tempat revolusi Copernicus bekerja. Tataran makna pertama bersifat astronomis, yaitu pembaharuan konsep-konsep dasar astronomi; tataran makna kedua bersifat keilmuan yang lebih luas, yaitu perubahan radikal dalam pemahaman manusia tentang alam semesta yang mencapai puncaknya dalam konsepsi Newton mengenai alam semesta; dan yang ketiga bersifat filosofis, yaitu sebagai bagian dari peralihan pemahaman masyarakat Barat atas nilai-nilai.
Gagasan Copernicus sendiri baru menjadi sebuah revolusi yang ikut berperan dalam revolusi ilmu pengetahuan secara umum melalui hukum-hukum gerak planet Johannes Kepler (1571-1630), tafsiran matematis Galileo Galileo (1564-1642) dan konsepsi mekanistik Isaac Newton (1642-1727). Dalam tataran yang lebih luas revolusi ini berlangsung melalui pemikiran metodologis dan epistemologis Rene Descartes (1596-1650). Keseluruhannya membentuk suatu paduan pemahaman mengenai hukum-hukum mekanika yang bekerja di seluruh alam semesta. Konsepsi Aristoteles yang memilah alam atas wilayah duniawi yang fana dan wilayah eterial yang kekal serta tak terjangkau hukum-hukum alam, runtuh bersarna hukum-hukum mekanika yang bekerja tanpa pembedaan pada seluruh wilayah alam semesta.
Revolusi ilmu pengetahuan meningkatkan pemahaman manusia mengenai alam semesta, namun pemahaman itu tidak serta merta menyebabkan tempat manusia dalam keteraturan alam semesta menjadi lebih khusus; yang terjadi justru adalah kebalikannya. Revolusi Copernicus sudah didahului oleh penggusuran manusia dari pusat kegiatan alam semesta mitis melalui peralihan dari kosmogoni ke kosmologi. Revolusi Copernicus sendiri diikuti oleh pergeseran Matahari dari pusat alam semesta heliosentris (Copernicus masih menganggap Matahari sebagai pusat lingkaran kosentrik bintang-bintang) ke tepian galaksi berpenghuni 100 milyar bintang. Pergeseran paling radikal berlangsung melalui konsepsi modern alam semesta berhingga takberbatas yang memuai ke segala arah dalam keserbasamaan; tak ada kekhususan apapun untuk posisi manusia."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
D201
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
James Maclaurin
"This volume celebrates the dedication to rational enquiry and the philosophical style of Colin Cheyne. It also celebrates the distinctive brand of naturalistic philosophy for which Otago has become known. Contributors to the volume include a wide variety of philosophers, all with a personal connection to Colin, and all of whom are, in their own way, defenders of rationality. ​"
Dordrecht, Netherlands: Springer, 2012
e20400705
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Embun Kenyowati Ekosiwi
"Tesis ini, dengan mendapat inspirasi dan acuan utama dari buku Andrew Bowie, Aesthetics and Subjectivity (1990) bermaksud mencari pengetahuan dari agar mendapatkan pemahaman tentang konsep Subyektivitas dalam Seni pada pemikiran Immanuel Kant, Hegel dan Nietzsche, yang termasuk dalam masa Idealisme Jerman dan awal Romantisisme. Subyektivitas yang dimaksud adalah Subyektivitas metafisis maupun Epistemologis. Yang dimaksud subyektivitas metafisis adalah manusia, melalui kesadarannya, yang mengalami seni (pencipta maupun penikmat). Yang dimaksud subyektivitas epistemologis adalah manusia melalui putusannya, sebagai ukuran kebenaran dalam seni. (Adorno 1984).
Subyektivitas pada pemikiran Kant adalah permasalahan keberadaan manusia sebagai keberadaan yang otonom (Otonomous Being) dalam berhadapan dengan dunia di luarnya (alam). Bagaimana status kesadaran (self-consciousness) dalam berhadapan dengan dunia luar. Status kesadaran ini menentukan bentuk-bentuk cara mengetahui (forms of cognition). Bagaimana subyektivitas dapat menjadi landasan bagi keberadaannya sendiri, bagaimana subyektivitas dapat membentuk obyektivitas yang dapat dipertahankan tanpa mendasarkan pada asumsi akan adanya obyektivitas yang mendahului. (Bowie 1990: 15).
Pada Kant, subyektivitas dalam seni adalah subyektivitas universal (intersubyektif universal), ketika seseorang menyukai sesuatu obyek (alam dan karya seni) tanpa pamrih (disinteresred). Sikap tanpa pamrih pada Kant berarti rasa suka yang menimbulkan kesenangan (pleasure), tidak terkait pada eksistensi obyek.
Subyektivitas pada pemikiran Hegel adalah permasalahan identitas subyek dan obyek yang sama dalam Rah absolut. Ini dikarenakan bahwa proses berpikir dan proses realitas (dunia) adalah identik. Proses ini menampakan dirt pada seni (Bowie : 1990, 116). Proses ini ditampilkan melalui refleksi, Kesadaran suatu subyek, tanpa kehadiran kesadaran lain akan tetap berada dalam keadaan tidak ada refleksi dan tidak akan mencapai refleksi sadar. (Bowie 1990 : 118). Kesadaran Aku sangat tergantung pada obyektifikasi Aku.
Subyektivitas dalam pemikiran Nietsche adalah permasalahan kesadaran sebagai pertahanan diri (self preservation). (Bowie: 1990, 208). Subyek, si Alat, adalah konstruksi pikiran, tidak berbeda statusnya dengan 'materi', 'benda', 'angka', maka adalah suatu fiksi regulatif Sintesa menjadi subyek ini dan efek sintesa dari luar sebagai obyek merupakan manifestasi 'kehendak untuk berkuasa' yang terjadi terhadap satu sama lain. (Bowie 1990: 247). Subyektivitas tidak dapat menjadi landasan kebenaran, meskipun keberadaan subyek serdiri tak dapat ditolak.
Subyektivitas dalam seni pada Immanuel Kant yang terdapat dalam teorinya tentang selera, adalah subyektivitas universal ketika seorang menyukai obyek tanpa pamrih. Sikap tanpa pamrih berarti rasa suka yang menimbulkan kesenangan tidak terkait dengan eksistentensi obyek. Dengan demikian bersifat a priori. Obyek yang disukai dengan cara demikian disebut indah. Dan yang indah adalah yang tanpa konsep disukai secara universal.
Pada Hegel subyektivitas dalam Seni adalah proses perwujudan 'The Ideal dalam bentuk materi yang tercerap secara inderawi (sensuous material) melalui refleksi. Karena pada Hegel proses obyektivikasi Subyek (kesadaran) adalah melalui negasi dan terjadi secara terus menerus.
Pada Nietzsche subyektivitas dalam Seni menampakkan diri dalam perwujudan fisiologis pada subyek individual, dan memuncak pada kehendak untuk berkuasa.
Perbandingan di antara ketiganya adalah sebagai berikut :
1. Subyek pada Kant adalah subyek transendental. yaitu kesadaran yang memiliki kategeri-kategori yang ikut membentuk realitas.
2. Subyek pada Hegel adalah keberadaan yang asali yang selalu berada dalam keadaan bergerak menuju obyek.
3. Subyek pada Nietzsche adalah merupakan fiksi yang dibentuk oleh pikiran, namun memiliki manifestasi yang nyata pada tubuh yang merupakan perwujudan dari kehendak untuk berkuasa
Subyektivitas dalam seni pada Kant adalah persoalan keabsahan putusan (judgment) terhadap yang indah, Putusan yang indah hanya menyangkut subyek yang membuat putusan dan bersifat subyektif , menyangkut perasaan. Subyektivitas dalam seni pada Hegel adalah seni sebagai perwujudan yang Ideal yang berada pada jiwa subyektif. Sedangkan subyektivitas dalam seni Dada Nietzsche adalah .merupakan kehendak yang memanifestasi dalam ketubuhan kits sebagai usaha untuk mempertahankan diri dalam keberadaan sebagai manusia.
Tanggapan terhadap subyektivitas, muncul melalui argumentasi Bowie, mengacu Habermas, bahwa pokok persoalan modernitas dilihat oleh postmodemisme sebagai permasalahan subyektivitas.Persoalan estetika modern juga bukan masalah keindahan lagi meiainkan masalah subyektivitas.
Subyektivitas dalam seni pada Kant mendapat pembelaan dari Gadamer, bahwa putusan tentang seni juga menyangkut pengetahuan yang berbeda dengan pengetahuan kognitif dan pengetahuan moral, namun tetap :nenyampaikan pengetahuan sebagai transmisi kebenaran. Namun Adorno mengkritik bahwa subyektivitas yang mengklaim validitas universal dan tanpa konsep adalah tidak rnungkin. Validitas universal demikian, mengandaikan adanya konsep.
Subyektivitas dalam seni pada Hegel, seolah berusaha mengatasi subyektivitas dalam seni pada Kant, tetapi sesungguhnya kembali ke dalam subyektivitas karena Idealisme mengklaim bahwa apa yang subyektif adalah obyektif, menurut Heidegger, Subyektivitas dalam seni pada Nietzsche, sesungguhnya bukan merupakan persoalan estetika, tetapi lebih persoalan metafisika, karena seni dikembalikan pada kehendak sebagai dorongan mendasar yang ada pada manusia.
Tanggapan penulis mengenai masalah subyektivitas adalah bahwa subyektivitas merupakan persoalan yang dapat dipertahankan sejauh dapat dikompromikan dengan pandangan-pandangan lain, baik pandangan yang mendukung maupun yang menolak. Maka subyektivitas adalah titik tolak ,yang mencukupi dan sah bagi dunia seni. Salah satu argumentasi lagi adalah bahwa ilmu pengetahuan yang memperoleh landasan dari positivisme pun pada akhirnya mempertanyakan obyektivitasnya sendiri, terutama pada ilmu-ilmu manusia dan budaya, karena faktor subyektivitaslah yang sesungguhnya dapat memunculkan obyektivitas."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T1626
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library