Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fanelda
Abstrak :
Penyakit campak merupakan penyakit infeksi yang cukup serius, sering menyerang anak umur di bawah lima tahun yang tidak mempunyai kekebalan terhadap penyakit campak. Di negara berkembang penyakit campak masih merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan pada anak-anak. Program imunisasi di negara berkembang merupakan program prioritas. Di Indonesia imunisasi campak diberikan kepada bayi untuk menghindari dari penyakit menular . Program imunisasi ini dimulai pada tahun 1984 dengan melakukan pemberian imunisasi campak dosis tunggal atau satu dosis terhadap bayi umur 9 - 11 bulan. Pada tahun 1990 Indonesia berhasil mencapai cakupan 85,4 % . Sesuai dengan besaran target UCI yang ditetapkan secara nasional salah satu tujuan utamanya adalah pemberian imunisasi dasar kepada setiap bayi umur satu tahun (kontak lengkap dengan. indikator campak) dengan target minimal 80 % imunisasi untuk semua anak. Beberapa hasil penelitian dan laporan dari negara-negara di dunia menyatakan bahwa strategi pemberian imunisasi dosis tunggal atau satu dosis terhadap anak tidak dapat mencapai menurunkan terjadinya kasus campak sebagai tujuan global. Negara-negara berkembang di Amerika Utara, Eropah Barat dan Australia menerapkan pemberian vaksinasi campak dua dosis yang saat ini berada pada tahap eliminasi campak. Dengan keterbatasan anggaran pembiayaan kesehatan saat ini, WHO memberikan rekomendasi terhadap negara-negara berkembang untuk melakukan kegiatan inovatif sebagai strategi dalam pengendalian kasus campak antara lain melalui model catch up dan crash program yang merupakan kegiatan tambahan pemberian vaksin dosis kedua. Dengan kegiatan imunisasi rutin yang sudah dilaksanakan di Indonesia temyata pencapaian target UCI sulit untuk dipertahankan dan sebagian daerah tingkat kecamatanldesa cakupan imunisasi campak belum merata. Sesuai dengan rekomendasi Kelompok Kerja Reduksi Campak , maka Indonesia tabus 2000 disamping melaksanakan imunisasi rutin terhadap bayi juga sudah melaksanakan pemberian imunisasi campak tambahan terhadap anak SD kelas I sampai VI yang pertama kali dilaksanakan pada dua Propinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat melalui model catch up dan crash program untuk anak umur di bawah lima tahun di daerah resiko tinggi pada 13 propinsi di Indonesia. Secara objektif studi CEA memberikan pengaruh yang besar terhadap pengukuran biaya satuan yang paling cost efektive untuk melihat komponen biaya terbesar dari suatu kegiatan dalam penurunan Ilaju kasus penyakit campak setelah dilakukan penambahan dosis imunisasi vampak. Penelitian telah dilakukan pada 16 puskesmas di Kota Padang Propinsi Sumatera Barat tahun 2002 sebagai lokasi penelitian yang terdiri dan delapan puskesmas UCI melaksanakan program rutin (pembanding) model-1 dan delapan puskesmas Non UCI pada tahun yang sama melakukan program imunisasi tambahan crash program disamping program rutin sebagai model-2. Disain penelitian adalah penelitian operasional dengan metode CEA . Dari hasil analisa data yang dilakukan dan perhitungan biaya satuanikegiatan pelayanan (suntikan) dari kedua model pendekatan yang berbeda maka diperoleh basil yang menunjukkan model-1 : Rp. 99.847,- dan model-2 :Rp. 57.048,- (100% : 57,08%) terhadap sasaran yang terlindung Bari kasus campak maka diperoleh efektivitas model-2 sebesar 42,92 %. CE ratio M.2 : M.I = 1,8 : 3,12, dengan komponen biaya terbesar adalah biaya operasional atas pembelian alat suntik autodisable (ADS) dan vaksin campak sebesar 53,12% dari total biaya yang ada dengan kasus yang terjadi sebesar 36,5%. Terjadi penurunan kasus yang cukup signifikan pada puskesmas yang melaksanakan kegiatan model-2 sebesar 36,5 % dibanding dengan puskesmas model-1 hanya dapat menurunkan kasus 6,1%. Sampai saat ini di Kota Padang tidak pernah terjadi KLB campak bila melihat frekuensi KLB campak dalam waktu lima tahun terakhir masih sexing terjadi di Prop. Sumatera Barat, meskipun Kota Padang masih merupakan daerah endemis penyakit campak. Dengan peningkatan cakupan yang sangat tinggi dapat terjadi penurunan trend kasus yang cukup tajam, sehingga dapat memutuskan lmenghambat terjadinya transmisi virus. Untuk menghilangkan desa atau kelurahan rawan campak yang masih terdapat di Kota Padang, disamping melaksanakan kegiatan program rutin, kegiatan crash program tetap dijadikan prioritas kegiatan strategis dengan cost effective yang relatif rendah.
Cost Effectiveness Analysis on Measles Immunization Program from Two-Models In Padang City on the Year 2002Measles is a serious infectious disease attacked predominantly children under five who are susceptible to the disease. In most developing countries, measles is still one of the leading causes of children morbidity and mortality. Immunization is a mayor health issue in developing countries. In Indonesia immunization for infants against measles which a communicable disease, was started in 1984 and measles immunization was introduced as a single dose approach for infants at nine month of age. In 1990, Indonesia achieved 85,4 % level of dosage. One of a bigger goals for children by the year 1990 is that at least 80% children under the age of one would have access to immunization Universal Child Immunization (UCI). Many studies and country reports suggest that single dose measles strategy is not sufficient to achieve the global target of measles elimination. Several developed countries in the North America, West Europe and Australia that have implemented two-dose measles schedule are now in three measles elimination phase, WHO recommended developing countries to implement innovative immunization strategy such as measles catch up campaign and crash program to prevent measles outbreak before introducing two-dose measles strategy. In Indonesia so that beside routine basic immunization program to infant has also in the year 2000 introduced additional measles vaccination to school children year 1 - 6 elementary school in DKI Jakarta and West Java (catch-up program) and crash program for children under five was also introduced in measles high risk area. The objectives of the cost effectiveness analysis study are to get better picture and better understanding of the most cost effective model of measles vaccination, unit cost for each activity, the biggest budget component, trend of measles reduction after additional measles vaccination been implemented. The pilot study was conducted in 16 health centers representative health centers in the on regions municipalityldistrict in West Sumatra province (Padang City). Consists of eight centers have achieved village UCI Coverage in 2002 which are implementing routine immunization (model-1) and eight health centers who have not village UCI coverage in 2002 too which are implementing crash program immunization_The study design was operational research, economical evaluation cost effectiveness analysis (CEA) using retrospective data with descriptive analysis. From data analysis it is evidence that the unit cost for different approaches are the results indicates. Model-1 (Routine) Rp, 99.847,- dan Model-2 (Routine + crash program) Rp. 57.048,-.The most cost effective is crash program which is 42,92% (100 % : 57,08 %) of the cost of routine immunization. CE Ratio M2 : M1 = 1,8 : 3,15 with the biggest component is operational cost which is 53,2 % of the total cost.
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T12829
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Irawan
Abstrak :
Dewasa ini di Indonesia, campak masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Imunisasi campak telah dimulai tahun 1982 dan cakupan imunisasi mengalami peningkatan. Meskipun demikian, di beberapa daerah masih terdapat Kejadian Luar Biasa (KLB) campak, seperti halnya yang terjadi di Kabupaten Majalengka. Berdasarkan atas kenyataan ini, dilakukan penelitian yang mengkaji tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan cara pemberian imunisasi campak sesuai dengan SOP Imunisasi di Kabupaten Majalengka, tahun 2002, yang terdiri atas beberapa variabel, antara lain : lama masa kerja, pendidikan, pengetahuan, pelatihan, sikap, perilaku, jarak, transportasi, kelengkapan imunisasi, vaksin campak yang dipergunakan oleh petugas kesehatan di Puskesmas dan insentif. Penelitian dilakukan di Kabupaten Majalengka tahun 2002 dengan mempergunakan disain studi potong-lintang (cross sectional), serta mempergunakan data primer yang diperoleh melalui observasi dan wawancara, dengan responden yang berjumlah 209 orang yang merupakan seluruh populasi yang telah memenuhi kriteria sampel yang dimaksudkan. Analisis data meliputi analisis univariat, bivariat, multivariat dan deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa 4 (empat) dari 11 (sebelas) variabel yang diperoleh adanya hubungan yang bermakna secara statistik, antara lain : pelatihan petugas (OR = 3,54; 95% CI = 1,42 - 8,82; p = 0,007), pengetahuan (OR = 5,69; 95% CI = 2,10 - 15,44; p = 0,001), sikap (OR = 3,45; 95% CI = 1,40 - 8,50; p = 0,009), dan perilaku (OR 2,26; 95% CI = 0,94 - 5,45; p = 0,068). Selanjutnya, pada penelitian ini tidak ditemukan adanya interaksi pada faktor risiko yang berhubungan dengan cara pemberian imunisasi campak. Dari hasil penelitian ini disarankan, bahwa masih perlu adanya peningkatan pelatihan bagi petugas kesehatan. Dengan demikian, diharapkan akan mampu trampil dalam memberikan pelayanan imunisasi campak kepada sasaran, terutama dalam hal cara pemberian imunisasi campak kepada sasaran. Di samping itu, dengan adanya pelatihan akan dapat menjawab masalah kebutuhan tenaga imunisasi campak di Puskesmas, Kabupaten Majalengka. Adanya peningkatan pendidikan dan pengetahuan juga perlu diperhatikan. Selain itu, perlu dipertimbangkan adanya upaya-upaya untuk meningkatkan pengetahuan. Dengan kata lain masalah pelatihan, pendidikan dan pengetahuan petugas perlu dipertimbangkan secara khusus. Factors Related to the Staff Obedience to the Measles Immunization Method in Accordance with the SOP of Immunization the Regency of Majalengka in 2002In Indonesia, recently measles is a public health problem. Through measles immunization in Indonesia, which had been established since 1982, it has been, increased the coverage gradually. However, it can be seen that measles outbreak in some areas, such as in the Regency of Majalengka has been occurred in other rural and urban areas. Based on these facts, a study was carried on investigating the factors related to the staff obedience to the measles immunization method in accordance with the SOP of Immunization, the Regency of Majalengka in 2002. The variables consist of: occupational period, education, knowledge, training, attitude, behavior, distance, transportation, completeness of measles immunization, measles vaccine used by staff in the Public Health and incentive. The study in the Regency of Majalengka in 2002, made use the cross-sectional design study, and primary data has been accepted through observation and interview, with 209 respondent, namely the whole population meeting the sample criteria mentioned above. Data were analyzed by univariate, bivariate, multivariate and descriptive analysis. The results of study showed, 4 (four) of 11 (eleven) variables was statistically significant correlation, those are: training (OR = 3.54; 95% CI = 1.42 - 8.82; p = 0.007), knowledge (OR = 5.69; 95% CI = 2.10 - 8.82; p = 0.001), attitude (OR = 3.45; 95% CI = 1.40 - 8.50; p = 0.009), and behavior (OR = 2.26; 95% CI = 0.94 - 5.45; p = 0.068). Furthermore, this study did not show any interaction of risk factors related of the measles immunization. Based on the research, it is necessary suggested to improve training for the staff gradually. In this way, as was mentioned above, hope to be able to skilled up the staff in order to make a better measles immunization service, mainly in relation to the measles immunization of the target. In addition, by the training, it is hope, the problem of the need of measles immunization staff in the Public Health; the Majalengka Regency can be applied properly. It was also considered necessary to improve knowledge and education efforts. The other words, training, knowledge and education of the staff are necessary given a special attention.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T11189
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oki Zulkifli Duski
Abstrak :
Penyakit campak adalah penyakit infeksi viral akut yang mudah ditularkan, sehingga hampir semua anak yang dilahirkan pernah ketularan penyakit ini, sebagian besar sebelum mencapai umur 5 tahun. Imunisasi campak merupakan cara yang paling cost efektif untuk menanggulangi penyakit campak di masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan status imunisasi campak dengan kejadian campak pada anak usia dibawah 5 tahun di Desa Pagerageung Kecamatan Pagerageung Kabupaten Tasikmalaya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk pengelola program imunisasi. Metode penelitian ini dirancang dengan Studi Historical Cohort ( Kohort Retrospektif ), dimulai dari keterpaparan. Terpapar adalah anak yang tidak diimunisasi campak sedangkan yang tidak terpapar adalah anak yang diimunisasi campak. Jumlah yang terpapar sebanyak 84 orang dan yang tidak terpapar 84 orang. Variabel yang diteliti meliputi faktor status imunisasi, pendidikan, pengetahuan dan sikap Ibu, serta kepadatan dan ventilasi hunian ditambah dengan efikasi vaksin. Hasil penelitian menunjukan variabel yang berpengaruh terhadap kejadian campak adalah status imunisasi ( RR= 3,2 ), kepadatan ( RR= 3,3 ) dan ventilasi hunian ( RR= 3,9 ). Hasil efikasi vaksin adalah 50%, yang menunjukkan kedayagunaan vaksin masih rendah. Melihat hasil penelitian maka disarankan kepada Puskesmas untuk meningkatkan cakupan imunisasi campak ( UCI = 100% ) terutama daerah kantong, serta mengusulkan ke Kabupaten melalui Camat untuk mengadakan program rumah sehat terutama daerah potensial wabah. ...... Corelation of Measles Immunization Status with Measles Incident on The 5 Years Lower Age of Children When Measles Epidemic Disease at Pagerageung Village of Pagerageung Sub District of Tasikmalaya 2000. Measles Disease is viral acute infectious disease marked by fever and small red spots that cover the whole body when easy spread, so all the baby has been disease infected, before 5 years. Measles immunization which is effective cost to cope with measles disease at population. The research objections is know about of correlation measles immunization status with measles incidence on the 5 years lower age of children at Pagerageung Village of Pagerageung Sub District of Tasikmalaya. The result of research could be giving of mind contribution supporting of immunization management programs. The research method started from the exposure with Cohort Historical Study Designed. The exposure is whose the children of measles immunization and but, Unexposure is whose the children with measles immunization. Whose the exposure about 84 person and unexposure about it 84 person. The research variables is immunization factor status, education, knowledge and mother attitude, also densely and occupancy ventilation with increase of vaccine effication. The result research to show that variable which in influential on the measles incident is immunization status (RR=3,2), densely (RR=3,3) and occupancy ventilation (RR=3,9). Vaccine effication result is 50%, which show that still low vaccine efficiency. So would be suggestive to health society center for increasing measles immunization coverage (UCI=l00%) at local epidemic especially and have to suggest to regent pass through Sub District for organizing health house programs as specially at local of epidemic potential.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T1492
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Nuraprilyanti
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasikan perilaku ibu dan faktorfaktor yang berhubungan dengan perilaku ibu dalam pemberian imunisasi campak pada bayi di Kec.Pancoran Mas, Depok tahun 2009. Desain studi yang digunakan adalah cross sectional dimana setiap subjek diobservasi sekaligus pada saat yang sama. Populasi penelitian ini adalah seluruh ibu yang mempunyai anak usia 9 sampai dengan 15 bulan di Kec. Pancoran Mas Depok. Pemilihan sampel menggunakan rancangan klaster dimana populasi dipilih berdasarkan dari subjek atau kesatuan analisis yang berdekatan satu dengan yang lain secara geografis dengan jumlah 100 ibu. Teknik pengumpulan data melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner. Pengolahan data menggunakan program komputer, disajikan secara univariat dan bivariat. Hasil penelitian adalah persentase ibu yang memberikan imunisasi campak sebesar 81,5% dan yang tidak memberikan imunisasi campak sebesar 18,5%. Hasil analisis bivariat menunjukkan ada hubungan bermakna secara statistik antara pengetahuan, sikap, tingkat pendidikan, sarana, dukungan suami, dan keterpaparan informasi terhadap perilaku ibu dalam pemberian imunisasi campak pada bayi. Untuk meningkatkan cakupan imunisasi campak, disarankan agar Dinas Kesehatan Kec. Pancoran Mas Depok meningkatkan kegiatan pelatihan pada petugas Puskesmas yang nantinya petugas Puskesmas dapat melakukan pelatihan bagi kader sehingga dapat meningkatkan pengetahuan ibu dan kesadaran dalam mengimunisasi campak anaknya.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hatta
Abstrak :
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) terutama Pneumonia merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada bayi dan anak balita di negara berkembang, sekitar 4 juta kematian disebabkan oleh penyakit ISPA terutama Pneumonia. Di kabupaten Ogan Komering Ulu Sumatera Selatan penyakit Pneumonia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dimana pneumonia menempati urutan teratas dalam sepuluh penyebab kesakitan yang mempunyai kontribusi sebesar 53,42 %. Sementara angka cakupan imunisasi campak masih relatif rendah (70 %, tahun 1998). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan imunisasi campak dengan kejadian pneumonia pada balita dan faktor risiko lainnya di kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan tahun 2000. Studi ini menggunakan desain kasus kontrol, dengan 141 sampel dimana kasus adalah balita umur 9-59 bulan, menderita pnemonia yang datang ke Puskesmas, sedangkan kontrol adalah balita umur 9-59 bulan yang datang ke Puskesmas, tetapi tidak menderita pnemonia ataupun ISPA. Data diperoleh dari basil wawancara dengan menggunakan kuesioner pada responden ibu balita dan dianalisa dengan analisis univariat, bivariat (Chi Square) dan multivariate (Logislic Regression). Hasil akhir uji multivariat menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara imunisasi campak dengan kejadian pnemonia pada balita umur 9-59 bulan (DR= 2,307; p~,003 ). Dapat dikatakan bahwa risiko terkena pneumonia pada balita umur 9-59 bulan yang tidak diimunisasi campak 2,3 kali lebih besar dibandingkan dengan balita umur 9-59 bulan yang telah diimunisasi campak. Disamping variabel imunisasi campak ada 5 variabel lain yang mempengaruhi kejadian pneumonia di kabupaten OKU, sebagai berikut: Pendidikan ibu (OR=2,037; p=0,013), pengetahuan ibu (OR=2,364: p=0,005), polusi asap dapur (OR=2,99; p=0,002), kepadatan rumah (OR= 3,247; p= 0,0005) dan jarak ke sarana kesehatan (OR=0,43 1; p= 0,007). Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan kepada pengambil keputusan guna lebih memberi perhatian kepada keluarga balita (9-59 bulan) yang belum diimunisasi campak, berpendidikan rendah, berpengetahuan rendah, keadaan rumah yang jelek (polusi asap dapur), rumah yang padat huni dan yang jauh dari pelayanan kesehatan. ......The Relationship Between Measles Imunization and Pneumonia Insidens on Underfive Years Old Children in Ogan Komering Ulu (Oku) District, South Sumatera, in 2000.The Acute Respiratory Tract Infection (ARI) especially pneumonia is main cause of morbidity and mortality on infant and under five years old children in developing countries. There are 4 million death caused by ARI especially pneumonia. In Ogan Komering Ulu (OKU) district, South Sumatera province, the pneumonia still became Community Health Problem. Pneumonia was the first rank of ten cause of morbidity that contributed 53,42 %, while the measles immunization coverage still low(70 %, year 1998). This study was conducted to know the relationship between measles immunization and other risk factors with pneumonia on under five years old children in OKU district, South Sumatera province in 2000. The study design used in this study is Cases Control, with cases are 141 children age 9 - 59 month children suffered from pneumonia who attending health center. While the control was taken from age 9-59 month children without the diseases, who attending the some Health Center. The data was collected by interviewed from the children's mother using questioner. The analysis method of univariate, bivariate (Chi Square) and multivariate (logistic regression) was used in the study. The result of the study show that a statistical significance association between measles immunization with pneumonia on 9-59 month children (p= 0,003 ; 0R=2,307). It can be said that pneumonia risk on under five years old children without measles immunization arc 2,3 time larger than that of under five years old children with measles immunization. Beside measles immunization, there are 5 other variables that also associated with pneumonia risk in OKU district such as: mothers education(UR=2,307; p=0,013), mothers knowledge (OR=2,364; p=0,005), kitchens smoke pollution (OR= 2.99: p=4.002). house density(OR=3,247;p= 0,000) and the house distance to health services(CR=0,431; p=O,OO7. Based on the study result, it was suggested that the policy maker have to pay more attention to family with under five years old children who have not gotten yet the measles immunization, whose mother has low education, and low knowledge, who have bad condition and has high density of house, and whose house long far from health services.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T2750
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasan Al Faruk
Abstrak :
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Definisi pneumonia yang diperkenalkan oleh WHO pada tahun 1989 dan dipakai oleh Depkes RI dalam program penanggulangan ISPA/pneumonia secara nasional adalah suatu penyakit dengan gejala batuk pilek yang disertai napas sesak atau napas cepat. Penyakit yang disebabkan oleh gangguan saluran pernapasan di Kota Tasikmalaya terdapat pada urutan pertama dari 10 besar penyakit terbanyak yang melaksanakan rawat jalan ke puskesmas yaitu 18,10%. Sedangkan khusus yang disebabkan oleh pneumonia terdapat di urutan keenam yaitu 5,15%. Hal tersebut dapat disebabkan karena masih rendahnya cakupan ASI eksklusif yang hanya sebesar 31,2%, rendahnya cakupan vit A dosis tinggi yang hanya sebesar 43,77% dan kelihatannya tidak terpengaruh oleh tingginya cakupan imunisasi sebesar 92,32%; disamping juga masih dapat dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya. Program ISPA/pneumonia di Kota Tasikmalaya telah dilaksanakan mulai sekitar tahun 1991, namun sampai saat ini penderita pneumonia masih tetap tinggi dan masih menjadi permasalahan, baik di masyarakat luas maupun di Dinas Kesehatan Kota sebagai pengelola program penanggulangan. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan tujuan ingin mengetahui hubungan ketiga variable independen di atas terhadap kejadian pneumonia pada balita usia 12-59 bulan yang dilayani puskesmas di Kota Tasikmalaya Tahun 2002. Rancangan penelitian memakai studi kasus kontrol tidak berpadanan dengan populasi seluruh anak balita usia 12-59 bulan yang berkunjung dan berobat ke puskesmas di Kota Tasikmalaya dari bulan April-Mai 2002 serta dicatat pada register rawat jalan puskesmas yang bersangkutan. Sampel minimal yang dibutuhkan sebanyak 100 balita kasus dan 100 balita kontrol dengan perbandingan 1:1. Selanjutnya data diolah dan dianalisis secara univariat, bivariat dan multivariat dengan bantuan perangkat computer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara ketiga variabel independen utama yang diteliti yaitu ASI eksklusif, vit A dosis tinggi dan imunisasi campak terhadap kejadian pneumonia pada balita yang disertai adanya variabel interaksi yaitu antara ASI dengan vit A. Rincian singkat hasil penelitian dapat dilihat seperti berikut ini:
1. Pada saat interaksi = 0; hubungan ASI terhadap kejadian pneumonia bermakna dengan nilai OR=9,018 (95% CI : 3,258-24,956), p = 0,000 dan hubungan vit A terhadap kejadian pneumonia bermakna dengan nilai OR=19,717 (95% CI : 4,958-78,414), p = 0,000.
2. Pada saat interaksi = 1; hubungan ASI atau vit A terhadap kejadian pneumonia bermakna dengan nilai OR = 0,083 (95% CI : 0,017-0,391), p = 0,002.
3. Hubungan pemberian imunisasi campak terhadap kejadian pneumonia bermakna dengan nilai OR=2,879 (95% CI : 1,418-5,844), p = 0,003. Penanggulangan pneumonia dapat dilakukan melalui beberapa kegiatan seperti peningkatan pemberian ASI eksklusif, pemberian Vit A dosis tinggi dan program kesehatan dan pemberian imuniasi campak kepada balita dengan cara:
1. Penyuluhan yang intensif melalui berbagai media terhadap ibu balita.
2. Pelatihan dan pengawasan terhadap petugas pengelola program gizi, KIA dan program imunisasi.
3. Koordinasi lintas program dan lintas sektoral dengan memberdayakan kader kesehatan yang terlatih. ...... The Connection between Exclusive Breast Feeding Given, High Dosage Vitamin A, and Measles Immunization to Pneumonia Cases at 12-59 Months Old Children, Which Serves by Public Health Center in Tasikmalaya Town, West Java in 2002Pneumonia is an acute infection process that attacks lung's tissues (alveoli). The pneumonias definition that WHO given in 1989 and been using by Ministry of Health of Indonesia Republic at acute respiratory infection/pneumonia's decreasing program is cold cough symptom or quick breathing. The diseases that caused by lung's problems in Tasikmalaya Town take the first place from the big 10 diseases, which public health center served home ward, which is 18,10%. Where as, the pneumonia cases took the sixth (5,15%). This cases could be caused by the low exclusive breast feeding coverage (31,2%), the low- usage high dosage vitamin A (43,77%) and immunization (92,32%) that's not running so effective and influenced; in other side there's many variables that could influence this case. Acute respiratory infection/pneumonia's program in Tasikmalaya Town has been conducted since 1991, but the pneumonia's cases still high and still become problems, even is society and Public Health Council as the tackle conductor program. Because of that, the writer has interest to do research to fine out the connection between those three independent variables to the pneumonia's cases to 12-59 months old children that served by public health center in Tasikmalaya in 2001. The research's design is using the case control that not connected to the number or quantity of 12-59 months olds children that visited and having care in public health center in April-May 2002 that been record in public health center home ward registration. The minimum samples needed was 100 toddler's case and 100 control toddlers with ratio 1 : L Then, the date have been processed and analyzed by univariant, bi-variant and multi-variant with computers help. The research found that there's a real connection that statistically showed between those independent variables; the exclusive breast feeding, high dosage vitamin A, and measles immunization, to the toddler's pneumonia cases, also sown the interaction variables between breast feeding with vitamin A usage. The short details of the research's result shown below:
1. Exclusive breast feeding given: at 0 interaction; OR= 9,018 (95% CI=3,258-24,956), p=0,000 and at 1 interaction; OR 3,083 (95% CI=0, 017-0,391), p=0,002.
2. Vitamin A usage: at 0 interaction; OR = 19,717 (95% CI=4,958-78,414), p=0,000 and at 1 interaction; OR=0,083 (95% CI= 0,017-0,391), p=0,002.
3. Measles immunization: OR = 2,879(95% CI = 1,418-5,844), p=0, 003. Developing some actions such as, exclusive breast feeding given, high dosage vitamin A given by public health program, and toddler's measles immunization could do the pneumonia tackle, for examples:
1. Intensive health education promotion trough medias about infant's mothers.
2. Training and controlling to nutrient program's conductor officers, infant's mothers program, and immunization programs.
3. Cross-programs and cross-sector coordination with empowered the well-trained public health cadres.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T 10649
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Olivia Esrana
Abstrak :
Penyakit campak sangat menular terutama menyerang anak-anak yang tidak mempunyai kekebalan terhadap penyakit campak. Penyakit campak merupakan masalah kesehatan yang cukup serius baik di negara maju maupun negara berkembang, walaupun dapat dicegah dengan imunisasi namun KLB masih sering terjadi. Di Indonesia imunisasi campak dimulai tahun 1983 dan cakupan campak 80 % telah dicapai pada tahun 1990 dan dapat dipertahankan sampai sekarang. Namun cakupan tinggi belum terdistribusi merata sampai ke desa, sehingga masih terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) campak yang sering mengakibatkan kematian khususnya pada anak dengan gizi buruk. Cakupan tinggi menyebabkan terjadinya pergeseran umur penderita campak, bukan hanya pada balita tetapi mulai tinggi pada anak sekolah. Perubahan pola epidemi campak merubah strategi program. Serta mengacu kepada sidang WHA untuk menurunkan angka insidens campak sebesar 90% dan angka kematian campak sebesar 95%, dan sidang WHO 1996 yang menyatakan kemungkinan penyakit campak dapat dieradikasi karena pejamu hanya manusia. WHO membuat target global eradikasi campak pada tahun 2005 - 2010 dan menilai kinerja setiap negara terhadap upaya pengendalian campak. Berdasarkan kriteria WHO, maka Indonesia saat ini masuk dalam phase reduksi kasus dan pencegahan KLB campak. Namun strategi pencapaian diserahkan pada kemampuan keuangan masing-masing negara. Untuk mengantisipasi hal tersebut selain irunisasi rutin bayi, pada tahun 2000 telah diberikan imunisasi campak tambahan pada anak sekolah kelas 1 - 6 SD (catch up) di 2 propinsi (DKI Jakarta & Jawa Barat), serta crash program campak anak balita di desa rawan campak (resiko tinggi) di 13 propinsi di Indonesia. Sebelum mengadop kegiatan catch up ke propinsi lain serta mengingat keterbatasan keuangan negara, maka diperlukan evaluasi ekonomi analisis biaya hasil (cost effectiveness analysis) dari kegiatan campak tambahan tersebut. Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mendapatkan gambaran tentang model kegiatan imunisasi campak yang paling "cost effective" dalam upaya pengendalian campak, mengetahui biaya satuan per kegiatan serta komponen biaya terbesar, juga untuk mengetahui kecenderungan penurunan kasus setelah imunisasi campak tambahan dilaksanakan. Penelitian dilakukan di Kabupaten Bogor di 56 puskesmas yang terdiri dari 28 Puskesmas Desa UCI yang melaksanakan imunisasi rutin dan catch up (model-2) dan 28 Puskesmas Desa Non-UCI yang melaksanakan imunisasi rutin, catch up dan crash program (model-3) pada tahun 2000 dan sebagai pembanding adalah puskesmas yang soma (tahun 1999) yang hanya melaksanakan imunisasi rutin (model-1). Rancangan penelitian studi operasional (OR) evaluasi ekonomi analisis biaya efektif (CEA). Berdasarkan jenis data retrospektif dengan analisa deskriptif. Hasilnya adalah biaya satuan: rutin Rp.8.141, catch up Rp.3.275, crash program Rp. 3.552. Biaya satuan yang paling cost effective adalah pada kegiatan masal catch up yaitu 40% dari biaya satuan rutin. Komponen biaya yang terbesar dari 3 kegiatan dan model imunisasi adalah pada biaya operasional (96,50% - 99,96%). Sedang jenis biaya terbesar pada biaya operasional imunisasi rutin adalah biaya vaksin, gaji, alat suntik dan transport lapangan. Hanya pada daerah sulit, transport lapangan lebih tinggi dart biaya alat suntik. Untuk kegiatan catch up dan crash program biaya operasional terbesar adalah biaya vaksin, alat suntik dan gaji. Terjadi penurunan kasus campak yang bermakna pada puskesmas yang sama, dengan membandingkan kegiatan imunisasi model-2 dan model-3 (tahun 2000) terhadap model-1 (1999). Penurunan kasus di puskesmas model-2 sebesar 49,5% dan di puskesmas model-3 sebesar 59,4%, sedangkan di Kabupaten Bogor penurunan kasus campak sebesar 65,3%. Pada tahun 2000 dikedua kelompok model penelitian dan di Kabupaten Bogor tidak terjadi KLB campak, dimana selama 9 tahun (1991-1999) selalu terjadi KLB campak. Proporsi penurunan kasus terbesar terjadi pada kelompok umur balita yaitu di puskesmas model-2: umur < 1 tahun (66,2%), dan umur l - 4 tahun (68,3%). Di puskesmasmodel-3: umurcl tahun (50%) dan 1 - 4 tahun (75,1%). Soma dengan di,Kabupaten Bogor penurunan kasus campak terbesar pada kelompok umur balita yaitu < 1 tahun (72,5%) dan umur 1 - 4 tahun (76,2%). Berdasarkan hasil CE-ratio dart kedua model imunisasi campak tambahan, model yang paling cost effective adalah model-2 yaitu imunisasi rutin bayi dan catch up anak SD. Model-2 ini efektif untuk menurunkan kasus dan mencegah terjadinya KLB berarti dapat memutuskan transmisi virus dari anak sekolah kepada anak balita dirumah, namun demikian untuk menghilangkan desa rawan campak kegiatan crash program harus tetap dilakukan di desa-desa dengan cakupan rendah 2-3 tahun.
Measles is a serious infectious disease afflicted predominantly children under five who are susceptible to the disease. In most developing countries, measles is still one of the leading causes of children morbidity and mortality. Instead of significant achievement of EPI Program, outbreaks of measles are still frequently occurred. Measles vaccine was introduced and included into routine EPI in 1983 and UCI coverage (> 80 %) was achieved in 1990, and has been sustained until now. The problem that we are facing is the UCI coverage is not equally distributed which leads to the occurrence of measles outbreaks in pocket villages. The outbreaks claim many deaths among malnourished children. High coverage of measles vaccination has shifted the age of the cases to the right, where older children are affected and not only children under five. The changes of this disease pattern calls for revision of the EPI program strategy. The changes of the strategy is also revered to WHA resolution which has set the target of measles disease reduction by 90% and mortality reduction by 95%. Due to the natural history of disease, with potent vaccine measles could be eradicated like smallpox and polio. WHO has set the global target for measles eradication in 2005 - 2010 and plays a great roles in evaluating the performance of it's member countries towards measles eradication. WHO has conducted external evaluation and considered Indonesia is now at the stage of measles reduction and prevention of measles outbreaks occurrence. WHO member countries implemented different strategies in achieving their measles reduction target, it is very much depend on the available resources of each country. Indonesia, beside routine basic immunization program to infant has also in the year 2000 introduced additional measles vaccination to school children year 1 -- 6 elementary school in DKI Jakarta and West Java which is known as catch-up activities. Crash program for children under five was also introduced in measles high risk areas in 13 provinces. The introduction of catch-up campaign and crash program was based on epidemiological evidence. Cost effectiveness analysis need to be undertaken before deciding to adopt catch-up campaign and crash program approaches as national policy. The objectives of the cost effectiveness analysis study are to get better picture and better understanding of the most cost effective model of measles vaccination, unit cost for each activity, the biggest budget component, trend of measles reduction after additional measles vaccination been implemented. The study was conducted in Bogor Regency involved 56 health centres, consists of 28 health centres have achieved village UCI coverage in 2000, which are implementing routine immunization and catch-up campaign (model-2) and 28 health centres who have not achieved village UCI coverage in 2000 which are implementing routine immunization, catch-up as well as crash program (model-3) control health centres were the same health centres who in 1999 implemented routine immunization (model-1) only. The study design was operational research (OR), economic evaluation cost effectiveness analysis (CEA). Using retrospective data with descriptive analysis. From data analysis it is evidence that the unit cost for different approaches are the following: - Routine immunization Rp. 8141 - Catch-up campaign Rp. 3275 - Crash program Rp. 3552 The most cost effective is catch-up campaign which is only 40% of the cost of routine immunization. The biggest component of those three different approaches comes from the operational cost which is 96,5% - 99,96% of the total cost. In routine, the biggest cost of the operational cost is for vaccine, salaries, syringes and transportation. Only in remote different areas cost for transportation is bigger than cost for syringes. In catch-up campaign and crash program the biggest operational cost are for vaccines, syringes, salaries. It is evidence that there has been significance reduction of measles cases in model-2 and model-3 approaches (2000) as compare to model-1 (1999). Measles reduction in health centres for model-2 approach 49,5%, model-3 approach 59,4%, while for the whole Bogor Regency the measles reduction was 65,3%. It is also found that in 2000, measles outbreaks was not occurred in the study areas and in the Bogor Regency where in the last 9 years (1991-1999) measles outbreaks has always been occurred. If we look at the age distribution the significant reduction was found in underfive group. Health centres model-2: < 1 year (66,2%), 1 - 4 years (68,3%). In health centres model-3: < 1 year (50%), I - 4 years (75,1%). Similar figure is also found in Bogor Regency where significant measles reduction was in underfive age group; < 1 year (72,5%), 1 - 4 years (76,2%). Finally, based on CE-Ratio calculation, model-2 was the most cost effective which include routine immunization and catch-up campaign for elementary school children. In conclusion model-2 is effective to reduce cases and to prevent measles outbreaks and is capable to cut the viral transmission from school children to children under five in their respective households. Hence, to reduce the number of high risk villages, crash program should be implemented continuously in low coverage villages at least for
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Dian Fatmawati
Abstrak :
Latar belakang. Cakupan imunisasi campak di Indonesia mencapai 80% namun prevalens campak di Indonesia masih tinggi, terutama pada anak usia 1-4 tahun. WHO merekomendasikan pemberian imunisasi campak ke-2 pada tahun kedua kehidupan. Di Indonesia diberikan pada usia 15-18 bulan dalam kombinasi vaksin MMR. Sayangnya cakupan imunisasi MMR masih rendah sehingga Depkes merekomendasikan pemberian imunisasi campak ke-2 pada usia 2 tahun untuk meningkatkan imunitas seorang anak terhadap penyakit campak. Tujuan. Penelitian ini untuk mengetahui: (1) proporsi anak usia 1-4 tahun yang telah mendapatkan imunisasi campak 1 kali yang memiliki antibodi campak mencapai kadar protektif dan rerata kadar antibodinya, (2) proporsi anak usia 1-4 tahun yang telah mendapatkan imunisasi campak ≥ 2 kali yang memiliki antibodi campak mencapai kadar protektif dan rerata kadar antibodinya, (3) hubungan antara usia saat diperiksa kadar antibodi campak, usia saat imunisasi, status gizi, kondisi kesehatan saat imunisasi campak terhadap antibodi campak, (4) hubungan antara pemberian imunisasi campak dosis ke-dua terhadap antibodi campak. Metode. Penelitian potong lintang di 6 posyandu di 5 wilayah DKI Jakarta pada bulan Juni hingga Agustus 2014. Anak yang memenuhi kriteria inklusi diperiksa kadar IgG campak. Dari hasil pemeriksaan IgG campak, kemudian ditentukan apakah mencapai kadar protektif atau tidak dan rerata kadar antibodinya. Dicari apakah terdapat hubungan antara imunisasi campak dosis ke-dua dengan kadar antibodi campak. Hasil. Dari 145 subjek penelitian, 125 subjek (86,2%) memiliki kadar antibodi campak yang mencapai kadar protektif (≥ 120 mIU/ml) dan 20 subjek (13,8%) memiliki kadar antibodi campak yang tidak mencapai kadar protektif (< 120 mIU/ml). Median kadar antibodi campak pada kelompok protektif adalah 844 mIU/ml, dengan nilai minimum 129 mIU/ml dan nilai maksimum 5000 mIU/ml. Kelompok usia 3-4 tahun memiliki kadar antibodi campak yang mencapai kadar protektif terbanyak (91,8%) dibanding kelompok usia 2-3 tahun (88,2%) dan 1-2 tahun (72,7%). Tidak didapatkan hubungan antara usia saat mendapatkan imunisasi campak dan status gizi terhadap kadar antibodi campak. Simpulan. (1) Proporsi anak usia 1-4 tahun yang mendapatkan imunisasi campak 1 kali dan memiliki antibodi campak mencapai kadar protektif sebesar 77% (54/70) dengan median kadar antibodinya adalah 733,5 mIU/ml, (2) Proporsi anak usia 1-4 tahun yang mendapatkan imunisasi campak ≥ 2 kali dan memiliki antibodi campak mencapai kadar protektif sebesar 94,6% (71/75) dengan median kadar antibodinya adalah 885 mIU/ml. (3) Pemberian imunisasi campak ≥ 2 kali meningkatkan timbulnya antibodi campak yang mencapai kadar protektif sebesar 1,227 kali dibanding pemberian imunisasi campak 1 kali. ...... Background. Indonesia measles immunization coverage reach 80% but measles prevalence remains high especially in children 1-4 years old. WHO recommended second dose of measles containing vaccine at second year of age. In Indonesia, it has been done through MMR vaccine at 15-18 month. Unfortunately MMR immunization coverage still low and Ministry of Health recommended second dose of measles containing vaccine for all 2 years old children who have never been immunized with MMR vaccine at 15-18 month to increase the immunity against measles. Objectives. This study aimed to know: (1) proportion of children 1-4 years old who has been immunized one time measles vaccine and reach protective antibody level and mean of antibody, (2) proportion of children 1-4 years old who has been immunized twice or more measles vaccine and reach protective antibody level and mean of antibody, (3) association between age, age of immunization, nutritional status, and health status when being immunized with measles antibody level, (4) association between second dose of measles vaccine with measles antibody level. Methods. Cross-sectional study performed in 6 posyandu in 5 region of Jakarta since June until August 2014. Children who met the inclusion criteria were checked for measles IgG, identified for reaching protective level and mean of antibody. Association between second dose of measles vaccine with measles antibody level was also measured. Results. From 145 participants, 125 (86,2%) had protective measles antibody level (≥ 120 mIU/ml) and 20 (13,8%) had not reached protective level (< 120 mIU/ml). The median measles antibody level in protective group was 844 mIU/ml, with minimum point was 129 mIU/ml and maximum point was 5000 mIU/ml. Children in 3-4 years old group had highest percentage of protective measles antibody level (91,8%) compare to children in 2-3 years old group (88,2%) and 1-2 years old group (72,7%). There were no association between age of immunization and nutritional status with measles antibody level. Conclusion. (1) Proportion of children 1-4 years old who has been immunized one time measles immunization and reach protective measles antibody level was 77% (54/70) with the median of measles antibody level was 733,5 mIU/ml, (2) Proportion of children 1-4 years old who has been immunized twice or more measles immunization and reach protective measles antibody level was 94,6% (71/75) with the median of measles antibody level was 885 mIU/ml, (3) Twice or more measles immunization will increase protective level of measles antibody 1,227 times compare to one time measles immunization.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library