Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nur Annisa Khalish Zarkasya
Abstrak :
Fenomena gerakan tanda pagar #MeToo & #BalanceTonPorc menjadi sorotan di berbagai belahan dunia pada tahun 2017 yang dipopulerkan pertama kali oleh Alyssa Milano di akun Twitter nya menjadi tanda pagar #MeToo, kemudian diikuti oleh Sandra Muller dengan #BalanceTonPorc di Prancis. Gerakan feminisme di media sosial menginspirasi banyak seniman dan musisi salah satunya Angèle penyanyi asal Belgia dengan lagu dan video musiknya berjudul Balance Ton Quoi (2019). Angèle menyatakan bahwa jiwa aktivis feminisme di dalam dirinya bergerak hingga lagunya menjadi himne feminisme. Penyampaian pesan di dalam video musiknya kerap dibalut dengan sentuhan humor subversif. Penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan bagaimana humor subversif di dalam korpus video musik Balance Ton Quoi dapat menjadi bentuk resistensi terhadap seksisme. Metode penelitian kualitatif oleh Creswell & Poth (2016) dengan korpus penelitian video musik Angèle berjudul Balance Ton Quoi. Teori penelitian yang digunakan antara lain, semiotika Barthes (1957) dalam buku berjudul Mythologies, humor subversif Kramer (2015), dan resistensi Scott (1992) mengenai resistensi terbuka dan resistensi tertutup. Penelitian ini menggunakan lima adegan humor subversif yang dipilih. Hasilnya menunjukkan bahwa perbandingan penggunaan resistensi terbuka dan tertutup adalah 2:4. Selain untuk mengedukasi, resistensi terbuka lebih digunakan demi menciptakan perubahan sosial yang lebih luas, mengungkapkan ketidakadilan, dan membangun solidaritas di antara korban dan pendukung agar menarik massa lebih banyak. Terlebih, pesan ini harus sampai terlebih dahulu kepada objek yang menjadi bahan lelucon sarkas dalam adegan video musik yaitu, para penganut ideologi patriarki, pria, dan pelaku pelecehan seksual. ......The phenomenon of the #MeToo and #BalanceTonPorc hashtags became the focus of attention in various parts of the world in 2017. It was first popularized by Alyssa Milano on her Twitter account using the #MeToo hashtag, and later followed by Sandra Muller with #BalanceTonPorc in France. The feminist movement on social media inspired many artists and musicians, including Angèle, a singer from Belgium. She released a song and music video titled "Balance Ton Quoi" (2019), in which she expressed that the activist spirit of feminism resides within her, turning her song into a feminist anthem. The messages conveyed in her music video are often wrapped in subversive humor. This research aims to demonstrate how subversive humor in the "Balance Ton Quoi" music video can be a form of resistance against sexism. The qualitative research method by Creswell & Poth (2016) is used, focusing on the corpus of Angèle's music video "Balance Ton Quoi." The research draws upon various theories, including Barthes' semiotics (1957) from the book "Mythologies," Kramer's subversive humor (2015), and Scott's notions of public and hidden transcript (1992). Five selected scenes of subversive humor are analyzed, and the results show that the ratio of public to hidden transcript is 2:4. Public transcript is predominantly used not only for educational purposes but also to bring about broader social change, expose injustices, and build solidarity among victims and supporters to attract a larger audience. Moreover, the message must first reach the objects of sarcastic mockery in the music video, namely, adherents of patriarchal ideology, men, and sexual harassers.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Adetya Sarah Widowati
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menginterogasi kontribusi teoretis dan praktis dari gerakan MeToo yang muncul melalui tagar MeToo di Twitter dan beberapa artikel berita. Dengan menggunakan analisis wacana kritis dengan pendekatan Perubahan Sosial yang ditawarkan oleh Norman Fairclough, twit teratas yang berisi tanda pagar MeToo dikumpulkan dan dianalisis berdasarkan dua kasus tuduhan pelecehan seksual terhadap Harvey Weinstein dan Brett Kavanaugh. Selain itu, kontribusi MeToo dalam aspek metode distribusi, partisipasi, pemikiran, dan kontinuitas gerakan juga dapat dilihat pada sejumlah artikel di media massa. Dengan kekuatan media sosial dan media massa, MeToo sebagai hashtag activism telah memotivasi jutaan perempuan Amerika untuk menyuarakan kisah mereka tentang pelecehan seksual yang sebelumnya dibungkam. Dengan mengaplikasikan gagasan Manuel Castells tentang transformasi emosi menjadi tindakan yang berperan dalam mobilisasi sosial, diskusi pada penelitian ini menemukan bahwa cerita pribadi yang dibagikan ke ruang publik telah memicu emosi para pengguna media sosial dan mendorong mereka untuk mengambil tindakan. Penelitian ini lebih jauh berargumen bahwa gerakan MeToo berkontribusi dalam meningkatkan kesadaran tentang relasi kekuasaan, membuat cerita para penyintas lebih didengar dan dipercaya, serta melindungi para penyintas melalui penegakan hukum. Dari beberapa kontribusi tersebut, penelitian ini menyimpulkan bahwa gerakan MeToo akan terus tumbuh dan memberikan dampak jangka panjang terhadap gerakan perempuan di Amerika Serikat.
This study sets out to interrogate the theoritical and practical contributions of MeToo movement that emerge from MeToo hashtag on Twitter and several news articles. By using critical discourse analysis with Sociocultural Change approach offered by Norman Fairclough, the top tweets that contain MeToo hashtag were collected and analyzed by two particular sexual allegation cases against Harvey Weinstein and Brett Kavanaugh. In addition, MeToo`s contributions in the aspects of distribution method, participation, idea, and continuity of the movement can also be recognized through several articles in mass media. With the power of social media and mass media, MeToo as hashtag activism has motivated millions of American women to vocalize their silenced stories about sexual assault. Applying Manuel Castells` idea about the transformation of emotions into actions regarding social mobilization, it is found in the discussion that personal stories shared into public sphere have triggered social media users emotions and provoked them to take actions. This study further argues that the contributions of MeToo movement include raising awareness about power relations, making survivors stories more heard and believed, and protecting survivors through law enforcement. From the contributions, it suggests that MeToo movement will continuously grow and give long-lasting impacts to the womens movement in the United States.
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T52907
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azida
Abstrak :
Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak merek yang secara progresif terlibat dalam berbagai debat sosial (Holt, 2016) dalam kampanye pemasaran dan promosi mereka. Salah satu merek itu adalah Gillette, yang mengangkat tentang peran gender, khususnya maskulinitas, dalam iklan terbarunya. Penelitian ini menganalisis iklan audiovisual Gillette yang berjudul We Believe: The Best Men Can Be untuk melihat bagaimana laki-laki digambarkan dan mengkaji mengapa iklan tersebut mendapat banyak reaksi dengan melihat pesan dari iklan tersebut. Studi ini menggabungkan analisis tiga dimensi Fairclough dengan analisis wacana multimodal Kress untuk menganalisis narasi, visual, dan elemen nonverbal lainnya dari iklan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laki-laki digambarkan sebagai pelaku dari pelecehan dan penyerangan seksual. Akibatnya, mereka diminta untuk mengubah sikap dan perilaku mereka untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi perempuan dan menjadi panutan yang baik bagi anak laki-laki. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa iklan tersebut secara langsung merujuk pada gerakan #metoo, yaitu gerakan melawan pelecehan dan penyerangan seksual terhadap perempuan. Oleh karena itu, penelitian ini menyimpulkan bahwa reaksi tersebut berasal dari pesan iklan yang bias terhadap laki-laki, di mana mereka digambarkan bersalah, sedangkan perempuan dianggap sebagai korban. ......In recent years, more brands have progressively engaged in different societal debates (Holt, 2016) in their marketing and promotional campaigns. One of the brands is Gillette, which talks about gender roles, particularly masculinity, in its recent ad. The present study analyzes Gillette’s audiovisual ad titled We Believe: The Best Men Can Be to see how men are portrayed and examines why the ad receives lots of backlash by looking at the message of the ad. This study combined Fairclough’s three-dimensional analysis with Kress’s multimodal discourse analysis to analyze narratives, visuals, and other nonverbal elements of the ad. The results show that men are portrayed as the perpetrators of sexual harassment and assault. Consequently, they are asked to change their attitudes and behaviors to create a safe environment for women and be good role models for young boys. The results also show that the ad directly refers to the #metoo movement, which is a movement against sexual harassment and assault toward women. Therefore, the study concludes that the backlash comes from the message of the ad that is biased against men, in which they are portrayed as guilty, while women are regarded as the victims.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kitta Aquillah
Abstrak :
Penelitian ini membahas tentang gerakan sosial dan pembuatan kebijakan dengan studi kasus Gerakan #MeToo di California, Amerika Serikat yang berhasil memberikan pengaruh terhadap amendemen The California Fair Employment and Housing Act Tahun 2017. Argumen dari penelitian ini adalah bahwa pada era digitalisasi, pemanfaatan internet melalui media sosial membuka peluang baru bagi perkembangan gerakan sosial dari aspek kesempatan politik, struktur mobilisasi gerakan, serta pembingkaian isu yang digunakan. Terdapat beberapa temuan penting dalam penelitian ini. Pertama, kemajuan teknologi, informasi, dan komunikasi yang memengaruhi gerakan sosial, tidak berarti aktivisme gerakan bergantung pada aktivisme digital saja, tetapi aktivisme tradisional yaitu melalui aksi demonstrasi dan aksi pemogokan kerja juga tetap menjadi cara yang digunakan untuk memobilisasi gerakan sosial. Kedua, gerakan sosial saja tanpa dukungan maupun representasi politik yang kuat dari aktor yang berada di arena institusi sangat sulit untuk memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan mereka. Terakhir, pembingkaian isu dari gerakan #MeToo ini begitu masif meningkatkan partisipasi aktor-aktornya dikarenakan kampanye gerakan juga terbantu oleh seluruh kalangan, meliputi selebritas yang menyebarkan informasi dengan istilah cancel culture di media sosial. Hal-hal yang dapat dikembangkan dari penelitian ini adalah penggunaan analisis dari perspektif lain selain gerakan sosial dan pengaruh internet yang bertujuan untuk dapat memanfaatkan sumber daya lainnya untuk mengeliminasi isu kekerasan seksual yang terjadi di kehidupan sehari-hari. ......This research discusses social movements and policy-making using with the case study of the #MeToo Movement in California, the United States that influences the amendments of the California Fair Employment and Housing Act in 2017. This research argues that in the era of digitalization, the use of the internet through social media made it possible to create new opportunities for the development of social movements through different aspects of political opportunities, movement mobilization structure, and framing the issues. There are several important findings in this study. First, advances in technology, information, and communication that affect social movements, do not mean that movement activism relies on digital activists alone, but as well as traditional activism; demonstration or strike remains the method used to mobilize social movements. Second, social movements without strong political support or representation from actors who are in the political arena will find it especially difficult to gather the resources needed to achieve their goals. Last but not least, the framing of the issue of the #MeToo movement has massively increased the participation of its actors due to its widely spread campaign among society and this includes celebrities who helped spread the information related to the term cancel culture in social media. The key takeaway from this research is the analysis of sexual harassment from the perspectives of social movements and the influence of the internet that can be further utilized on other resources to eliminate sexual violence in everyday life
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library