Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
[Place of publication not identified]: ASM International, 1992
669.1 MAR
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Houtman P.
Abstrak :
Pada waktu penggulungan kawat menjadi pegas ulir sedang berlangsung, terjadi perpatahan dan retakan sebelum diperoleh pegas ulir yang sesuai dengan standar. Setelah dilakukan penelitian, ditemukan bahwa: Perpatahan kawat dengan diameter 5,7 mm, disebabkan oleh porositas dan perpatahan kawat dengan diameter 5,2 mm, disebabkan oleh cacat goresan dipermukaan kawatnya, disamping adanya porositas yang turut melemahkan bahannya. Selanjutnya retakan-retakan yang terjadi pada pegas ulir dengan diameter kawat 3,2 mm, setelah proses pembentukannya selesai, disebabkan oleh adanya lapisan putih yang sifatnya getas yang terdapat pada permukaan luar pegasnya atau tepatnya pada daerah yang mengalami retakan-retakan yang ketebalannya sekitar 30 mikrometer dan lapisan putih tersebut mencapai angka kekerasan Vickers, VHN = 891,2 kgf/mm2, sedangkan kekerasan bahannya hanya mempunyai VHN =451,45 kgf/mm2. Lapisan putih tersebut kemungkinan besar merupakan "UNTEMPERED MARTENSITE". Hal ini dilihat dari kekerasan serta hasil uji komposisi kimianya dengan energi dispersif. Pada penelitian ini diteliti juga tentang pengaruh suhu pembebasan tegangan terhadap struktur mikro dan sifat mekanis pegas ulir dan kawat baja. Dari hasil penelitian yang diperoleh, ternyata terjadi perbaikan sifat mekanis kawat baja dan pegas ulir hingga pemanasan sampai dengan suhu 350ºC, sedangkan pemanasan selanjutnya yaitu mulai dari suhu 4000C hingga suhu 500ºC, terjadi penurunan kekerasan dan kekuatan tarik, sedangkan struktur mikronya tidak mengalami perubahan.
Depok: Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkarnain Fatoni
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan nilai kekerasan pada proses perlakuan panas (Heat Treatment) yang diberi media pendingin berupa air, oli, pasir dan udara secara mendadak (Quenching) yang kemudian dilihat struktur mikronya pada baja karbon menengah. Hasil pengujian kekerasan baja yang telah mengalami pemanasan dan didinginkan di dalam air laut dan air tawar (tabel 1 sebesar 57,42 HRc dan tabel 2 sebesar 45,24 HRc), kedua tabel menunjukkan data kecendrungan semakin tinggi temperatur pemanasan semakin keras baja tersebut. Hal ini dikarenakan semakin tinggi temperatur pemanasan, austenit yang terbentuk semakin banyak, dan dengan waktu penahanan yang cukup pada temperatur tersebut, austenit semakin homogen. Austenit inilah yang memungkinkan dapat bertransformasi menjadi martensite pada saat dilakukan pendinginan cepat. Akibat dari pendingin yang sangat cepat maka struktur yang terbentuk adalah martensit (Gambar 11 s.d 21), ini pulalah yang membuat baja semakin keras karena struktur martensit adalah struktur yang paling keras di dalam baja, sayangnya struktur ini diikuti oleh sifat yang tidak baik yaitu sifat yang getas dan sangat rentan terhadap beban selnjutnya. Jika kita bandingkan hasil pengujian kekerasan akibat didinginkan di dalam air laut dan air tawar (Gambar 11), pendingin dengan media air laut menghasilkan sifat kekerasan lebih tinggi. Hal ini disebabkan temperatur air laut lebih rendah dibanding temperatur air tawar oleh pengaruh kadar garam. Sehingga laju pendinginan air laut lebih cepat, karbon yang terjebak dari struktur austenit (FCC) menjadi martensit (BCT) lebih banyak dan austenite sisa pada temperatur kamar yang tidak sempat bertransformasi menjadi martensit lebih sedikit. hal inilah yangmenyebabkan kekerasan dengan pendingin air laut lebih tinggi dari pendinginan jika menggunakan air tawar. Kedua metode pendingin ini bila kita bandingkan dengan benda uji tanpa perlakuan, keduaduanya mempunyai nilai kekerasan jauh lebih tinggi, artinya baja yang telah terbakar akan menaikkan nilai kekerasan, menaikkan kekuatan tetapi material menjadi sangat getas. Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa nilai kekerasan dengan memberi perlakuan panas dan di beri pendinginan air laut dan air tawar, air laut lebih keras dan lebih tinggi dibandingkan pengaruh perubahan mikro dari pada air tawar.
Palembang: Fakultas teknik Universitas tridinanti palembang, 2015
691 JDT 3:1 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkarnain Fatoni
Abstrak :
Penelitian ini didasarkan adanya keluhan dari petani penyadap karet yang mengeluhkanpsiau penyadapnya sering aus, rompal dan retak. Sehinga peneliti mencoba mencari jalan keluarnyadengan membuat pisau baru dari bahan pegas daun mobil (Per bekas).Spesimen dalam penelitian ini ialah pisau penyanyat yang di potong bagian pisaunya, jumlahspesimen adalah 7 buah, salah satunya benda yang telah di pakai, 1 buah dari pandai besi dan 5 buahdibuah sendiri diberi perlakuan panas dengan temperatur bervariasi dari 810 °C, 820 °C, 830 °C, 840°C dan 850 °C.Selanjutnya di lakukan proses quenching dan pengujian kekerasan dengan alat Uji Rockwell, sertastruktur mikro. Data hasil penelitian di analisa dengan teknik deskriptif dan hasil analisa di tampilkandalam bentuk diagram batang.Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa hasil pengujian kekerasan akibat didinginkan lajupendinginan air lebih cepat, karbon yang terjebak dari struktur austenit (FCC) berubah menjadimartensit (BCT) lebih banyak dan austenite sisa pada temperatur kamar yang tidak sempatbertransformasi menjadi martensit lebih sedikit. hal inilah yang menyebabkan kekerasan denganpendingin mengunakan air terjadi.Disarankan agar mengunakan menggunakan temperatur antara 810°C dan 820°C. Agar material yang di peroleh adalah material yang ulet dan keras sehinga mata pisau tidak muda patah dan tumpul
Palembang: Fakultas teknik Universitas tridinanti palembang, 2016
600 JDTEK 4:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Margono Sugeng
Abstrak :
Dalam membuat suatu konstruksi, baja merupakan salah satu komponen utama yang penting disamping komponen lainnya. Para perancang, para pengambil keputusan dan para ahli teknik perlu mengetahui secara pasti jenis baja mana yang akan dipakai bagi suatu konstruksi, sehingga nilai konstruksi dalam artian luas menjadi lebih meningkat. Bertitik tolak dari diagram kesetimbangan besi karbon baja dibedakan dalam baja karbon rendah (<0,3%C), baja karbon menengah (0,3-0,85 %C) dan baja karbon tinggi (0,85-1,3%C). Dari ketiga jenis ini makin tinggi kadar karbonnya akan semakin baik sifat mekaniknya. Persoalan yang timbul adalah, untuk membuat baja karbon tinggi akan membutuhkan biaya yang relatif mahal. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk meningkatkan kekuatan mekanik dari baja karbon rendah. Dalam penelitian ini dilakukan perlakuan panas pada baja karbon rendah (KS 1018) pada temperatur interkritis (alpha+Gamma) dan austenite yang diikuti dengan quenching kedalam air. Dari perlakuan ini diperoleh baja fasa ganda dengan variasi kandungan martensite - ferrite berkisar antara 34,4% hingga 68,6 % martensite. Dari variasi kombinasi fasa ini, paduan antara ferrite yang ulet dengan martensite yang keras tetapi brittle diperoleh variasi perubahan sifat mekanik akibat perubahan volume fraksi martensite. Secara umum baja ini menarik karena memberikan kekuatan tarik yang tinggi, kekerasan yang tinggi dan mampu bentuk yang relatif baik dibandingkan baja jenis lainnya. Sifat-sifat mekanik baja fasa ganda ini diamati dengan pengujian kekerasan, pengujian tarik, pengujian impact dan pengujian fatique. Dari pengujian kekerasan diperoleh hasil kekerasan mikro maupun makro, naik secara linier mengikuti kenaikan kandungan volume martensite, demikian juga pada kekuatan yield dan kekuatan tarik, sementara keuletannya menurun. Dari hasil uji impact diperoleh bahwa harga impact selain dipengaruhi oleh kandungan volume martensite juga dipengaruhi oleh temperatur kerja. Dari hasil uji fatique, peningkatan umur terjadi dengan naiknya kandungan martensite sampai 40%, tetapi kemudian umur fatique menurun dengan naiknya kandungan martensite. Pengaruh temper yang dilakukan pada baja fasa ganda ini, selain menurunkan kandungan martensite, juga mempengaruhi kekuatan tarik, kekuatan yield, keuletan dan sifat mekanik lainnya.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rafif Roid Shiddiq
Abstrak :
Bucket tooth pada alat berat excavator menggunakan baja High Strength Low Alloy sebagai material didasari oleh sifat-sifatnya. Perlakuan panas yang dilakukan pada baja HSLA adalah normalisasi, tempering, austenisasi, dan quenching, serta double tempering. Penemuan Delay Crack pada produk bucket tooth yang disebabkan oleh adanya austenit sisa pada komponen bucket tooth, austenite ini menimbulkan tegangan sisa di dalam produk. Meminimalisir jumlah austenite sisa serta keseragaman mikrostruktur adalah langkah yang tepat untuk mencegah Delay Crack. Penelitian ini berfokus pada kualifikasi kecepatan pendinginan media pendingin berupa air, air hangat, dan oli dan meneliti pengaruhnya terhadap struktur mikro dan kekerasan baja HSLA. Kecepatan pendinginan rata-rata yang paling tinggi secara berurutan adalah air, oli, dan air hangat, senilai 111,28 oC/s, 51.30 oC/s, 56.75 oC/s. Perbedaan kecepatan pendinginan akan menghasilkan struktur mikro baja HSLA yang berbeda. Fasa martensite terbentuk paling dominan pada setiap jenis media pendingin dengan sedikit austenite sisa yang kadarnya meningkat seiring dengan meningkatnya kecepatan pendinginan yaitu 0.8%, 2,4%, 3% . Kekerasan mikro menemukan fraksi area transformation zone keras akibat dikelilingi oleh martensite pada setiap baja, fasa lower bainite pada baja media pendingin air hangat, serta karbida pada baja media pendingin Air suhu kamar. Nilai kekerasan makro untuk tiap sampel meningkat seiring meningkatnya kecepatan pendinginan, yaitu secara berturut turut menjadi 49.1 HRC, 47.1 HRC, dan 44.3 HRC. Sehingga meningkatnya kecepatan pendinginan menyebabkan peningkatan kekerasan dan kadar austenite sisa. Beberapa temuan lainnya seperti dekarburisasi pada permukaan baja di analisis untuk mengetahui penyebab delay crack terjadi.
Excavator’s bucket tooth using High Strength Low Alloy Steel based material because of it’s properties. The heat treatment performed on HSLA steel is normalization, tempering, austenisation, and quenching, and the last double tempering. Delay Crack was discovered on bucket tooth products caused by the presence of retained austenite in the bucket tooth component, this austenite raises residual stresses in the product. Minimizing the amount of retained austenite and gaining microstructural uniformity is the right step to prevent Delay Crack. This research focuses on qualifying the cooling rate of quenching media in the form of water, hot water, and oil then examines their effects on the microstructure and hardness of HSLA steels. The highest average cooling speed, respectively, is water, oil and warm water, valued at 111.28 oC / s, 51.30 oC / s, 56.75 oC / s. The difference in cooling speed will produce a different HSLA steel microstructure. Martensite phase is formed dominantly in every quenching media variables with a little content of retained austenite whose levels increase with increasing cooling rate by 0.8%, 2.4%, 3%. Microhardness Testing found a hard zone named transformation zone fraction due to being surrounded by martensite in each variables, lower bainite phase in hot water variable, and carbide in water variable. The value of macro hardness for each sample increased with increasing cooling rate, which became 49.1 HRC, 47.1 HRC, and 44.3 HRC respectively. So that the increase in cooling rate causes an increase in hardness and residual austenite levels. Several other findings such as decarburization on the steel surface are analyzed to determine the cause of the delay crack.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifka Maulidya
Abstrak :
Austenit sisa bersifat metastabil pada suhu ruang sehingga dapat bertransformasi menjadi martensit sehingga menyebabkan delayed crack, yang terjadi setelah beberapa lama proses produksi, pada bucket tooth excavator dengan material baja HSLA. Penelitian ini berfokus pada proses perlakuan panas yang dilakukan, yaitu pada tahapan austenisasi. Austenisasi dilakukan pada temperature 926°C dengan variable waktu tahan 28 menit, 43 menit, 58 menit, dan 73 menit. Sampel pengujian awalnya berupa keel block hasil normalisasi temper, yang kemudian dipotong menjadi balok dengan dimensi 4x1x4 cm. Karakterisasi dilakukan pada sampel as-QTT dan setelah ditempering, dimulai dari pengamatan struktur mikro menggunakan mikroskop optic dan Scanning Electron Microscope (SEM), serta pengujian kekerasan mikro (microvickers) dan kekerasan makro (Rockwell C). Setelah diamati, diperoleh bahwa sampel baja as-QTT memiliki struktur mikro yang didominasi oleh tempered martensit, namun ditemukan juga keberadaan lower bainite dan sejumlah kecil austenite sisa. Semua variabel temperatur tempering menghasilkan bentuk struktur mikro yang sama, namun memiliki presentase austenite sisa yang berbeda-beda. Seiring bertambahnya waktu tahan austenisasi, ukuran butir dan martensite menjadi semakin kasar. Kekerasan baja mengalami peningkatan seiring bertambahnya waktu austenisasi yaitu dari 486 HV menjadi 522 HV pada waktu tahan 58 menit, lalu menurun menjadi 450 pada waktu tahan 73 menit.
ABSTRACT
Retained Austenite is metastable at room temperature so that it can be transformed into martensite, causing delayed cracks, which occur after a long time of the production process, on bucket tooth excavators with HSLA steel material. This research focus on the heat treatment process carried out, especially in the austenitizing stage. Austenitizing was carried out at a temperature of 926°C with a variable holding time of 28 minutes, 43 minutes, 58 minutes, and 73 minutes. Initially the test sample was a tempered normalized keel block, which was then cut into blocks with dimensions of 4x1x4 cm. Characterization is carried out on as-QTT samples and after tempering, starting from observing microstructure using optical microscopy and Scanning Electron Microscope (SEM), as well as testing micro hardness (microvickers) and macro hardness (Rockwell C). After observing, it was found that the as-QTT steel sample had a micro structure dominated by tempered martensite, but the presence of lower bainite and a small amount of remaining austenite was also found. All tempering temperature variables produce the same microstructure, but have different residual austenite percentages. As the austenisation holding time increases, grain size and martensite become increasingly coarse. The hardness of steel has increased with increasing austenisation time from 486 HV to 522 HV at 58 minutes holding time, then decreased to 450 at 73 minutes holding time.

2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sigma Rizkyardiani Sigit
Abstrak :
Surface Mechanical Attritition Treatment adalah salah satu proses fabrikasi nano material dengan cara memberikan deformasi mekanis strain-induced pada permukaan material. Penelitian ini memberi perlakuan SMAT pada stainless steel AISI 304 yang merupakan austenitic stainless steel. Deformasi yang diperlakukan pada permukaan material akan menghasilkan gradien regangan di seluruh bagian material. Perbedaan regangan dan strain rate mempengaruhi struktur yang terjadi. Semakin tinggi regangan yang diberikan (semakin dekat dengan permukaan) menghasilkan butir yang lebih halus hingga skala nanometer. Dan sebaliknya, semakin rendah regangan yang dialami maka akan dihasilkan butir yang kasar.. Proses SMAT pada baja juga dapat menghasilkan transformasi fasa dari austenit ke martensit. Analisis XRD menunjukkan peningkatan kandungan martensit pada lapisan yang terkena regangan tinggi. Pengamatan TEM menunjukkan transformasi martensit terjadi dengan dua mekanisme yaitu dari austenit yang berstruktur kristal FCC () menjadi martensit yang berstruktur kristal HCP (ε) dan dari austenit yang berstruktur kristal FCC () menjadi martensit yang berstruktur kristal BCC (α’). Transformasi ini mengikuti arah dan hubungan kristalografi Kurdjumov-Sachs (K-S) orientation yaitu 〈1-10〉γ//〈112-0〉ε//〈11-1〉α. Sementara pada bagian yang terkena regangan lebih rendah tetap mengandung fasa austenit. Kombinasi dari butir halus dan kasar serta austenit dan martensit pada material yang sama memungkinkan untuk mendapatkan material yang kuat sekaligus tangguh. Butir halus dan fasa martensit pada permukaan akan meningkatkan kekerasan material, sementara butir kasar dan fasa austenit pada bagian lebih dalam akan mempertahankan keuletan material. ......Surface Mechanical Attritition Treatment is one of nano material fabrication method which done by applying strain-induced mechanical deformation on the surface. This research treated stainless steel AISI 304 which is austenitic stainless steel type, with SMAT. The deformation cause strain gradient through out the sample. Strain level differences give effect to material structure. Higher strain which happen closely to the surface region, result in finer grain up to nano scale, while lower strain cause more coarse grain. SMAT on stainless steel also could cause phase transformation from austenite to martensite. XRD analysis showed increase of martensite content on higher strain-affected layer. TEM observations showed martensite transformation by two mechanism, austenite with FCC crystal structure () to martensite with HCP crystal structure (ε) and austenite with FCC crystal structure () to martensite with BCC crystal structure (α’). This transformation are following crystalographic orientation relationship of Kurdjumov-Sachs (K-S), 〈1-10〉γ//〈112- 0〉ε//〈11-1〉α. While on the other region that less-affected by strain still contain austenite phase. Combination of fine grain-coarse grain and austenite-martensite phase on the same material could result in higher properties material since it could has high strenght and high toughness. Fine grain and martensite phase on the surface will increase the hardness of material, while coarse grain and austenite phase on deeper layer will increase the ductility of material.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
T35024
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Finsya Indra Permana
Abstrak :
Paduan ingat bentuk merupakan salah satu material cerdas yang memiliki karakteristik unik dimana paduan ini dapat mengingat bentuk saat diberi panas. Paduan ingat bentuk yang berbasis Cu merupakan alternatif yang paling baik dikarenakan harganya yang murah dan memiliki sifat ingat bentuk yang baik. Penelitian ini mempelajari pengaruh metode pencelupan terhadap transformasi fasa dan kekerasan paduan Cu-26.5Al-3.7Mn (%Atomik) yang difabrikasi menggunakan metode pengecoran gravitasi. Paduan dihomogenisasi pada temperatur 900 ? selama 2 jam. Selanjutnya dilakukan perlakuan panas betatizing pada temperatur 900 ? selama 30 menit dan dilanjutkan dengan tiga metode pencelupan yang berbeda, yaitu Pencelupan Langsung (DQ), Pencelupan Naik (UQ), dan Pencelupan Bertahap (SQ). Karakterisasi menggunakan Optical Microscope (OM), Scanning Electron Microscopy dan Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy (SEM-EDX), Optical Emission Spectroscopy (OES), X-Ray Diffraction (XRD), Differential Scanning Calorimetry (DSC), Microvickers, dan uji pemulihan regangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur mikro paduan pada kondisi As-Cast dan As-Homogenized terdiri dari dua fasa yaitu ? [D03] dan ? dengan morfologi rosette-like. Pencelupan DQ dan UQ menghasilkan martensit ?' dan ? [D03] sisa, sementara pencelupan SQ selain menghasilkan fasa tersebut juga terdapat ?. Selanjutnya, nilai kekerasan adalah 288,71 HVN (As-cast), 300,21 HVN (As-Homogenized), 232,2 HVN (DQ), 240,1 HVN (UQ), dan 289 HVN (SQ). Persentase pemulihan regangan tidak dapat diukur dikarenakan sampel patah saat ditekuk. ......The shape memory alloy is a smart material with unique characteristics where it can remember its shape when subjected to heat. Cu-based shape memory alloys are considered the most favorable alternative due to their low cost and good shape memory properties. In this study, the influence of quenching methods on phase transformation and hardness of Cu-26.5Al-3.7Mn (at. %) alloy fabricated using gravity casting method was investigated. The alloy was homogenized at 900 ? for 2 hours, and then betatized at 900 ? for 30 minutes, followed by three different quenching methods: Direct Quenching (DQ), Up Quenching (UQ), and Step Quenching (SQ). The alloy was then characterized using Optical Microscope (OM), Scanning Electron Microscopy and Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy (SEM-EDX), Optical Emission Spectroscopy (OES), X-Ray Diffraction (XRD), Differential Scanning Calorimetry (DSC), Microvickers, and Strain Recovery test. The results of this study showed that the microstructure of the as-cast and as-homogenized alloy consisted of two phases, ? [D03] and ?, with a rosette-like morphology. DQ and UQ quenching methods resulted in the formation of ? [D03] and ?' phases, meanwhile, the SQ quenching method not only resulted in the mentioned phase but also the ? phase. Furthermore, the hardness values were 288.71 VHN (As-Cast), 300.21 VHN (As-Homogenized), 232.2 VHN (DQ), 240.1 VHN (UQ), and 289 VHN (SQ), respectively. The percentage of strain recovery could not be measured as the samples experienced failure when bent.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gusaimas Matahachiro Hanggoro Himawan Akbar
Abstrak :
Paduan ingat bentuk Cu-Al-Mn merupakan material cerdas menjanjikan yang murah biaya; namun, kinerja dan suhu transformasinya sangat sensitif terhadap komposisi paduan. Dalam penelitian ini, pembelajaran mesin Extreme Gradient Boosting (XGBoost) diterapkan untuk memodelkan suhu martensite start (Ms) paduan Cu-Al-Mn. Paduan Cu-26,24Al-7,77Mn (at. %) digunakan untuk memvalidasi model dan menyelidiki pengaruh perlakuan panas terhadap struktur mikro dan sifat memori bentuk. Paduan tersebut dibuat dengan pengecoran gravitasi, dihomogenisasi pada suhu 900 ºC selama 2 jam, dibetatisasi pada suhu 900 ºC selama 30 menit, dan kemudian didinginkan menggunakan metode pencelupan langsung (DQ) dan pencelupan naik (UQ). Model XGBoost yang dikembangkan menghasilkan nilai R2, MAE, RMSE sebesar 0,98, 4,82, dan 10,67, memprediksikan Ms sebesar -174 ºC—mendekati suhu aktual (-190 ºC) yang diperoleh melalui pengujian resistivitas listrik. Hasil pengamatan mikroskop optik dan elektron bersama dengan analisis difraksi x-ray menunjukkan struktur fasa ganda β(L21) + γ dalam sampel as-cast dan setelah homogenisasi sedangkan fasa β(L21) tunggal diamati pada sampel perlakuan DQ dan UQ. Proses perlakuan panas mengakibatkan pertumbuhan butir dan penurunan nilai kekerasan mikrovickers, sesuai dengan persamaan Hell-Petch. Ditemukan bahan pengotor Fe (0,43 at. %) menyebabkan pertumbuhan butir abnormal pada sampel yang diberi perlakuan panas, di mana satu butir abnormal mencapai ukuran hingga ~15 mm. Sampel DQ dan UQ masing-masing mencapai pemulihan regangan 92,1 dan 100%. Perlakuan UQ diperkirakan mengurangi jumlah vakansi yang terperangkap akibat pencelupan dan derajat pinning pada antarmuka martensit. ......Cu-Al-Mn shape memory alloys show great promise as low-cost smart materials; however, their performance and transformation temperatures are sensitive towards alloy composition. In this study, Extreme Gradient Boosting (XGBoost) machine learning was applied to model the martensite start (Ms) temperature of Cu-Al-Mn alloys. Cu-26.24Al-7.77Mn (at. %) alloy was used to validate the model and investigate the influence of heat treatment on microstructure and shape memory properties. The alloy was gravity cast, homogenized at 900 ºC for 2 hours, betatized at 900 ºC for 30 minutes, and quenched using direct quenching (DQ) and up-quenching (UQ) methods. The refined XGBoost model delivered R2, MAE, RMSE scores of 0.98, 4.82, and 10.67, predicting an Ms of -174 ºC— close to the actual - 190 ºC obtained by electrical resistivity measurements. Optical and electron microscopy along with X-ray diffraction analyses revealed a dual-phase β(L21) + γ structure in as-cast and as-homogenized samples while a single β(L21)-phase in DQ and UQ treated samples. The heat treatment process resulted in grain growth of the alloy which also reduced Vickers microhardness values, consistent with the Hell-Petch relation. Notably, Fe (0.43 wt. %) impurity induced abnormal grain growth in heat-treated samples, with an abnormal grain reaching up to ~15 mm. DQ and UQ samples achieved 92.1 and 100% strain recovery, respectively. UQ treatment was thought to reduce the number of quenched-in vacancies and the degree of pinning on the martensite interface.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>