Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Khairul Febriyanto
"ABSTRAK
Artikel ini membahas mengenai aksesori sebagai identitas etnik. Suku Berber mempunyai berbagai macam jenis aksesori yang menjadi identitas etnik mereka yakni permadani, perhiasan, pakaian, dan tato. Artikel ini hanya membahas tentang permadani dan perhiasan suku Berber. Suku Berber mempunyai permadani yang khas. Permadani suku Berber memiliki banyak kegunaan yaitu sebagai selimut, alas untuk berkuda, alas untuk shalat dan berbagai hal lainnya. Selain itu, permadani dapat dijadikan sebagai hadiah karena permadani dianggap sebagai identitas etnik yang mampu menunjukkan jati diri suku Berber. Suku Berber mempunyai berbagai macam perhiasan yang mereka pakai. Macam-macam perhiasan penting suku Berber terdiri dari kalung, ikat kepala, fibula, dan anting-anting. Perhiasan berfungsi sebagai lambang sosial yang mengidentifikasi suku Berber, dan wilayah Maroko tempat perhiasan dibuat. Selain itu, bentuk dan desainnya mempunyai makna spiritual, beberapa jenis perhiasan diyakini dapat menjadi pelindung yang menjamin kesuburan, melindungi dari mata jahat, membawa kemakmuran, dan menyembuhkan berbagai penyakit. Wanita suku Berber berperan penting dalam melestarikan budayanya dengan membuat dan memakai berbagai macam perhiasan. Hal tersebut disebabkan karena suku Berber sangat menjunjung tinggi simbol-simbol kesukuan dan wanita merupakan simbol kesuburan dan identitas etnik suku Berber.

ABSTRACT
This article discusses accessories as ethnic identity. Berber tribe has various types of accessories that become their ethnic identity of rugs, jewelry, clothing, and tattoos. This article discusses only with Berber rug and jewelry. The Berber tribe has a distinctive rug. Berber rugs have many uses as blankets, pedestals for riding, praying mats and various other things. In addition, rugs can be used as gifts because rugs are considered ethnic identities that are able to show the identity of the Berber tribe. Berber tribe has a variety of jewelry that they wear. Various kinds of important Berber jewelry consists of necklaces, headbands, fibula, and earrings. Jewelry serves as a social symbol identifying the Berber, and the region of Morocco where jewelry is made. In addition, the shape and design have a spiritual meaning, some types of jewelry is believed to be a protector that ensures fertility, protect from evil eyes, bring prosperity, and cure various diseases. Berber women play an important role in preserving their culture by making and wearing various jewelry. This is because the Berber tribe strongly upholds tribal symbols and women are symbols of fertility and ethnic identity of the Berber tribe. "
2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Feby Arginia Putri
"Makalah ini menganalisis unsur mimikri pada cerita pendek Sayyidu As-Sāḥah karya Muhammad Zafzaf, sastrawan yang berasal dari Maroko. Penjajahan Prancis terhadap Maroko memberikan pengaruh besar dalam perkembangan karya sastra di negara tersebut. Tema karya sastra pada saat itu sebagian besar bertemakan nasionalisme dan identitas bangsa. Setelah kemerdekaan Maroko pada tahun 1956, masih banyak karya sastra yang mengangkat tema mengenai kehidupan masyarakat sebelum kemerdekaan. Muhammad Zafzaf merupakan salah satu sastrawan terkenal Maroko yang telah menerbitkan berbagai novel dan cerita pendek. Pada makalah ini, akan dilakukan analisis salah satu cerita pendek dari Muhammad Zafzaf dengan menggunakan teori postcolonialism yang dikemukakan oleh Homi K. Bhabha, yaitu mimikri untuk mengetahui jejak kolonialisme yang diceritakan dalam cerita pendek tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka. Dari penlitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat tujuh kalimat yang mengandung unsur mimikri pada cerita pendek Sayyidu As-Sāḥah yang terbagi dalam tiga kategori; transportasi, gaya hidup dan bahasa.

This paper analyzes mimicry elements in one of Moroccan writer’s short story titled Sayyidu As-Sāḥah by Muhammad Zafzaf. French colonialism in Morocco gave a huge impact on the development of its literature. At that time, the literatures are mainly focused on nationalism and national identity. After Morocco’s independence in 1956, there are still literatures that focused on telling the social life before independence. Muhammad Zafzaf is one of the famous writer in Morocco that has published numerous novels and short stories. This paper will analyze one of Muhammad Zafzaf’s short stories using mimicry theory, a part of Homi K. Bhabha’s postcolonialism theory, to retrace the colonialism elements written within the story. This paper uses qualitative descriptive method by collecting relevant sources that are related to the paper. From this research, it can be concluded that there are seven sentences containing mimicry elements in Sayyidu As-Sāḥah which were divided into three categories; transportation, lifestyle and language."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fakhriza Lutfi
"Penelitian ini bertujuan untuk mengulas sejarah masuk dan perkembangan gerakan Ultras di Maroko serta memberikan gambaran komprehensif tentang peran Ultras dalam budaya sepak bola negara ini. Penelitian ini tidak hanya memberikan gambaran komprehensif tentang peran Ultras dalam budaya sepak bola Maroko, tetapi juga mengungkapkan bagaimana mereka mempengaruhi dinamika sosial dan budaya negara tersebut. Pendekatan kualitatif digunakan dengan mengadopsi teori subkultur Dick Hebdige untuk mengkaji gerakan Ultras di Maroko. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ultras di Maroko tidak hanya memberikan dukungan fanatik terhadap klub sepak bola mereka, tetapi juga memiliki dampak yang signifikan dalam dinamika sosial dan politik. Mereka menciptakan atmosfer meriah di stadion, terutama selama kompetisi internasional seperti Piala Afrika, yang berkontribusi pada moral dan performa tim. Selain itu, Ultras di Maroko menjadi simbol perlawanan terhadap hegemoni budaya dan menggunakan lagu-lagu mereka untuk mengartikulasikan kritik sosial dan politik, serta memperkuat solidaritas di antara anggota mereka.

This research aims to examine the history and development of the Ultras movement in Morocco and provide a comprehensive overview of their role in the country's football culture. The study not only offers a comprehensive depiction of the Ultras' role in Moroccan football culture but also reveals how they influence the social and cultural dynamics of the country. A qualitative approach is adopted, utilizing Dick Hebdige's subcultural theory to explore the Ultras movement in Morocco. The findings of the research indicate that Ultras in Morocco not only provide fervent support for their football clubs but also have a significant impact on social and political dynamics. They create lively atmospheres in stadiums, particularly during international competitions like the Africa Cup of Nations, which contribute to the morale and performance of the teams. Moreover, Ultras in Morocco serve as symbols of resistance against cultural hegemony, using their songs to articulate social and political critiques and strengthen solidarity among their members."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nadiyah Dinillah
" ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang perbedaan penggunaan beberapa istilah dalam undang-undang Arab Saudi dan Maroko. Penulis menganalisis perbedaan beberapa istilah dalam undang-undang berdasarkan makna tekstual, morfologi dan semantik kata, analisis semantik sinonim, dan makna kontekstualnya. Penulis mengambil tujuh istilah berbeda dari undang-undang Arab Saudi dan Maroko yang akan dianalisis dengan metode seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan istilah-istilah berbeda yang digunakan dalam undang-undang Arab Saudi dan Maroko baik secara makna tekstual ataupun kontekstualnya. Hasil dari penelitian ini adalah dapat diketahuinya apa saja istilah-istilah yang berbeda dan apa sebab yang menjadikan perbedaan penggunaan istilah dalam undang-undang masing-masing negara. Dapat disimpulkan sebagian besar kata memiliki perbedaan sinonim dengan jenis sinonim kata yang satu lebih umum dibandingkan kata yang lainnya dan makna kontekstual antara kedua kata sering kali sangat berbeda walaupun kedua kata tersebut bersinonim.

ABSTRACT
This paper discusses the differences in the use of some terms in the legislation text of Saudi Arabia and Morocco. The author analyzes the differences several terms in the legislation text based on the textual meaning, morphological and syntactic words, synonyms semantic analysis, and contextual meaning. Author take seven different terms from legislation text of Saudi Arabia and Morocco that will be analyzed by the method as mentioned. The purpose of this study is to describe the different terms in the legislation text of Saudi Arabia and Morocco, both textual and contextual meaning. The results of this study are able to know what the different terms and what makes a difference because the use of the term in the legislation text of each country. It can be concluded that most words have different types of synonymous words with one word more common than others and the contextual meaning between the two words are often very different even though the two words are synonymous."
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amira Sabrina
"ABSTRAK
Artikel ini membahas Festival Pernikahan Imilchil di Maroko. Imilchil Marriage Festival (festival pernikahan Imilchil), mengambil nama Imilchil dari tempat berlangsungnya festival ini di sebuah desa di wilayah pegunungan Atlas Tinggi (High Atlas) di Tenggara wilayah Kerajaan Maroko. Di dalam festival ini, muda-mudi bangsa Berber berdatangan dari berbagai pelosok untuk mencari pasangan hidup. Suatu kebiasaan yang unik, bahkan tidak biasa terjadi secara umum di masyarakat Maroko yang dikenal sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim ini. Tujuan penulisan artikel ini adalah: 1. menjelaskan asal-usul Festival Pernikahan Imilchil, 2. memaparkan tahapan rangkaian Festival Pernikahan Imilchil, dan menjelaskan bagaimana festival pencarian pasangan hidup ini dapat terus dipertahankan dalam situasi kebudayaan mayoritas masyarakat Muslim Maroko, yang biasanya menjalankan proses perjodohan. Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif-analitis dengan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Festival Pernikahan Imilchil bukanlah festival pernikahan, melainkan suatu tradisi mencari pasangan hidup bagi muda-mudi suku bangsa Berber, dan juga sebagai ajang interaksi sosial bangsa Berber dalam menguatkan jati diri mereka. Keberlangsungan Festival ini difasilitasi dan didukung oleh Pemerintah Kerajaan Maroko, yang meskipun mengedepankan pembangunan nasional bangsa Maroko, namun juga mempertahankan tradisi lokal yang dimiliki oleh semua warga negara Maroko.

ABSTRACT
This article discusses the Imilchil Wedding Festival in Morocco. The Imilchil Festival (Imilchils wedding festival), derives from a word Imilchil from a venue of a festival in High Atlas (Atlas Tinggi) village of the Highlands region of Southeast Morocco. Inside this festival, young Berber people came from various places to find a life partner. It is a unique habit, even an unusual habit occurs in Moroccan societies known as the Muslim population. The purpose of this article is to: 1. explain the origins of the Imilchil Wedding Festival, 2. describe the stage of Imilchil Wedding Festival, and explain how the couple's search festival can be maintained in the cultural situation of the majority of Moroccan Muslim society, who basically run arranged marriage process. The method used in this article is qualitative descriptive-analytical with literature study. The results show that the Imilchil Wedding Festival is not a wedding festival, but the tradition of finding life partners for young Berber ethnic groups, instead it is a place for Berber people to interact socially with one another in strengthening their identity. The sustainability of the Festival is facilitated and supported by the Kingdom of Morocco, despite focusing on the national development of the Moroccan nation, yet also maintaining a local tradition owned by all Moroccan citizens.
"
2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Sabrina
"ABSTRAK
Isu mengenai pendidikan kaum perempuan merupakan salah satu isu penting yang terjadi dalam sejarah kontemporer Maroko (1912-1956). Melalui novel La Civilisation, ma Mère!... (1972), Driss Chraïbi menyampaikan sebuah perlawanan terhadap penindasan, inferioritas, maupun pesimisme kaum perempuan Maroko pada masa kolonisasi Prancis. Artikel ini membahas konstruksi identitas perempuan menurut perspektif laki-laki dalam novel La Civilisation, ma Mere!... melalui fokalisasi tokoh Aku yang mewakili dua anak laki-laki tokoh Ibu. Metode yang digunakan adalah metode kajian struktural dengan teori naratologi dari Gérard Genette dan konsep identitas dari Stuart Hall. Temuan dari artikel ini menunjukkan bahwa identitas yang dikonstruksi melalui perspektif dua anak laki-laki tokoh Ibu memperlihatkan sebuah gugatan terhadap wacana patriarki. Gugatan tersebut melambangkan narasi laki-laki tentang perempuan yang menentang norma-norma tradisional Maroko pada saat itu dan mendukung kehadiran kaum perempuan sebagai penggerak dalam masyarakat.

The oppression of women freedom was one of important issues in contemporary Moroccan history (1912-1956). The Moroccan writer who is considered a pioneer in breaking the dichotomy between the positive and negative effects of colonization is Driss Chraibi, whose work recognized as a work that not only criticizes the injustices and exploitation of French colonization, but also criticizes the cultural, racial, religious, or political problems that prevented the colony to recognize Western civilization. Through the novel La Civilisation, ma Mere!... (1972), Chraibi conveys a resistance against the oppression, inferiority and pessimism of Moroccan women during the French colonization period. This article aims to discusses the construction of identity of Mothers character in La Civilisation, ma Mere!... through the focalization of I who represents two sons of the mother in the novel. The method used is structural analysis with Gérard Genettes theory of narratology and Stuart Halls concept of identity. The finding of this article shows how identity constructed through the perspective of two sons displays a criticism against patriarchal discourse. The criticism symbolizes mens narratives of woman who opposed the traditional Moroccan norms at the time and supports the presence of a woman as the force in society
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ghaisani Ayuningtyas
"Fantasi merupakan sebuah kesenangan, karena pada dasarnya fantasi merupakan upaya untuk melarikan diri dari kondisi manusia atau kenyataan untuk membangun dunia sekunder. Dalam film Ali Zaoua: Prince de la Rue, fantasi anak-anak diperlihatkan melalui aspek naratif dan sinematografis. Artikel ini berfokus pada penggambaran fantasi dengan menggunakan metode kualitatif dan pendekatan tekstual. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan fantasi anak-anak dan isu sosial yang terkait dengan kemiskinan dan keluarga di dalam film Ali Zaoua: Prince de la Rue. Analisis yang dilakukan dalam artikel ini menggunakan skema aktan yang dikemukakan oleh Greimas dan teori sinema oleh Boggs dan Petrie. Konsep fantasi oleh Rosemary Jackson juga digunakan untuk memperdalam kajian analisis. Temuan analisis menunjukkan bahwa pada dasarnya, fantasi yang diciptakan oleh anak-anak adalah cara yang dilakukan untuk melarikan diri dari realitas. Fantasi yang direpresentasikan sebagai imajinasi anak-anak menjadi antithesis dari realitas mereka sebagai upaya untuk memenuhi keinginan di dalam dunia nyata. Hal ini terkait dengan kondisi anak jalanan yang menginginkan kehidupan yang lebih baik.

Fantasy is a pleasure and, in essence, is a way to escape from humans condition or reality by building a second life. In the film Ali Zaoua: Prince de la Rue, childrens fantasy is shown through narrative and cinematographic aspects. This article focuses on the depiction of fantasy using a qualitative method and a textual approach. The purpose of this study is to portray childrens fantasy and social issues related to poverty and family in the movie Ali Zaoua: Prince de la Rue. This analysis utilizes Greimas Actantial Model and film studies by Boggs and Petrie. The concept of fantasy by Rosemary Jackson is also utilized to deepen the analysis. The finding of the analysis shows that fantasies created by children, are a way to escape reality. The fantasies that were represented as childrens imagination and becomes an antithesis to the fulfillment of real-life desires. This is related to the condition of street children who wish for a better livelihood."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Atika Khoirunnisa
"Kebudayaan Maroko merupakan percampuran antara budaya Berber, Arab, dan Eropa. Etnis asli Berber di Maroko terkenal dengan gaya hidup nomad atau berpindah-pindah dalam bermukim. Selain di Maroko, bangsa Berber banyak ditemukan di wilayah Afrika Utara seperti Aljazair, Tunisia, dan Mauritania. Sejak 1963, bangsa Berber mengadakan pertemuan tahunan bernama Festival Tan-Tan Moussem. Namun, festival ini sempat terhenti penyelenggaraannya selama 25 tahun hingga akhirnya kembali terselenggara pada 2004. Penelitian ini mengkaji permasalahan tentang apa yang dimaksud dengan festival Tan-Tan Moussem dan bagaimana revitalisasi festival Tan-Tan Moussem di Maroko. Dalam mewujudkan penelitian ini, penulis menggunakan teori kebudayaan dan revitalisasi. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa festival Tan-Tan Moussem adalah festival kebudayaan suku nomad Berber di Maroko. Festival ini menjadi sarana pertemuan tahunan masyarakat nomad Sahara yang menyatukan lebih dari tiga puluh suku dari Maroko barat daya dan sebagian Afrika barat laut. Revitalisasi Tan-Tan Moussem dapat terlaksana dengan upaya dari Kementerian Pariwisata Maroko dan UNESCO.

Moroccan culture is made up of a combination of the Berber, Arab, and Europe. The native Berbers in Morocco are known for their nomadic lifestyle, they don't have a settled home and never stay long in the same place. Apart from Morocco, Berbers are found in many areas of North Africa, namely Algeria, Tunisia, and Mauritania. Since 1963, the Berbers have held an annual meeting called the Tan-Tan Moussem Festival. At one point, however, the festival was put on hold for twenty-five years, and started to continued in 2004. This study aims to explain what exactly is Tan-Tan Moussem Festival and its revitalization in Morocco. The culture theory, together with revitalization theory are used to analyze this study. The method used are qualitative study with literature review approach. The result of this study shows that Tan-Tan Moussem Festival is a cultural festival of the Morocco's Saharan nomad tribe. This event becomes the place for annual gathering of the Saharan nomad tribe that includes more than thirty tribes from Southwest Morocco and a portion of Northwest Africa. The revitalization of Tan-Tan Moussem can be accomplished with the efforts of the Moroccan Ministry of Tourism and UNESCO.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
sitanggang, Tota Jordan
"Penelitian ini membahas representasi kelompok etnis yang ada dalam film “Alleen Maar
Nette Mensen”. Kelompok etnis tersebut adalah kelompok etnis Yahudi, Suriname, dan
Maroko. Dalam melakukan analisis, peneliti menggunakan metode kualitatif dan didukung
oleh teori identitas budaya, pendekatan etnisitas, dan stereotip. Penelitian ini menunjukan
bahwa pada film “ Alleen Maar Nette Mensen” , kelompok masyarakat Yahudi digambarkan
dengan stereotip kelompok kaya, mapan, dan intelek. kelompok masyarakat Suriname
digambarkan sebagai kelompok miskin, kaum lelaki dari kelompok Suriname digambarkan
dengan stereotip tidak bertanggung jawab dan egois. Perempuan kelompok etnis Suriname
memiliki stereotip materialistis dan kasar. Kelompok masyarakat Maroko digambarkan
sebagai kelompok kriminal. Stereotip kelompok etnis dalam film “Alleen Maar Nette
Mensen” digambarkan melalui sifat konsumtif, gaya hidup, tempat tinggal, dan tanggapan
tokoh dalam film. Dari analisis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa stereotip kelompok
etnis yang ada di dalam film ini sesuai dengan pandangan masyarakat pada umumnya.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Nur Solekhan
"Penelitian ini membahas fenomena-fenomena kehidupan sosial yang erat kaitannya dengan budaya dan agama yang terdapat pada film Maroko, berjudul Razzia. Film hasil garapan sutradara ternama, Nabil Ayouch, ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam karena merefleksikan keadaan sosial budaya di negara Maroko dengan membawa pesan yang mengkritik. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Sumber data penelitian ini adalah film berbahasa Arab-Perancis yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris yang berjudul Razzia tahun 2017. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan pesan di balik fenomena-fenomena yang dianggap kontroversial yang terdapat di dalam adegan-adegan film. Untuk menjelaskan makna dan pesan yang disampaikan, film Razzia ini menggunakan analisis teori semiotika Roland Barthes dan teori kebebasan bereskpresi di ruang sosial milik Bonaventure Rutinwa. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat mitos-mitos kebebasan berekspresi di ruang sosial yang tergambar di dalam adegan film, seperti pengekangan penggunaan bahasa asli Berber di dalam pendidikan dan pembatasan kebebasan berekspresi bagi perempuan dalam berbusana, serta adanya pembatasan ruang gerak bagi minoritas Yahudi.

This study discusses the phenomenon of social life which is closely related to culture and religion contained in the Moroccan film entitled Razia. The film, which was directed by the well-known director Nabil Ayouch, is very interesting to study more deeply because it reflects the socio-cultural situation in Morocco by bringing a message of criticism. This research is a qualitative research with a descriptive design. The data source of this research is an Arabic-French film translated into English entitled Razzia in 2017. The purpose of this research is to explain the message behind the phenomenon that is considered controversial in the film scene. To explain the meaning and message conveyed, this Razzia film uses the analysis of Roland Barthes' semiotic theory and the theory of freedom of expression in Bonaventure Rutinwa's social space. The results of this study are that there are myths of freedom of expression in social spaces depicted in film scenes, such as restrictions on the use of the Berber native language in education and restrictions on freedom of expression for women in dress, as well as restrictions on movement space for the Jewish minority."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>