Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Rahma Atika Idrus
"Skripsi ini membahas tentang tindakan perekrutan tentara anak menjadi satu suatu bentuk kejahatan perang yang ditinjau berdasarkan hukum internasional. Kasus yang digunakan dalam tulisan ini adalah kasus perekrutan tentara anak dilakukan oleh Thomas Lubanga Dyilo sebagai Presiden Persatuan Patriot Kongo (UPC) dan Komandan Pasukan patriotiques pour la libération du Congo (FPLC) di konflik di Ituri, Kongo. Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memahami latar belakang larangan perekrutan tentara anak dalam konflik bersenjata, mengetahui ketentuan hukum internasional dan keputusan peradilan berkenaan dengan perekrutan tentara anak-anak, dan untuk mengetahui caranya aksi rekrutmen tentara anak dilakukan oleh Thomas Lubanga Dyilo di Konflik Ituri, Kongo memenuhi unsur pidana dalam Pasal 8 (2) (e) (vii) Statuta Roma. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis normatif dengan memeriksa perjanjian internasional yang terkait dengan larangan perekrutan tentara anak dan pendekatan yang digunakan dan preseden yang ditetapkan oleh peradilan internasional dalam mengadili dan memutuskan kasus perekrutan tentara anak.

This thesis discusses the act of recruiting child soldiers into a form of war crime which is reviewed based on international law. The case used in this paper is the case of the recruitment of child soldiers by Thomas Lubanga Dyilo as President of the Congolese Patriots Union (UPC) and the Commander of the Patriotiques pour la libération du Congo (FPLC) in the conflict in Ituri, Congo. The purpose of writing this thesis is to understand the background of the prohibition on the recruitment of child soldiers in armed conflict, to know the provisions of international law and judicial decisions regarding the recruitment of child soldiers, and to find out how. The recruitment of child soldiers was carried out by Thomas Lubanga Dyilo at The Ituri conflict, Congo fulfilled the criminal element in Article 8 (2) (e) (vii) of the Rome Statute. The research method used in the writing of this thesis is normative juridical by examining international treaties related to the prohibition of the recruitment of child soldiers and the approaches used and the precedents set by the international judiciary in adjudicating and deciding cases of the recruitment of child soldiers."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tara Nadianti Kasih
"Perkawinan paksa sebagai suatu bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan belum diatur dalam Statuta Roma. Dalam praktiknya, Mahkamah Pidana Internasional telah memutus perkawinan paksa sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan berupa other inhumane acts dan menerapkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Statuta Roma untuk menuntut perkawinan paksa sebagai bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan. Berdasarkan hasil yurisprudensi di berbagai pengadilan internasional yang telah menangani terkait perkawinan paksa, penuntutan atas tindakan perkawinan paksa telah dilakukan dengan menerapkan ketentuan terkait tindakan-tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang berbeda. Beberapa hasil putusan beranggapan bahwa perkawinan paksa lebih tepat untuk dituntut sebagai perbudakan seksual. Namun, dalam perkembangan terkini terkait penuntutan perkawinan paksa dalam kasus Prosecutor v. Dominic Ongwen, Mahkamah Pidana Internasional menyatakan bahwa perkawinan paksa dapat dituntut secara tersendiri di bawah Pasal 7(1)(k) terkait other inhumane acts. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat perlindungan hukum yang terdapat dalam Statuta Roma untuk menghukum tindakan perkawinan paksa dan meneliti terkait alasan hukum yang mendasari penentuan elements of crime dari perkawinan paksa sebagai suatu bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan, lalu bagaimana kasus Prosecutor v. Dominic Ongwen dapat menuntut perkawinan paksa secara tersendiri sebagai other inhumane acts. Hasil penelitian ini menemukan bahwa tindakan perkawinan paksa dan perbudakan seksual seringkali bersinggungan. Sebagaimana telah dinyatakan oleh majelis hakim dalam kasus Prosecutor v. Dominic Ongwen, perkawinan paksa pada umumnya terjadi dalam situasi yang juga mencakup perbudakan seksual. Namun, ketika pemaksaan status perkawinan mengakibatkan penderitaan yang melebihi dan berbeda dari perbudakan seksual, maka perkawinan paksa patut untuk dituntut secara tersendiri agar dapat mencakup keseluruhan tindakan, dampak yang diakibatkan, serta kepentingan yang dilindungi dari tindakan kejahatan yang dilakukan.

Forced marriage as a crime against humanity has not been regulated in the Rome Statute. In practice, the Court has prosecuted forced marriage as the crime against humanity of an other inhumane act and adopted the existing provisions to prosecute forced marriage as a crime against humanity. The jurisprudence from various international courts dealing with forced marriage has adopted different provisions regarding the crime against humanity to prosecute forced marriage. Some considers that forced marriage is more adequately prosecuted as sexual slavery, but recent developments regarding forced marriage in the case of the Prosecutor v. Dominic Ongwen shows that the Court views forced marriage as a crime that needs to be charged separately under Article 7(1)(k) of the Rome Statute as an other inhumane act. Therefore, this study aims to determine the legal protections under the Rome Statute to protect victims from forced marriage and examine the judicial reasonings in determining the elements of crime of forced marriage as a crime against humanity, particularly in prosecuting forced marriage as a separate crime against humanity in the case of the Prosecutor v. Dominic Ongwen. The results of this study found that the act of forced marriage and sexual slavery often intersect and are not mutually exclusive. As stated by the Trial Chamber in the case of Prosecutor v. Dominic Ongwen, forced marriages generally occur in situations in which women are sexually enslaved. However, when the imposition of marital status results in suffering that goes beyond sexual slavery, forced marriage should be prosecuted separately to warrant full responsibility of the perpetrator and to adequately represent the conduct, ensuing harm, and protected interests from the crime committed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hikmatu Shalihah
"Skripsi ini membahas mengenai pengaruh dari Policy Paper on Sexual and Gender-Based Crimes 2014 terhadap penuntutan kejahatan seksual yang diadili di Mahkamah Pidana Internasional. Dalam penelitian ini juga akan dibahas secara kronologis terkait pengaturan dan penuntutan kejahatan seksual di pengadilan- pengadilan sebelum Mahkamah Pidana Internasional untuk melihat signifikansi dari setiap pengadilan dalam penuntutan kejahatan seksual. Kejahatan seksual pada International Military Tribunal of Nuremberg and Tokyo (IMT dan IMTFE) pada masa Perang Dunia II belum dianggap sebagai kejahatan yang terpisah dan hanya sebagai bagian dari “mass atrocities”. Perkembangan dan pengaturan juga kejahatan seksual dapat dilihat pada pengadilan pidana internasional yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB yaitu ICTY, ICTR dan SCSL. Dengan berkembangnya pengaturan kejahatan seksual dalam pengadilan-pengadilan ini maka keberhasilan Penuntut Umum dalam membuktikan kejahatan seksual telah menghasilkan landmark cases seperti putusan Prosecutor v. Tadic yang merupakan keberhasilan pertama oleh Penuntut Umum dalam membuktikan kejahatan seksual. Namun, tidak ada kejahatan seksual yang berhasil dituntut di Mahkamah Pidana Internasional sebelum diterbitkannya Policy Paper on Sexual and Gender-Based Crimes 2014. Kasus pertama yang berhasil membuktikan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa kejahatan seksual adalah kasus Prosecutor v. Bemba setelah diterbitkan Policy Paper on Sexual and Gender Based Crimes 2014. Maka dari itu, penulis bertujuan untuk menjelaskan faktor- faktor dari ketidakberhasilan penuntutan kejahatan seksual di Mahkamah Pidana Internasional melalui kasus-kasus dan pengaruh Policy Paper on Sexual and Gender Based Crimes 2014 sebagai pedoman Penuntut Umum terhadap penuntutan kejahatan seksual di Mahkamah Pidana Internasional.

This thesis discusses the implementation of the Policy Paper on Sexual and Gender-Based Crimes 2014 on the prosecution of sexual crimes tried at the International Criminal Court. This study will also discuss chronologically regarding the regulation and prosecution of sexual crimes in courts before the International Criminal Court to see the significance of each court in prosecuting sexual crimes. Sexual crimes at the International Military Tribunal of Nuremberg and Tokyo (IMT and IMTFE) during World War II were not considered separate crimes and only as part of "mass atrocities". The development and regulation of sexual crimes can be seen in the international criminal courts established by the UN Security Council, namely ICTY, ICTR and SCSL. With the development of the regulation of sexual crimes in these courts, the success of the Public Prosecutor in proving sexual crimes has resulted in landmark cases such as the decision of Prosecutor v. Tadic which is the first success by the Public Prosecutor in proving a sexual crime. However, no sexual crimes were successfully prosecuted in the International Criminal Court prior to the publication of the 2014 Policy Paper on Sexual and Gender-Based Crimes. The first case that succeeded in proving crimes against humanity in the form of sexual crimes was the case of Prosecutor v. Bemba after the publication of the Policy Paper on Sexual and Gender Based Crimes 2014. Therefore, the author aims to explain the factors of the unsuccessful prosecution of sexual crimes at the International Criminal Court through cases and the influence of the 2014 Policy Paper on Sexual and Gender Based Crimes as the Public Prosecutor guide for the prosecution of sexual crimes at the International Criminal Court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michael William Benedict
"Pelaksanaan dan kepatuhan negara anggota Statuta Roma dalam melaksanakan permintaan kerjasama untuk menangkap dan menyerahkan sangatlah penting bagi  Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dalam mencapai tujuannya untuk mengakhiri impunitas. Meskipun begitu, Pasal 98 Statuta Roma hadir sebagai bentuk pengesampingan dari kewajiban kerjasama tersebut. Salah satu negara anggota yang menggunakan pasal ini untuk tidak melakukan kewajiban kerjasamanya adalah Yordania dalam permintaan kerjasama ICC untuk menangkap dan menyerahkan Al Bashir. Menurut Yordania disini Pasal 98(1) berlaku sebab Al Bashir masih memiliki imunitas dan Pasal 98 (2) juga berlaku berdasarkan Convention on the Privileges and Immunities of the League of the Arab States. Melalui metode penelitian hukum normatif yang berbasiskan pada data sekunder, hendak dianalisis apakah Pasal 98 benar berlaku di dalam kasus ini sehingga membuat Yordania tidak melanggar kewajibannya dengan tidak menangkap dan menyerahkan Al Bashir. Adapun melalui penelitian yang telah dilakukan, ditemukan kesimpulan bahwa pertimbangan ICC telah tepat bahwa Pasal 98 tidak berlaku dalam kasus ini. Oleh sebab itu penelitian ini menyarankan perlu dilakukan amandemen terhadap Pasal 98 khususnya untuk memperjelas terkait keberlakuannya terhadap negara yang menjadi subjek dari suatu rujukan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Selain itu mekanisme konsultasi yang tersedia dalam Pasal 97 Statuta Roma sebaiknya dapat menghasilkan suatu keputusan hukum yang mengikat terhadap pelaksanaan kerjasama oleh negara anggota. Dengan begitu setelah diputuskan di tahapan konsultasi bahwa tidak terdapat permasalahan yang diatur di Pasal 98, negara anggota wajib melaksanakan permintaan kerjasama tersebut.

The implementation and compliance of member states of the Rome Statute in carrying out requests for cooperation in arrest and surrender is essential for the International Criminal Court (ICC) in achieving its goal of ending impunity. Even so, Article 98 of the Rome Statute is present as a form of waiver of the cooperation obligation. One of the member states that use this article to not carry out its cooperation obligations is Jordan in the ICC's request for cooperation to arrest and hand over Al Bashir. According to Jordan, Article 98(1) applies because Al Bashir still has immunity and Article 98(2) also applies in accordance with the Convention on the Privileges and Immunities of the League of the Arab States. Through a normative legal research method based on secondary data, it will be analyzed whether Article 98 applies in this case so that Jordan does not violate its obligations by not arresting and handing over Al Bashir. As for the research that has been carried out, it was concluded that the ICC's consideration was correct in concluding Article 98 does not apply in this case. Therefore, this study suggests that it is necessary to amend Article 98 in particular to clarify its applicability to countries that are the subject of a United Nations Security Council (UNSC) referral. In addition, the consultation mechanism provided in Article 97 of the Rome Statute should be able to produce a binding legal decision on implementation of cooperation by member states. Thus, after it was decided at the consultation stage that there were no problems arising out of Article 98, member states were obliged to implement the request for cooperation. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library