Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Melliana Yachya Abbas
Abstrak :
Penerjemahan bukan semata-mata masalah kebahasaan, tetapi juga kegiatan lintas budaya. Karena itu penerjemahan tidak hanya mengalami hambatan dari segi bahasa, tetapi juga dari segi kebudayaan, antara lain dalam penerjemahan kata bermuatan budaya (Kbb). Karena sifatnya Kbb hampir tidak dapat diterjemahkan secara harfiah, atau kata demi kata. Dalam mewujudkan terjemahan yang sepadan yaitu terjemahan yang dipahami oleh pembaca biasa seperti pembaca Hsu memahami Kbb dalam Tsu dapat diterapkan berbagai prosedur yaitu transposisi, modulasi, pemadanan fungsional, pemadanan berkonteks, pemadanan budaya, transferensi dan pemberian catatan. Dengan memperhatikan hal-hal yang telah diuraikan di atas, melalui penelitian ini ingin diketahui (1) prosedur penerjemahan apa yang ditempuh dalam menerjemahkan Kbb bahasa Jepang ke Bahasa Indonesia. (2) Apa unsur bahasa Indonesia yang digunakan oleh penerjemah sebagai padanan bagi suatu Kbb Tsu di dalam Tsa (berupa kata, frasa, klausa atau kalimat). (3) Geseran (shift) apa yang terjadi pada penerjemahan Kbb Tsu ke Tsa. (4) Dengan mengecek melalui informan dan menggunakan prinsip kesepadanan dinamis (Nida dan Taber 1974) ingin diketahui apakah terjemahan suatu Kbb Tsa selalu sepadan dengan aslinya di dalam Tsu. (5) Faktor-faktor apa yang menyebabkan tercapai dan tidaknya kesepadanan di antara Kbb Tsu dan terjemahannya di dalam Tsa. Dari sumber data berupa buku cerita berjudul Madogiwa No Tottochan dan terjemahnnya Tottochan Si Gadis Kecil Di Tepi Jendela dalarn bahasa Indonesia, diperoleh 49 butir Kbb yang meliputi Kbb yang mengungkapkan faktor religi, kebudayaan materiil, dan kebudayaan sosial. Dari jumlah data tersebut dipilih 40 butir data yang dianggap dapat mewakili untuk dianalisis. Analisis terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah analisis semantis yang dimulai dengan mengidentifikasi unsur bahasa dalam Tsu yang diduga sebagai Kbb. Identifkasi dilakukan dengan berpedoman kepada pendapat Nida (1996), Newmark (1988) dan Matsui (1997), dilanjutkan dengan analisis komponen makna untuk mengetahui perbedaan dan persamaan komponen makna Kbb dalam Tsu dan terjemahannya di dalam Tsa. Tahap berikutnya adalah analisis terjemahan. Dengan berpedoman kepada keserupaan atau ketidakserupaan pemahaman informan Bsu dan Bsa, masing- masing terjemahan tersebut dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu terjemahan yang sepadan dan yang tidak sepadan. Untuk mengetahui kesepadanan Kbb Bsu dan terjemahannya di dalam Bsa, masing-masing digunakan, satu orang informan Bsu, dan satu orang informan Bsa. Dari analisis terhadap terjemahan Kbb di ketahui hal-hal berikut: Prosedur penerjemahan yang ditemukan adalah modulasi, transposisi, pemadanan fungsional, pemadanan berkonteks, pemadanan budaya, tranferensi dan pemadanan bercatatan. Unsur bahasa Indonesia yang digunakan sebagai terjemahan di dalam Tsa adalah kata, frasa, klausa, dan kalimat. Prosedur yang diterapkan mengakibatkan adanya geseran struktural maupun geseran semantis. Geseran struktural meliputi geseran unit dan geseran struktur, sedangkan geseran semantis yang ada adalah geseran sudut pandang dan geseran cakupan luasan makna. Dari 40 butir data terjemahan yang dianalisis, 32 data mencapai kesepadanan dinamis dan 8 butir data tidak. Kesepadanan dapat tercapai karena informan Bsa dapat memahami terjemahan Kbb dalam Tsa sama seperti informan Bsu memahami Kbb dalam Tsu nya. Tidak tercapainya kesepadanan pada terjemahan Kbb disebabkan terjemahan Kbb dalam teks sasaran tidak dapat dipahami oleh pembaca Bsa seperti pembaca Bsu memahami Kbb dalam Tsu nya. Hal ini dikarenakan oleh : - Konsep, objek, benda atau referen yang dimaksud tidak dikenal dalam kebudayaan Bsa. - Penggunaan prosedur penerjemahan yang kurang tepat. - Ada kesalahan linguistis, yaitu pemilihan kata termasuk penerjemahan Kbb secara harfiah.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T10941
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dance Wamafma
Abstrak :
Modalitas imperatif pada tataran semantik dikaji secara morfosintaksis untuk menguak makna yang berpangkal pada verba dan makna relasionalitas yang ditimbulkan oleh adanya hubungan makna antarverba dengan unsur lain dalam suatu kalimat. Analisis dilakukan secara terpisah di mana bahasa Jepang dan bahasa Indonesia diamati dari sudut pandang pendekatan masing-masing bahasa lalu diperbandingkan untuk menemukan perbedaan bentuk bahasa dan makna bahasa yang menjadi ciri khas bahasa bersangkutan. Konsep dasar yang merupakan takaran pada tataran imperatif dirumuskan sebagai; "Aktualisasi peristiwa was desakan bersifat ajaran". Makna ini dirumuskan oleh Nitta Yoshio dalam bahasa Jepang dengan sebutan `hatarakikake', yaitu `haraku' bertindak, bekerja, dan `kakeru' ujaran. Konsep ini dalam bahasa Jepang dan bahasa Indonesia ternyata mendasari suatu pandangan tentang pikiran manusia yang dapat diamati melalui kalimat dan unsur-unsurnya pada kategori modalitas imperatif, yang mencakup, modalitas perintah, modalitas permohonan atau permintaan, modalitas permohonan negatif, modalitas larangan, modalitas perintah negatif, dan modalitas izin. Aspek-aspek di atas pada tataran konsep yang sama itu dikontrastifkan untuk menguak perbedaan bentuk bahasa, kedudukan semantis modus, dan cakupan makna modalitas yang juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti kedudukan sosial pelaku bahasa (pembicara dan lawan bicara) dan hubungannya dengan penanda imperatif dalam kalimat. Kedua bahasa akhirnya dapat dinyatakan memiliki perbedaan yang sangat lebar, yaitu (1) untuk membentuk modus imperatif, proses morfemis verba bahasa Jepang berciri infleksi sementara bahasa Indonesia menggunakan afksasi. (2) Makna imperatif kedua bahasa memperlihatkan cakupan makna yang cukup banyak. Misalnya pernarkah jangan' dalam bahasa Indonesia dapat diungkapkan dalam bahasa Jepang dengan permohonan negatif, larangan, perintah negatif. (3) Unsur lain seperti partikel khusus dalam kalimat perintah tidak ditunjukkan oleh bahasa Indonesia. Misalnya partikel 'g-a' yang menyatakan makna kepelakuan pada subjek dalam kalimat perintah bahasa Jepang. Ini sangat jelas diamati karena tata bahasa Indonesia tidak mengenal struktur dengan kata bantu seperti dalam jenis rumpun bahasa tleksi. (4) Hubungan sosial pelaku bahasa dalam kalimat imperatif banyak mempengaruhi terbentuknya verba bahasa Jepang. Sehingga bentuk-bentuk infleksi verba bahasa Jepang erat kaitannya dengan subjek pelaku dan pembicara dalam tataran deontik, Hal mana ini tidak terjadi dalam bahasa Indonesia. (5) Penanda imperatif bahasa Jepang dapat menunjukkan restriksi yang berbeda-beda dengan penanda modalitas imperatif lain. Pada bahasa Indonesia tidak ada. (6) Konstruksi dasar imperatif bahasa Jepang adalah infleksi verba sedangkan dalam bahasa Indonesia berbentuk kata dasar untuk larangan dan dalam bahasa Indonesia untuk penghalus perintah menggunakan prefiks 'di + verba dasar', 'verba dasar + sufiks lalr', 'verba dasar + kan'. (7) Terdapat bentuk imperatif untuk anak kecil dalambahasa Jepang, seperti `te + choudai', sini!, hal mana tidak terdapat dalam bahasa Indonesia. (8) Penanda izin dalam bahasa Indonesia dinyatakan dengan adverbia `boleh + verba dasar', sementara dalam bahasa Jepang dinyatakan dengan ajektifa dalam konstruksi 'sufiks te mo ii', atau 'sufiks te mo yoi', atau verba negasi `kamau'. (9) Letak kata pembentuk larangan negatif `jangan' dengan penanda 'na' berlawanan, misalnya pada kata 'jangan makan' (BI), `taberu na', makna jangan, cakupan maknanya pun berbeda. Adverbia 'na' menyatakan perintah negatif sedangkan 'jangan' dapat memaknai perintah negatif, larangan, permohonan negatif dan lain-lain. "Na" wajib hadir di belakang verba bentuk kamus sementara `jangan' terletak di depan verba yang dapat melesap. (10) Hubungan antar penanda permohonan dalam makna keinginan `tai' dengan pesona 1,2,3, dapat dibedakan berdasarkan bentuk mofologi verbanya. Hal ini tidak terdapat dalam bahasa Indonesia. (11) Perbedaan budaya dan tingkat sosial turut menentukan terbentuknya infleksi verba yang digunakan pelaku bahasa.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T11945
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library