Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 30 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1993
S7523
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rama Dona
Abstrak :
ABSTRAK Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis dan mendeskripsikan tokoh penokohan dari pementasan Lakon Petruk dadi Ratu yang ditampilkan oleh Sekar Budaya Nusantara. Lakon Petruk dadi Ratu berisikan tentang Petruk yang merupakan tokoh abdi kerajaan yang menjadi raja untuk menegur para tuannya. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dari aplikasi elemen drama dan sarana dramatik untuk membahas, menggambarkan, dan menganalisa apa saja yang terkandung di dalam pementasan wayang orang Lakon Petruk dadi Ratu. Hingga pada akhirnya penelitian ini menentukan bahwa tokoh Petruk adalah tokoh utama dengan penokohan yang memiliki sifat adil, rendah hati, dan rela berkorban.
ABSTRACT The purpose of this thesis is to analyze and describes about character and characterization of Wayang Orang show Lakon Petruk dadi Ratu by Sekar Budaya Nusantara. Lakon Petruk dadi Ratu is about the story of Petruk who is a servant of a kingdom that becomes a king to criticize his kings. The method that will be used in this thesis is descriptive analysis from the application of elemen drama and sarana dramatik to discuss, derscribe, and to analyze Lakon Petruk dadi Ratu. The conclusion of this thesis is, in Lakon Petruk dadi Ratu, Petruk is the main character that has fair, humble, and willing to sacrifice character.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leila Djafaar
Abstrak :
ABSTRAK
Harold Pinter (1930- ) adalah seorang dramawan inggris yang termasuk dalam apa yang disebut kelompok dra_mawan Absurd, suatu aliran yang mulai berkembang dengan pesat setelah pecahnya Perang Dunia II di Eropa. Karya_-karya aliran ini sering mendapat julukan 'anti-plays_, karena banyak menentang aturan-aturan drama konvensional pada umumnya. Hal ini dapat dilihat dari ketidak-jelasan waktu kejadian, tokoh-tokohnya yang hampir tidak memiliki kepribadian bahkan sering tanpa nama, tindakan-tindakan mereka yang cenderung selalu berubah selama perkembangan lakon, alur yang tidak linear, serta rentetan kejadian yang tidak dikaitkan oleh hubungan sebab akibat seperti dalam drama konvensional. Sebagai akibat, sering timbul pertanyaan apakah lakon itu menampilkan suatu dunia mimpi yang buruk atau dunia nyata. Tetapi satu hal yang menonjol adalah bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam lakon_-lakon tersebut tampak berada di luar jangkauan akal pikir_an manusia - penuh absurditas, tak ada konsistensi gerak maupun watak, dan tanpa makna serta tujuan yang jelas.

Kata 'absurd' itu sendiri dapat berarti 'ketidak_harmonian yang tanpa alasan, tak wajar, tak logis_
1985
S14088
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Daniel Fahmi Rizal
Abstrak :
ABSTRAK
Suatu teks tidak tercipta dalam keadaan kekosongan budaya. Dalam membaca teks sastra kita perlu mempertimbangkan teks-teks lain yang kiranya memengaruhi penulis. Untuk itulah perlu kita perhatikan prinsip intertekstualitas. Prinsip ini memaparkan bahwa setiap teks sastra dibaca dengan latar belakang teks-teks lain. Hal ini terlihat di dalam teks lakon Gundala Gawat dari kelompok teater Gandrik. Gandrik terkenal akan caranya membedah naskah pementasan sesuai kehendak mereka, sehingga naskah yang awalnya diproduksi penulis bisa berubah ketika dipentaskan dalam lakon. Faktor ini cukup menjadi alasan kecurigaan adanya teks-teks lain yang memengaruhi pementasan Gandrik. Oleh karena itu, teks-teks intertekstual tidak dapat dilepaskan dari pementasan Gundala Gawat.Dengan metode kualitatif, peneliti menghubungkan teks-teks lain yang memengaruhi tokoh Gundala dalam Gundala Gawat. Peneliti menemukan bahwa tokoh Gundala dalam Gundala Gawat memiliki keterkaitan dengan tokoh Gundala dalam teks komik dan teks naskah. Hasil analisis menunjukkan bahwa pementasan kelompok teater Gandrik terpengaruh dari pola teater tradisional. Gandrik mengolah naskah Gundala Gawat, yang sebelumnya terinspirasi dari komik Gundala Putera Petir, ke dalam lakon untuk menyuarakan ideologinya melalui tokoh Gundala. Ideologi Gandrik yang ditemukan berupa ideologi pembebasan, yakni ideologi Gandrik untuk mengajak penonton lakon sejenak menertawakan pihak-pihak yang melakukan represi terhadap kehidupan manusia Indonesia.
ABSTRACT
A text is not created in a state of cultural emptiness. When we read a literary text, we need to consider the other texts that affect the author. For that, we need to consider the principle of intertextuality. This principle means that every literary text is read with observing the other texts as a background. These principles need to be considered when we read the text of Gundala Gawat performance by the Gandrik theater group. Gandrik is famous for dissecting a script, so that texts that originally produced by the author could change when staged in the performance. This reason is enough to be a suspicious that any texts affect Gandrik rsquo s performance. Therefore, intertextual texts can not be separated from the Gundala Gawat performance.With qualitative methods, the study was connect the texts that affect Gundala Gawat. It was found that Gundala Gawat influenced by comics text by Hasmi, script text Goenawan Mohamad, and the patterns of traditional theaters. The finding of this intertextual texts will be a footing of the search Gandrik rsquo s ideology in the Gundala Gawat performance. The analysis showed that Gandrik detracted from the pattern of traditional theater. Gandrik process Gundala Gawat script, which previously inspired by Gundala Putera Petir comics, into the performance to voice their ideology. Gandrik ideology is found in the form of liberation ideology, the ideology that invite the audience to laughing at parties repression against Indonesians human life.
2016
T48289
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Ngabehi Sindusastra
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978
899.222 SIN b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Evania Handayani Rahayu
Abstrak :
Lakon wayang yang bermotifkan kematian seringkali menyuguhkan pesan moral yang mendalam. Sebab-sebab kematian perlu diungkapkan untuk mendapatkan jawaban mengapa seorang tokoh mati dengan cara tertentu. Lakon ranjaban adalah salah satu motif kematian yang perlu dikaji bagaimana seorang tokoh mati dengan cara di ranjab. Abimanyu ranjab menyuguhkan permasalahan antara darma dan karma manusia sebagai implementasi dari peristiwa silam dan kini. Darma merupakan kewajiban manusia sebagai bakti kepada Tuhan untuk menjaga kedamaian dunia. Hasil dari usaha yang dilakukan menuju kedamaian dunia sering disertai pengurbanan (karma). Karma memayungi segala perbuatan serta sikap baik dan buruk setiap manusia. Pesan moral yang disuguhkan melalui lakon ini mengisyaratkan bahwa manusia seyogyanya berlaku jujur dan terbuka. Kebohongan dan ketertutupan terhadap sesuatu yang sakral dapat mengakibatkan penderitaan dan kematian. Pembahasan lakon Abimanyu Ranjab menggunakan pendekatan objektif, metode deskriptif kualitatif yang ditopang dengan studi kepustakaan dan kerangka konseptual teoritis etika Jawa dari Franz Magnis Suseno. Hasil pembahasan ini menunjukkan bahwa antara darma dan karma saling kait mengait satu dengan yang lain. Sumpah seseorang yang bersifat sakral dapat mengenai diri sendiri. Kebohongan dan ketertutupan terhadap urusan relasi pria dan wanita dalam menjalin rumah tangga mengakibatkan penderitaan dan kematian. ...... Wayang Show that use mortality as a theme usually gives a deep moral values. Causes of death should be explained to make audience understand the reason of a character's death. In Ranjaban Story, there is one cause of death that needs to be studied. It is about how a character died because of ranjab. Abimanyu Ranjab Story presents conflict between Darma and Karma of human as an implementation of present and past incident. Darma is human's responsibility from God to keep peace in the world. In order to reach the goal of keeping peace in the world, there must be sacrifices (karma) that followed. Karma is on top of everyone's good and bad deed. The moral value from this story implies that human should be truthful and open. Untruthfulness about sacred thing may cause sorrow and death. The study of Abimanyu Ranjab Story used an objective approach, descriptive qualitative method which supported by literature study and Javanese ethics theoretical conceptual framework from Franz Magnis Suseno. The result of this study showed that there are connection between Darma and Karma. Someone's sacred oath might be a boomerang to his/herself. Untruthfulness in a marriage life between man and woman might cause sorrow and death.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Aninda Savira Sofandy
Abstrak :
Penelitian ini membahas kategori dan fungsi tindak tutur ilokusi dalam lakon Wabah yang dipentaskan oleh Teater Koma. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan jenis-jenis tindak tutur ilokusi yang terdapat dalam lakon Wabah. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif analitis. Sumber data dalam penelitian ini adalah dialog yang dituturkan oleh tokoh-tokoh pada lakon Wabah yang berdurasi 25:26 menit. Pengumpulan data dimulai dengan melakukan transkripsi data dan mengelompokkan data-data berdasarkan jenis tindak tuturnya. Penelitian ini menggunakan teori tindak tutur ilokusi Searle (dalam Leech, 1993). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat empat jenis tindak tutur yang ditemukan, yaitu tindak tutur direktif, asertif, komisif, dan ekspresif. Pada tindak tutur direktif, ditemukan tujuh fungsi komunikatif, yaitu menasihati, mengingatkan, menyuruh, melarang, menuntut, memohon, dan mengajak. Pada tindak tutur asertif, ditemukan dua fungsi komunikatif, yaitu menyatakan dan menyangkal. Pada tindak tutur komisif, ditemukan satu fungsi komunikatif, yaitu berjanji. Lalu, pada tindak tutur ekspresif, ditemukan dua fungsi komunikatif, yaitu mengeluh dan memuji. ......This study discusses the categories and functions of illocutionary speech acts in Teater Koma's drama. This research aims to describe the types of illocutionary acts found in the drama entitled Wabah. This research is qualitative research with a descriptive-analytical approach. The data source in this study is the dialogue spoken by the characters in the drama Wabah, which lasts 25:26 minutes. Data collection begins by transcribing and grouping the data based on the categories of speech acts. This study uses Searle's speech act theory (in Leech, 1993). The results of this study indicate that there are four categories of speech acts found, namely directive, assertive, commissive, and expressive speech acts. In directive speech acts, seven communicative functions are found; advising, reminding, ordering, forbidding, demanding, begging, and inviting. In assertive speech acts, two communicative functions are found; stating and denying. In commissive speech acts, one communicative functions are found; promises. Then, in expressive speech acts, two communicative functions are found: complaining and praising.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Darmoko
Abstrak :
ABSTRAK
Aspek suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa belum mendapatkan perhatian khusus oleh para sarjana yang mendalami dan menekuni dalam hal wayang. Dalam penelitian ini permasalahn utama yang perlu diangkat adalah: 1. bagaimana bentuk suluk dalam 1akon/pertunjukan wayang purwa; 2. bagaimana penggunaan su1uk da1am lakon/petunjukan wayang purwa; 3. bagaimana kedudu­kan suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa; dan 4. bagaimana fungsi suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa.

Sedangkan tujuan penelitian ini ialah mengupas atau mengana­lisis suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa agar didapatkan makna yang utuh dan menyeluruh (wholeness).

Metode penelitian yang dipergunakan yaitu metode dan teknik analisis struktural, yaitu metode yang bertujuan membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semenditel, dan sedalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh. Analisis struktural bukanlah penjumlahan anasir-anasir itu, misalnya tidak cukup didaftarkan semua kasus aliterasi, asonansi, rima akhir, rima dalam, inversi sintaktik, metafor dan metonimi dengan segala macam peristilahan yang muluk-muluk dengan apa saja yang secara formal dapat diperhatikan pada sebuah sajak atau dalam hal romanpun tidak cukup semacam enumerasi gejala-gejala yang berhubungan dengan aspek waktu, aspek ruang, perwatakan, point of view, sorot balik dan apa saja. (Teew, 1984: 135-136)

Dalam menganalisis aspek suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa ini diperlukan pendekatan intrinsik, yaitu pendekatan yang bertitik tolak dari dalam, batiniah, sifat dasar atau bagian dasar karya sastra itu sendiri. Menurut Panuti Sudjiman intrinsik berarti: 1. dari dalam, batiniah; 2. merupakan sifat atau bagian dasar. (1984:35). Bahan yang diangkat dalam penelitian ini ialah Diktat Sulukan Ringgit Purwa Cengkok Mangkunagaran, yang dihimpun oleh Ki Ng. Suyatno WS, seorang pamong PDMN di Surakarta tahun 1986:

Kesimpulan akhir yang didapatkan adalah bahwa:

1. Bentuk suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa merupakan susunan bahasa Jawa Kuno dan Jawa Klasik (Baru) berbentuk tembang gedhe maupun macapat.

2. Penggunaan suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa ialah setelah suatu iringan gending pada adegan tertentu suwuk (berhenti). Suluk tersebut berupa pathetan, ada-ada, dan sendhon.

3. Kedudukan suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa amatlah penting, karena suatu adegan dalam pakeliran wayang purwa sangat memerlukan suasana batin yang sesuai. Dalam keseluruhan struktur dalam lakon/pertunjukan wayang purwa, suluk dipandang sebagai unsur yang turut mendukung terjalinnya kaitan suatu peristiwa satu dengan yang lainnya (berikutnya).

4. Fungsi suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa adalah untuk melukiskan dan menggambarkan atau memberikan suasana tertentu pada suatu adegan tertentu pula. Suasana tersebut adalagh agung, khidmat, marah (sereng), "tergesa-gesa", semangat, sedih, dan haru.

Demikian abstrak penelitian saya dengan judul "Aspek Suluk dalam Lakon/Pertunjukan Wayang Purwa".
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 1996
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Darsimah Mandah
Depok: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 1993
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Hari S. Soediro
Abstrak :
This research takes a serial drama entitled Orkes Madun (OM-I-Iwritten by Arifin C Noer which consist of four plays as its corpus. They are: i Madekur dan Tarkeni atawa Orkes Madun Bagian Satu (OM-1, 1973); ii Orkes Madun 2A/Umang-Umang (OM-II,1976); iii Orkes Madun IIB atawa Sandek Penurda Pekerja (OM-III, 1979); and iv Ozone atawa Orkes Madun IV (OM-IV, 1989). There are two main aspects of text, they are dramatic text and performance text. There are four important elements in every structure of the dramatic text, namely dramatic shape, character, dialogue, and stage directions (Aston, 1991). The aim of this research is : to find out the characteristic of the dramatic text structure, especially its character element and characterization, as well as its plot of OM-I-IV; to reveal the theme and its message of OM-I-IV; andto unravel the thread which unites those four plays or a single long play (OMI-IV).This research is a qualitative research using a structural and semiotic approach. There are three steps to reach the goal. First, analyzing textually the structure of the dramatic text OMJ-IV, especially the characteristic of its characters and plot. Second, a$alyzing semiotically the sign-system of the character and plot, especially to reveal the meaning of the message as well as its characters. Third, analyzing by using the intertextual approach to find out the difference and the likeness of those four plays, and also to unravel the thread which unites them. The conclusion as the outcome of this research can be drawn as follows: 1.1 The dramatic text of OM-I-IV can be classified as a radical dramatic text, tragicomedy drama, drama of idea, or symbolical drama. 1.2 WASKA (WK) as the central character, is able to develop a dramatic plot, so that, he can play the role as the thread which unites those four plays in MI--I-IV.;
1998
D1633
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>