Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 29 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zaim Saidi
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995
303.6 ZAI s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hamid Abidin
Depok: Piramedia, 2004
361.8 HAM k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Komitmen terhadap nilai-nilai HAM dewasa ini di dunia telah menggerakkan kesadaran masyarakat terhadap 4 hal yaitu demokratisasi dan keadilan sosial, partisipasi wanita dalam pembangunan, perburuhan serta lingkungan hidup. Hal ini berkat kelompok masyarakat non negara seperti LSM, cendikiawan, agamawan dan kelompok lingkungan baik di tingkat internasional maupun nasional. Mereka telah melahirkan pendekatan baru dalam sistem internasional yang tidak lagi memandang negara sebagai aktor yang penting dan utama dalam hubungan internasional. Dalam lingkup nasional partisipasi mereka semakin penting dalam proses pemberdayaan masyarakat.
Hukum dan Pembangunan, XXVIII (4) Juli Agustus 1998: 252-261, 1998
HUPE-XXVIII-4-JulAgus1998-252
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
S7188
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Konsil LSM Indonesia, 2014
351 AKUN 2 2014
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
cover
R.M. Wahyu Widodo
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1991
S25372
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Ayang Sabrina
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai hubungan pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat LSM dalam upaya-upaya perlindungan anak yang dipekerjakan dengan melihat hubungan yang terjadi di Provinsi Jawa Timur. Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif dengan melalui wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan pemerintah dan LSM cenderung dicirikan dengan hubungan yang pragmatis dan bersifat sub contract dari program pemerintah dan sisanya adalah kebutuhan praktis, advokasi, dan inisiatif. Akan tetapi, sikap masing-masing LSM berbeda-beda dalam menanggapi hubungan tersebut yang didasari oleh pandangan dan orientasi LSM. Hubungan yang bersifat pragmatis dan sub-contract ini juga dipengaruhi oleh rendahnya political will dan kapasitas pemerintah serta isu anak yang dipekerjakan yang masih dianggap hanya sebagai isu privat.
ABSTRACT
This thesis discusses the GO NGO relation on the child labour protection in East Java, Indonesia. This research was conducted using qualitative approach through deep interview and literature studies. The result showed that this GO NGO relation is characterized by pragmatic relation and NGOs have the tendency to become government rsquo s sub contract in protection programme. This relation also affect how NGO behave to the government and it is different in each NGO based on their point of view and orientation. This relation indicates the lack of political will and capacity of the government bodies. Furthermore, this relation also can be explained because of the child labour issue itself which still considered as private issue rather than public issue.
[;, ]: 2017
S70049
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Masjitoh Tri Siswandewi,
Abstrak :
Pelaksanaan pengiriman pekerja Migran Perempuan ke iuar negeri terjadi terus hingga saat ini. Pada hakekatnya hal ini berlangsung sehubungan sulitnya perekonomian keluarga di desa. Namun pada gilirannya dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan oleh siapapun, khususnya bagi Pekerja Migran Perempuan itu sendiri. Keberadaan pendampingan dalam pemulihan kondisi Pekerja Migran Perempuan yang terkena masalah, memiliki nilai penting. Nilai penting disini memiliki makna bahwa keberadaan para pendamping di lapangan, setidaknya mengetahui dan memahami tentang berbagai kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi oleh Pekerja Migran Perempuan. Aktivitas pendamping dalam melaksanakan tugas-tugas di lapangan sangat besar pengaruhnya terhadap proses penyelesaian masalah yang dihadapi oleh Pekerja Migran Perempuan. Akan tetapi kenyataan lapangan memperlihatkan proses pendampingan itu sendiri belum maksimal diberikan kepada Pekerja Migran Perempuan yang bermasalah. Kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan yang mendasar : mampukah para pendamping menampilkan perannya secara tuntas ? Keadaan diatas mendasari penelitian ini yang bertujuan untuk :
  1. Mengidentifikasi latar- belakang kepergian Pekerja Migran Perempuan.
  2. Bagaimana proses pendampingan yang sudah dilakukan oleh LSM Solidaritas Perempuan ?
  3. Apa saja faktor pendorong dan penghambat dalam proses pendampingan itu sendiri ?
Penelitian ini dilakukan pada Pekerja Migran perempuan yang pernah. ditangani oleh LSM Solidaritas Perempuan yang bertempat tinggal di Kecamatan Rawamerta, Kabupaten Karawang, bulan Maret tahun 2001, dengan mengambil 5 orang informan. Wilayah Kecamatan Rawamerta ini termasuk daerah yang cukup banyak penduduknya bekerja ke luar negeri sebagai Pekerja Migran Perempuan. Hal ini yang menjadi alasan pemilihan lokasi penelitian. Adapun tipe penelitian adalah deskriptif dan pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Adapun LSM Solidaritas Perempuan itu sendiri adalah sebuah perserikatan untuk menegakkan hak asasi manusia. Dan melalui salah satu bagian dari perserikatan ini, yaki : Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia, para Pekerja Migran Perempuan diberi pelayanan sesuai dengan permasalahan yang dihadapinya. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kepergian para Pekerja Migran Perempuan ini semuanya dengan latar belakang dan motivasi ekonomi, cara kepergian mereka semuanya menggunakan jasa `sponsor', serta seluruhnya mendapatkan dukungan sepenuhnya dari keluarganya. Dalam penelitian ini berhasil pula diketahui dan dideskripsikan peran pendamping yang sudah dilakukan. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa telah terjadi pelaksanan pendampingan di lapangan, baik peran pendamping yang bersifat fungsional, seperti memberikan dukungan, memotivasi, memfasilitasi penyelesaian masalah, meningkatkan kesadaran, serta juga sebagai peneliti dengan teknik pengumpulan data. Walaupun pelaksanaan pendampingan telah berlangsung di lapangan, akan tetapi peran pendamping kenyataannya Baru sebatas penyelesaian masalah-masalah yang sifatnya normatif, seperti hal-hal yang berkenaan dengan finansial. Terlihat hal yang berkenaan dengan psikologis dan konseling belum terlaksana sebagaimana mestinya. Hal tersebut diatas disebabkan oleh latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh para pendamping dari dunia hukum. Sehingga yang mereka lakukan labih pada advokasi hukum. Sementara kejadian yang menimpa Pekerja Migran Perempuan itu sendiri tidak hanya dapat dilihat dan diselesaikan dari aspek hukum saja. Untuk itu rekomendasi yang diberikan adalah diperlukannya pendampingan yang berkesinambungan, diperlukan pendamping dengan latar belakang pendidikan psikologi atau pekerjaan sosial untuk keberhasilan proses pendampingan itu sendiri.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T7295
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jiway Francis Tung
Abstrak :
Tesis ini adalah sebuah studi kasus advokasi lingkungan, yang menyoroti ketertibatan LSM lokal maupun nasional dalam usahanya untuk membela, petani sawah dan tambak di Dukuh Tapak, Semarang Barat, Jawa Tengah, dari dampak negatif dari proses industrialisasi. Limbah industri yang mentah, dibuang ke kali Tapak, dari sebuah pabrik baru dibangun dengan modal Jepang dan merembet ke sawah melalui saluran irigasi, ke tambak tambak, serta sumur warga Tapak. Korupsi birokrasi pemerintah yang kerapkali ditemukan, sikap acuh tak acuh dari para industriawan, serta intimidasi dan tekanan yang dilakukan oleh polisi maupun aparat militer, bukan merupakan suatu temuan yang mengejutkan, melainkan dapat diduga sebagai gejala dan proses pembangunan yang sudah berjalan di Indonesia sejak awal 1970an. Temuan yang mengejutkan adalah cara LSM nasional menjalankan agenda mereka, terkadang di atas kebewatan warga Tapak, yang pada akhirnya justru merugikan warga Tapak. Kasus Tapak metibatkan suatu koalisi longgar dari LSM nasional maupun lokal. Pada awalnya, LSM lokal dan warga Tapak menempuh pelbagai cara, termasuk meminta bantuan dari birokrasi pemerintah yang sama sekali tidak mengindahkan nasib mereka, dan berusaha membuat perusahaan pabrik mengendalikan dan mengolah limbahnya. Setelah usaha-usaha tersebut tidak berhasil, mereka berusaha mengendalikan limbahnya sendiri dengan penanaman encek gondok serta pohon bakau untuk meringankan efek pencemaran serta erosi, dan juga membelokkan saluran kali Tapak supaya tidak melewati sawah dan tambak tambak mereka. Usaha-usaha tersebut tidak berhasil dan pemerintah mengizinkan pabrik baru dibangun serta memasukkan Tapak dalam kawasan industri di mana industri diperbotehkan mencemari lingkungan. Seiring dengan situasi warga Tapak yang semakin hari semakin buruk, taktik yang mereka tempuh mencerminkan keputusasaan mereka. Bekerjasama dengan Walhi, LSM lingkungan di Indonesia yang ternama, mereka mencegat Menteri Perindustrian ketika dia memberi ceramah di Universitas Kristen Satyawancana di Salatiga, Jawa Tengah, untuk menuntut pertanggungjawaban serta tindakan korektif urrtuk mengatasi masalah pencemaran. Setetah aksi tersebut, para demonstran Tapak melarikan diri untuk menghindari kejaran aparat Pada waktu yang sama, warga Tapak memutuskan untuk minta bantuan dari YLBHI, serta LBH Semarang untuk menggugat perusahaan yang bertanggungjawab atas pencemaran di Tapak. Pada waktu itu, aparat berusaha mengakhiri kasus Tapak dengan tindakan represif dan intimidasi. Pertemuan warga dirazia, tokoh warga diancam, dan mata-mata digunakan untuk menciptakan suasana mencekam serta tidak menentu. Keterlibatan dua LSM ternama yang berorientasi advokasi membawa akibat-akibat yang tidak sengaja. Sampai titik ini, LSM lokal di Semarang bekerjasama secara akrab dengan warga Tapak untuk memutuskan jalan baiknya. LSM lokal menganggap perannya sebagai pendamping warga serta untuk membantu melaksanakan keputusan yang diambil warga Tapak, Walhi serta YLBHI, dengan jaringan nasional dan internasional yang luas, mempunyai sumber daya serta opsi yang beranekaragam. Mereka cenderung membuat agenda sendiri, yang meninggalkan LSM serta warga Tapak untuk melaksanakan keputusan yang sudah diambil dalam rapat LSM atau sebagai penonton dalam sebuah drama yang lebih besar antara pemerintah dan LSM nasional tersebut. LSM-LSM nasional menyelenggarakan boikot konsumer yang pertama di Indonesia yang ditujukan pads perusahaan yang mencemari kali Tapak. Boikot tersebut bersama dengan keterlibatan Mental KLH Emil Salim, memaksa perusahaan pencemar untuk menyetujui mediasi. Persetujuan yang dihasilkan mewajibkan pengusaha membayar ganti rugi dan merehabilitasi lingkungan kali Tapak. Persetujuan tersebut dianggap sebagai kasus pertama di mana mediasi lingkungan diselenggarakan dengan berhasil. LSM-LSM nasional menerbit buku dan memberi ceramah di mancanegara mengenai keberhasilan kasus tersebut. LSM baru bernama, ICEL, the Indonesian Center for Environmental Law, didirikan oleh salah satu staf dari YLBHI yang paling menjagokan mediasi sebagai solusi tepat bagi kasus Tapak. ICEL didirikan dengan bantuan dari USAID untuk mengembangkan mediasai serta solusi lain berdasarkan jalur hukum untuk menyelesaikan sengketa lingkungan. Persetujuan yang dihasilkan proses mediasi, tidak pemah dilaksanakan dan usaha untuk pengawasan tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Warga Tapak menerttma ganti rugi akan tetapi jumlahnya tidak memadai untuk menggantikan 14 tahun pencemaran yang dideritakan mereka. Pemulihan kali Tapak tidak pernah terjadi dan pencemaran mulai lagi, dengan matinya ikan, udang serta rusaknya sawah-sawah. Warga Tapak ingin melanjutkan guggatannya terhadap perusahaan pencemar lagi, akan tetapi YLBHI melarang LBHS untuk melanjutkan kasusnya lagi. Larangan tersebut terjadi ketika YLBHI tengah bernegosiasi dengan pemerintah di daerah lain mengenai kasus lain dengan menggunakan metode mediasi lingkungan juga. Menurut YLBHI, warga Tapak terikat oleh persetujuan mediasi untuk tidak menggugat lagi. Tanpa kemungkinan untuk melanjutkan kasusnya, terlupakan oleh LSM nasional dan masih diintimidasi oleh aparat, warga Tapak tidak ada pilihan lain kecuali menjual sawahnya dan tambaknya pada pemda setempat dengan harga murah, yang dijual kembali pada industriawan untuk membangun pabnk pabrik baru. Di suatu negara di mana selama Orde Baru, penegakan hukum tidak ada dan keputusan pengadilan dibuat berdasarkan jumlah suap atau kedekatan koneksi pada istana, tidak masuk akal bahwa LSM nasional bisa bersikap baik dan percaya bahwa mediasi lingkungan tanpa sanksi yang jelas dapat menyelesaikan kasus Tapak dengan baik kecuali dengan mempertimbangkan faktor kepentingan sendiri. Mengapa warga Tapak dikorbankan demi kepentingan kasus mediasi lingkungan yang lain, jika kasus Tapak menunjukkan kelemahan serius bahkan fatal dan model mediasi? Mengapa akiivis LSM berusaha mempromosikan model penyelesaian sengketa yang tidak praktis dan tidak pintas pada donor intemasional? Jawabannya secara pasti melebihi jangkauan penelitian ini, akan tetapi, saya berpendapat bahwa jawabannya terletak pada hubungan antara organisasi internasional Berta donor dengan LSM di dunia ketiga. Hubungan tersebut melibatkan lebih dari penyaluran dana dan ide melainkan penyaluran ideologi yang terjadi dalam konteks strukturalisasi ketergantungan dana di mana legitimasi diukur oleh donor daripada masyarakat akar rumput yang merupakan basis dukungan LSM yang sebenamya.
This thesis a case study of environmental advocacy, examining the involvement of local and national NGOs in defending rice and shrimp farmers in Tapak village, West Semarang, Central Java, from the effects of industrialization. Raw industrial waste, dumped into the Tapak river by a newly built Japanese owned factory, quickly found its way into rice-fields-through irrigation ditches, as well as into ponds for raising shrimp and village wells. The pervasive corruption of government bureaucrats, callous indifference of industrialists, and intimidation and coercion by police and military, that I have found in this case study were neither unusual nor unexpected, but rather symptomatic of the process of development which has been occurring in Indonesia since the early 1970s. What was unexpected was the way national NGOs involved in the case pursued their own agenda, even over the objection of the villagers involved and ultimately totheir detriment. The Tapak case involved a loose coalition of local and national NGOs. In the beginning, local NGOs and villagers pursued a variety of tactics including working their way up a totally unresponsive bureaucracy and trying to make factory management control and treat their waste. When these efforts proved fruitless, they switched to physical efforts to control the waste themselves including the planting of encek gondok plants and mangrove trees to try and alleviate the effects of the pollution and erosion, and also diverted the main channel of the river to bypass rice fields and fishponds. These efforts also were not successful as the government continued to allow new factories to be built and also zoned Tapak village into an area designated as an "industrial area" where factories would be allowed to pollute the environment. As the Tapak villagers' situation grew more desperate, so did the tactics they employed. Working together with Waihi, Indonesia's most prominent environmental NGO, they interrupted the Minister of Industry during a lecture he was giving at a university in Salatiga, Central Java, to demand government accountability and corrective action, afterwards fleeing the inevitable pursuit by police and military. At the same time, the Tapak villagers decided to enlist YLBH1, Indonesia's national legal aid institute and its local office, LBHS to sue the polluting companies. At this point, the military raised the level of intimidation and coercion to try to end the case. Village meetings were raided, local leaders were threatened and village spies and informants were used to create an atmosphere of fear and mistrust. The involvement of two of Indonesia's most prominent advocacy oriented NGOs, YLBHI and WALHI, brought unintended consequences. Up to this point, local Semarang based NGOs worked very closely with the Tapak villagers to decide what course of action totake. The local NGOs saw their role as one of support and to help facilitate any decision the villagers made. Waihi and YLBHI, with a wide network of national and international contacts, had a much wider range of resources and possible solutions. They tended to formulate the agenda themselves, leaving local NGOs and villagers to implement what had been decided in NGO meetings or as mere bystanders in a larger drama between the government and the national NGOs. The national NGOs organized Indonesia's first domestic consumer boycott aimed at products produced by factories polluting the Tapak river, which by this time numbered fourteen. This boycott combined with the subsequent involvement of the Minister of the Environment, Emil Salim, forced polluting companies into mediation. The resulting agreement specified monetary compensation and restoration of the Tapak river. It was hailed as a landmark agreement, the first case of environmental mediation_ The national NGOs published books and gave lectures abroad about this case as an example of successful environmental mediation. A new NGO, ICEL, the Indonesian Center for Environmental Law, was founded by a key staff member with YLBHI who had been the foremost proponent of mediation in the Tapak case. 1CEL was founded with substantial aid from USAID to promote mediation and other legal based solutions to environmental problems. The agreement which came out of the mediation process was never implemented and attempts at enforcement were superficial at best. Villagers did get monetary remuneration but it was inadequate to compensate for the 14 years of pollution they had suffered. Restoration of the Tapak river never happened, and pollution soon started again, killing fish and shrimp and poisoning rice fields. Villagers wanted to resume the lawsuit againstthe polluting companies, but YLBHI, the national legal aid office, ordered their local office not to assist the villagers_ This order occurred in the context of YLBHI negotiating with the government on another case involving environmental mediation. YLBHI maintained that legally, the villagers were constrained by the mediation agreement not to try to sue the companies involved again. Not having legal recourse, abandoned by national NGOs, and still subject to harassment and intimidation by the mifrtary, the Tapak villagers had no choice but to one by one, sell their rice fields and fishponds to the local government at low prices which in turn sold the land to industrialists to build more factories. In a country where during the New Order, the rule of law was nonexistent and court cases were decided by the size of the bn'bes or strength of connections to the presidential palace, it is inexplicable that national NGOs could be so naive to believe that environmental mediation without specified sanctions could possibly bring a successful resolution to the Tapak case unless sett-interest is factored in. Why would the Tapak villagers be sacrificed in the interest of another ongoing case of environmental mediation if their experience had shown serious if not fatal flaws in the mediation model? Why would NGO activists try and promote an impractical and inappropriate model of conflict resolution to international donors? The definitive answer to these questions is beyond the scope of my research but t suspect it lies in the relationship between international organizations and donors with NGOs in Third World countries. This relationship involves more than just the transfer of money and ideas but rather a transfer of ideology which occurs in the structuralizing context of monetary dependency where legitimization is measured by donors rather than the grassroots which comprise NGOs true constituency.
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T9260
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>