Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 37 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andira Budiutami
Abstrak :
Dewasa ini masyarakat menaruh perhatian yang lebih kepada kebijakan dan tingkah laku pejabat publik terlebih dalam masalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Notaris sebagai pejabat publik tentunya tidak lepas dari perhatian masyarakat dalam hal permasalahan KKN. Pada saat ini terdapat beberapa kasus Tindak Pidana Korupsi di Indonesia yang dianggap melibatkan Notaris. Hal tersebut menyebabkan proses kriminalisasi terhadap profesi Notaris tersebut. Proses Kriminalisasi terhadap Notaris itu sendiri pastinya dianggap sangat merugikan Notaris bila ia telah menjalankan jabatannya dengan sangat berhati-hati dan sesuai dengan ketentuan UUJN dan Kode Etik Notaris. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti apakah penentuan tarif pengurusan akta oleh notaris dalam kasus ini telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bagaimana perlindungan hukum bagi notaris yang menjalankan jabatannya terhadap suatu kasus tindak pidana korupsi. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normative dan penarikan kesimpulannya bersifat deskriptid analitis. Kesimpulan dari penelitian ini adalah penentuan tarif yang dilakukan oleh Notaris dalam kasus ini tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak terdapat suatu perlindungan hukum yang diatur khusus bagi notaris dalam menjalankan jabatannya.
Today people pay more attention to the policy and behavior of public officials especially on the issue of corruption, collusion and nepotism. Notaries as public officials must not be separated from the public's attention in terms of corruption problems. At the moment there are several cases of Corruption in Indonesia were considered to involve a Notary. This led to the criminalization of the Notary profession. The criminalization of the Notary process itself must be considered very detrimental to the Notary when he has run his position very carefully and in accordance with the provisions of the Code UUJN and Notary. This study aimed to examine whether the determination of the maintenance rates by a notary deed in this case in accordance with the legislation in force and how the legal protection for a notary who runs the office for a case of corruption. The method used in this research is a normative juridical approach and withdrawal are descriptive analytical conclusions. The conclusion from this study is the determination of tariffs performed by a Notary in this case is not in accordance with the legislation in force and there is a special set of legal protection for a notary in the running position.
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T45222
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inke Monica
Abstrak :
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam profesi Notaris terdapat Notaris yang melakukan suatu perbuatan pidana karena kesengajaan maupun karena kelalaian, sehingga apabila hal itu terjadi sudah sewajarnya Notaris tersebut mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut. Namun bagaimana dengan notaris yang sudah menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai notaris dengan sebaik-baiknya namun tetap digugat secara perdata maupun pidana, sebagai contoh saya mengambil ilustrasi kasus Notaris TP di Jayapura, dimana ia dituntut oleh kliennya dan telah dijadikan tersangka oleh penyidik yang menganggap Notaris tersebut melakukan penggelapan, padahal permasalahan diantara mereka telah mendapatkan putusan Akta Van Dading Akta perdamaian dan Notaris TP sudah menjalankan sesuai dengan isi putusan tersebut, yang berarti seharusnya Notaris TP tidak bisa dipersalahkan apalagi dipidana. Permasalahan yang diteliti dalam tesis ini adalah Bagaimana perlindungan hukum terhadap Notaris yang sudah menjalankan putusan pengadilan atas akta perdamaian akta van dading tetapi masih bisa dituntut oleh pihak yang bersangkutan sehingga Notaris tersebut tetap ditahan dan Bagaimana kriminalisasi terhadap Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah yang melaksanakan putusan pengadilan dapat dihentikan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian ini bersifat Deskriptif Analitis, Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang didukung dengan wawancara, Teknik pengolahan dan Analisa data Setelah semua data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh, akan ditarik suatu kesimpulan, yang kemudian disusun, dianalisa secara kualitatif. Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut bahwa dalam menentukan putusan perkara hukum Notaris harus dilihat secara seksama apakah perbuatan Notaris tersebut memenuhi unsur-unsur Pasal yang disangkakan untuk menghindari terjadinya kriminalisasi, selain itu upaya-upaya yang dapat dilakukan agar perbuatan kriminalisasi terhadap Notaris dapat dihentikan maka dalam suatu proses peradilan dimana yang menjadi terdakwanya adalah Notaris sebaiknya yang dihadirkan sebagai saksi ahli haruslah ahli yang benar-benar mumpuni di bidangnya. Selain itu juga agar meminimalkan kriminalisasi terhadap Notaris harus ada kinerja sinergitas profesionalitas antara organisasi profesi dan penegak hukum.
It can not be denied that in the Notary 39 s profession there is a Notary who commits a criminal act either because of deliberate or negligence, which is related to the position attached to them, so if it happens it definitely becomes Notary rsquo s responbility. But how about the Notary who has been carrying out duties and obligations as a notary as well as possible, strict to the rules but still being sued in civil or criminal, as an example I took an illustration of the Notary TP case in Jayapura, where she was sued by her client and already become a suspect by investigator who thought the Notary Has embezzled, eventhought the problems between them have received a verdict Van Dading deed and Notary TP already did what she should do according to the content of the verdict, which means she can rsquo t be blame nor imprisonment. The problem observed in this thesis are How is the legal protection of a Notary who has run a court decision on the peace deed van dading deed but can still be sued by the party concerned and make a Notary in custody, and how to stop criminalization of Notary Land Deed Official who run a court decision. The method used in this research is normative juridical, This research is Analytical Descriptive, The type and source of data used in this study is secondary data, the Technique of collecting data are by researching library materials and supported by interview, processing Technique and Data Analysis After all the data required in this study is obtained, will be drawn a conclusion, then compiled, analyzed qualitatively. The results of this study are as follows in the determination of the decision of a Notary law case it should be decided carefully whether the act of Notary fulfills the elements of the article that are suspected to them to avoid the criminalization, besides that when in judicial process which the defendant is a Notary then who must be presented as an expert witness it should be an experts who really understand in their field, and then in order to minimize the criminalization of Notaries there must be a professional synergy performance between professional organizations and law enforcement.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48849
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bertinus Haryadi Nugroho
Abstrak :
Transportasi laut memiliki peran penting dalm perekonomian, sehingga diperlukan undang-undang yang mengaturnya, untuk menjamin pelayaran yang tertib dan teratur. UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran adalah undangundang administrasi yang memiliki sanksi pidana. Penggunaan hukum pidana dalam hukum administrasi merupakan masalah kebijakan hukum pidana. Kebijakan hukum pidana dilihat secara fungsional, terdapat tiga tahap dalam bekerjanya hukum pidana yaitu tahap formulasi, tahap aplikasi dan eksekusi. Tahap formulasi atau disebut juga tahap kebijakan legislatif merupakan tahap yang paling strategis karena pada tahap tersebut suatu perbuatan ditetapkan menjadi tindak pidana. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran memuat perbuatan-perbuatan yang diancam dengan sanksi administratif serta sanksi pidana, dan beberapa tindak pidana tersebut sebenarnya bukanlah perbuatan-perbuatan yang karena pada dasarnya bertentangan dengan kewajaran, moral dan prinsip umum masyarakat beradab (mala in se, natural crime), sehingga penetapan perbuatan-perbuatan tersebut menjadi tindak pidana di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran merupakan overcriminalization. Penelitian ini untuk menjawab pertanyaan bagaimanakah konsep kriminalisasi di dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, apakah hukum pidana benar-benar merupakan ultimum remidium. Apakah kriminalisasi dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran menyebabkan overcriminalization. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran tidak memiliki konsep yang jelas dalam penggunaan hukum pidana sebagai ultimum remidium. Pasal-pasal di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang dapat digolongkan sebagai overlapping offenses/crimes, adalah Pasal 291, 316, 324, 325, dan 326. Pasal-pasal di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang dapat digolongkan sebagai crimes of risk prevention, yaitu Pasal 286, 294, 302, 303, dan 323. Perlu dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, dengan cara memasukkan Pasal 316 ke dalam KUHP, melakukan dekriminalisasi terhadap Pasal 324, 325, dan 326, serta melakukan depenalisasi terhadap pasal-pasal lainnya. ......Sea transport has an important role economic performance, so we need laws that govern it, to ensure the orderly and regular shipping. Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage is the administrative laws that have criminal penalties. The use of penal law to enforcement of administrative law is penal law policy's problem. Penal law policy can be seen from functional aspect. There are three steps in penal law processing i.e. formulation, application and execution. Formulation step or known as legislative policy is the most strategic step because in this step, a behavior is set to be a criminal act. Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage to load acts punishable with administrative sanctions and criminal penalties, and some are in fact criminal acts that are not as fundamentally at odds with fairness, morals and general principles of civilized society (mala in se, natural crime), so the determination of the acts are a criminal offense in the Shipping Act 2008 No. 17 on a voyage overcriminalization. This research to answer the question how the concept of criminalization in the Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage, whether criminal law is really a ultimum remidium. Is the criminalization of the Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage causing overcriminalization. This research is a normative juridical research. From the result showed that Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage did not have a clear concept in the use of criminal law as an ultimum remidium. The articles in the Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage that can be classified as overlapping offenses / crimes, is Article 291, 316, 324, 325, and 326. The articles in the Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage that can be classified as crimes of risk prevention, namely Article 286, 294, 302, 303, and 323. Need for revision of Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage, by entering into the Criminal Code Article 316, to the decriminalization of Article 324, 325, and 326, as well as doing depenalization to other articles.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30004
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Maruli C.C.
Abstrak :
Pada tahun 2009-2012, rangkaian kekerasan kolektif bernuansa agama, sekte, keyakinan, etnis, golongan dan orientasi seksual terjadi di Indonesia. Berbagai peristiwa tersebut menunjukkan, kekerasan yang dilandasi perasaan kebencian sering terjadi di sekitar kita. Peristiwa tersebut, jatuh korban manusia dan kerugian harta yang tidak sedikit, serta menimbulkan luka yang mendalam dan permusuhan yang berkepanjangan. Fenomena inilah yang disebut dengan "kejahatan kebencian (hate crimes)." Penelitian ini bertujuan menjelaskan pentingnya pemahaman yang komprehensif mengenai kebijakan-kebijakan penanganan hate crimes oleh lembaga otoritas negara terkait. Selain itu, penelitian ini juga berupaya memberikan pemahaman baru mengenai urgensi kriminalisasi terhadap hate crimes di Indonesia dilihat dari faktor pendukung dan penghambatnya. Penelitian menghasilkan berbagai temuan, antara lain bahwa terjadi hate crimes secara bias terhadap agama dan orientasi seksual di Indonesia. Terdapat dua kategori hate crimes berbasis agama, yaitu antara agama yang berbeda, dan antara sekte di dalam satu agama yang sama. Hasil analisis, ada dua syarat agar kriminalisasi hate crimes dapat dilaksanakan. Pertama, prespektif yang digunakan konsensus liberal, konflik, dan labeling. Prespektif tersebut berhubungan timbal balik dengan konstruksi sosial tentang hate crimes. Konstruksi sosial ini signifikan sebagai faktor pendukung dan penghambat kriminalisasi. Jika konstruksi sosial terhadap hate crimes adalah sebagai perilaku jahat, ketidaksetaraan dan penindasan kelompok minoritas, maka persepsi mendukung kriminalisasi. Jika hate crimes bukan kejahatan, maka dapat menghambat kriminalisasi. Kedua, terpenuhinya tujuh parameter Schuyt berhubungan timbal balik dengan legalitas sosial bagi kriminalisasi hate crimes. Kriminalisasi hate crimes tidak selalu berbentuk undang-undang baru, melainkan bisa saja pemberdayaan undang-undang yang ada dan supremasi hukum, serta profesionalisme penegakan hukum. Kesimpulannya, kriminalisasi hate crimes akan terwujud bila terdapat signifikansi konstruksi dan legalitas sosial sebagai faktor pendukung. Kesimpulan ini menggambarkan teori baru bersifat meso-mikro, karena berkategori teori Posmo. Teori ini dapat menjelaskan kriminalisasi dalam interplay dengan filosofi sosial, kebijakan hukum (meso), namun juga dapat menjelaskan interplay dengan individu dan kelompok.
In 2009-2012, a series of collective violent incidents triggered by religions, sects, beliefs, ethnicity, class and sexual orientation, broke out in various places in Indonesia. Such incidents show that violence based on hatred often occurs around us, causing a long death toll and damaged properties. Such incidents have also inflicted deep social wounds and protracted hostilities. This phenomenon is called "hate crimes." The research aims at describing the importance of a comprehensive understanding on policies employed by related authorities or government agencies in controling hate crimes. In addition, this research is also trying to provide a new understanding on the urgency of the criminalization of hate crimes in Indonesia, viewed from the enabling and constraining factors. Findings of the research include, among others, biased hate crimes have taken place against religious affiliations and sexual orientation in Indonesia. Two categories are set up for religious-based hate crimes: between different religions and among different sects of the same religion. Analysis on research findings arrives at a conclusion, that there should at least be present two prerequisites to criminalize hate crimes. First, the use of liberal consensus, conflict, and labeling perspectives as a tool of analysis. All perspectives reciprocally connect with the existing social construction of hate crimes. Social constructions are indeed significant as enabling and constraining factors for criminalization. When the existing social construction perceives hate crimes as an evil act, an inequality and an oppression of minority groups, then the perception encourages criminalization. But when social construction perceives hate crimes as a good behaviour, then the perception discourages criminalization. Second, Schuyt?s seven parameters are met, which reciprocally relate to the social legality for criminalizing hate crimes. Criminalization of hate crimes is not necessarily present in the form of a new law or act. It could also be manifested by empowering the existing laws, assuring the principle of law supremacy and increasing professionalism among law enforcement agencies. This research concludes that criminalization of hate crimes could be established only if significant social construction and legality are built as enabling and constraining factors. This conclusion reflects the new theory as meso-micro in character, since it is placed under postmodernism. The theory can explain the relations and interplays between not only criminalization and social philosophies but also interplays of criminalization and individuals and groups.
Depok: Universitas Indonesia, 2013
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aryani Sri Hartati
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai penerapan atas pengaturan kriminalisasi penyelundupan migran yang dimuat dalam United Nations Convention against Transnational Organized Crime dan Protocol against the Smuggling of Migrants by Land, Sea, and Air Tahun 2000. Melalui kriminalisasi penyelundupan migran diharapkan dapat memberikan efek jera terhadap para pelaku penyelundupan migran. Indonesia, Australia, dan Inggris sebagai contoh negara-negara yang terkena dampak dari penyelundupan migran telah meratifikasi United Nations Convention against Transnational Organized Crime dan Protocol against the Smuggling of Migrants by Land, Sea, and Air. Komitmen ketiga negara tersebut untuk terikat dalam perjanjian internasional ini tentunya menimbulkan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi, salah satunya adalah kriminalisasi penyelundupan migran. Ketiga negara tersebut sebagai negara peserta United Nations Convention against Transnational Organized Crime dan Protocol against the Smuggling of Migrants by Land, Sea, and Air diwajibkan untuk melakukan kriminalisasi penyelundupan migran melalui peraturan perundang-undangannya masing-masing. Dalam melaksanakan kewajiban tersebut ketiga negara di atas memiliki cara-cara serta hambatannya masing-masing. ......This final paper discusses about the compliance towards regulations on migrants smuggling criminalization in accordance with the United Nations Convention against Transnational Organized Crime and Protocol against the Smuggling of Migrants by Land, Sea, and Air. Migrants smuggling criminalization is hoped to give a deterrent effect towards the perpetrators. Indonesia, Australia, and the United Kingdom are three states that are affected by migrants smuggling that have ratified United Nations Convention against Transnational Organized Crime and Protocol against the Smuggling of Migrants by Land, Sea, and Air. The commitments of those states to be bound to such international treaties obviously will raise obligations that need to be fulfilled. Those three states as the party of the United Nations Convention against Transnational Organized Crime and Protocol against the Smuggling of Migrants by Land, Sea, and Air are obliged to criminalize the offence of smuggling of migrants through their own national regulations. In fulfilling such obligation those three countries have their own ways and impediments.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46474
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Tongam Gilbert Leonardo
Abstrak :
ABSTRAK
Praktik makelar merupakan fenomena umum di Indonesia. Dampak negatifnya terhadap masyarakat juga dihadapi dengan masih adanya kebutuhan masyarakat akan praktik percaloan. Dengan menggunakan metode penelitian yang bersifat yuridis-normatif dan bersifat eksploratif, penelitian ini mencoba menggali dampak-dampak yang ditimbulkan oleh praktik percaloan terhadap masyarakat dan apakah dampak tersebut cukup urgen untuk menjadikan percaloan sebagai tindak pidana. Hukum yang relevan dengan topik ini adalah KUHP dan KUHP. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa praktik percaloan belum memiliki urgensi untuk dijadikan sebagai tindak pidana di Indonesia sehingga penanganannya sedapat mungkin dilakukan dengan upaya non penal yang melibatkan pemerintah dan masyarakat, namun dilakukan tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan upaya penal sebagai bentuk pencegahan.
ABSTRACT
The practice of brokering is a common phenomenon in Indonesia. The negative impact on the community is also faced by the community's need for brokering practices. By using research methods that are juridical-normative and exploratory, this study tries to explore the impacts of brokering practices on society and whether these impacts are urgent enough to make brokering a criminal act. The laws relevant to this topic are the Criminal Code and the Criminal Code. The results of this study conclude that the practice of brokering does not yet have urgency to be used as a criminal act in Indonesia so that its handling is carried out as far as possible with non-penal efforts involving the government and the community, but it is possible to use penal efforts as a form of prevention.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fairuz Aulia Fadli
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adiatma Pradipta
Abstrak :
Jemaat Ahmadiyah Indonesia merupakan kelompok minoritas Agama Islam yang mendapatkan diskriminasi oleh Pemerintah Republik Indonesia salah satunya merupakan kebijakan oleh Pemerintah Daerah yaitu Peraturan Gubernur Jawa Barat No 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat. Kebijakan yang dibentuk dengan dasar perlindungan terhadap kelompok Jemaat Ahmadiyah Indonesia merupakan bentuk diskriminasi melihat konten dalam kebijakan tersebut berusaha melakukan kriminalisasi terhadap kelompok Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Kebijakan yang dibentuk dengan tujuan untuk melindungi sebenarnya merupakan sebuah bentuk usaha kriminalisasi dan diskriminasi, hal ini menghasilkan terbentuknya konstruksi kejahatan terhadap kelompok Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang ada di Provinsi Jawa Barat. Konstruksi kejahatan yang dibentuk terhadap kelompok minoritas terus mengkriminalisasi dan mendiskriminasi biarpun tujuan dari pembentukan Peraturan Gubernur Jawa Barat No 12 Tahun 2011 tidak lagi relevan dengan kondisi yang terjadi pada masyarakat Indonesia.
The Indonesian Ahmadiyya is a Islamic religious minority group that gets discriminated by the Government of the Republic of Indonesia one of which is a policy by the Regional Government namely the West Java Governor Regulation No. 12 of 2011 on Prohibition of Activities Indonesian Ahmadiyya in West Java. The policy established on the basis of the protection of the Indonesian Ahmadiyya is a form of discrimination to see the content in the policy seeking to criminalize the The Indonesian Ahmadiyya. The policy established with the aim of protecting is actually a form of criminalization and discrimination, resulting in the construction of crimes against the Ahmadiyya in West Java Province. The construction of crimes against minority groups continues to criminalize and discriminate even if the objectives of the formation of the West Java Governor Regulation No. 12 Year 2011 are no longer relevant to the conditions of the Indonesian people.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Ilman Aulia Kusnadi
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perubahan regulasi terkait tindak pidana zina dalam Rancangan KUHP. Rumusan Pasal 446 RKUHP merupakan kriminalisasi yang dilakukan oleh pemerintah tentang perilaku kopulasi yang dilakukan oleh laki-laki dengan wanita yang masing-masing tidak terikat pada ikatan pernikahan. Kriminalisasi tersebut menyebabkan perubahan regulasi pada norma pelarangan Zina yang awalnya merupakan kejahatan perzinahan merupakan kejahatan terhadap kesetiaan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHP menjadi tindak pidana karena tidak sesuai dengan nilai agama yang hidup di masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 446 RKUHP. Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian sosiolegal, dengan menganalisis implikasi Pasal 446 RKUHP melalui pendekatan kualitatif. Temuan dalam penelitian ini adalah: 1) Pasal 446 RKUHP berpotensi menyangkal kedudukan hukum pidana sebagai ultimum remedium. 2) Pasal 446 RKUHP berpotensi terlalu jauh mengintervensi ranah privat warga negara. 3) Artikel 446 RKUHP berpotensi meningkatkan praktik perkawinan anak. 4) Pasal 446 RKUHP berimplikasi pada korban pemerkosaan. ......This study aims to examine regulatory changes related to the crime of adultery in the Draft Criminal Code. The formulation of Article 446 of the RKUHP is a criminalization carried out by the government regarding copulatory behavior carried out by men and women, each of whom is not bound by a marriage bond. The criminalization causes regulatory changes to the prohibition norms Adultery, which was originally a crime of adultery, is a crime against marital fidelity as regulated in Article 284 of the Criminal Code, which becomes a criminal offense because it is not in accordance with the religious values ​​that live in society as regulated in Article 446 of the RKUHP. In this study the sociolegal research method was used, by analyzing the implications of Article 446 of the RKUHP through an approach qualitative. The findings in this study are: 1) Article 446 of the RKUHP has the potential to deny the position of criminal law as ultimum remedium. 2) Article 446 of the RKUHP has the potential to intervene too far in the private sphere of citizens. 3) Article 446 of the RKUHP has the potential to increase the practice of child marriage. 4) Article 446 of the RKUHP has implications for victims of rape.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arianda Lastiur Paulina
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai sextortion atau pemerasan yang dilakukan dengan memanfaatkan konten intim milik korban. Konten intim tersebut didapatkan oleh pelaku dengan berbagai cara, baik itu melalui hubungan konsensual, catfishing, hacking, dan/atau ditemukan konten intim tersebut oleh pelaku. Perbuatan pemerasan sudah diatur dalam peraturan pidana di Indonesia, yaitu KUHP ataupun ketika pemerasan dilakukan dengan menggunakan media elektronik maka diatur dalam UU No. 19 Tahun 2016 dan UU No. 11 Tahun 2008. Namun ketentuan tersebut dinilai masih kurang efisien untuk menangani kasus sextortion yang tentunya berbeda dengan pemerasan dalam ranah umum, karena esensi dari sextortion adalah digunakannya konten intim milik korban untuk menjadi bahan pemerasan dan sextortion termasuk dalam ranah kekerasan seksual. Berdasarkan penelitian yang bersifat deskriptif ini, menyarankan bahwa perlu dikriminalisasikan perbuatan sextortion di Indonesia. Meskipun pada akhirnya sextortion sudah diatur dalam UU No. 12 Tahun 2022 melalui Pasal 14 ayat (2) huruf a jo. Pasal 14 ayat (1), namun tetap saja perlu dirumuskan kembali. ......This thesis discusses sextortion or extortion carried out by utilizing intimate content that belonging to the victim. The intimate content is obtained by the perpetrator in various ways, it can be by through consensual relationships, catfishing, hacking, and/or finding the intimate content by the perpetrator. The act of extortion has been regulated in criminal regulations in Indonesia, by the Criminal Code or when extortion is carried out using electronic media, it is regulated in Law number 19 of 2016 jo. Law number 11 of 2008. However, this provision is still considered inefficient to handle cases of sextortion, which is certainly different from extortion in the public domain, because the essence of sextortion is the use of intimate content belonging to the victim to be used as material for extortion and sextortion is included in the realm of sexual violence. Based on this descriptive study, it is suggested that it is necessary to criminalize the act of sextortion in Indonesia. Although sextortion has been regulated in the Act on the Law Number 12 of 2022 through Article 14 paragraph (2) letter a jo. Article 14 paragraph (1), however, still needs to be reformulated.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>