Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Endang Mulyani
Abstrak :
ABSTRAK Komisi Pemilihan Umum yang disingkat KPU merupakan lembaga penyelenggara pemilu sebagaimana amanah Pasal 22 E UUD 1945. Sebagai penyelenggara pemilu yang nasional, tetap dan mandiri, KPU merupakan lembaga penyelenggara yang independen dalam menjalankan pemilihan umum yang demokratis, lembaga ini harus terbebas dari segala pengaruh kepentingan apapun, baik politik maupun pemerintah. Dalam mewujudkan indepedensi KPU sebagai penyelenggara pemilu, proses rekruitmen KPU menjadi salah satu hal yang berpengaruh dalam mewujudkan KPU yang independen. Indepedensi secara institusi, Independensi orang yang mengisinya, Independensi sumber keuangannya dan Independensi dalam kewenangan dan otoritas dalam menjalankan kewenangannya tersebut. Keberadaan badan penyelenggara pemilu Independen di 25 negara demokrasi di dunia, menjadi perbandinga untuk KPU di Indonesia, dalam mencari format penyelenggara pemilu yang ideal yang mampu menjamin indepedensi penyelenggara pemilu. Dalam beberapa hal KPU di Indonesia masih dipengaruhi oleh pemerintah dan legislatif seperti dalam pembentukan institusional penyelenggara pemilu, kewenangan regulasi, akuntabilitas dan anggaran, dan kesekretariatan KPU. Dan disisi lain masih perlunya pembenahan untuk penguatan KPU dalam hal sengketa kewenangan lembaga negara, masa jabatan anggota KPU, dan model seleksi KPU. Hal ini diperlukan, agar KPU sebagai lembaga pengawal demokrasi mampu menjadi lembaga penyelenggara pemilu yang independen yang terpisah dari pengaruh eksekutif, legislatif dan Yudikatif, dimana keberadaannya sederajat dengan lembaga utama.
ABSTRACT General Election Commission that is abbreviated election management bodies, as the mandate of Article 22 E of the UUD 1945 As organizers of a national election, permanent and independent, the Commission is organizing an independent institution in carrying out democratic elections, these institutions must be free from any influence of any interest both politics and government. In realizing independency KPU as election organizer, the recruitment process the Commission became one of the influential in creating an independent Commission. Independency in institutions, independence of people who fill it, independence of its financial resources and independence of the powers and authority in the running of the authority. The existence of independent election management bodies in the 25 democracies in the world, be a comparison to the Commission in Indonesia, in the search for the ideal format election organizer who is able to ensure independency election organizer. In some cases the Commission in Indonesia is still influenced by the government and the legislature as the institutional establishment of election management, regulatory authority, accountability and budget, and the secretariat of the Commission. And on the other hand is still the need for reforms to strengthen the Commission in the case of a dispute the authority of state institutions, tenure of members of the Commission, and the Commission selection model. It is necessary, in order that the Commission as the guardian of democratic institutions able to become an independent election management bodies which are separate from the influence of the executive, legislative and judiciary, in which the existence equal to the main body.
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T45492
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Tri Apriani
Abstrak :
Kedudukan keuangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten/Kota adalah satu kesatuan dengan kedudukan keuangan KPU yang bersumber dari APBN. Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dilaksanakan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan pendanaan APBD dengan mekanisme pengelolaan APBN. Pembiayaan Pilkada bersumber dari APBD berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan, yaitu terganggunya independensi KPU Kabupaten/Kota, karena pengajuan usul pendanaan Pilkada membutuhkan persetujuan kepala daerah. Pendanaan Pilkada dari APBD juga dapat mengganggu alokasi pendanaan pelayanan publik di daerah akibat pemotongan untuk pembiayaan Pilkada. Pengelolaan keuangan KPU oleh publik dinilai belum optimal, KPU belum pernah mendapat penilaian Wajar dengan Pengecualiaan (WDP) dari BPK. Temuan audit BPK dalam laporan keuangan KPU yaitu terkait pengelolaan keuangan KPU daerah belum maksimal karena belum memenuhi Standar Akuntansi Pemerintah (SAP), sehingga ditemukan adanya ketidaksesuaian antara pengeluaran dengan pencatatan saldo di rekening. Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif terhadap data primer dan sekunder, sehingga diperoleh kesimpulan bahwa kedudukan keuangan KPU Kabupaten/Kota adalah satu bagian dengan keuangan KPU yang berasal dari APBN termasuk dana hibah Pilkada yang menjadi pendapatan KPU yang dimasukkan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) KPU. Pengelolaan keuangan KPU Kabupaten/Kota belum memenuhi asas akuntabilitas keuangan negara yang mengutamakan keefisienan dan keefektifan suatu program dan anggaran. Pemerintah harus melakukan peralihan sumber pendanaan Pilkada dari APBD menjadi bersumber dari APBN, dengan cara melakukan perubahan terhadap Pasal 166 dan Pasal 200 UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pemerintah harus membangun suatu sistem pengelolaan keuangan yang terintegrasi dari pusat sampai dengan daerah untuk memudahkan pengawasan dan kontrol dari KPU.
The financial position of the Regency/City General Election Commission (KPU) is a united with the KPU`s financial position sourced from the State Budget. The implementation of Regional Head Elections (Pilkada) is carried out by the Provincial KPU and Regency/City KPU with APBD funding with the mechanism for managing the National Budget. The financing of regional head elections from the regional budget has the potential to cause various problems, namely the disruption of the independence of the Regency/City KPU, because the proposal for the Pilkada funding requires the approval of the regional head. Pilkada funding from the APBD can also disrupt the allocation of funding for public services in the regions due to cuts in financing for regional elections. Public financial management of the KPU is considered not optimal, the KPU has never received a Fair with Exclusion (WDP) assessment from the BPK. The BPK audit findings in the KPUs financial statements, which are related to the financial management of the regional KPU, have not been maximized because they have not met the Government Accounting Standards (SAP), so that there are discrepancies between expenditure and recording the balance in the account. This study uses normative legal methods for primary and secondary data, so that it can be concluded that the financial position of Regency / City KPU is one part of the KPUs finances originating from the APBN including Pilkada grant funds which are the KPU`s income included in the Budget Implementation List (DIPA) KPU. The financial management of the Regency/City KPU has not fulfilled the principle of state financial accountability that prioritizes the efficiency and effectiveness of a program and budget. The government must make a transfer of regional election funding sources from the APBD to be sourced from the APBN, by making changes to Article 166 and Article 200 of Law No. 8 of 2015 concerning the Election of Governors, Regents and Mayors. The government must build an integrated financial management system from the center to the regions to facilitate the supervision and control of the KPU
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53620
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jakarta: Komisi Pemilihan Umum, 2020
324.6 KOM k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, 2020
321.8 5981 KOM b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Teddy Handiar Yobel
Abstrak :
Skripsi ini membahas tentang konsep independensi Komisi Pemilihan Umum dalam pembentukan Peraturan Komisi Pemilihan Umum sebagai bentuk pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Tujuannya adalah untuk mencari pendirian yang benar atas perdebatan mengenai independensi Komisi Pemilihan Umum. Setelah mendapat jawaban tersebut, hasil temuan tersebut dapat menjadi refrensi atas jawaban perdebatan independensi Komisi Pemilihan Umum dalam membentuk Peraturan Komisi Pemilihan Umum. Secara spesifik, pertanyaan besar yang dijawab dalam penelitian ini adalah: apakah independensi Komisi Pemilihan Umum terganggu dengan adanya wajib konsultasi dalam pembentukan Peraturan Komisi Pemilihan Umum? berdasarkan tinjauan normatif, historis, komparatif dengan teori-teori ketatanegaraan yang terkait, Penulis berkesimpulan bahwa wajib konsultasi Komisi Pemilihan Umum dalam pembentukan Peraturan Komisi Pemilihan Umum tidak mengganggu Independensi Komisi Pemilihan Umum selama konsultasi tersebut tidak menghambat dan tidak mengikat. ......This paper talks about General Elections Commission independence concept within General Elections Commissions establishment as a part of People Representative Council supervision. The main goal is to search the right stance following the debate of General Elections Commission independence. After the answer emerges, the discovery from the research paper can become reference regarding the answer about General Elections Commissions debate in term of forming General Elections Commission regulations. Specifically, the big question that could be answered from this research is whether General Elections Commission independence disturbed with the consultation obligatory within General Elections Commission regulations establishment? By way of normative, historic, comparative observation that in line of constitutional theory, the writer take a conclusion that General Elections Commission obligatory consultation within General Elections Commission regulations establishment is not disturbing General Elections Commission independence as long the consultation itself is not obstructing and not binding.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juri Ardiantoro
Abstrak :
Penelitian ini secara umum berusaha menggambarkan dan menganalisis konteks perubahan politik Indonesia, khususnya pemilu yang diselenggarakan tahun 1999. Secara khusus penelitian ini menganalisis hubungan-hubungan dinamik dalam Komisi Pemilihan Umum (KPU) tahun 1999, yang menyangkut unsur-unsur negara dengan aktor-aktor dan struktur-struktur politik lain dalam penyelenggaraan pemilu di era transisi. Penelitian mencakup empat isu utama yang tercermin dalam tujuan penelitian, yakni: (1) Pemilu'99 dalam konteks transisi politik Indonesia; (2) kelembagaan penyelenggara Pemilu di Indonesia, khususnya KPU Pemilu 1999; (3) bekerjanya unsur-unsur negara dalam struktur kelembagaan dan kinerja KPU Pemilu 1999; dan (4) peranan politik demokratik KPU'99 dalam meletakan landasan yang kokoh bagi pembaharuan (reformasi) kelembagaan politik di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mendasarkan pada paradigma konstruktivisme. Sedangkan Iandasan teoritiknya menggunakan teori dialektika agensi-struktur dalam teori strukturasi Anthony Giddens. Dan, metode pengumpulan data yang digunakan adalah mengkombinasikan metode wawancara mendalam, studi dokumentasi dan observasi. Penelitian ini berhasil mengajukan dun kesimpulan utama, yaitu kesimpulan praktik politik dan teoretik. Kesimpulan praktik secara umum menggambarkan bahwa perubahan politik (menuju demokrasi) selalu menghasilkan polarisasi kekuatan-kekuatan politik, baik di tingkat negara maupun di akar rumput (grass roots). Pada konteks yang lebih lanjut, perubahan ini tentu saja menyulut terjadinya ketegangan, konflik, dan tarik menarik kepentingan antara aktor-aktor politik yang bermain. Pada lingkup yang lebih mikro di KPU, polarisasi politik tidak saja bersumber dari latar belakang ideologi, kultur dan sikap politik masa Ialu aktor-aktor tersebut. Oleh karena di era transisi politik ini terjadi ketidakpastian mengenai apa yang akan terbentuk dan terlembagakan, maka, polarisasi kekuatan politik jug bersumber dad usaha-usaha memperebutkan peluang sekaligus mengukuhkan pengaruhnya pads konstruksi politik yang akan terbentuk nantinya. Cara yang ditempuh antara lain terlibat dalam mempengaruhi pembuatan dan implementasi segala perangkat aturan. Karena, peraturan-peraturan yang akan muncul akan sangat menentukkan sumber sumber mana yang secara sah boleh dikerahkan ke arena individual dan politik, serta pelaku-pelaku mana yang diperkenankan masuk dan terlibat. Apa yang terjadi di KPU adalah cerminan bagaimana masing-masing aktor itu menggunakan legitimasi dan kebenaran yang dimilikinya untuk memainkan peranan politik tersebut. Akibatnya, aturan yang di satu sisi memberikan dasar legitimasi bagi keberadaan dan kinerja KPU, tetapi pada sisi yang lain telah menyumbang berbagai kontroversi dan kontradiksi politik. Pada saat negara menjadi bagian yang ikut bennain dalam pertarungan tersebut yang lebih paralel dengan arus utama (mainstream) politik publik justeru gagal meyakinkan sebagian besar politisi di KPU untuk mengambil sikap dan tindakan politik yang sejalan. Sebabnya, negara tidak sepenuhnya mampu mengontrol dinamika politik yang ada dengan sumber-sumber alokatif maupun kekuatan ototritatif dan kapasitas organisasionalnya di satu sisi, sementara itu,di pihak negara pun kekuatannya terfragmentasi, tidak utuh. Sementara pada saat yang sama, para aktor di KPU justru dengan bebasnya memainkan dan menginterpretasikan kepentingannya. Sedangkan kesimpulan teoretik dalam penelitian ini dapat menggambarkan temuan-temuan teoretik yang pads dasarnya konfirmasi atau penguatan terhadap "kebenaran" teori tersebut. Namun demikian, modifikasi atas beroperasinya teori ini juga nampak. Tidak adanya dominasi baik antara agen-agen politik yang bertarung, maupun struktur-struktur politik yang tersedia dan diproduksi di KPU selama penyelenggaraari Pemilu'99 membuktikan bahwa Giddens dalam hal ini besar: determinasi terhadap proses sosial (politik), bukan terletak pads salah satunya, tetapi keduanya saling mengandaikan. Sehingga kekuasaan atau power yang dapat terbentuk, diraih atau dikuasai juga terbukti pada sejauhmana para pelaku (actor) politik itu menguasai dan memproduksi struktur-struktur (baik legitimasi, dominatif, maupun signifikansi) yang ada. Dengan memahami dinamika di KPU, apa yang disebut relasi agensi-struktur sangatlah bersifat relatif. Artinya, apa yang disebut agensi pada beberapa kasus dapat bertindak sebagai struktur; demikian juga sebaliknya. Bahkan pada saat ia bertindak pada salah satunya, dalam waktu yang bersamaan dapat secara otomatik bertindak atas yang lainnya. Agensi, termasuk negara juga seringkali bukanlah sebuah entitas yang tunggal, namun terfragmentasi sedemikian rupa, demikian juga sebaliknya. Path pain-inilah peneliti kemudian mengajukan kritik terhadap teori Giddens. Sesungguhnya relasi agensi-struktur bukan saja bersifat komplementer sehingga dikatakan struktur dapat memediasi (mediating) tindakan agensi, tetapi masing-masing sesungguhnya saling melekatkan (embeddeding). Penyamaan aktor dalam praktik-praktik sosial tidaklah dapat diterima sepenuhnya, karena, seringkali diantara aktor- aktor itu menegasikan aktor lain (yang lebih rendah "strata"), terutama menyangkut keputusan atau kebijakan. Selain itu, teori ini belum juga memberikan penjelasan lebih detail mengenai praktik-praktik politik yang tidak tunggal atas isu yang sama, pads ruang (space) dan waktu (time) yang sama pula; padahal baik ruang maupun waktu menurutnya bukanlah arena atau panggung atau tindakan melainkan unsur konstitutif dan pengorganisasian.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, [2003;2003, 2003]
T209
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daffa Yusuf Fachreza
Abstrak :
Skripsi ini dilaksanakan dengan melihat adanya perkembangan yang begitu pesat sehingga kemudian media sosial memegang peranan penting dalam penyelenggaraan pemilu. Banyak partai politik yang melaksanakan kampanye melalui media sosial. Hal ini tidak terlepas dari kemudahan akses yang diberikan oleh media sosial, bahwasanya seluruh orang tanpa terkecuali dapat dengan mudah mendapatkan informasi di media sosial. Namun, dengan adanya kemudahan tersebut, timbul permasalahan berupa tindakan black campaign yang lebih mudah untuk dilaksanakan di media sosial, sehingga kemudian menyebabkan pemilu tidak berjalan secara demokratis. KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu memiliki tanggung jawab untuk membuat regulasi mengenai kampanye melalui media sosial. Skripsi ini bertujuan untuk melihat bagaimana KPU mengatur kampanye yang dilaksanakan melalui media sosial sebagai upaya untuk mewujudkan pemilu yang demokratis. Metode penelitian yang digunakan adalah doktrinal dengan menggunakan data berupa peraturan perundang-undangan, buku, artikel, dan jurnal ilmiah yang terkait dengan persoalan kampanye melalui media sosial. Analisis dilakukan dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan dan praktik-praktik yang ada, serta mencari solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Hasil dari skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pengembangan regulasi yang lebih baik mengenai kampanye melalui media sosial, sehingga proses pemilu dapat berlangsung secara demokratis dan adil. Dari hasil penelitian ini disarankan, bahwa KPU harus membuat peraturan secara khusus yang mampu memberikan perlindungan terhadap kampanye di media sosial, mengingat bahwasanya saat ini media sosial menjadi salah satu media kampanye yang sangat berpengaruh pada pemilu. ......This thesis is conducted in light of the rapid development of social media, which has consequently played a significant role in the organization of elections. Many political parties conduct their campaigns through social media. This is undeniably linked to the ease of access provided by social media, where everyone, without exception, can readily obtain information. However, with this convenience comes a pressing issue in the form of black campaign activities that are more easily executed on social media, subsequently undermining the democratic nature of elections. The General Election Commission (Komisi Pemilihan Umum/KPU), as the institution responsible for election management, bears the duty to establish regulations pertaining to campaigns through social media. The objective of this thesis is to examine how the KPU regulates campaigns conducted through social media as an endeavor to realize democratic elections. The research method employed is doctrinal, utilizing data comprising statutory regulations, books, articles, and scholarly journals related to the issue of social media campaign. The analysis is conducted in reference to statutory regulations and prevailing practices, while seeking solutions to address these problems. It is anticipated that the results of this thesis will offer insights for the development of improved regulations concerning campaigns through social media, thereby ensuring that the electoral process transpires in a democratic and equitable manner. Based on the findings of this research, it is recommended that the KPU should formulate specific regulations capable of safeguarding campaigns on social media, given that social media now constitutes a highly influential campaign platform in elections.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bima Satria Ramadhan
Abstrak :
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan suatu mekanisme untuk menentukan pemimpin di daerah yang berasal dari pilihan masyarakatnya. Hal ini sejalan dengan konsep kedaulatan kepada rakyat dan negara hukum sebagaimana telah diamanatkan oleh UUD 1945. Berbicara mengenai pelaksanaannya tidak terlepas dari peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pilkada di Indonesia. Dan juga kerangka hukum Pilkada yang telah dibuat sedemikian rupa untuk memberikan pengaturan dalam pelaksanaannya. Pada pelaksanaan Pilkada 2020 telah ditemukan calon kepala daerah yang sedang terlibat kasus hukum pada Pilkada Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2020. Meskipun kepala daerah tersebut menyandang status terdakwa, ternyata tidak mempengaruhi KPUD Pesisir Selatan untuk tidak meloloskannya sebagai peserta Pilkada. Sampai kemudian ditetapkan sebagai kepala daerah yang terpilih. Berdasarkan fakta inilah timbul pertanyaan-pertanyaan terkait legalitas calon kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka, terdakwa dan terpidana, serta legalitas terkait kemenangannya di Pilkada. Selain itu juga menimbulkan pertanyaan terkait jabatan yang diperoleh apakah memiliki legitimasi sesuai dengan UU tentang Pilkada dan UU tentang Pemerintahan Daerah. Metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan bahan studi pustaka serta wawancara. Penelitian ini menjadi penting untuk membahas implikasi hukum kepala daerah terpilih yang terlibat kasus hukum pada contoh kasus di Pilkada tahun 2020 serta mencarikan solusinya. Sehingga, selain dapat bermanfaat bagi pengembangan pembahasan secara teoritis, juga bermanfaat bagi Instansi Pemerintah terkait. ......Regional head elections (Pilkada) are a mechanism to determine leaders in regions that come from the choices of the people. This is in line with the concept of sovereignty to the people and the rule of law as mandated by the 1945 Constitution. Talking about its implementation cannot be separated from the role of the General Elections Commission (KPU) as the organizer of Pilkada in Indonesia. And also, the Pilkada legal framework has been designed in such a way as to provide regulation in its implementation. During the Pilkada in 2020, a regional head candidate who was involved in a legal case in the 2020 Pesisir Selatan Regency election was discovered. Even though the regional head had the status of a defendant, it did not affect the Pesisir Selatan KPUD not to pass him as a Pilkada participant. Until then appointed as the elected regional head. Based on this fact, questions arise regarding the legality of the candidates for regional heads who are designated as suspects, defendants and convicts, as well as the legality of his victory in the Pilkada. In addition, it also raises questions regarding the position obtained whether it has legitimacy in accordance with the Law on Regional Elections and the Law on Regional Government. The method used in this thesis research is normative juridical with a qualitative approach and uses literature and interviews. This research is important to discuss the legal implications of elected regional heads who are involved in legal cases in the examples of cases in the 2020 Pilkada and find solutions. So, besides being able to be useful for the development of theoretical discussions, it is also beneficial for the relevant Government Agencies.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Caesarini
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah pada Komisi Pemilihan Umum Pusat dan memberikan saran-saran perbaikan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptifkualitatif dengan pendekatan studi kasus. Berdasarkan hasil kuesioner, wawancara, observasi, dan LHP BPK disimpulkan bahwa pelaksanaan SPIP di KPU Pusat belum efektif. Unsur SPIP sesuai PP 60/2008 yang belum efektif dan perlu diperbaiki adalah Penilaian Risiko dan Pemantauan. Sedangkan unsur yang telah memadai dan perlu terus ditingkatkan adalah Lingkungan Pengendalian dan Kegiatan Pengendalian, serta Informasi dan Komunikasi. Kegiatan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki penerapan SPIP di KPU Pusat adalah Sosialisasi SPIP, penerapan analisa risiko dan peningkatan sistem pemantauan.
This research aims to analyze the effectiveness of Government Internal Control System SPIP in KPU using descriptive qualitative approach. Based on the results of questionnaires, interviews, observation, and LHP BPK, SPIP implementation in the KPU are not effective. SPIP element in PP 60 2008, that are not effective and need improvement are Risk Assessment and Monitoring. Elements that already effective but need improvement are Control Environment, Control Activities, and Information Communication. Socialization, risk analysis and improvement of monitoring system need to be done by KPU to improve SPIP implementation.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>