Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
Arin Swandari
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2019
345.023 ARI k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Teguh Kurniawan
Abstrak :
Penelitian ini mempelajari apakah terdapat diskresi dalam berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh Kepala Daerah yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi KPK pada periode 2004-2010 dan diindikasikan memiliki keterkaitan dengan diskresi. Penelitian ini juga ingin mengetahui apa yang menjadi penyebab tindak pidana korupsi oleh Kepala Daerah serta upaya atau solusi yang dapat dilakukan agar Kepala Daerah tidak terjerat tindak pidana korupsi. Penelitian ini menggunakan studi kasus terhadap 5 lima kasus tindak pidana korupsi oleh Kepala Daerah yang ditangani oleh KPK dan merupakan kasus yang telah memiliki kekuatan hukum tetap inkracht. Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terdapat diskresi dalam berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh para Kepala Daerah yang menjadi studi kasus. Para Kepala Daerah tersebut terbukti melakukan tindakan yang melanggar berbagai peraturan perundang-undangan, yang dilakukan secara bersama-sama ataupun dibantu oleh pihak lain, serta dilakukan untuk memberikan keuntungan pribadi dan bukan untuk kepentingan umum. Apa yang dilakukan oleh Kepala Daerah merupakan tindakan penyalahgunaan wewenang karena melampaui kewenangan yang diberikan. Tindakan korupsi yang dilakukan berupa tindakan yang merugikan keuangan negara ataupun tindakan suap menyuap. Terdapat sejumlah hal yang menyebabkan seorang Kepala Daerah melakukan korupsi, yaitu: 1 ketidaktahuan dari Kepala Daerah mengenai berbagai peraturan; 2 permasalahan pengawasan atau pengendalian baik internal maupun eksternal; 3 mahalnya biaya politik untuk menduduki jabatan Kepala Daerah; 4 permasalahan rendahnya integritas; serta 5 gaya hidup dari Kepala Daerah. Penelitian ini menyarankan sejumlah upaya atau solusi untuk mencegah agar Kepala Daerah di Indonesia tidak terjerat tindak pidana korupsi, yaitu: 1 Peningkatan kapasitas dari Kepala Daerah; 2 Perbaikan terhadap sistem pengawasan; 3 Upaya untuk mengurangi biaya politik; 4 Membangun budaya integritas Kepala Daerah; 5 Membangun akuntabilitas kebijakan; serta 6 Membangun budaya anti korupsi di masyarakat. ...... This study examines whether there is discretion in various corruption cases committed by the Head of Regions that handled by the Corruption Eradication Commission CEC in the period 2004 2010 and is indicated to be related to discretion. This study also wanted to know what the cause of corruption by the Head of Regions and efforts or solutions that can be done so that the Head of Regions is not entangled in corruption. This study uses a case study of five 5 cases of corruption by the Head of Regions handled by the CEC and that have permanent legal force inkracht. The results showed that there was no discretion in various cases of corruption committed by the Head of Regions who became the case study. The Head of Regionals are proven to have acted in violation of various laws and regulations, jointly or assisted by other parties, and carried out to provide personal benefit and not for the public interest. What is done by the Head of Region is an act of abuse of authority because it exceeds the authority granted. Acts of corruption committed in the form of actions that harm the state finances or bribery action. There are a number of things that cause corruption by the Head of Regions, namely 1 ignorance of the regulations 2 problems of supervision or control both internal and external 3 the high political cost for the post of the Head of Regions 4 The problem of lack of integrity and 5 the lifestyle of the Head of Regions. This study suggests a number of efforts or solutions to prevent the Head of Regions in Indonesia is not entangled in corruption, namely 1 Increasing the capacity of the Head of Regions 2 Improvements to the monitoring system 3 Measures to reduce the political costs 4 Building a culture of integrity of the Head of Regions 5 Building policy accountability and 6 Building a culture of anti corruption in society.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
D2301
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Ilham Irmantyo
Abstrak :
Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Perubahan Kedua atas UU KPK), Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR) dan Pemerintah mendapatkan kritik keras dari masyarakat. Publik berpikir, bahwa apa yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah ini bertujuan untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai institusi pemberantas korupsi. Disebut demikian, lantaran UU ini dianggap memuat aturan-aturan yang dapat melemahkan KPK. Hal yang paling dipermasalahkan oleh publik adalah pembentukan Dewan Pengawas KPK sebagai badan pengawas internal KPK yang memiliki wewenang pemberian izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Skripsi ini membahas, apakah wewenang seperti itu merupakan hal yang normal dan lazim diberikan dengan membandingkan wewenang badan pengawas pada lembaga negara lain di Indonesia serta badan pengawas lembaga anti korupsi di negara-negara lain. Metode penelitian yang digunakan untuk skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif dan studi komparatif. Dari riset yang dilakukan, penulis melihat, bahwa dengan mendirikan Dewan Pengawas KPK, pembentuk undang-undang bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas dari KPK. Namun, walaupun pendiriannya memang diperlukan, penulis menilai, bahwa wewenang Dewan Pengawas KPK dalam hal memberi izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan merupakan hal yang tidak lazim dan aneh karena pada praktik ketatanegaraan, baik di Indonesia maupun di negara lain, tidak ditemukan sistem atau pengaturan yang demikian. ...... By the entry into force of the Law Number 19 of 2019 on the Second Amendment to Law Number 30 of 2002 on the Corruption Eradication Commission, the Indonesia's House of Representatives (DPR) and Government were harshly criticized by the public. The public thought that what the DPR and the Government did aimed to weaken the Corruption Eradication Commission (KPK) as the state's institution eradicating corruption. This is because the new law was presumed to contains rules that could weaken the power of KPK. The most problematic thing according to the public is the establishment of the Supervisory Board of the KPK as the commission's internal supervisory body having the authority to grant the approval on the action of wiretapping, searching and confiscation. The thesis discusses whether such authority is normal and a common thing adopted in other countries by learning the authority of the supervisory body in other Indonesia's state institutions as well as the supervisory body of the anti-corruption institutions in other countries. The research method used for the thesis is normative juridical research as well as comparative study. From the research, the author see that by establishing the KPK's Supervisory Board, the legislators aim to increase the accountability of the KPK. However, although its establishment is indeed necessary, the author has an opinion that the above mentioned Supervisory Board authority is unusual and peculiar, as the practice has not been found, both in Indonesia's and other countries' constitutional system.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Iwan Sulistyo
Abstrak :
Tujuan dari penelitian ini yakni mengetahui bagaimana dampak dari keberadaan, wewenang, dan kinerja (Komisi Pemberantasan Korupsi) terhadap persepsi risiko penghukuman jika melakukan tindakan suap-menyuap di kalangan PNS (Pegawai Negeri Sipil) pada Direktorat Jenderal X, Departemen Y. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross-sectional. Data dikumpulkan melalui mail-back questionnaire. Hasil penelitian ini memper-lihatkan bahwa keberadaan, wewenang, dan kinerja KPK berdampak terhadap timbulnya rasa takut PNS Direktorat Jenderal X, Departemen Y dalam melakukan tindakan suap-menyuap. Hal ini terlihat dengan tingginya persepsi terhadap risiko dari mayoritas responden.
The purpose of this research is to measure the impact of the existence, authority, and performance of KPK (Corruption Eradication Commission) toward bribery on the Group of PNS (Civilian Government Workers), Directorate X, Department Y. This research is quantitative through the cross-sectional design. The data were collected by means of mail-back questionnaire. The result of this research is that the existence, authority, and performance of KPK have deterrent to receive the bribery. Majority of the respondent thought that there is an actual risk of the KPK works.
2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: KPK,
364 INTE
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Wawan Heru Suyatmiko
Abstrak :
Tidak ada standar universal dalam membangun dan mengoperasikan lembaga anti korupsi (ACA) yang ideal. Sejak 2013, Transparency International (TI) telah mengembangkan alat pengukuran yang mampu menangkap efektivitas kinerja ACA sesuai dengan mandat UNCAC dan Prinsip-prinsip Jakarta. Salah satu aspek utamanya adalah apakah ACA berada di dalam lingkungan yang mendukung atau berada dalam situasi kebijakan yang menghambat implementasi undang-undang anti-korupsi. Studi ini secara khusus berupaya mengkaji kekuatan dan kelemahan ACA di Indonesia, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan alat pengukuran TI melalui 6 dimensi yang tersebar dalam 50 indikator selama periode 2016-2019. Studi ini menemukan bahwa KPK memiliki faktor lingkungan yang kuat dan mendukung, baik secara internal maupun eksternal; tetapi memiliki sejumlah pengecualian dalam aspek independensi. Pengukuran kinerja bagi ACA, baik yang dilakukan secara internal atau eksternal, signifikan untuk memperkuat independensi ACA dan penegakan hukum dalam jangka panjang
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2019
364 INTG 5:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Taryanto
Abstrak :
Capaian pemulihan kerugian negara sebagai hasil kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dinilai tidak optimal yang menunjukkan adanya masalah pada manajemen kinerjanya. Oleh karena itu, riset ini bertujuan untuk menemukan manajemen kinerja (organisasi) dalam optimalisasi pemulihan kerugian negara dengan menggunakan model Balance Score Card. Permasalahan pemulihan kerugian negara di KPK akan dianalisis dengan menggunakan teori manajemen kinerja, balanced scorecard (BSC) dan teori pemulihan aset (asset recovery). Secara keseluruhan balance scorecard dalam mengukur kinerja KPK dalam pemulihan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi masih di katakan cukup dengan total score 73%, artinya keseimbangan antara perspektif satu dengan yang lainnya masih belum bisa dicapai. Dalam analisis kualitatif, faktor-faktor yang mempengaruhi pengoptimalan pemulihan kerugian adalah 1) Regulasi yang diterapkan belum optimal khusunya pada penetapan hukuman dan denda yang diperoleh oleh tersangka; 2) Tunggakan perkara dan kurang dari segi kualitas dan kuantitas perkara yang diselidiki; 3) kuantitas dan kualitas Sumber Daya Manusia yang masih rendah; 4) Sinergisitas antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Aparat Penegak Hukum lain yang masih terbentur egosektoral ......The achievement of recovery of state losses due to the performance of the Corruption Eradication Commission is considered not optimal, which indicates a problem in its performance management. Therefore, this research aims to find a performance management (organizational) in optimizing the recovery of state losses using the Balanced Score Card model. The problem of recovering state losses at the Corruption Eradication Commission will be analyzed using performance management theory, the balanced scorecard (BSC) and asset recovery theory. Overall, the balanced scorecard in measuring the performance of the Corruption Eradication Commission in recovering state losses due to corruption is still said to be sufficient, with a total score of 73%, meaning that KPK cannot achieve a balance between one perspective and another. In the qualitative analysis, the factors that influence the optimization of loss recovery are 1) the regulations applied are not optimal, especially in determining the penalties and fines obtained by the suspect; 2) Case arrears and less in terms of quality and quantity of cases investigated; 3) the quantity and quality of Human Resources are still low; 4) Synergy between the Corruption Eradication Commission and other Law Enforcement Apparatuses which is still colliding with ego-sectoral conflicts.
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>