Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Puji Budi Setia Asih
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
D1761
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Melati Padma Adiprameswari
Abstrak :
[Pengobatan malaria semakin lama mengalami resistensi di berbagai daerah. Akar pasak bumi (Eurycoma longifolia) adalah tanaman yang berpotensi sebagai terapi malaria karena memiliki kandungan kuasinoid. Penelitian ini melakukan uji ekstrak akar pasak bumi (E. longifolia) dosis 60 mg/kgBB dan 75 mg/kgBB secara tunggal dan kombinasi masing-masing dengan klorokuin via oral. Jenis penelitian eksperimental in vivo dengan subjek penelitian mencit Swiss yang terinfeksi Plasmodium berghei. Hasil penelitian perbandingan hari ke-4 dan hari ke-0 tingkat parasitemia memiliki nilai signifikan (p<0,05) pada uji One way Anova. Persentase inhibisi pertumbuhan pada kelompok kombinasi mencapai 98,5% dan 98,9% dibandingkan klorokuin sebagai obat standar mencapai 100%. Sedangkan pasak bumi tunggal inhibisi <50%. Dapat disimpulkan pemberian kombinasi lebih baik menurunkan dan menekan parasitemia dibandingkan pemberian ekstrak akar pasak bumi secara tunggal berdasarkan hasil analisis data perbedaan bermakna (p<0,05).;Malaria treatment is going to become resistance in various regions. Eurycoma longifolia jack is a plant that has potential as malaria therapy due to contain quassinoid as antimalarial. This study was to test Eurycoma longifolia jack extract dose 60 mg/kgBB and 75 mg/kgBB in single and combination with chloroquine via oral. Type of studies is experimental in vivo with Swiss mice infected by Plasmodium berghei as subject. Results of comparative study day 4 and day 0 levels of parasitemia has significant value (p<0,05). The percentage of growth inhibition in the combination group reached 98,5% and 98,9% compare with reference standard therapy chloroquine that reached 100%, while the single of Eurycoma longifolia jack <50%. It can be concluded combination group better than single group of Eurycoma longifolia jack to reduce and supress parasitemia based on the post-hoc analysis there were significant differences (p<0,05)., Malaria treatment is going to become resistance in various regions. Eurycoma longifolia jack is a plant that has potential as malaria therapy due to contain quassinoid as antimalarial. This study was to test Eurycoma longifolia jack extract dose 60 mg/kgBB and 75 mg/kgBB in single and combination with chloroquine via oral. Type of studies is experimental in vivo with Swiss mice infected by Plasmodium berghei as subject. Results of comparative study day 4 and day 0 levels of parasitemia has significant value (p<0,05). The percentage of growth inhibition in the combination group reached 98,5% and 98,9% compare with reference standard therapy chloroquine that reached 100%, while the single of Eurycoma longifolia jack <50%. It can be concluded combination group better than single group of Eurycoma longifolia jack to reduce and supress parasitemia based on the post-hoc analysis there were significant differences (p<0,05).]
[, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farhan
Abstrak :
Malaria merupakan masalah kesehatan di dunia. Tantangan yang muncul di mengatasi malaria adalah munculnya resistensi terhadap klorokuin, salah satu obat antimalaria. Perlawanan telah mendorong berbagai penelitian untuk menemukan senyawa antimalaria baru. Salah satu potensinya adalah propolis, produk lebah madu, yang mengandung luteolin 7-O glukosida dan kalkon. Luteolin 7-O glukosida menghambat tipe 2. biosintesis asam lemak parasit dan chalcone menghambat proses hemolisis. Tujuan dari penelitian ini mempelajari efektivitas kombinasi propolis dan klorokuin dibandingkan diobati dengan klorokuin, propolis saja, dan terapi kombinasi dalam parasitemia mencit (Mus musculus) yang terinfeksi Plasmodium berghei. Dosis propolis yang diuji adalah 30 mg/kgBB dan 60 mg/kgBB. Perbedaan tingkat parasitemia yang terkecil dan terbesar masing-masing berada pada kelompok perlakuan terapeutik klorokuin saja, terapi kombinasi dengan dosis 60 mg/kg, terapi kombinasi dengan dosis 60 mg/kgBB, terapi tunggal propolis dengan dosis 30 mg/kgBB, dan terapi tunggal propolis dosis 60 mg/kg berat badan. Terapi tunggal propolis 30 mg/kgBB berhasil dihambat pertumbuhan parasit yang signifikan Namun terapi tunggal propolis 60 mg/kgBB memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap percepatan pertumbuhan parasit. Namun, terapi tunggal propolis masih belum sebanding dengan terapi tunggal klorokuin. Terapi kombinasi propolis tidak memberikan perubahan yang signifikan pada efek antimalaria klorokuin. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa propolis pada dosis 30 mg/kgBB dan 60 mg/kgBB tidak sesuai untuk digunakan pada terapi kombinasi dengan klorokuin.
Malaria is a health problem in the world. Challenges that appear in to overcome malaria is the emergence of resistance to chloroquine, one of the antimalarial drugs. The resistance has prompted various studies to find new antimalarial compounds. One of the potential is propolis, a honey bee product, which contains luteolin 7-O glucoside and chalcone. Luteolin 7-O glucoside inhibits type 2 . Parasite fatty acid biosynthesis and chalcone inhibit hemolysis. The aim of this study was to study the effectiveness of the combination of propolis and chloroquine compared to treatment with chloroquine, propolis alone, and combination therapy in parasitaemia of mice (Mus musculus) infected with Plasmodium berghei. The doses of propolis tested were 30 mg/kgBW and 60 mg/kgBW. The smallest and largest differences in parasitaemia levels were in the chloroquine only therapeutic treatment group, combination therapy at a dose of 60 mg/kg, combination therapy at a dose of 60 mg/kgBW, propolis single therapy at a dose of 30 mg/kgBW, and propolis single therapy. dose of 60 mg/kg body weight. Propolis single therapy 30 mg/kgBW was successfully inhibited by significant parasite growth. However, propolis 60 mg/kgBW single therapy had no significant effect on the acceleration of parasite growth. Although However, propolis single therapy is still not comparable to chloroquine single therapy. Propolis combination therapy did not give a significant change in the antimalarial effect of chloroquine. Therefore, it can be concluded that propolis at doses of 30 mg/kgBW and 60 mg/kgBW is not suitable for use in combination therapy with chloroquine.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muhammad Farhan
Abstrak :
ABSTRAK
Malaria merupakan masalah kesehatan di dunia. Tantangan yang muncul dalam mengatasi malaria adalah munculnya resistensi pada klorokuin, salah satu obat antimalaria. Resistensi mendorong dilakukannya berbagai penelitian untuk menemukan senyawa antimalaria yang baru. Salah satu yang berpotensi adalah propolis, produk lebah madu, yang mengandung luteolin 7-O glucoside danchalcone. Luteolin 7-O glucoside menginhibisi biosintesis asam lemak tipe 2 parasit dan chalcone menghambat proses hemolisis. Penelitian ini bertujuan mempelajari efektifitas kombinasi propolis dan klorokuin dibandingkan tingkat yang diberi terapi klorokuin, terapi tunggal propolis, dan terapi kombinasi pada parasitemia mencit Mus musculus terinfeksi Plasmodium berghei. Dosis propolis yang diuji adalah 30 mg/kgBB dan 60 mg/kgBB. Selisih tingkat parasitemia dari yang terkecil dan terbesar berturut-turut adalah pada kelompok perlakuan terapi tunggal klorokuin, terapi kombinasi dosis 60 mg/kgBB, terapi kombinasi dosis 60 mg/kgBB, terapi tunggal propolis dosis 30 mg/kgBB, dan terapi tunggal propolis dosis 60 mg/kgBB. Terapi tunggal 30 mg/kgBB propolis berhasil menginhibisi pertumbuhan parasit secara signifikan Namun terapi tunggal 60 mg/kgBB propolis memiliki efek tidak signifikan mempercepat pertumbuhan parasit. Walaupun demikian, terapi tunggal propolis masih belum sebanding dengan terapi tunggal klorokuin. Terapi kombinasi propolis tidak memberi perubahan yang signifikan pada efek antimalaria klorokuin. Oleh karena itu, dapat disimpulkan propolis dengan dosis 30 mg/kgBB dan 60 mg/kgBB tidak cocok untuk digunakan pada terapi kombinasi dengan klorokuin.
ABSTRACT
Malaria is a health problem in the world. The resistance encourages the of various studies to discover new antimalarial compounds. Propolis contained luteolin 7 O glucoside and chalcone which inhibits biosynthensis of parasite rsquo s type 2 fatty acids and hemolysis process. The research aimed to study efficacy of propolis and chroquine combination therapy against different therapy groups choroquine therapy, propolis single therapy, and combination therapy by parasitemia level of mice Mus musculus infected by Plasmodium berghei. The dose of propolis was 30 mg kgBW and 60 mg kgBW. The smallest to largest difference of parasitemia in order is chloroquine single therapy, propolis 60 mg kgBW combination theraphy, propolis 30 mg kgBW combination theraphy, propolis 60 mg kgBW single therapy, and propolis 30 mg kgBW single therapy. Propolis 30 mg kgBW single therapy significantly inhibit parasite growth. Meanwhile, propolis 60 mg kgBW single therapy insignificantly accelerating the growth of parasite. Nevertheless, combination of different dose propolis and chloroquine showed worse growth inhibition compared to chloroquine therapy insignificantly. Supplementary of propolis did not provide a significant change in the antimalarial effects of chloroquine. Propolis 30 mg kgBW and 60 mg kgBW is unsuitable for use in combination therapy with chloroquine.
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhayati
Abstrak :
Ruang lingkup dan cara penelitian: Sampai saat ini malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di daerah tropis. Plasmodium vivax merupakan spesies penyebab malaria setelah P. falcifarum dan menyebabkan angka kesakitan yang tinggi. Akhir-akhir ini telah banyak laporan tentang parasit yang muncul kembali di dalam darah (rekurens) setelah diobati dengan klorokuin, sewaktu kadar klorokuin diperkirakan masih efektif, sehingga perlu dilakukan evaluasi efikasi klorokuin. Adanya variasi yang besar pada farmakokinetik klorokuin perlu dilakukan pengukuran kadar klorokuin dalam darah untuk membuktikan apakah rekurens disebabkan oleh parasit resisten. Oleh karena itu, telah dilakukan penelitian prospektif secara in vivo di daerah hiperendemik malaria, Kabupaten Alor Nusa Tenggara Timur terhadap 32 orang penderita malaria vivax yang diobati dengan kiorokuin dosis standar (25 mg/kg, selama 3 hari). Pasien tersebut diamati selama 28 hari terhadap parasitemia dan gejala klinis, kemudian dikonfirmasikan dengan kadar klorokuin dalam darah mereka. Hasil dan Kesimpulan: Klorokuin efektif terhadap P. vivax pada 34, 4% (11/32) penderita. Sebanyak 65, 6% (21/32) mengalami kegagalan pengobatan dalam 28 hari. Tujuh belas orang mengalami kegagalan pengobatan sewaktu kadar klorokuin melebihi atau sama dengan kadar terapeutik minimal (100 ng/ml), sehingga parasit P. vivax terbukti resisten, sedangkan pada 4 orang kadar klorokuin dalam darah tidak terukur dan tidak terbukti resisten. Dan 17 orang tersebut, 5 orang mengalami kegagalan pengobatan pada hari ke-7 atau sebelumnya. Disimpulkan bahwa angka kegagalan pengobatan klorokuin terhadap P. vivax di Nusa tenggara Timur ialah 65, 6% dan angka resistensi 53,1%.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T10971
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Ardyanti Rohadatul ‘Aisy
Abstrak :
Hidroksiklorokuin merupakan obat antimalaria yang digunakan dalam pengobatan lupus eritematosus sistemik, reumatoid artritis, dan malaria. Namun, hidroksiklorokuin memiliki efek samping seperti toksisitas okular, neurotoksisitas, gangguan gastrointestinal, hingga toksisitas berat seperti kardiotoksisitas. Oleh karena itu, diperlukan pemantauan terapi obat dalam penggunaan hidroksiklorokuin dosis tinggi atau jangka waktu yang panjang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan metode analisis dan preparasi sampel hidroksiklorokuin dalam VAMS menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi – Photodiode Array yang optimum dan tervalidasi berdasarkan pedoman Food and Drug Administration 2018. Analisis kuantifikasi hidroksiklorokuin dilakukan dengan KCKT-PDA dengan kolom C18 (Waters, Sunfire™ 5μm; 250 x 4,6mm), volume injeksi 100 μL, dan suhu kolom 45 ºC. Fase gerak terdiri atas asetonitril-dietilamin 1% (65:35) (elusi isokratik) dengan laju alir 0,8 mL/menit dan total waktu analisis 12 menit. Preparasi sampel dalam VAMS dilakukan dengan metode ekstraksi cair-cair dengan pelarut amonia 1% dan n-heksan-etil asetat (50:50 v/v) dengan volume masing-masing 500 μL. Darah di dalam VAMS dikeringkan selama 2 jam, lalu ditambahkan baku dalam dan larutan ammonia 1%. Sampel dikocok dengan vortex selama 15 detik dan disonikasi selama 5 menit. Kemudian ditambahkan n-heksan-etil asetat (50:50) lalu dikocok kembali dengan vortex selama 15 detik dan disentrifugasi selama 5 menit pada kecepatan 10.000 rpm. Fase n-heksan-etil asetat diambil lalu dikeringkan dengan gas Nitrogen. Residu hasil pengeringan direkonstitusi dengan fase gerak sebanyak 150 μL dan dipindahkan ke vial autosampler untuk dianalisis dengan sistem KCKT-PDA. Metode ini telah memenuhi parameter validasi penuh menurut Food and Drug Administration 2018, dengan LLOQ 2 ng/mL dan rentang kurva kalibrasi 2-6500 ng/mL dengan koefisien korelasi 0,99927-0,99969. ......Hydroxychloroquine is an antimalarial drug that used for systemic lupus erythematosus, rheumatoid arthritis, and malaria treatment. However, hydroxychloroquine has several side effects such as ocular toxicity, neurotoxicity, gastrointestinal disorder, and also severe toxicity like cardiotoxicity. Therefore, therapeutic drug monitoring of high dose or long-term use of hydroxychloroquine is needed. This study aims to obtain an optimum and validated analysis and preparation method for hydroxychloroquine in VAMS using High Performance Liquid Chromatography – Photodiode Array Detector based on Food and Drug Administration guidelines (2018). Hydroxychloroquine quantification was performed using HPLC-PDA with Waters Sunfire™ C18 (5μm; 250 x 4,6mm) column with injection volume of 100 μL, and the temperature of column was controlled at 45 ºC. Mobile phase consist of acetonitrile-diethylamine 1% (65:35) (isocratic elution) and delivered at a flow rate of 0,8 mL/min through out the 12 minutes run. Sample in VAMS is extracted by liquid-liquid extraction with ammonia 1% and n-hexane-ethyl acetate (50:50 v/v), 500 μL each as a solvent. Blood in VAMS was dried for 2 hours, then added with internal standard solution and 1% ammonia solution. The samples were mixed on vortex for 15 seconds and sonicated for 5 minutes. n-hexane-ethyl acetate (50:50) was added to the samples, then mixed again on vortex for 15 second and centrifuged for 5 minuted at a speed of 10,000 rpm. n-hexane-ethyl acetate phase was separated and dried under Nitrogen gas flow. The residue from drying process as reconstituted with 150 μL mobile phase and transferred to autosampler vial for analysis. This method has successfully qualify the Food and Drug Administration (2018) parameters, with 2 ng/mL of LLOQ, range of calibration curve 2-6500 ng/mL, and coefficient of correlation 0,99927-0,99969.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library