Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zelayna Claudia
Abstrak :
Dalam penelitian ini pengamatan berfokus pada penyelidikan peran ozone pada penyisihan tembaga (Cu) dari air limbah dengan adsorpsi menggunakan kitosan. Kitin adalah salah satu polisakarida alami yang paling melimpah yang dihasilkan oleh banyak organisme hidup, biasanya ditemukan sebagai komponen krustasean, setelah menjalani isolasi tertentu kitin dapat berubah menjadi kitosan (β-Poly (1-4) - 2-Amino-2-deoksi-ß-D-Glucan) yang memiliki sifat kimia yang lebih baik yang diperlukan sebagai bioadsorben. Pemisahan tembaga dari limbah cair menggunakan metode flotasi dan ozon sebagai diffuser, penggunaan ozon dikarenakan sifat oksidasi dan kelarutannya dalam air lebih besar dari udara. Selain itu, proses penyisihan tembaga yang dilakukan dibagi menjadi tiga variasi utama; ozonasi, kitosan dan gabungan kitosan dan ozon, dengan konsistensi kitosan; 1g/L, 2g/L dan 3 g/L. dan variasi konsentrasi tembaga pada 100 ppm, 200ppm, 300ppm dan 400 ppm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prosentase penyisihan tembaga dalam proses ozonisasi dan kitosan masing-masing hanya mencapai titik tertinggi pada 14,15% dan 44,58%, dimana kombinasi kedua metode mencapai 51,42%. ......In this study the observation were mainly focus on the investigation of the significance of the copper (Cu) removal from wastewater by adsorption using chitosan and ozonation process. Furthermore, chitin is one of the most abundant natural polysaccharides produced by many living organisms; it is usually found as a component of crustacean shell, after undergoing specific isolations process chitin can be transform into the chitosan (β Poly-(1-4)-2-Amino-2-deoxy-ß-D- Glucan) which has a better chemical properties which necessary as a bioadsorbent Furthermore, separation of copper from wastewater was conducted by flotation method, ozone is used as diffuser because it is a stronger oxidant and more dissolvable in water than oxygen. Moreover, the process of the copper removal that is carried out is using a varied of ozone, chitosan and ozon-chitosan process, with the variation of chitosan used consitency at 1g/L, 2g/L and 3 g/L. and the variation of copper concentration at 100 ppm, 200ppm, 300ppm and 400 pm. The results indicated that the precentage removal of copper in ozonation process only and chitosan only reach its highest point at 14.15% and 44.58% respectivelly, where the combination of both method reach 51.42%.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S47713
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Limbah padat krustasea (kulit kepala,kaki) merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi oleh pabrik pengolahan krutasea. Selama ini limbah tersebut dikeringkan dan dimanfaatkan sebagai pakan atau pupuk dengan nilai yang rendah. Mengolahnya menjadi kitin atau kitosan akan emberikan nilai tambah yang cukup tinggi....
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Yulianti
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1992
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Chitinase hydrolyzing chitin are produced by various organisms and their physiological functions depend on their sources....
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Lusiana
Abstrak :
Kitin dan kitosan memiliki gugus amina yang bermuatan positif pada rantai sampingnya. Kesamaan struktur kitin dan kitosan dengan DEAE selulosa membuat kedua polimer tersebut berpotensi digunakan sebagai matriks penukar ion untuk fraksinasi protein. Hasil fraksinasi serum dengan matriks kitin dan kitosan dibandingkan dengan hasil fraksinasi dengan matriks  DEAE selulosa. Serum darah sapi diifraksinasi dengan kromatografi kolom dnegan matriks kitin kitosan dan DEAE selulosa dengan fase gerak PBS Ph 7,4, bufer fosfat Ph 6,5 Dan dapar Tris Ph 8,5. Fraksi IgG diuji dengan elektroforesis selulosa asetat, elektroforesis gel poliakrilamida dan imunodifusi radial. fraksinasi degan matriks kitin dan kitosan menunjukkan pola yang sama dengan matriks DEAE selulosa. Hasil elektroforesis gel poliakrilamid menunjukkan adanya pita IgG pada fraksi kitin, kitosan dan DEAE selulosa dengan fase gerak PBS pH 7,4 dan dapar fosfat pH 6,5. Namun hasil fraksinasi dengan dapar tris pH 8,5 tidak menunjukkan adanya pita IgG. Hasil uji dengan imunodifusi radial menunjukkan adanya IgG dengan konsentrasi terbanyak pada fraksi kitosan dengan fase gerak PBS pH 7,4. Kitin dan kitosan berpotensi digunakan sebagai Matriks penukar ion untuk fraksinasi protein serum darah sapi. Fraksi terbaik adalah fraksi kitosan degan fase gerak PBS pH 7,4. ......Chitin and chitosan are polymers that naturally have N group on the side chain. The similarity structure between chitin, chitosan and DEAE-cellulose make the two polymer potentially used as ion-exchange matrix to fractionation of blood serum. Bovine serum was fractionated by column chromatography with chitin chitosan matrix and DEAE-cellulose with PBS pH 7.4, Phosphate buffer with pH 6.5 and tris buffer pH 8.5. The IgG fraction was tested by cellulose acetate electrophoresis, polyacrylamide gel electrophoresis and radial immunodiffusion.the results of fractionation using chitin and chitosan matrix showed the same pattern as DEAE-cellulose matrix. The results of polyacrylamide gel electrophoresis showed the presence of IgG bands in the chitin, chitosan and DEAE-cellulose fractions with PBS mobile phase pH 7.4 and phosphate buffer pH 6.5. However, the results of fractionation with tris buffer pH 8.5 did not show any IgG bands. The test results with radial immunodiffusion showed the presence of IgG with the highest concentration in the chitosan fraction with PBS mobile phase pH 7.4. Chitin and chitosan have potential as ion exchange matrix for protein fractionation of bovine serum. chitosan matrix with PBS pH 7.4 mobile phase show the best fraction.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pael Desen Thesa Lonika
Abstrak :
Saat sekarang label biodegradable merupakan salah satu kriteria dalam pemilihan sebuah produk. Kertas tisu biodegradable dalam penelitian ini dibuat dari selulosa yang dikombinasikan dengan kitin dan kitosan. Selulosa, kitin, dan kitosan bersifat biodegradable. Selain itu, selulosa memiliki gugus hidroksil yang melimpah sehingga meningkatkan hidrofilisitas kertas tisu. Masing-masing kitin, kitosan sintesis dan kitosan komersial divariasikan dengan konsentrasi 0,1, 0,3, 0,5, 0,7, dan 1% terhadap selulosa. Perlakuan dalam proses isolasi selulosa, kitin dan kitosan serta kertas tisu yang dihasilkan dikarakterisasi FTIR, XRD, dan FESEM. Hasil uji SNI 0103:2008 Kertas Tisu Toilet menunjukkan bahwa kertas tisu yang dihasilkan memiliki penampakan yang bersih, lembut, dan tidak berlubang. Kertas tisu memiliki warna putih dan tidak luntur, dapat hancur dalam air, serta dapat menyerap air melebihi standar yang ditentukan. Tiga kriteria utama dalam penilaian kertas tisu terbaik dalam penelitian ini meliputi daya hancur dalam air, daya serap, dan laju degradasi. Kertas tisu terbaik berdasarkan uji mudah hancur yaitu kertas tisu dengan 1% kitin. Hasil uji daya serap kertas tisu menunjukkan bahwa kertas tisu terbaik yaitu kertas tisu dengan 1% kitin, 0.1% kitosan sintesis, 0.1% kitosan komersial yang memiliki daya serap sebesar 131 mm, 141 mm, dan 92 mm masing-masingnya. Sedangkan berdasarkan uji biodegradabilitas, kertas tisu terbaik yaitu kertas tisu dengan 1% kitosan komersial dengan lau degradasi sebesar 11.35%. Berdasarkan uji mudah hancur, uji daya serap, dan uji biodegradabilitas, kertas tisu terbaik yang dihasilkan yaitu kertas tisu dengan 1% kitin. ......Currently, the biodegradable label is one of the criteria in selecting a product. The biodegradable tissue paper in this study was made from cellulose combined with chitin and chitosan. Cellulose, chitin, and chitosan are biodegradable. In addition, cellulose has abundant hydroxyl groups which increase the hydrophilicity of tissue paper. Each chitin, synthesis chitosan and commercial chitosan were varied with concentrations of 0.1, 0.3, 0.5, 0.7, and 1 w/v% to cellulose. The treatments in the isolation process of cellulose, chitin and chitosan and the resulting tissue paper were characterized by FTIR, XRD, and FESEM. The SNI 0103:2008 Toilet Tissue Paper test results showed that the tissue paper produced had a clean, soft, and had not perforated appearance. Tissue paper has a white color and does not fade, can be destroyed in water, and can absorb water beyond the specified standards. The three main criteria in assessing the best tissue paper in this study include crushability in water, water absorption, and degradation rate. The best tissue paper based on the crushability test is tissue paper with 1 w/v% chitin. The tissue paper absorption test results showed that the best tissue paper was tissue paper with 1 w/v% chitin, 0.1 w/v% synthetic chitosan, 0.1 w/v% commercial chitosan which had an absorption capacity of 131 mm, 141 mm, and 92 mm respectively. Meanwhile, based on the biodegradability test, the best tissue paper was tissue paper with 1 w/v% commercial chitosan with degradation rate was 11.35%. Based on the crushability test, absorption test, and biodegradability test, the best tissue paper produced was tissue paper with 1w/v% chitin.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adelina Putri Widyanti
Abstrak :
Maraknya permasalahan limbah logam berat dan organik yang tidak tertangani dengan baik, membuat dibutuhkannya suatu metode efektif untuk mengurangi jumlah limbah tersebut secara signifikan, untuk kemudian mengolahnya menjadi sesuatu yang memiliki nilai ekonomis. Limbah cangkang rajungan dan limbah nikel hasil industri, akan sangat berbahaya terhadap manusia apabila kadarnya melebihi ambang batas. Untuk itu, perlu dikembangkan metode pengolahan limbah yang mampu menyelesaikan kedua permasalahan tersebut, yakni metode adsorpsi-desorpsi menggunakan kitosan berbahan dasar cangkang rajungan sebagai adsorben logam nikel, yang dilanjutkan dengan electrowinning untuk memperoleh padatan nikel. Adsorpsi nikel oleh kitosan yang memiliki derajat deasetilasi 50,2% berlangsung optimum pada kondisi pH 3, perbandingan solid/liquid 1:150, dan waktu kontak 30 menit. Sementara itu, desorpsi berlangsung optimum pada pH 2 selama 60 menit. Rapat arus 150 mA/cm2 dan waktu 60 menit merupakan kondisi optimum untuk electrowinning nikel. ......Nowadays, one of the most critical problems is about environmental pollution due to heavy metal and organic waste. For solving these problem, we should have an effective methods to reduce those wastes significantly and change them into something that more useful and have an economical value. Crab shells and nickel waste are very dangerous to human. So, we need to develop a waste treatment method, which could solve both problems. One of the methods is adsorption-stripping method using chitosan from crab shell waste as a nickel adsorbent. Electrowinning is the last process in nickel recovery for getting nickel in the solid phase. Nickel adsorption which was used chitosan with deacetylation degree 50,2%, have the optimum condition at pH 3, ratio solid/liquid 1:150, and adsorption time 30 minutes. Meanwhile, the optimum condition for stripping process was reached at pH 2 during 60 minutes. Finally, electric current 150-mA/cm2 and electrowinning time 60 minutes is the required condition for getting the optimum nickel recovery in electrowinning process.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2009
S52238
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Cinthya Karlina Wijaya
Abstrak :
Metarhizium majus UICC 295 adalah kapang entomopatogen yang menginfeksi dan membunuh serangga. Penelitian bertujuan menguji pengaruh penambahan kitin koloidal 10% (b/v) pada medium pertumbuhan terhadap kemampuan M. majus UICC 295 menginfeksi larva Oryctes rhinoceros Linnaeus serta mengetahui pengaruh preservasi dengan freezing pada suhu -80o C menggunakan krioprotektan gliserol 10% (v/v) dan maltosa 5% (b/v) dalam mempertahankan viabilitas M. majus UICC 295. Suspensi konidia/hifa M. majus UICC 295 pada medium Sabouraud Dextrose with Yeast Extract Agar (SDYA) sebanyak 1 x 106 sel/ml mampu membunuh larva 3,33--100% dalam 7--11 hari, sedangkan jumlah konidia/hifa 1 x 107 sel/ml pada SDYA dengan penambahan kitin koloidal 10% mampu membunuh larva 6,67--100% dalam waktu 8--10 hari. Preservasi pada -80o C menggunakan akuades mampu mempertahankan viabilitas M. majus UICC 295, sedangkan preservasi menggunakan krioprotektan gliserol 10%, dan gliserol 10% dengan penambahan maltosa 5% menyebabkan penurunan viabilitas kapang pada medium SDYA dan SDYA dengan penambahan substrat kitin koloidal 10%. Preservasi konidia/hifa M. majus UICC 295 pada kadaver larva yang terinfeksi M. majus UICC 295 dari medium SDYA dengan penambahan kitin koloidal 10% pada -80o C menggunakan akuades, krioprotektan gliserol 10%, serta gliserol 10% dan maltosa 5% mampu mempertahankan viabilitas kapang. ......Metarhizium majus UICC 295 is an entomopathogenic fungus which is able to infect and kill insects. This research aimed to investigate the effects of 10% (w/v) colloidal chitin in growth medium on the pathogenicity of M. majus UICC 295 to infect Oryctes rhinoceros Linnaeus larvae and to investigate the effects of preservation by freezing in -80o C using 10% (v/v) glycerol and 5% (w/v) maltose as cryoprotectants in sustaining the viability of M. majus UICC 295. Application of conidial/hyphal suspension 1 x 106 cell/ml of M. majus UICC 295 from SDYA caused 3.33%--100% larval mortality within 7--11 days, while application of conidial/hyphal suspension 1 x 107 cell/ml of the mould from SDYA added with 10% colloidal chitin caused 6.67--100% larval mortality within 8--10 days. Freezing of conidia/hyphae of M. majus UICC 295 from SDYA and SDYA added with 10% colloidal chitin preserved in distilled water in -80o C maintained its viability, while freezing of conidia/hyphae of M. majus UICC 295 from SDYA and SDYA added with 10% colloidal chitin preserved in 10% glycerol and 10% glycerol added with 5% maltose as cryoprotectants decreased its viability. Freezing of larval cadaver infected with M. majus UICC 295 from SDYA and SDYA added with 10% colloidal chitin and preserved in -80o C maintained its viability.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S43317
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lisda Apriani
Abstrak :
Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Bioindustri, Pusat Teknologi Bioindustri, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (LTBPTB- BPPT)-Serpong. Penelitian bertujuan mengetahui kemampuan delapan isolat bakteri dari limbah kulit udang asal Palembang dalam memproduksi enzim kitinolitik, serta menentukan suhu dan pH optimum untuk produksi enzim dari satu isolat terpilih. Pengujian aktivitas kualitatif enzim ditentukan dengan nilai indeks kitinolitik dan aktivitas kuantitatif enzim ditentukan dengan mengukur kemampuan enzim dalam menghidrolisis kitin menjadi N-asetilglukosamin. Semua isolat uji menunjukkan adanya zona bening dan indeks kitinolitik tertinggi ditunjukkan oleh isolat C15 dengan nilai 1,73. Tujuh isolat bakteri, C4, C6, C8, C12, C14, C15, dan D10 menunjukkan produksi enzim yang fluktuatif, kecuali isolat D6. Isolat D6 dipilih untuk penentuan suhu dan pH optimum dalam produksi enzim kitinolitik. Pengamatan produksi enzim kitinolitik isolat D6 dengan variasi suhu dan pH menunjukkan bahwa produksi enzim tertinggi pada suhu 30o C dan pH 7 (0,0643 U/mg; 0,0032 U/ml).
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S31531
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library