Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harmita Maharani
"Penelitian dilakukan untuk mengetahui potensi nefroprotektif dimer isoeugenol terhadap histologi ginjal mencit jantan galur DDY. Tiga puluh ekor mencit jantan dibagi secara acak dalam enam kelompok, yang terdiri atas kelompok kontrol normal, kelompok kontrol kerusakan, dan kelompok perlakuan. Kelompok kontrol dicekok dengan minyak zaitun selama 7 hari berturut-turut. Kelompok perlakuan dicekok dengan larutan dimer isoeugenol dosis 2, 4, 6, dan 8 mg/kg bb selama 7 hari berturut-turut. Kelompok kontrol kerusakan dan kelompok perlakuan diinjeksi intraperitoneal dengan karbon tetraklorida dua jam setelah pemberian dosis hari ke-7. Ginjal diamati secara makroskopik dan mikroskopik.
Uji statistik menunjukkan terdapat pengaruh nefroprotektif dimer isoeugenol terhadap rata-rata diameter kapsula Bowman, diameter glomerulus, dan jumlah tubulus proksimal yang menutup, namun tidak terdapat pengaruh terhadap ratarata diameter ruang Bowman dan berat basah ginjal. Hasil penelitian menunjukkan setiap dosis perlakuan dimer isoeugenol memiliki pengaruh nefroprotektif. Dimer isoeugenol dosis 4 mg/kg bb menunjukkan pengaruh paling baik.

This research was designed to investigate the nephroprotective potential of isoeugenol dimer on DDY strain male mice kidney histology. The animals were divided randomly into six groups, consisted of normal control group, injury control group, and treatment groups. Control groups were administered olive oil orally for 7 consecutive days. Treatment groups were administered doses of isoeugenol dimer solution 2, 4, 6, and 8 mg/kg w/v orally for 7 consecutive days. Injury control group and treatment groups was induced by intraperitoneal administration of carbon tetrachloride 2 hours after the 7th dose. Kidneys were observed in macroscopic and microscopic.
Statistic study showed that there was a nephroprotective effect of isoeugenol dimer against the average diameter of Bowman's capsule, diameter of glomerulus, and total complete obliteration proximal tubule lumen, but no effect was found on the average diameter Bowman's space and kidney weight. The result showed that each dose of isoeugenol dimer has a nephroprotective effect. Isoeugenol dimer dose 4 mg/kg w/v has the best effect.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S43037
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Panggabean, Sahala
"Latar belakang: Tingkat keparahan cedera ginjal iskemia-reperfusi (I/R) berhubungan erat dengan tingginya angka kesakitan dan kematian. Hasil penelitian terdahulu pada manusia dan hewan telah mebuktikan bahwa Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin (NGAL) dapat mendeteksi dan memprediksi terjadinya cedera ginjal I/R dini. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan bahwa peningkatan kadar NGAL serum dan urin berhubungan dengan kerusakan epitel tubuli ginjal pada tikus yang mengalami iskemia reperfusi dini.
Metode: Peneltian ini menggunakan 28 ekor tikus Sprague-Dawley jantan sebagai hewan model, dikelompokkan dalam 4 kelompok: sham 4 jam (Sham 4), sham 8 jam (Sham 8), iskemia 10 menit reperfusi 4 jam (I/R 4), dan iskemia 10 menit reperfusi 8 jam (I/R 8). Analisis kadar kreatinin serum diperiksa dengan metode Jaffe, sedangkan NGAL serum dan urin menggunakan metode ELISA Direct Sandwich. Evaluasi tingkat kerusakan jaringan ginjal dilakukan secara semi kuantitatif pada sediaan histologi dengan pulasan HE. Deskripsi kelainan tingkat seluler ginjal diperjelas melalui evaluasi menggunakan mikroskop elektron dan Imunohistokimia (IHK).
Hasil: Kadar NGAL serum berkorelasi bermakna dengan tingkat kerusakan ginjal (ρSpearman NGAL serum = 0,701, p < 0,001), juga kadar NGAL urin berkorelasi bermakna dengan tingkat kerusakan ginjal (ρSpearman = 0,689, p < 0,001). Tingkat ekspresi NGAL lebih tinggi pada kelompok I/R dibanding sham (t-test, t = -26635,046, p < 0,001), juga tingkat kerusakan ginjal tikus (t-test, t = -5,028, p < 0,001), dan kadar NGAL serum dan urin pada kelompok I/R berbeda nyata dibanding sham (Mann-Whitney, U = 0, p < 0,001). Pada cutoff point 136,95 ng/mL dan 58,69 ng/mL berturut ? turut untuk NGAL serum dan urin diperoleh sensitivitas = 1, spesifisitas = 1.
Kesimpulan: Peningkatan kadar NGAL serum dan urin berkorelasi dengan kerusakan epitel tubuli ginjal pada tikus yang mengalami cedera ginjal iskemia reperfusi dini.

Background: The severity of ischemia-reperfusion (I/R) kidney injury is highly correlated with mortality and morbidity rate. Research on human and animal prove that NGAL predicts kidney injury at early phase. The objective of this study is to prove that the increase in serum and urinary NGAL are correlated with kidney tubular epithelial damage, and this increase has occurred in initiation phase, indicated by rat kidney histopathology in an early I/R model.
Methods: Twenty eight male Sprague-Dawley rats were divided into 4 groups: 4 hour sham (Sham 4), 8 hour sham (Sham 8), 10 minute ischemia 4 hour reperfusion (I/R 4) and 10 minute ischemia 8 hour reperfusion (I/R 8). Blood, urine and kidney samples were collected. Serum creatinine level was analyzed with Jaffe method, while serum and urinary NGAL level were analyzed with direct sandwich ELISA method. Evaluation of kidney damage were measured semi quantitatively in tissue stained with HE. Further evaluation to confirm cellular changes on kidney was performed by electron microscope and immunohistochemistry.
Results: Serum NGAL was found significantly correlated with degree of kidney tissue damage (ρSpearman NGAL serum = 0.701, p < 0.001), also urinary NGAL (ρSpearman = 0.689, p < 0.001). NGAL expression differs significantly between I/R group and sham (t-test, t = -26635.056, p < 0.001), also kidney damage (t-test, t = -5.028, p < 0.001), and serum and urinary NGAL levels (Mann-Whitney, U = 0, p < 0.001). With cutoff points of 136.95 ng/mL and 58.69 ng/mL subsequently for serum and urinary NGAL , it is found that sensitivity = 1, specificity = 1.
Conclusion: Elevation of serum and urinary NGAL are significantly correlated with epithelial tubular kidney damage on rat undergoing early ischaemia reperfusion.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Monica Joice Viona Parasvita
"Pendahuluan: Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah kondisi hilangnya fungsi ginjal progresif dan ireversibel yang sangat mungkin mengancam jiwa pasien. Penyebab terbanyak PGK adalah diabetes mellitus (DM) dan hipertensi (HT) yang juga memiliki efek terhadap organ lain terutama jantung. Hal ini mengakibatkan disfungsi ginjal berat pada pasien seringkali ditemukan bersama dengan disfungsi jantung. Tata laksana nutrisi optimal diperlukan untuk mendapatkan hasil klinis yang baik.
Presentasi kasus: Empat pasien perempuan, usia 49-67 tahun dengan riwayat DM dan HT, datang ke RS dengan keluhan sesak nafas, penurunan kesadaran, dan edema. Pasien didiagnosis dengan congestif heart failure (CHF), PGK (G5, G4, G4, dan G3), HT, DM tipe 2. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang didapatkan bahwa pasien berisiko malnutrisi, anemia, hiperuricemia, dan dislipidemia. Selama perawatan, pasien mendapatkan nutrisi secara bertahap sampai mencapai kebutuhan energi total, protein 0,8 g/kg BB, minyak ikan 2 g/hari, multivitamin, dan kalsium, disertai pembatasan asupan garam. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa keempat pasien mengalami perbaikan klinis, namun tetap mengalami peningkatan kreatinin.
Kesimpulan: Tata laksana nutrisi pasien PGK membutuhkan strategi pemberian nutrisi yang lebih komprehensif, tidak hanya dengan melakukan pembatasan asupan protein.

Introduction: Chronic kidney disease (CKD) is life threathening condition caused by lost of kidney function progressively and irreversibly. Diabetes Mellitus (DM) and hypertension (HT) are the most common etiology of CKD, which also have impact to other organs such as heart. It make clinical manifestation in CKD patients often found with heart dysfunction, named as cardiorenal syndrome. Optimal nutrition therapy is needed to achieve good clinical outcomes.
Case presentation: Four female patients, ages 49-67 years old with history of DM and HT, came to hospital with chief complain dyspneu, decreased conciousness, and oedema anasarca. Patients had diagnose with CHF, PGK, anemia, DM, and HT. Data from anamnesis, physical, and laboratorium examination showed that all pasien have malnutrition risk, anemia, dyslipidemia, and hiperuricemia. During hospitalization, nutrition had given gradually to reach total energy needs, protein 0,8 g/kg BW, fish oil 2 g/day, multivitamin, calcium and salt restriction to recommended daily intake value. Monitoring result show that all patients have clinically improvement, but not creatinin level which act as marker of kidney damage.
Conclusion: Nutrition management in CKD patients need comprehensif strategy, not only with restriction protein intake.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
E. M. Hidayat
"ABSTRAK
Hipertensi esensial secara umum telah dikenal sebagai penyebab utama kelainan vaskuler yang dapat mengakibatkan stroke, gagal jantung, penyakit jantung koroner, kelainan mata dan gagal ginjal. Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan didapatkan hipertensi pada kira-kira 70-901 kasus perdarahan otak dan pada lebih kurang 501 penderita infark miokard. Kombinasi hipertensi dengan faktor risiko PJK lainnya meningkatkan risiko PJK beberapa kali lipat. Namun karena hipertensi sendiri berlangsung tanpa gejala, sering kali hipertensi baru disadari setelah timbul penyulit.
Gejala dini adanya penyulit pada ginjal diduga berupa adanya peningkatan ekskresi albumin dalam urin yang lebih banyak dari normal, tetapi belum dapat dideteksi dengan cara pemeriksaan konvensional. Keadaan ini dikenal sebagai mikroalbuminuria. Deteksi dini mikroalbuminuria diharapkan dapat membantu upaya pencegahan terhadap timbulnya morbiditas dan mortalitas akibat timbulnya penyulit berupa gangguan faal ginjal. Pencegahan dini diharapkan dapat memperpanjang masa hidup penderita.
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya mikroalbuminuria pada penderita hipertensi esensial, dan apakah ada korelasi antara lama dan beratnya hipertensi dengan derajat mikroalbuminuria.
Penelitian dilakukan terhadap 74 orang penderita hipertensi esensial dan 23 orang kelompok kontrol. Penderita hipertensi dibagi dalam beberapa kelompok berdasarkan derajat dan lama hipertensi yaitu hipertensi ringan (HR) terdiri dari HR (5 tahun 17 orang, HR 5-10 tahun 9 orang, HR 10-15 tahun 15 orang, HR >15 tahun 14 orang, dan hipertensi sedang (HS) terdiri dari HS (5 tahun 11 orang dan HS 10-15 tahun 8 orang).
Bahan berupa urin kumpulan 12 jam (malam). Kadar albumin kuantitatif diperiksa dengan cara RIA dan dihitung kecepatan ekskresi albumin (KEAU). Sebelumnya dilakukan pemeriksaan penyaring untuk menyingkirkan faktor-faktor yang meningkatkan protein urin.
Pada kelompok kontrol didapatkan nilai KEAU rata-rata 2.48 ug/men (5D 2.39 ug/men). Pada masing-masing kelompok HR berturut-turut didapatkan nilai KEAU 2.33 ug/men (SD 1.85 ug/men), 2.40 ug/men (SD 1.19 ug/men), 4.70 ug/men (SD 5.00 ug/men), 12.58 ug/men (SD 15.13 ug/men dan pada kelompok HS masing-masing 4.2 ug/men (SD 4.8 ug/men ) dan 14.0 ug/men (SD 14.2 ug/men). Nilai kontrol ternyata lebih rendah dari nilai peneliti lain. Pada kelompok hipertensi untuk kelompok HR kurang dari 10 tahun belum dijumpai mikroalbuminuria namun tampak adanya kecenderungan peningkatan ekskresi albumin dengan bertambah lama dan beratnya hipertensi. Mikroalbuminuria ditemukan pada kelompok HR 10-15 th, HS 10-15 th dan HR >15 th, masing-masing 1, 2 dan 3 orang atau 8.11 dari 74 penderita. Didapatkan adanya korelasi sedang (r = 0.47) antara meningkatnya ekskresi albumin dengan lamanya hipertensi, tetapi tidak dijumpai korelasi dengan tingginya tekanan diastolik dan sistolik (r = 0.24 dan 0.18).
Dari hasil penelitian ini disarankan agar para penderita hipertensi untuk melakukan pemeriksaan albumin urin secara berkala untuk mendeteksi dini adanya mikroalbuminuria guna mencegah timbulnya penyulit pada ginjal. Untuk lebih memastikan dan melengkapi hasil penelitian ini perlu ditentukan prosedur baku untuk pemeriksaan mikroalbuminuria antara lain meliputi penentuan jenis sampel, cara pengumpulan dan penyimpanan sampel, serta metode pemeriksaan. Disarankan dilakukan penelitian lebih lanjut yang bersifat longitudinal, serta penelitian dengan jumlah sampel yang lebih banyak. juga penelitian antar pusat untuk memastikan korelasi derajat mikroalbuminuria dengan lama dan tingginya hipertensi."
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I. G. N. Wila Wirya
"ABSTRAK
1. Gejala Kinis dan kelainan patologi anatomis penderita sindrom nefrotik dipengaruhi oleh beberapa faktor penyebab dan disebut idiopatik atau primer apabila penyebabnya belum diketahui.
Istilah 'lipoid nephrosis' mulai digunakan oleh Munk pada tahun 1913 untuk menjelaskan keadaan sejumlah penderita dengan edema proteinuria berat, hipoproteinemia dan hiperlipidemia. Pemeriksaan mikroskop cahaya pada jaringan ginjal penderita menghasilkan glomerulus tanpa kelainan, namun terlihat kelainan pada tubulus proksimal dengan titik-titik lemak di dalam selnya yang dianggap bersifat 'degeneratif'.
Pada observasi selanjutnya ternyata bahwa gejala-gejala yang sama dapat juga terjadi pada penderita dengan berbagai penyakit sistemik termasuk lupus eritematosus sistemik, diabetes mellitus dan amiloidosis. Gejala-gejala klinis ini timbul sebagai akibat adanya proteinuria yang berat apapun penyebabnya, oleh karena itu sebagai pengganti istilah ?liphoid nephrosis' disepakati untuk memakai istilah sindrom nefrotik (Epstein, 1917).
Umumnya sindrom nefrotik dibagi atas 2 golongan besar, yaitu yang primer atau idiopatik dan sekunder. Sindrom nefrotik primer penyebabnya belum diketahui dengan pasti, sedangkan yang sekunder ditimbulkan oleh berbagai penyakit utamanya, misalnya diabetes mellitus, malaria lain-lain.
Menurut Schlesinger dkk. (1966) frekuensi sindrom nefrotik di negara Barat adalah 2 per tahun per 100.000 orang anak di bawah umur 16 tahun. Sindrom nefrotik Kelainan Minimal (KM) merupakan kelainan terbanyak pada anak, yaitu 76,4% menurut ISKDC (international Study of Kidney Disease in Children, 1978), 52,2% pada sari Habib dan Kleinknecht (1971), dan 64,3% pada seri yang dilaporkan oleh White dkk. (1970).
Kasus yang dikumpulkan penulis pada penelitian ini merupakan penderita yang tidak selektif, datang sendiri, belum pernah diobati diterima dari berbagai rumah sakit maupun sejawat di Jakarta. Penderita yang telah diobati sebelumnya tidak dimasukkan ke dalam penelitian ini.
Selanjutnya penulis akan membandingkan hasil penelitian sendiri dengan ISKDC oleh karena hasil penelitian badan ini juga mencerminkan penelitian penderita sindrom nefrotik yang prospektif, tidak selektif, belum diobati dan diterima dari berbagai pusat penelitian di dunia (10 negara di Eropa. Amerika Utara, Israel, dan Jepang).
Sebelum tahun 1970 di Indonesia belum ada laporan mengenai penderita sindrom nefrotik anak di dalam kepustakaan. Demikian juga mengenai pengobatan terhadap penderita-penderita ini belum mengikuti saran yang dianjurkan oleh ISKDC (1967), sehingga hasilnya tidak dapat dibandingkan atau dinilai dengan hasil laporan dari luar negeri.
Selama 10 tahun (1970-1979) pengamatan penulis pada para penderita sindrom nefrotik primer pada anak yang berobat ke Bagian IKA FKUI/RSCM di Jakarta, banyak yang menunjukkan kelainan tidak khas. Banyak di antara mereka disertai gejala hematuria, hipertensi serta kadar ureum darah atau kreatinin serum yang meninggi. Pada sindrom nefrotik murni kelainan-kelainan tersebut umumnya tidak ditemukan. Berdasarkan observasi tersebut di atas penulis beranggapan bahwa kasus-kasus yang ditemukan itu merupakan kasus sindrom nefrotik yang termasuk golongan bukan kelainan minimal (BKM)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1992
D423
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chandraker, Anil, editor
"Though kidney transplantation is considered a routine procedure, there are still significant challenges in post-transplant management. Core Concepts in Renal Transplantation is a clinically focused authoritative guide to the management of kidney transplantation. This comprehensive, state-of-the-art reference summarizes the recent changes in the field of transplantation, offering the complete range of up-to-date information on all the various aspects of basic immunobiology and the medical care of the transplant recipient. "
New York: Springer, 2012
e20425883
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Soetardhio
"ABSTRAK
Perdarahan merupakan salah satu penyulit dan penyebab kematian yang sering dijumpai pada penderita gagal ginjal akut maupun kronik. Angka kematian yang disebabkan karena perdarahan pada penderita gagal ginjal sekitar 10 %.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis gangguan hemostasis pada penderita gagal ginjal terminal sehingga usaha untuk mengatasinya lebih terarah. Selain itu juga untuk mengetahui pengaruh hemodialisis terhadap gangguan hemostasis tersebut.
Penelitian dilakukan terhadap 30 penderita gagal ginjal terminal yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam Subdivisi Ginjal dan Hipertensi FKUI-RSCM Jakarta, yang terdiri dari 21 pria dan 9 wanita, berusia antara 33 sampai 62 tahun. Kelompok kontrol terdiri atas 30 orang sehat yang tidak termasuk kriteria tolakan.
Pemeriksaan yang dilakukan pada penelitian ini ialah masa perdarahan, hitung trombosit, masa protrombin plasma, masa tromboplastin parsial teraktivasi, masa trombin, EDP, PF3 dan agregasi trombosit terhadap ADP 10uH, 5uM dan luM. Pengambilan bahan penelitian untuk penderita ialah sesaat sebelum dilakukan hemodialisis dan segera sesudah hemodialisis, untuk kontrol, pengambilan bahan penelitian segera setelah memenuhi kriteria.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan yang bermakna antara kelompok GGX sebelum HD dengan kelompok kontrol dijumpai pada masa perdarahan, hitung trombosit faktor trombosit 3, MT dan FDP, sedangkan MP, MTPT dan agregasi trombosit tidak berbeda bermakna. Karena rata-rata hitung trombosit pada kelompok GGK masih dalam batas normal, maka disimpulkan penyebab masa perdarahan yang memanjang adalah gangguan fungsi trombosit yaitu aktivitas faktor trombosit 3, MT yang memanjang mungkin disebabkan fungsi atau kadar fibrinogen yang menurun atau mungkin karena adanya inhibitor.
Dari penelitian ini ternyata efek HD tidak terlihat pada masa perdarahan maupun hitung trombosit, sedangkan terhadap tes koagulasi dan faktor trombosit 3 efek HD adalah memperburuk, mungkin ini karena efek heparin.
Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai gangguan hemostasis pada gagal ginjal terminal, untuk mengetahui penyebab MT memanjang, perlu diperiksa fibrinogen baik kadar, fungsi maupun adanya inhibitor. FDP dilanjutkan dengan D. diner. Faktor von Willebrand dan adhesi trombosit untuk mengetahui fungsi trombosit.
Efek heparin sebaiknya dinetralkan dengan menambah protamin sebelum pengambilan sample sesudah HD.
"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library