Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 26 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alfianda
Abstrak :
Untuk mendukung terciptanya pengelolaan keuangan Negara yang baik, diadakan suatu Badan Pemeriksaan Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) yang bersifat indenpenden. BPK melakukan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara, salah satunya pemeriksaan atas pengadaan barang dan jasa pemerintah. Pada proses pengadaan barang dan jasa pemerintah, seringkali ditemukan kecurangan-kecurangan yang mengakibatkan kerugian negara. Skripsi ini membahas pola-pola kecurangan yang terjadi, serta penyebab kecurangan pada pengadaan barang dan jasa pemerintah. Pola kecurangan dikelompokan berdasarkan fraud tree. Faktor penyebab kecurangan antara lain terjadi karena kurangnya pemeriksaan, lemahnya tindak lanjut, lemahnya penegakan undang-undang, serta lemahnya pengawasan dari badan pengawas internal pemerintah. Dengan mengetahui pola-pola dan penyebab kecurangan ini, diharapkan mampu memberi solusi untuk menemukan cara-cara terbaik untuk menghilangkan kecurangan yang mengakibatkan kerugian negara. ......To support a good public governance an Independen Audit External for Public entities was made there is BPK RI BPK do audit for public finance activity one of them is audit for public procurement of goods and services In procurement process fraud is always happened and make loss ini public finance This thesis discuss about pattern of fraud and the causes of fraud in Indonesia The pattern of fraud classified base on fraud tree The causes of fraud can happen because a weak in auditing law and weak in control By knowing the pattern and causes of fraud the solution to avoid fraud could be found.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
S44564
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sonia Natassia Afifi
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis pemeriksaan investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan RI dan analisis penggunaan hasil tersebut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam hasil pemeriksaan investigatif terdapat perhitungan potensi kerugian negara. Namun untuk kepastian nilai kerugian negara yang sebenarnya, harus dilengkapi lagi dengan laporan perhitungan kerugian negara yang dilakukan oleh BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan). Berdasarkan hasil pemeriksaan investigatif dari BPK, KPK akan melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Agar kinerja BPK dan KPK lebih efektif, perlu ditingkatkan kerjasamanya terutama di bidang pemeriksaan investigatif.
ABSTRACT
This study aims to analyze the investigative examination by the and the analysis of the use of audit results by the Corruption Eradication Commission. In the investigative examination includes the calculation of potential state loss. However, for the exact value of the actual loss, must be complemented with the loss calculation report, which is performed by BPKP (Development and Financial Supervisory Board). Based on the investigative examination from BPK, KPK conducts an inquiry, investigation and prosecution. In order for the effectiveness of performance between BPK and KPK, they need to improve their cooperation especially in investigative examination.
2013
S44428
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pradikta Lazuardi
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini bertujuan menganalisis terkait peranan audit investigatif dalam mengungkap kasus kecurangan yang mengakibatkan kerugian negara. Lebih khusus penelitian ini bertujuan untuk menganalisis motif pelaku, menganalisis pelaksanaan audit investigatif, menghitung kerugian negara dan rekomendasi hukuman disiplin yang dijatuhkan kepada pelaku. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus terhadap kecurangan dalam pertanggungjawaban perjalanan dinas dalam jabatan yang dilakukan oleh Kepala Kanwil XYZ. Hasil penelitian terhadap kasus ini adalah terjadi penyalahgunaan wewenang dengan motif yang dijelaskan dengan segitiga fraud dan adanya kegagalan pada pelaksanaan pengendalian internal. Pemeriksaan investigatif dilakukan untuk membuktikan kasus tersebut. Auditor melakukan pengumpulan bukti pemeriksaan berupa dokumentasi, konfirmasi, wawancara dan melakukan perhitungan terhadap kerugian negara yang terjadi, sehingga pada akhirnya atas perbuatan pelaku diberikan rekomendasi hukuman disiplin berat berupa pembebasan dari jabatan. Pengungkapan kasus fraud ini akan berdampak pada unsur pendidikan efek jera dan menjadi peringatan bagi pegawai lain agar tidak melakukan hal tersebut.
ABSTRACT
This thesis aims to analyze Role of Investigative Audit to Reveal Fraud Case That Result State Loses. More specifically the study aims to analyze the motives of the perpetrators, to analyze the implementation of the investigative audit, calculate the loss to the state and recommendations of disciplinary punishment meted out to the perpetrators. This study is a qualitative research approach in a case study of fraud in office accountable official travel undertaken by the Head of the Regional Office of XYZ. The study of these cases is the case of misuse of authority with a fraud triangle motif and a failure on the implementation of internal controls. Investigative examination conducted to prove the case. Auditors to collect evidence in the form of documentation checks, confirmation, interview and perform calculations on losses that occur, so in the end the acts of the perpetrator given recommendations severe disciplinary punishment exemption from office. Disclosure of the fraud case will have an impact on the educational element of deterrent and a warning to other employees not to do so.
2013
S46119
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Murpraptono Adhi Sulantoro
Abstrak :
Tindak pidana korupsi saat ini telah bertransformasi dari delik formil menjadi delik materiil setelah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengeluarkan putusan nomor 25/PUU-XIV/2016. Beberapa ahli menilai putusan ini lebih memberikan kepastian hukum karena kerugian negara sebagai akibat dari tindak pidana korupsi harus dibuktikan. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai pengaturan, pelaksanaan, dan permasalahan dalam penentuan adanya kerugian negara dan pelaksanaan penyelesaian kerugian keuangan negara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk penelitian normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (Statue Approach) dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach). Penelitian yang telah dilakukan menjelaskan, terdapat persinggungan dalam proses penghitungan kerugian negara dalam perkara tindak pidana korupsi antara hukum administratif dan hukum acara pidana. hal tersebut memunculkan perbedaan pendapat perihal institusi yang berwenang untuk menentukan kerugian negara. Tata cara penghitungan kerugian negara dilakukan dengan pendekatan audit investigatif. Namun demikian, apakah standar dan teori yang mendasari penghitungan kerugian negara telah sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Selain untuk memenuhi unsur dari delik materiil, penghitungan kerugian negara juga memiliki arti penting untuk memberikan pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan vonis bagi terdakwa, baik itu pidana penjara maupun pidana tambahan pembayaran uang pengganti sebagai upaya pemulihan keuangan negara. ......At present, corruption has been transformed from a formal criminal to a material criminal after the Constitutional Court of the Republic of Indonesia issued sentence Number 25/PUU-XIV/2016. Some experts consider this decision to provide more legal certainty because state losses as a result of corruption must be proven. This research generally aims to provide an overview of the regulation, implementation, and problems in determining the existence of state losses and implementing the settlement of state financial losses. The method used in this research is a form of normative research with a Statue Approach and a Conceptual Approach. The research that has been carried out explains that there are intersections in the process of calculating state losses in corruption cases between administrative law and criminal procedural law. This raises differences of opinion regarding the institution authorized to determine state losses. The procedure for calculating state losses is carried out using an investigative audit approach. However, whether the standards and theories underlying the calculation of state losses are following the applicable procedural law. In addition to fulfilling the elements of material offenses, the calculation of state losses also has an important meaning to guide judges in imposing sentences on defendants, both imprisonment and an additional payment of compensation as an effort to recover state finances.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chanris Bahri Priyono
Abstrak :
Tujuan utama dari undang-undang yang mengatur mengenai pemberantasan korupsi adalah adanya pengembalian kerugian negara, namun dari usaha yang dilakukan dalam melakukan pemberantasan korupsi tersebut belum banyak memberikan dampak dan hasil yang signifikan. Fakta di lapangan, banyak narapidana koruptor yang lebih memilih hukuman badan dibandingkan dengan mengembalikan kerugian negara, selain itu pengembalian kerugian negara yang ditimbulkan tidak sebanding dengan biaya penanganan perkara yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi itu sendiri. Penelitian yang berjudul “Konsep Keadilan Restoratif Sebagai Upaya Optimalisasi Pemulihan Kerugian Negara Yang Ditimbulkan Dari Tindak Pidana Korupsi” menggunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif. Penelitian ini menjelaskan Konsep keadilan restoratif  dalam pemulihan kerugian negara setidaknya dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu, pemulihan aset baik melalui perampasan aset dengan metode ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik masalah pidana serta penerapan konsep keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara diluar pengadilan sebagai metode dalam pemulihan kerugian negara dari hasil tindak pidana korupsi. Keadilan restoratif juga dinilai dapat menjadi suatu terobosan baru dalam penyelesaian tindak pidana korupsi dan juga merubah paradigma yang ada saat ini bahwa penyelesaian tindak pidana korupsi terbaik saat ini adalah dengan hukuman badan, padahal dengan adanya pemulihan kerugian keuangan negara dengan keadilan restoratif dapat meningkatkan pembangunan nasional dan memberikan kontribusi dalam meningkatkan pembangunan nasional. ......The objective of corruption eradication bill is to return the state loss, but the efforts to tackle the corruption has not had a significant impact. In the fact, more corruptors who choose to be punished in prison, rather than returning the state money. Beside that, the process of returning the state money is not comparable to with cost to handling the corruption cases. The research title “Restorative Justice Concept to Optimized to Recover State Loses caused by Corruption” using normative legal research methods with prescriptive approach. This study explains the concept of restorative justice in recovering state losses at least in several ways, such as asset recovery through extradition method and mutual legal assistance in criminal matters and the implementation of restorative justice in resolving cases with non-judicial approach to recovering state losses. Restorative justice is also considered to be a new breakthrough to handling the corruption crimes and also changes the current paradigm that the best current settlement of corruption crimes is giving a prison punishment. The restoration of state financial losses with restorative justice can improve national development and contribute to improving national development.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silaen, Chandra
Abstrak :
Penelitian ini menganalisis kerugian negara yang terjadi akibat keputusan bisnis yang dilakukan oleh Direksi BUMN Persero. Penelitian ini mengidentifikasi beberapa masalah yang terjadi akibat disharmoni pengertian dari kerugian yang dialami BUMN yang pada akhirnya dipersepsikan sebagai kerugian negaraDisharmoni ini menyebabkan keragu-raguan yang dialami Direksi BUMN Persero dalam menjalakan perusahaan, sebab khawatir akan terjadi kerugian pada BUMN persero yang menyebabkan terjerat pada tindak pidana korupsi. Permasalahan yang diangkat dalam tesis ini mengenai bagaimana dampak putusan pidana atas kerugian Negara yang dialami BUMN Persero bagi Direksi BUMN Persero lainnya dalam menjalankan perusahaan serta bagaimana Direksi BUMN Persero dapat terbebas dari pertanggungjawaban pidana bila dalam menjalankan perusahaan. Penulisan tesis ini menggunakan penelitian normatif dengan berfokus pada sumber data sekunder yang terbagi menjadi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Hasil penelitian ini menyarankan bagi pemerintah untuk melakukan harmonisasi pengertian keuangan Negara dan menyarankan agar Direksi BUMN Persero dapat memahami betul doktrin-doktrin yang terdapat pada UU PT Tahun 2007 agar terbebas dari jerat pidana dalam menjalankan perusahaan. ......This Study analysis financial state loses which occured by State Owned Entrepreneurship (SOE) Director Decision’s. This study identified some problems which occured by misunderstanding about financial loss in SOE which finally as financial state loses. Disharmony causes doubt by SOE Director to running the business, because they worry if SOE loses it will make them entangled corruption act. Issues raised in this study about how impact criminal verdict upon financial state loses which occured in SOE to others SOE Director when they running the business and How to make SOE Director can aside from criminal responsibility when running the business. This study used normative research which focused on secunder data which is divided as primary legal matters, secunder legal matters and tertiary legal matters. Result of this study suggest Goverment to make harmonization of financial state loses and suggest to all SOE in order to detail understand about doctrines contained in Limited Company Law in order to be free from criminal meshes in running the company.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
J. Kardjo
Jakarta: Eko Jaya , 1994
345.023 23 KAR p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Joseph Harry Krisnamurti
Abstrak :
Abstrak
The passage Law Number 30 of 2014 on Government Administration has raised its own problems due to its clauses regarding legal subjects that could be charged with reinstating state losses. This is due to the fact that such Law provides that government institutions can be determined as the party that is responsible for reinstating state loss that have occurred, which contradicts with the definition of state loss as stipulated in the applicable state finance laws that position the state as the party suffering the loss when a state loss is incurred. This research has been conducted using a normative legal research method which aims to test consistency between the legal norms applied in Law Number 30 of 2014 and the laws on state finance. Result of this research demonstrates that government institutions cannot be designated as the legal subject responsible for state losses. Such stipulation is not legally logical as it asserts that government institutions that are in fact representatives of the State may be required to return or pay the state losses to the state. Therefore there needs to be a revision to the relevant provisions of Law Number 30 of 2014 in order for such law to be in line with the provisions that presently govern state finance.
Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan Direktorat Penelitian dan Pengembangan, 2019
340 JTKAKN 5:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hutabarat, Johansen Christian
Abstrak :
ABSTRAKk
Tindak pidana korupsi mengakibatkan kerugian keuangan negara dan perekonomian negara, lebih jauh menghambat proses pembangunan nasional dan merampas hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Kerugian negara yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi adalah kerugian negara yang secara nyata telah terjadi dan berpotensi akan terjadi. Pengadilan yang dapat menangani perkara korupsi adalah pengadilan umum (negeri) dan pengadilan tindak pidana korupsi yang dibentuk berdasarkan UU No.46 Tahun 2009. Namun Putusan masih dirasakan kurang mewujudkan keadilan, khususnya bagi masyarakat. Penjatuhan sanksi pidana masih tidak sesuai dengan kerugian negara yang telah atau akan ditimbulkan. Kerugian negara tidak hanya yang bersifat materil tetapi juga immateril. Untuk itulah diperlukan suatu penelitian yang berusaha mencari hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan oleh hakim dalam memberikan putusan, apakah ada landasan teoritis yang mengharuskan hakim mempertimbangkan proporsionalitas antara besar kerugian negara dan sanksi yang diberikan, apakah kerugian negara merupakan faktor yang selalu menentukan besaran sanksi yang dijatuhkan dalam putusan tindak pidana korupsi. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa dalam putusannya hakim tidak memberikan pertimbangan yang jelas, hakim memutus perkara berdasarkan dakwaan yang diajukan Penuntut Umum, hakim membuktikan setiap unsur-unsur yang ada pada rumusan pasal-pasal yang ada pada dakwaan, hakim juga memberikan putusan berdasarkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Tidak ada landasan teoritis yang mewajibkan hakim untuk menjatuhkan hukuman terhadap terpidana korupsi berdasarkan besaran kerugian negara. Kerugian negara tidak menjadi ukuran penentuan besaran sanksi yang akan dijatuhkan kepada terpidana korupsi. Sehingga terjadi kesenjangan besaran sanksi pidana yang dijatuhkan dengan besaran kerugian negara yang ditimbulkan. Diperlukan suatu acuan bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman berdasarkan besaran kerugian negara yang telah ditimbulkan. Sehingga sanksi pidana yang dijatuhkan proporsional terhadap kerugian negara yang telah ditimbulkan.
ABSTRAK
Corruption resulted in financial losses of state and national economy, further impede the process of national development and depriving the rights of social and economic communities. State losses caused by corruption is a country that is a real loss has occurred and will potentially occur. Court to handle cases of corruption are common courts ( state ) and the corruption court established by UU No. 46 of 2009. But the verdict is still lacking justice, especially for the community. Criminal sanctions is not in accordance with state losses that have been or will be incurred. State losses that are not only material but also immaterial. For that we need a research trying to find whatever things are need to be considered by the judge in rendering a verdict, is there a theoretical foundation that requires judges to consider the proportionality between the huge loss to the state and the sanction, whether the loss is a country that is always a factor determining the amount of sanctions imposed in the judgment of corruption. This research is normative. The result showed that in its decision the judge did not give a clear judgment, the judge decided the case based on charges filed Prosecutor, the judge prove any elements that exist in the formulation of the existing provisions on indictment, the judge also gave a decision based on things that are burdensome and ease. There is no theoretical foundation requires judges to impose penalties against convicted of corruption based on the amount of losses to the state. The loss of the country does not become a size determination of the amount of sanctions to be imposed on convicted of corruption. So there is a gap scale criminal sanctions imposed by the amount of loss caused state. Needed a reference for the judge to sentence based on the amount of losses that have been incurred. So the criminal sanctions imposed proportionate to losses that have been incurred.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42697
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Heru Triatma Jaya
Abstrak :
Pengaturan Keuangan yang sangatlah luas dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang ada saat ini, berakibat pula pada meluasnya penerjemahan kerugian negara itu sendiri. Hal ini mengakibatkan menjadi kesulitan juga dalam menentukan apakah suatu perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Dalam  Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi memasukkan kekayaan negara yang dipisahkan sebagai salah satu unsur yang dipenuhi dalam tindak pidana korupsi untuk menilai adanya kerugian negara yang timbul dalam hubungan hukum yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara ataupun Daerah. Hal ini tentu bertentangan dengan UU Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN yang menyatakan bahwa BUMN maupun BUMD tunduk pada UU Nomor 40 tahun 2007. Sehingga negara hanya bertanggung jawab sebatas modal yang diberikan yang telah di konversi menjadi saham.Jadi, kekayaan negara dalam BUMN maupun BUMD hanya sebatas saham itu sendiri. Perdebatan mengenai sejauh mana keuangan negara yang dapat dikategorikan sebagai kerugian negara sampai sekarang masih terjadi. Penelitian ini akan melihat sejauh mana kerugian negara dalam dikategorikan sebagai unsur dalam tindak pidana korupsi. Tinjauan analisis didasarkan pada teori transformasi keuangan negara, dan melihat mengenai perbedaan mengenai definsi kerugian negara dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metodologi penelitian normatif, yaitu melakukan analisis pada aturan hukum terkait BUMN, BUMD, keuangan negara, kekayaan negara yang dipisahkan, perjanjian,  serta tindak pidana korupsi, merujuk pada Peraturan Perundang-undangan, maupun Peraturan Pemerintah  Jadi, data yang akan diperoleh berupa data sekunder (bahan hukum primer dan sekunder). Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini, adalah : Pertama, Salah satu unsur untuk menentukan ada atau tidaknya suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi adalah kerugian negara yang timbul terhadap keuangan negara, serta kerugian pada BUMN maupun BUMD tidak dapat dikategorikan secara langsung sebagai tindak pidana korupsi. Kedua, kedudukan debitur dalam suatu perjanjian pada dasarnya adalah setara dengan kreditur, dimana debitur dan kreditur memiliki hak dan kewajiban masing-masing yang harus dipenuhi. Ketiga, dalam kasus kredit macet terhadap Bank Papua dan PT. Vitas tidak dapat hanya bertumpu pada kerugian negara semata untuk menyatakan bahwa debitur termasuk dalam tindak pidana korupsi, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa adanya tindak pidana korupsi dalam kasus ini. ......Financial arrangements that are very broad in a number of current laws and regulations have also resulted in the widespread translation of losses of the state itself. This has caused difficulties in determining whether an act can be categorized as a criminal act of corruption. In Law No.31 of 1999 concerning Corruption Crime, including separated state assets as one of the elements fulfilled in corruption acts to assess the existence of state losses arising in legal relations carried out by State or Regional State-Owned Enterprises. This is certainly contrary to Law Number 19 of 2003 concerning BUMN which states that BUMN and BUMD are subject to Law No. 40 of 2007. So that the state is only responsible as limited as the capital provided which has been converted into shares. So, state wealth in BUMN and BUMD only limited to the stock itself. Debates about the extent to which state finances can be categorized as state losses have still occurred. This study will look at the extent to which state losses are categorized as an element of corruption. The analysis review is based on the theory of state financial transformation, and looks at the differences regarding the definition of state losses in several applicable laws and regulations. The study was conducted using a normative research methodology, namely conducting an analysis of the legal rules relating to BUMN, BUMD, state finance, separated state assets, agreements, as well as corruption, referring to the Laws and Regulations, as well as Government Regulations in the form of secondary data (primary and secondary legal materials). The conclusions that can be obtained from this study are: First, one element to determine whether or not an action can be categorized as a criminal act of corruption is state losses arising from state finances, and losses to BUMN or BUMD cannot be categorized directly as corruption. Second, the position of the debtor in an agreement is basically equivalent to the creditor, where the debtor and creditor have their respective rights and obligations that must be fulfilled. Third, in the case of bad loans to Bank Papua and PT. Vitas cannot only rely on state losses alone to state that debtors are included in corruption, so it cannot be said that there is a criminal act of corruption in this case.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T52444
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>