Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Audy Miranti
Abstrak :
Keraton Surakarta merupakan lingkungan adat yang memiliki hukum adatnya sendiri, termasuk mengenai kewarisan. Berlainan dengan masyarakat Jawa pada umumnya, keluarga Keraton Surakarta memiliki prinsip tersendiri dalam menerapkan masalah pewarisannya terutama dalam pewarisan tahta kerajaan. Dalam pengangkatan raja di Keraton Surakarta, maka kedudukan anak laki-laki raja dari permasuri lebih diutamakan, sesuai dengan prinsip pancer lanang. Pewarisan tahta kerajaan ini sering menimbulkan konflik dalam prosesnya. Yang paling hangat adalah kasus Raja Kembar, masih berlangsung sampai sekarang. Konflik terjadi karena Paku Buwono XII tidak memiliki permaisuri dan meninggal tanpa menunjuk calon raja. Skripsi ini menjabarkan mengenai kedudukan anak laki-laki sangat diutamakan dalam proses pewarisan tahta kerajaan di Keraton Surakarta serta analisa terhadap masalah pewarisan tahta tersebut yang masih berlangsung.
Abstract
Keraton Surakarta is a custom environment that has its own customary law, including the inheritance. Unlike the Java community in general, Keraton Surakarta family has its own principles in applying the inheritance issue, especially regarding the inheritance of the throne. In the appointment of the king, in Keraton Surakarta, the position of the king?s son of the queen are preferred, in accordance with the principle pancer lanang. Inheritance of the throne is often cause conflicts in the process. The most recent case is Twin Kings, still going on until now. The conflict occurs because Pakubuwono XII had no queen, and died without pointing future king. This study outlines the position of king?s sons is very preferred in the process of inheriting the throne in the Keraton Surakarta and analysis of inheritance of the throne of the problem is still ongoing.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S248
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Prita Wikan Tyasning
Abstrak :
ABSTRAK
Tandu yang merupakan alat transportasi jarak dekat, ternyata banyak dipakai oleh pihak kraton sebagai alat kelengkapan upacara. Kraton Surakarta dan Yogyakarta sebagai dua kraton inti pecahan Mataram memiliki tandu yang sebagian masih tetap digunakan. Jumlah keseluruhan tandu adalah 132 buah, dengan perincian 96 buah di Surakarta dan 36 buah di Yogyakarta. Tandu-tandu tersebut memiliki bentuk dan hiasan yang beragam. Berdasarkan pengamatan tadi, maka ingin diketahui keaneka ragaman bentuk tandu di setiap kraton dan juga apakah bentuk tandu dengan hiasan tertentu menunjukkan kegunaan yang tertentu.

Setelah melalui tahapan-tahapan penelitian yaitu pengumpulan data, pengolahan data dan penafsiran data maka diperoleh hasil bahwa di Surakarta dan Yogyakarta terdapat tiga tipe bentuk tandu yaitu tipe I (kotak wadah tanpa tutup), tipe II (kursi) dan tipe III (rumah) dengan sub tipe dan varian yang berbeda di masing-_masing kraton.

Tandu tipe I dengan ragam hias tidak raya dipakai untuk kegiatan upacara. Kemudian tandu tipe II dengan ragam hias tidak raya dipakai untuk kegiatan harian. Hal ini berlaku untuk setiap kraton. Tandu tipe III beragam hias tidak raya di Surakarta dipakai untuk kegiatan upacara dan harian, sedangkan di Yogyakarta dipakai untuk kegiatan upacara dan pesta. Tandu tipe III beragam hias raya di Surakarta dipakai untuk upacara dan pesta, sedangkan di Yogyakarta dipakai untuk kegiatan pesta raja.

Terjadi pengulangan pemakaian suatu jenis tandu untuk kegiatan yang berbeda dalam kraton disebabkan banyak tandu yang rusak dan dengan maksud pemanfaatan tandu yang sudah ada. Pada masa sekarang, tandu tidak dibuat lagi karena alasan ekonomi dan banyak detail kegiatan kraton yang dikurangi untuk penyesuaian diri dengan perkembangan zaman.

Berubahnya kegunaan tandu dari tujuan awal pembuatan yaitu sebagai alat transpor, dengan kegunaannya pada masa sekarang (penggunaan sekunder) yaitu sebagai pusaka, disebabkan sejarah pemakaian tandu tersebut.

Jumlah tandu di Surakarta yang lebih banyak dari tandu Yogyakarta tidak menunjukkan posisi yang lebih penting dari kraton yang lain. Kondisi politik dan keamanan yang relatif stabil di Surakarta menjadikan para pembuat tandu lebih santai dalam berkreasi. Posisi dan kedudukan kedua kraton yaitu Surakarta dan Yogyakarta sejajar karena dalam Perjanjian Gianti dinyatakan bahwa tidak ada pembagian kekuasaan dalam memerintah wilayah-wilayah kekuasaannya dan masing-masing kraton memiliki dan mengatur wilayahnya sendiri-sendiri. Hampir tidak ada komunikasi antar kedua kraton. Sehingga tidak mengherankan apabila bentuk dan hiasan tandu berbeda pada setiap kraton. Persamaan-persamaan yang muncul diperkirakan karena kedua kraton berasal dari akar budaya yang sama yaitu budaya Jawa dan akar sejarah yang sama yaitu kerajaan Mataram. dipakai untuk kegiatan upacara dan pesta. Tandu tipe III beragam hias raya di Surakarta dipakai untuk upacara dan pesta, sedangkan di Yogyakarta dipakai untuk kegiatan pesta saja. Terjadi pengulangan pemakaian suatu jenis tandu untuk kegiatan yang berbeda dalam kraton disebabkan banyak tandu yang rusak dan dengan maksud pemanfaatan tandu yang sudah ada. Pada masa sekarang, tandu tidak dibuat lagi karena alasan ekonomi dan banyak detail kegiatan kraton yang dikurangi untuk penyesuaian diri dengan perkembangan zaman. Berubahnya kegunaan tandu dari tujuan awal pembuatan yaitu sebagai alat transpor, dengan kegunaannya pada masa sekarang (penggunaan sekunder) yaitu sebagai pusaka, disebabkan sejarah pemakaian tandu tersebut. Jumlah tandu di Surakarta yang lebih banyak dan tandu Yogyakarta tidak menunjukkan posisi yang lebih penting dari kraton yang lain. Kondisi politik dan keamanan yang relatif stabil di Surakarta menjadikan para pembuat tandu lebih santai dalam berkreasi. Posisi dan kedudukan kedua kraton yaitu Surakarta dan Yogyakarta sejajar karena dalam Perjanjian Gianti dinyatakan bahwa tidak ada pembagian kekuasaan dalam memerintah wilayah-wilayah kekuasaannya dan masing-masing kraton memiliki dan mengatur wilayahnya sendiri-sendiri. Hampir tidak ada komunikasi antar kedua kraton. Sehingga tidak mengherankan apabila bentuk dan hiasan tandu berbeda pada setiap kraton. Persamaan-persamaan yang muncul diperkirakan karena kedua kraton berasal dari akar budaya yang sama yaitu budaya Jawa dan akar sejarah yang sama yaitu kerajaan Mataram.
2001
S11607
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panggio Restu Wilujeng
Abstrak :
[ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui reproduksi BahasaKramaInggil melalui Kursus Pambiwara Keraton Surakarta dalam upaya Keraton mempertahankan legitimasi kekuasaan atas kebudayaan Jawa berkaitan dengan fungsi Kraton yang beralih sebagai pemangku adat.Penelitian inimenggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu studi kasus.Teori yang digunakan adalah Teori Pierre Bourdieu yang menjelaskan bahasa sebagai kuasa simbolik terkait dengan strategi bertahan agen di dalam arena dengan memanfaatkan modal (sosial, kultural, ekonomi, simbolik) yang dimiliki. Hasil penelitian menunjukkan, Keraton mendirikan Kursus Pambiwara, sebagai strategi untuk mereproduksi kembali simbol-simbol kebudayaan yang mereka miliki, terutama penggunaan Bahasa Krama Inggil untuk dapat mempertahankan legitimasi Keraton atas kebudayaan Jawasebagai warisan tertuaKerajaan Mataram.
ABSTRACT
This study aims to investigate KramaInggil language reproduction through courses of pambiwarakeratonsurakarta, as an effort by keraton to maintain power legitimacy on javanese culture, in relation to keraton's function that has been shifted into culture functionary. It is a qualitative study, a case study specifically. The theory used in this study is a theory by Pierre Bourdieu, which explains language as a symbolic power related to agent's survival strategy in the arena by utilizing possesedcapital. This study shows that keraton has established a course of pambiwara as a strategy to reproduce cultural symbols that it has, particularly the use of KramaInggil language to maintain keraton's power legitimacy on javanese culture as the oldest heritage of Mataram monarchy.;This study aims to investigate KramaInggil language reproduction through courses of pambiwarakeratonsurakarta, as an effort by keraton to maintain power legitimacy on javanese culture, in relation to keraton's function that has been shifted into culture functionary. It is a qualitative study, a case study specifically. The theory used in this study is a theory by Pierre Bourdieu, which explains language as a symbolic power related to agent's survival strategy in the arena by utilizing possesedcapital. This study shows that keraton has established a course of pambiwara as a strategy to reproduce cultural symbols that it has, particularly the use of KramaInggil language to maintain keraton's power legitimacy on javanese culture as the oldest heritage of Mataram monarchy.;This study aims to investigate KramaInggil language reproduction through courses of pambiwarakeratonsurakarta, as an effort by keraton to maintain power legitimacy on javanese culture, in relation to keraton's function that has been shifted into culture functionary. It is a qualitative study, a case study specifically. The theory used in this study is a theory by Pierre Bourdieu, which explains language as a symbolic power related to agent's survival strategy in the arena by utilizing possesedcapital. This study shows that keraton has established a course of pambiwara as a strategy to reproduce cultural symbols that it has, particularly the use of KramaInggil language to maintain keraton's power legitimacy on javanese culture as the oldest heritage of Mataram monarchy., This study aims to investigate KramaInggil language reproduction through courses of pambiwarakeratonsurakarta, as an effort by keraton to maintain power legitimacy on javanese culture, in relation to keraton's function that has been shifted into culture functionary. It is a qualitative study, a case study specifically. The theory used in this study is a theory by Pierre Bourdieu, which explains language as a symbolic power related to agent's survival strategy in the arena by utilizing possesedcapital. This study shows that keraton has established a course of pambiwara as a strategy to reproduce cultural symbols that it has, particularly the use of KramaInggil language to maintain keraton's power legitimacy on javanese culture as the oldest heritage of Mataram monarchy.]
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T43390
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagas Putra Riyadhana
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini merupakan penelitian terhadap naskah Tatakrama Tembung Kadhaton (TTK). Naskah TTK merupakan naskah kuno koleksi Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia berkode NR 370. Naskah tersebut berbentuk prosa, beraksara Jawa dan mengandung teks aturan tata krama abdidalêm Keraton Surakarta Hadiningrat. Tujuan penelitian ini adalah menyajikan bacaan yang mudah dipahami oleh pembaca masa kini. Penelitian ini menggunakan metode edisi naskah tunggal dengan metode penyuntingan edisi standar dan metode interpretasi teks untuk menganalisis nilai-nilai didaktis pada teks naskah TTK. Hasil penelitian ini adalah suntingan teks dan terjemahan teks TTK serta menyajikan tinjauan nilai-nilai didaktis yang tercermin dalam aturan tata krama pada naskah tersebut.
ABSTRACT
This thesis is a research on the text of Tatakrama Tembung Kadhaton (TTK). TTK manuscript is an ancient manuscript which collection of University of Indonesia Central Library coded NR 370. The Manuscript was formed of prose, written in Javanese alphabet and contains a teks of the rules of manners abdidalêm Keraton Surakarta Hadiningrat. The purpose of the research is to present readings that can be easy to understood by today‟s readers. This research used single manuscript edition method with editing method of standard edition and text interpretation method to analyze didactic values on text of TTK text. The result of this research is text editing and text translation of Tatakrama Tembung Kadhaton manuscript, and also present a review of didactic values which is reflected in the rules of the manners on the manuscript.
2017
S69354
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library