Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 44 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S2873
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indriasari Slamet
Abstrak :
ABSTRAK Nilai perkawinan telah mengalami berbagai pergeseran dalam beberapa waktu terakhir. Perubahan peran dan pengharapan antara suami dan istri membutuhkan banyak penyesuaian dalam perkawinan, akan tetapi kebutuhan mendasar pria, wanita dan anak-anak yang menunjuk ke arah perkawinan tidak pernah berubah: kesetiaan seksual, kemitraan dalam penghematan rumah tangga, persekutuan orangtua, dukungan komunitas yang lebih besar, dan sebagainya (Waitte & Gallagher saduran oleh Yulia, 2003). Hal itu yang menyebabkan perkawinan tetap dipertahankan sebagai suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Menurut Hurlock (1980) kepuasan perkawinan dipengaruhi oleh banyak aspek diantaranya: penyesuaian seksual, keuangan, komunikasi, penyesuaian dengan mertua dan ipar, persamaan latar belakang sosial, ekonomi, dan pendidikan. Sementara itu menurut Duvall & Miller (1985) untuk mencapai kepuasan perkawinan diperlukan faktor sebelum dan sesudah perkawinan. Salah satu yang berpengaruh pada faktor sebelum perkawinan adalah latar belakang pendidikan, yaitu sekurang-kurangnya berpendidikan sekolah menengah atas. Beberapa penelitian yang berfokus pada kepuasan perkawinan menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan suami dan istri, maka akan berasosiasi positif dengan kepuasan perkawinan (Blood & Wolfe dalam Piryanti 1988). Walaupun menurut Kirkpatrick (dalam Terman, 1934) menyatakan bahwa persamaan pendidikan yang lebih membuat orang bahagia ketimbang tingkat pendidikan. Tujuan penelitian adalah untuk melihat apakah terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan seseorang dan kepuasan perkawinan serta untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan dalam hal kepuasan perkawinan antara suami dan istri yang berlatar belakang pendidikan sama pada tingkat pendidikan tinggi dan yang menengah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif dengan tipe penelitian ex-post facto field study. Jumlah subyek sebanyak 120 orang yang terdiri dari 60 pasang suami dan istri berpendidikan tinggi dan 60 pasang suami dan istri berpendidikan menengah. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling. Instrumen penelitian terdiri dari kuesioner kepuasan perkawinan yang berbentuk Likert style, dimana data kontrol juga ikut diolah. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan individu dan aspek-aspek kepuasan perkawinan. Selain itu juga ditemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal kepuasan perkawinan antara suami dan istri yang berlatar pendidikan sama dengan pasangan pada tingkat pendidikan tinggi dan menengah. Dari hasil penelitian ini, peneliti menyarankan untuk memilih pasangan hidup dengan tingkat pendidikan yang setara agar kepuasan perkawinan dapat tercapai. Selanjutnya penulis berharap dari penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai informasi bagi institusi yang menangani masalahmasalah keluarga untuk tujuan konseling, terapi ataupun penyuluhan. Hal lain yang perlu dikemukakan lebih lanjut dari penelitian ini adalah sejumlah keterbatasan yang diduga dipengaruhi oleh keterbatasan subyek, alat ukur yang kurang menggali informasi, ataupun kekurangterampilan penulis dalam menganalisis hasil data kuantitatif. Selanjutnya yang dapat dikemukakan adalah alat ukur yang lebih dalam menggali informasi sehingga dapat memperkaya hasil penelitian serta memperkaya analisis dengan variabel-variabel lain yang mungkin luput dari jangkauan penelitian pada saat ini.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3357
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riana Sahrani
Abstrak :
ABSTRAK
Perkawinan adalah hubungan yang paling intim dari semua hubungan dekat lainnya dan merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus dicapai oleh orang dewasa muda. Bila perkawinan berjalan dengan baik, maka kepuasan yang diberikannya lebih besar dibandingkan dengan kepuasan yang diberikan oleh dimensi-dimensi lain dalam kehidupan.

Kepuasan perkawinan berkaitan erat dengan tahapan perkembangan keluarga. Kepuasan perkawinan tampaknya mengikuti curnilinear path (arah garis lengkung), dimana kepuasan perkawinan paling tinggi pada saat pasangan baru menikah dan belum mempunyai anak, mencapai titik terendah ketika anak pertama berusia remaja, dari kemudian meningkat kembali ketika anak pertama telah mandiri/keluar rumah (Rollins dan Cannon dalam Lerner & Hultsch, 1983; Levenson) Capstensen, & Gottman, 1993; Spanier, Lewis, & Cole, 1975; Strong & DeVault, 1989).

Walaupun perkawinan diharapkan memberikan kepuasan pada pasangan suami istri, tetapi dalam kenyataannya banyak juga pasangan yang akhirnya mengakhiri perkawinan mereka dengan parceraian. Kasus perceraian terbanyak diakibatkan oleh adanya perselisihan suami istri yang terus-menerus, sebanyak ,49.76% (Salaban, 1992); yang disebabkan antara lain oleh adanya hambatan komunikasi di antara suami istri. Munculnya masalah komunikasi ini dapat dikarenakan tidak adanya intimacy di antara pasangan suami istri, karena intimacy adalah dasar dari komunikasi (Stephen dalam Strong & Devault, 1989).

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan intimacy dengan kepuasan perkawinan pasangan suami istri pada tiga tahapan perkembangan keluarga, yaitu pasangan suami istri yang anak pertamanya usia prasekolah, pasangan suami istri yang anak pertamanya usia remaja, dan pasangan suami istri yang anak pertamanya telah mandiri/keluar rumah. Ketiga tahapan ini dipilih dengan pertimbangan bahwa pada masa-masa tersebutlah kepuasan perkawinan sangat jelas terlihat, sehingga diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat memperlihatkan adanya curvelinear path (arah garis lengkung) dalam kepuasan perkawinan seperti hasil-hasil penelitian sebelumnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi gambaran mengenai perkawinan dan krisis yang terjadi pada tahap-tahap perkembangan keluarga tersebut, sehingga dapat diantisipasi masalah yang timbul dan dicari pemecahannya secara benar.

Penelitian ini dilakukan di Jabotabek dengan subyek pasangan suami iatri yang berpendidikan minimal SLTA dan memiliki tingkat sosial ekonomi menengah keatas. Untuk mengukur derajat intimacy, maka akan diberikan kuesioner intimacy dari Sternberg (1988). Sedangkan untuk mengukur kapuasan perkawinan akan digunakan skala kepuasan perkawinan dari Spanier (1976) yaitu DAS (Dyadic Adjustment ScaIe) yang terdiri dari 4 subskala yaitu: dyadic consensus (kesepahaman) , dyadic satisfaction (kepuasan dalam hubungan), dyadic cohesion (kebersamaan), dan affectional expression (ekspresi perasaan).

Hasil panelitian ini memperlihatkan bahwa ada hubungan positif dan bermakna antara intimacy dengan kepuasan pasangan suami istri dari seluruh tahapan perkembangan keluarga yang diteliti. Selain itu ditemukan bahwa kepuasan perkawinan ternyata memang mengikuti arah garis lengkung (curvilinear path), dimana kapuasan perkawinan tinggi pada pasangan suami istri yang anak pertamanya usia prasekolah, menurun dengan tajam pada pasangan suami istri yang anak pertamanya usia remaja, kemudian meningkat kambali pada pasangan suami istri yang anak pertamanya telah keluar rumah/mandiri. Selain itu juga ditemukan bahwa kepuasan parkawinan suami lebih besar daripada kepuasan perkawinan istri, dan cara pasangan dalam memecahkan masalah sehari-hari di antara mereka berpengaruh terhadap kepuasan perkawinan dan intimacy mereka.

Berdasarkan hasil yang diperoleh tersebut, maka beberapa saran diajukan untuk mempebaiki penelitian lebih lanjut, yaitu: ditambahkan metode wawancara untuk mendapatkan gambaran yang mendalam dan menyeluruh dari kepuasan perkawinan dan intimacy; penelitian melibatkan seluruh tahapan perkembangan keluarga untuk melihat apakah kepuasan perkawinan dan intimacy di Indonesia memang mengikuti curvelinear path (arah garis lengkung); skala kepuasan perkawinan yang dipakai adalah hasil analisa faktor karena diperkirakan sesuai dengan keadaan yang ada di Indnesia. Sedangkan saran tambahan adalah sebaiknya bila Iembaga-lembaga dan para ahli yang kompeten dalam hal komunikasi orang tua dan remaja melakukan pelatihan tentang bagaimana menjadi orang tua dan remaja yang efektif.
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1995
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessie Octavillisia
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
S27853
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Muhammad Ismail Salahudin
Abstrak :
ABSTRAK
Penyakit HIV/AIDS telah menimbulkan masalah fisik, sosial, dan emosional terhadap individu yang terinfeksi dan pasangannya. Pasangan ODHA memiliki prevalensi mengalami gejala depresi dengan keluhan fisik, yaitu sebesar 12,7%. Terdapat hubungan antara cinta, komunikasi, dan keintiman fisik terhadap kepuasan dalam perkawinan. Depresi pada pasangan ODHA berhubungan dengan kepuasaan terhadap perkawinan. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis adanya perbedaan kepuasan perkawinan pasangan ODHA HIV negatif yang mengalami gejala depresi dengan pasangan ODHA yang tidak mengalami gejala depresi. Metode. Desain penelitian adalah cross-sectional. Sampel adalah 52 orang pasangan sah ODHA usia 18-60 tahun yang menjalani rawat jalan di Poli Infeksi Tropis RSUP. DR. Kariadi Semarang dan memenuhi kriteria inklusi penelitian. Teknik pemilihan sampel menggunakan metode consecutive sampling. Status depresi diukur dengan instrumen beck depression inventory (BDI) dan kepuasan perkawinan diukur dengan ENRICH marital satisfaction scale (EMS). Pengolahan dan analisis data menggunakan program SPSS. Uji analisis hubungan menggunakan uji chi-square. Hasil. Subjek penelitian yang tidak mengalami depresi 78,8% dan yang mengalami depresi 21,2% terdiri dari ringan 9,6%, sedang 11,6%, dan berat 0%. Tidak didapatkan subjek penelitian yang tidak puas terhadap perkawinannya, 55,8% sangat puas dan 44,2% puas. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kepuasan perkawinan pasangan ODHA HIV negatif disertai gejala depresi dan tanpa disertai gejala depresi (p=0,595). Terdapat perbedaan bermakna antara kepuasan perkawinan pasangan ODHA HIV negatif disertai gejala depresi dan tanpa disertai gejala depresi dalam komunikasi (p = 0,021), resolusi konflik (p = 0,025), penggunaan aktivitas santai/luang (p = 0,025), dan hubungan seks (p = 0,007). Simpulan. Tidak terdapat perbedaan antara kepuasan perkawinan pasangan ODHA HIV negatif disertai gejala depresi dan tanpa disertai gejala depresi. Namun demikian, terdapat perbedaan bermakna antara kepuasan perkawinan pasangan ODHA HIV negatif disertai gejala depresi dan tanpa disertai gejala depresi dalam komunikasi, resolusi konflik, penggunaan aktivitas santai/luang, dan hubungan seks.
Jakarta: Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
610 JPDI 5:3 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Noviopatra Tri Kamsanih
Abstrak :
Teknologi komunikasi di era digital memungkinkan individu memilih berbagai media untuk berkomunikasi dengan pasangannya. Pemilihan media komunikasi dapat dipengaruhi oleh karakter individual, yang kemudian dapat berdampak pada hubungan perkawinannya. Penelitian ini bertujuan melihat hubungan antara attachment style, preferensi penggunaan media dalam komunikasi dengan pasangan, dan kepuasan perkawinan. Partisipan penelitian ini adalah 533 WNI yang telah kawin, terdiri dari 408 perempuan dan 125 laki-laki berusia 19-70 tahun. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat hubungan signifikan antara anxious dan avoidant attachment dan media komunikasi dengan pasangan secara tatap muka, telepon dan media sosial dengan kepuasan perkawinan. Anxious attachment berhubungan dengan penggunaan pesan teks dalam berkomunikasi dengan pasangan, sementara, avoidant attachment berhubungan dengan penggunaan telepon dan media sosial. Secara bersama-sama, attachment style dan preferensi preferensi penggunaan media komunikasi berhubungan dengan kepuasan perkawinan. Penelitian ini dapat dimanfaatkan konselor perkawinan mengenai hal-hal yang dapat mempengaruhi perkawinan pada era digital.
Communication technology in the digital era allows individuals to choose various media to communicate with their partners. The choice of communication media could be influenced by individual characters, which can then have an impact on the marriage relationship. This study aimed to look at the relationship between attachment style, media preferences in communication with partners, and marriage satisfaction. The participants of this study were 533 Indonesian citizens who were married, consisting of 408 women and 125 men aged 19-70 years. This study found that there was a significant relationship between anxious and avoidant attachment and communication media with the couple face to face, telephone and social media with marriage satisfaction. Anxious attachment was related to the use of text messages in communicating with a partner, while avoidant attachment is related to the use of telephone and social media. Together, attachment style and communication media preferences were related to marriage satisfaction. This research is expected to trigger similar research in the area of marital satisfaction. This research can be used by marriage counselors on matters that can influence marriage in the digital age.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustina M. Indrawati
Abstrak :
Adanya kesesuaian peran suami isteri dalam perkawinan merupakan salah satu faktor yang dapat memberikan pengaruh positif terhadap kepuasan perkawinan. Secara uiaum, kepuasah perkawinan lebih bergantung pada kesesuaian antara harapan suami terhadap perilaku isterinya dibandingkan dengan kesesuaian antara harapan isteri terhadap perilaku suaminya. Hal ini disebabkan oleh pengertian budaya yang mengatakan bahwa wanita lebih toleran dan memiliki tingkat penyesuaian diri yang lebih tinggi daripada pria. Namun, pengertian ini kemungkinan tidak berlaku lagi seiring dengan adanya perubahan-perubahan peran wanita. Fenomena isteri yang bekerja diduga akan membawa dampak bagi aspirasi dan harapan mereka, termasuk harapan terhadap peran suami isteri dalam kehidupan perkawinan yang dijalaninya. Penelitian ini hendak melihat apakah ada perbedaan harapan terhadap peran suami, perbedaan kesesuaian antara harapan dan perilaku peran suami, serta perbedaan kepuasan perkawinan antara isteri yang bekerja dan isteri yang tidak bekerja. Selain itu, hendak ditelaah bagaimanakah pengaruh kesesuaian antara harapan dan perilaku peran suami terhadap kepuasan perkawinan pada isteri yang bekerja dan isteri yang tidak bekerja. Subyek dari penelitian ini adalah 38 isteri yang bekerja dan 33 isteri yang tidak bekerja dengan usia perkawinan maksimal 2 tahun, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner, dengan pengambilan sampel secara accidental sampling. Dari penelitian ini ditemukan hubungan yang signifikan antara kepuasan perkawinan dengan kesesuaian antara harapan dan perilaku peran suami pada kelompok isteri. Masing-masing aspek kesesuaian antara harapan dan perilaku peran suami ternyata juga memiliki hubungan yang signifikan dengan kepuasan perkawinan. Aspek-aspek tersebut adalah aspek pengurus rumah tangga, pencari nafkah, hubungan seksual, hubungan kekerabatan, pelaksanaan rekreasi, diikungan emosional, pengambilan keputusan, hubungan interpersonal, komunikasi, dan partisipasi dalam bidang keagamaan. Dari penelitian ini diketahui pula bahwa status pekerjaan, yaitu bekerja dan tidak bekerja, tidak berpengaruh terhadap kepuasan perkawinan, kesesuaian antara harapan dan perilaku peran suami, serta harapan terhadap peran suami. Hasil lain dari penelitian ini adalah bila ditinjau dari aspek-aspek kesesuaian antara harapan dan perilaku peran suami, aspek dukungan emosional merupakan faktor yang memberikan pengaruh terbesar bagi kepuasan perkawinem, baik pada isteri yang bekerja maupxin isteri yang tidak bekerja. Meski demikian, isteri yang bekerja juga beranggapan bahwa aspek pencari nafkah adalah juga faktor yang paling tinggi memberikan pengaruh terhadap kepuasan perkawinan dibandingkan aspek-aspek lainnya. Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya metode kuesioner ditunjang dengan wawancara untuk mendapat hasil yang lebih kaya dan mendalam. Selain itu, disarankan pula untixk diadakan penelitian pada kelompok usia perkawinan dari beberapa tahapan daur kehidupan berkeluarga, serta melibatkan keloiapok isteri dengan posisi manajerial di pekerjaannya atau yang memiliki penghasilan lebih tinggi daripada suaminya- Untuk melengkapi hasil penelitian ini, dapat pula dilakukan penelitian mengenai pengaruh kesesuaian antara harapan dan perilaku peran isteri terhadap kelompok suami yang memiliki isteri yang bekerja dan kelompok suami yang memiliki isteri yang tidak bekerja.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1996
S2389
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paruntu, Anastasia Shinta Melani
Abstrak :
ABSTRAK
Perkawinan sampai saat ini masih dianggap sebagai suatu hal yang penting yang akan dihadapi oleh manusia dalam perjalanan kehidupannya. Perkawinan itu sendiri memiliki makna yang tinggi secara agama maupun kultural, terutama pada masyarakat Indonesia yang sampai saat ini sebagian besar masyarakatnya masih menjunjung nilai-nilai Iuhur kebudayaan dan adat istiadat ketimuran.

Pada awalnya perkawinan hanya dimaksud untuk memenuhi fungsi reproduktif, yaitu menghasilkan dan membesarkan anak (Gertz & Stephen, 1963 dalam Skolnick & Skolnick, 1983). Namun sejalan dengan berkembangnya jaman dengan kemajuan diberbagai bidang, berkembang pula pandangan masyarakat tentang lembaga perkawinan. Berkurang atau hilang beberapa fungsi tradisional dalam perkawinan membuat orang Iebih banyak memperhatikan faktor hubungan (relationship) dalam perkawinan (McCarry, 1975).

Individu-individu yang ada dalam perkawinan tentunya juga merupakan anggota masyarakat secara Iuas dan oleh karena itu gelala-gejala modernisasi yang ada dalam kehidupan masyarakat secara Iuas juga mereka alami. Gejala modernisasi yang ada ini seperti berubahnya bentuk hubungan dan tentunya juga komunikasi yang Iebih mengarah kepada hubungan yang fungsional dan impersonal, dimana individu-individu yang ada dalam hubungan itu sangat selektif dalam melakukan hubungan itu serta hanya akan berhubungan dengan pihak lain bila ternyata pihak lain tersebut memberikan keuntungan kepadanya. Karena individu yang ada dalam perkawinan juga merupakan anggota dari masyarakat secara Iuas maka tidaklah mustahil gejala modernisasi ini juga ikut masuk kedalam perkawinan. Alvin Toffier (1975) mengatakan bahwa perkawinan yang tadinya dapat menjadi sebuah peredam goncangan (shock absorber) dari gejala-gejala modernisasi tersebut akhirnya ikut tergoncang pula.

Dengan melihat hal-hal yang telah dikemukakan di atas serta melihat bahwa penelitian di Indonesia yang membahas masalah ini masih kurang, maka penelitian ini ingin melihat bagaimana hubungan dari komunikasi intim dan kepuasan perkawinan pada saat sekarang ini. Apakah masih terdapat hubungan antara komunikasi intim dengan kepuasan perkawinan. Selain itu juga ingin dilihat beberapa hal seperti bagaimana hubungan dari masing-masing aspek komunikasi intim dengan kepuasan perkawinan juga aspek mana dari komunikasi intim yang paling mempengaruhi kepuasan perkawinan. Subyek dari penelitian ini adalah individu yang teriibat dalam hubungan perkawinan dengan usia perkawinan 1-20 tahun serta memiIiki anak. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik pengambilan sampling insidental dan berhasil didapatkan 57 orang subyek. Alat pengumpulan data adalah kuesioner yang terdiri dari skala-skala yang mengukur komunikasi intim dan kepuasan perkawinan. Pengolahan data dilakukan dengan melakukan analisis deskriptif, korelasi serta perhitungan regresi berganda. Keseluruhan pengolahan data ini dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS for Windows Release 6.0.

Dari hasil penelitian ini didapatkan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara komunikasi intim dengan kepuasan perkawinan. Masing-masing aspek dari komunikasi intim juga memiliki hubungan yang signifikan dengan kepuasan perkawinan. Aspek-aspek tersebut adalah Sharing the Self, Affirming the Other, Becoming 'One' dan Transcending ?One'. Lebih Ianjut dilihat bahwa dari keempat aspek yang ada pada komunikasi intim ini aspek Becoming ?One'-lah yang paling besar dan secara signifikan memberikan sumbangan terhadap kepuasan perkawinan.

Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya alat ukur yang digunakan dapat diperbaiki dan jumlah sampel ditingkatkan sehingga dapat dibuat sebuah norma yang dapat melihat bagaimana komunikasi intim dan kepuasan perkawinan yang ada sekarang.
1998
S2600
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>