Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mohamad Justine Ceasarea Hasanudin
Abstrak :
Konsep nexus baru yang dicetuskan pada BEPS Action Plan 1 dikenal dengan kehadiran ekonomi signifikan (significant economic presence) yang mengilhami adanya kebijakan baru yang bersifat unilateral demi menjawab tantangan ekonomi digital. India memperkenalkan equalization levy sebagai kebijakan unilateral untuk memajaki transaksi pada ekonomi digital atas jasa periklanan digital yang diberikan oleh non-residen India ke residen pajak India. Selain itu, Inggris juga menerapkan hal serupa dengan memperkenalkan Digital Service Tax untuk memajaki atas transaksi pada layanan dan pembelian produk oleh pelaku industri Digital. Dilanjutkan dengan dicetuskannya rancangan Solusi 2 Pilar (Two-Pillar Solutions) dalam hal ini Pilar 1 (satu) sebagai realisasi aksi 1 di tahun 2021 yang berasal dari kesepakatan negara-negara dalam konsensus global yang dilakukan oleh para negara OECD inclusive framework dan negara G20 sebagai kebijakan multilateral hingga saat ini masih tidak ada kepastian dalam penerapannya. Mengacu pada hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan skema perpajakan yang digunakan oleh India dan Inggris dan menganalisis peluang Indonesia dalam menerapkan kebijakan unilateral atas ekonomi digital. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif serta teknik analisis data kualitatif. Berdasarkan hasil studi kepustakaan dan wawancara mendalam terhadap beberapa informan dijelaskan skema perpajakan atas ekonomi digital yang diterapkan di India dan Inggris. Indonesia juga berpeluang menerapkan kebijakan unilateral tersebut walaupun terdapat faktor penghambat yang berasal dari komitmen atas penerapan Pilar 1 yang tidak memiliki kepastian saat penerapannya, potensi ancaman perang dagang oleh Amerika Serikat dari penerapan kebijakan unilateral dan biaya kepatuhan pajak yang tinggi mempengaruhi ekonomi dari kenaikan harga atas barang dan/atau layanan pada ekonomi digital di negara sumber penghasilan serta tingginya biaya kepatuhan pajak dan pajak berganda yang muncul bagi para pelaku ekonomi digital asing yang berasal dari penerapan kebijakan unilateral yang dilakukan oleh India dan Inggris. Oleh karena itu, kesimpulan dari penelitian ini adalah skema perpajakan unilateral India dan Inggris mengikuti konsep kehadiran ekonomi signifikan dan Indonesia memiliki peluang dalam menerapkan kebijakan unilateral walaupun terdapat beberapa faktor penghambat sebagaimana telah dijelaskan. Pada penelitian ini penulis menyarankan mempertimbangkan informasi dari skema perpajakan yang diterapkan oleh India dan Inggris serta mempertimbangkan pembentukan kebijakan unilateral atas ekonomi digital yang terstruktur dari perundangan-undangan dan peraturan teknisnya dengan jelas dan belajar dari permasalahan yang ditemukan di Inggris dan India. ......The new nexus concept introduced in BEPS Action Plan 1 is known as significant economic presence, which has inspired new unilateral policies to address the challenges of the digital economy. India introduced the equalization levy as a unilateral policy to tax transactions in the digital economy for digital advertising services provided by non-Indian residents to Indian tax residents. Similarly, the United Kingdom implemented a Digital Service Tax to tax transactions involving services and product purchases by digital industry players. This was followed by the introduction of the Two-Pillar Solutions draft, specifically Pillar 1, as the realization of Action 1 in 2021, based on agreements within the global consensus reached by OECD inclusive framework countries and G20 countries. However, there remains uncertainty in its implementation as a multilateral policy. Given this context, this study aims to describe the taxation schemes used by India and the United Kingdom and to analyze the potential for Indonesia to implement unilateral policies on the digital economy. This research employs a qualitative approach and qualitative data analysis techniques. Based on literature studies and in-depth interviews with several informants, the study explains the taxation schemes on the digital economy implemented in India and the United Kingdom. Indonesia also has the potential to implement such unilateral policies, although there are hindering factors stemming from the commitment to implementing Pillar 1, which lacks certainty in its application, potential trade war threats from the United States due to the implementation of unilateral policies, and high tax compliance costs affecting the economy through increased prices of goods and/or services in the digital economy in the source country, as well as high tax compliance costs and double taxation issues for foreign digital economy players due to the unilateral policies applied by India and the United Kingdom. Therefore, the conclusion of this study is that the unilateral taxation schemes of India and the United Kingdom follow the concept of significant economic presence, and Indonesia has the potential to implement unilateral policies despite several hindering factors as previously mentioned. In this study, the author suggests considering the information from the taxation schemes implemented by India and the United Kingdom, and considering the formation of a structured unilateral policy on the digital economy through clear legislation and technical regulations, while learning from the issues found in the United Kingdom and India.
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Elisabet
Abstrak :
Indonesia dan Uni Eropa telah mengambil langkah unilateral untuk menerapkan pajak layanan digital. Skripsi ini mengkaji (i) pengaturan pajak layanan digital di Indonesia dan Uni Eropa serta (ii) apakah pengaturan pajak layanan digital tersebut melanggar kewajiban nondiskriminasi negara anggota WTO dalam GATS. Melalui penelitian hukum yuridis normatif dan pendekatan perundang-undangan, komparatif, dan kasus, dapat disimpulkan bahwa pertama, pajak layanan digital dikenal di Indonesia sebagai pajak transaksi elektronik dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang menerapkan kriteria kehadiran ekonomi signifikan. Di Uni Eropa, pajak layanan digital diatur melalui Council Directives, di mana pengaturan pengenaan pajak tersebut menggunakan metode ring-fencing dan kriteria significant economic presence. Kedua, kewajiban nondiskriminasi dalam GATS terdapat dalam Pasal II tentang Most-Favoured Nation dan Pasal XVII tentang National Treatment serta yurisprudensi yang relevan dari putusan WTO. Pengaturan pajak layanan digital Indonesia dan Uni Eropa tidak bersifat diskriminatif, sebab berdasarkan indikator-indikator yang ada, tidak terbukti adanya diskriminasi de jure maupun de facto. Saran berdasarkan kesimpulan tersebut yaitu bagi Indonesia dan Uni Eropa untuk mempersiapkan bukti yang menunjukkan tidak adanya perlakuan kurang menguntungkan terhadap negara anggota WTO tertentu dalam praktik pengenaan pajak layanan digital oleh Indonesia dan Uni Eropa apabila terdapat negara anggota yang mengajukan gugatan diskriminasi ke WTO. Selanjutnya, apabila terdapat negara anggota yang mengambil tindakan retaliasi, Indonesia dan Uni Eropa disarankan untuk mengajukan gugatan diskriminasi ke WTO atas tindakan retaliasi tersebut. ......Indonesia and the European Union (EU) have taken unilateral actions to implement digital services tax. This thesis examines (ii) digital services tax regulation in Indonesia and the EU and (ii) whether the digital services tax regulation violates the non-discrimination obligation of WTO members according to the GATS. Through conducting a judicial normative legal research whilst applying a statutory, comparative and case-study approach, it can be concluded that firstly, digital services tax in Indonesia is known as an electronic transaction tax and is regulated by law, which implements significant economic presence criteria. In the European Union, digital services tax is regulated through the Council Directives, in which the regulation implements ring-fencing method as well as significant economic presence criteria. Secondly, the non-discrimination obligations in GATS are promulgated in Article II concerning Most-Favored Nation Treatment and Article XVII concerning National Treatment as well as relevant jurisprudence of WTO case laws. Indonesia and the EU's digital services tax regulation are not discriminatory, because based on existing indicators, the existence of both de jure and de facto discrimination is not proven. The suggestion would be for Indonesia and the EU to provide evidence that shows the absence of unfavorable treatment of certain WTO member states in digital services tax practices by Indonesia and the EU, in the event that there are member states who decides to challenge the measures to the WTO. Subsequently, in the event that certain member states decide to take retaliation measures, it is suggested that Indonesia and the EU challenge said measure to the WTO.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Elisabet
Abstrak :
Indonesia dan Uni Eropa telah mengambil langkah unilateral untuk menerapkan pajak layanan digital. Skripsi ini mengkaji (i) pengaturan pajak layanan digital di Indonesia dan Uni Eropa serta (ii) apakah pengaturan pajak layanan digital tersebut melanggar kewajiban nondiskriminasi negara anggota WTO dalam GATS. Melalui penelitian hukum yuridis normatif dan pendekatan perundang-undangan, komparatif, dan kasus, dapat disimpulkan bahwa pertama, pajak layanan digital dikenal di Indonesia sebagai pajak transaksi elektronik dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang menerapkan kriteria kehadiran ekonomi signifikan. Di Uni Eropa, pajak layanan digital diatur melalui Council Directives, di mana pengaturan pengenaan pajak tersebut menggunakan metode ring-fencing dan kriteria significant economic presence. Kedua, kewajiban nondiskriminasi dalam GATS terdapat dalam Pasal II tentang Most-Favoured Nation dan Pasal XVII tentang National Treatment serta yurisprudensi yang relevan dari putusan WTO. Pengaturan pajak layanan digital Indonesia dan Uni Eropa tidak bersifat diskriminatif, sebab berdasarkan indikator-indikator yang ada, tidak terbukti adanya diskriminasi de jure maupun de facto. Saran berdasarkan kesimpulan tersebut yaitu bagi Indonesia dan Uni Eropa untuk mempersiapkan bukti yang menunjukkan tidak adanya perlakuan kurang menguntungkan terhadap negara anggota WTO tertentu dalam praktik pengenaan pajak layanan digital oleh Indonesia dan Uni Eropa apabila terdapat negara anggota yang mengajukan gugatan diskriminasi ke WTO. Selanjutnya, apabila terdapat negara anggota yang mengambil tindakan retaliasi, Indonesia dan Uni Eropa disarankan untuk mengajukan gugatan diskriminasi ke WTO atas tindakan retaliasi tersebut. ......Indonesia and the European Union (EU) have taken unilateral actions to implement digital services tax. This thesis examines (ii) digital services tax regulation in Indonesia and the EU and (ii) whether the digital services tax regulation violates the non-discrimination obligation of WTO members according to the GATS. Through conducting a judicial normative legal research whilst applying a statutory, comparative and case-study approach, it can be concluded that firstly, digital services tax in Indonesia is known as an electronic transaction tax and is regulated by law, which implements significant economic presence criteria. In the European Union, digital services tax is regulated through the Council Directives, in which the regulation implements ring-fencing method as well as significant economic presence criteria. Secondly, the non-discrimination obligations in GATS are promulgated in Article II concerning Most-Favored Nation Treatment and Article XVII concerning National Treatment as well as relevant jurisprudence of WTO case laws. Indonesia and the EU's digital services tax regulation are not discriminatory, because based on existing indicators, the existence of both de jure and de facto discrimination is not proven. The suggestion would be for Indonesia and the EU to provide evidence that shows the absence of unfavorable treatment of certain WTO member states in digital services tax practices by Indonesia and the EU, in the event that there are member states who decides to challenge the measures to the WTO. Subsequently, in the event that certain member states decide to take retaliation measures, it is suggested that Indonesia and the EU challenge said measure to the WTO.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Unisya Izhari Rinsta Savira
Abstrak :
Seiring berkembangnya zaman, transaksi perdagangan jual beli sekarang ini dapat dilakukan melalui sistem elektronik. Hal tersebut menyebabkan adanya perdagangan lintas negara tanpa melihat suatu yurisdiksi. Hal ini dapat menimbulkan potensi peningkatan pemasukan negara berupa pajak yang dapat dikenakan oleh pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik luar negeri yang melakukan transaksi jual beli dengan berupa penghasilan yang didapatkan dari Indonesia. Maka dari itu muncul permasalahan yaitu bagaimana pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) luar negeri dapat dikenakan pajak Penghasilan (PPh) dan bagaimana mekanisme pengenaan pajak Penghasilan terhadap pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) luar negeri. Penelitian ini merupakan bentuk penelitian yuridis normatif yang bertujuan untuk memperoleh data awal tentang pengetahuan baru ini melalui penelitian kepustakaan dengan menekankan pada penggunaan norma-norma hukum secara tertulis. Kesimpulan dari penelitian ini akan terlihat bahwa pengenaan pajak Penghasilan terhadap pelaku usaha PMSE luar negeri harus dilakukan berdasarkan ketentuan yang ada dan berdasarkan pengawasan dari pihak Pemerintah serta Pemerintah antar negara agar berjalan dengan sebagaimana mestinya. ......Over the years trade transactions can now be done through an digital system. As a result, this can be lead to cross-border trade regardless of jurisdiction. This also could lead to the increase in state revenue in the form of taxes that may be imposed by digital transactions in the form of income obtained from Indonesia. Therefore, the problem arises, namely how foreign business entity with digital trade system can be subject to income tax and how the collection mechanism in imposing Income tax on digital transactions. This research uses a typology of jurisdicial research with a normative form of research in order to obtain preliminary data about this new knowledge through library research by emphasizing the use of legal norms. The conclusion of this research will show that the imposition of Income tax on foreign business entity with digital trade system must be carried out based on existing provisions and based on supervision from the government and government between countries in order to run properly.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zalfa Ghea Tamima
Abstrak :
Perkembangan teknologi memungkinkan perusahaan asing untuk beroperasi secara digital di negara lain dan memperoleh keuntungan usaha dari masyarakat negara lain tanpa perlu hadir secara fisik di sana. Salah satu sektor yang terdampak dari digitalisasi ini adalah sektor hiburan melalui tersedianya berbagai layanan konten dan/atau aplikasi melalui internet (layanan over the top atau “OTT”) yang membuat konten daring dapat diakses secara global tanpa penyedia layanannya perlu mendirikan tempat usaha di negara tersebut. Namun, pengaturan terkait layanan OTT di Indonesia cenderung masih berlandaskan kehadiran fisik untuk bisa membebankan kewajiban dan pertanggungjawaban kepada perusahaan asing secara hukum. Penelitian ini akan menggali bagaimana hukum Indonesia mengatur penyedia layanan OTT asing seperti Prime Video, WeTV, dan iQiyi yang beroperasi tanpa mendirikan bentuk usaha tetap dan bagaimana langkah yang dapat dilakukan negara untuk memperjelas kedudukan penyedia layanan OTT asing yang tidak hadir secara fisik di Indonesia. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka dengan metode yuridis normatif, deskriptif kualitatif, dan deskriptif analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum sebagai anggota World Trade Organization, Indonesia berkomitmen melakukan liberalisasi sektor layanan digital bagi pihak asing. Secara khusus, hukum Indonesia baru mengatur dalam aspek perpajakan dan pendaftaran sebagai perusahaan digital. Jika memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan, penyedia layanan OTT dipersamakan dengan bentuk usaha tetap sehingga dapat dikenakan pajak penghasilan. Adapun langkah yang dapat dilakukan negara adalah merevisi aturan seputar bentuk usaha tetap dan menentukan kriteria konkret dari “kehadiran ekonomi signifikan” yang dapat mengacu pada panduan yang dikeluarkan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development dan G20 serta melakukan kerja sama antara Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perdagangan dalam mengusahakan pembebanan kewajiban kepada penyedia layanan OTT asing melalui optimalisasi pangkal data ketiga lembaga. ......Technological developments allow foreign companies to operate digitally in other countries and gain business benefits from the people of other countries without the need to be physically present there. One of the sectors affected by this digitalization is the entertainment through the availability of various content and/or application services via the internet (over the top or “OTT” services) that makes online content globally accessible without the need for its service provider to establish a place of business in said country. However, regulations related to OTT services in Indonesia still tends to rely upon physical presence for foreign companies to bear obligations and be accountable by law. This research will explore how Indonesian law regulates foreign OTT service providers such as Prime Video, WeTV, and iQiyi that operate without a permanent establishment and what the state can do to clarify the position of foreign OTT service providers who are not physically present in Indonesia. Data collection in this study was carried out through literature study using juridical-normative, descriptive-qualitative and descriptive-analytical research methods. The research concludes that in general, as a member of the World Trade Organization, Indonesia is committed to liberalizing the digital service sector for foreign parties. Specifically, regulations surrounding OTT service providers under Indonesian law have only covered aspects of taxation and registration as a digital company. If they meet the criteria of “significant economic presence”, foreign OTT service providers can be treated as a permanent establishment, hence are subject to income tax. To clarity their position, the state may have to revise the regulation regarding permanent establishment and determine concrete criteria for the concept of “significant economic presence” which can refer to the guidelines issued by the Organisation for Economic Co-operation and Development and G20. Moreover, the state, through the Ministry of Communication and Informatics, the Ministry of Finance, and the Ministry of Trade can also work together optimizing their databases in an effort to impose obligations on the foreign OTT service providers.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library