Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
Pendi Wibison
"Pembentukan KUHP Nasional menjadi sorotan publik. Salah satunya lantaran sejumlah pasal pada KUHP yang baru itu justru memangkas hukuman bagi para koruptor. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis penanganan tindak pidana korupsi pada Dittipidkor Bareskrim Polri atas perubahan tindak pidana korupsi dalam KUHP. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif eksplanatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Perspektif Dittipidkor Bareskrim Polri dalam melihat kekhusussan yang dimiliki oleh tindak pidana korupsi bahwa rumusan delik-delik korupsi dalam KUHP yang sifatnya telah menjadi delik umum akan melemahkan bahkan mampu menghapuskan kekuatan dan kepastian hukum yang ada dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 karena dalam prinsipnya jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka dapat diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan baginya; 2) Pandangan penyidik terhadap perbedaan ketentuan yang menyimpang dari aturan hukum pidana dalam perspektif hukum pidana materil dan pidana formil dalam Undang-Undang No. 31/1999 Jo Undang-Undang No. 20/2001 dengan Undang-Undang No. 1/ 2023 (KUHP Baru) dalam penganganan tindak pidana korupsi bahwa lemahnya sanksi terhadap tindak pidana korupsi yang terdapat didalam KUHP Baru dapat melemahkan pemberantasan korupsi itu sendiri. Penyidik berpandangan bahwa sudah sepantasnya KUHP mengatur hukuman maksimal untuk pelaku tindak pidana korupsi diancam dengan pidana mati; dan 3) Pandangan penyidik terhadap beberapa pasal dari Undang-Undang No. 31/1999 Jo Undang-Undang No. 20/2001 yang dimasukkan dan menjadi delik di Undang-Undang No. 1/ 2023 (KUHP Baru) bahwa KUHP baru berpotensi menghambat proses penyidikan perkara korupsi. KUHP baru juga akan terjadi tumpang tindih kewenangan penanganan dari para penegak hukum dan juga pasal pada undang undang yang diterapkan akan menjadi debateable. Penyidik juga berpandangan bahwa ketika tindak pidana korupsi tidak lagi dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) melainkan telah dijadikan tindak pidana umum yang setara dengan delik konvensional seperti pencurian dengan kekerasan atau penggelapan, maka implikasi hukum dari kondisi ini adalah hilangnya spesialisasi kewenangan di antara lembaga penegak hukum, termasuk Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK, dalam melaksanakan tugas mereka.
The regulation of the National Criminal Code is in the public spotlight. One of them was because a number of articles in the new Criminal Code actually reduce the punishment for corruptors. The aim of this research was to analyze the handling of criminal acts of corruption at the Dittipidkor Bareskrim Polri regarding changes to criminal acts of corruption in the Criminal Code. This research was a qualitative approach with an explanatory descriptive method to collect data in the field related. The results of the research show that 1) The perspective of the Dittipidkor Bareskrim Polri in looking at the specificity of criminal acts of corruption is that the formulation of corruption offenses in the Criminal Code which have become general offenses will weaken or even be able to eliminate the strength and legal certainty contained in Law no. 31 of 1999 in conjunction with Law no. 20 of 2001 because in principle if there is a change in the legislation after the act has been committed, then the provisions that are most beneficial to him can be applied; 2) The investigator's view of the differences in provisions that deviate from the rules of criminal law in the perspective of material criminal law and formal criminal law in Law no. 31/1999 Jo Law no. 20/2001 with Law no. 1/2023 (New Criminal Code) in dealing with criminal acts of corruption that weak sanctions for criminal acts of corruption contained in the New Criminal Code can weaken the eradication of corruption itself. Investigators are of the view that it is appropriate for the Criminal Code to regulate the maximum penalty for perpetrators of criminal acts of corruption which is punishable by death; and 3) The investigator's views on several articles of Law no. 31/1999 Jo Law no. 20/2001 which was included and became an offense in Law no. 1/2023 (New Criminal Code) that the new Criminal Code has the potential to hamper the process of investigating corruption cases. The new Criminal Code will also result in overlapping authority to handle law enforcers and also the articles in the law that are implemented will become debatable. Investigators are also of the view that when criminal acts of corruption are no longer considered extraordinary crimes but have become general crimes equivalent to conventional offenses such as violent theft or embezzlement, the legal implication of this condition is the loss of specialization of authority between institutions. law enforcers, including the Police, Prosecutor's Office and Corruption Eradication Commission, in carrying out their duties."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Chusnus Tsuroyya
"Tulisan ini menganalisis bagaimana pengaturan mengenai tindak pidana perkosaan terhadap laki-laki di Indonesia, khususnya pengaturan tindak pidana perkosaan pada KUHP Lama dan KUHP Baru. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Saat ini, ketentuan tindak pidana perkosaan pada Pasal 285 KUHP Lama tidak mengatur tentang perkosaan terhadap laki-laki karena pada ketentuan pasal tersebut hanya mengenal perempuan sebagai korban perkosaan. Namun, seiring berkembangnya gerakan hak asasi manusia, perkosaan terhadap laki-laki mulai diakui. Hal ini terlihat dari banyaknya negara yang telah melakukan pembaruan hukum terhadap tindak pidana perkosaan, termasuk Inggris dan Belanda. Pembaruan tersebut tidak hanya pada menaikkan hukuman tindak pidana perkosaan namun juga memasukkan laki-laki sebagai objek dalam tindak pidana perkosaan. Dengan disahkannya KUHP Baru, ketentuan tindak pidana perkosaan sudah berubah. Tindak pidana perkosaan pada Pasal 473 KUHP Baru bukan sekadar terbatas pada korban perempuan, tetapi termasuk korban laki-laki. Diaturnya perkosaan terhadap laki-laki juga menjadi cerminan dari perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Perkosaan terhadap laki-laki harus diyakini sebagai pelanggaran hak atas integritas tubuh dan hak untuk terbebas dari segala bentuk penyiksaan.
This paper analyzes how the regulation of male rape in Indonesia, especially the regulation of male rape in the Indonesia’s Old Criminal Code and the Indonesia’s New Criminal Code. This paper employs doctrinal legal research. Currently, the provisions of rape in Article 285 of the Indonesia’s Old Criminal Code do not regulate male rape because the provisions of the article only recognize women as victims. However, along with the development of the human rights movement, male rape began to be recognized. This can be seen from the number of countries that have reformed and revised their rape laws, including UK and Netherlands. The reform is not only on increasing the punishment but dropping the restriction that perpetrators must be male and victims female, it then became legally possible for a man as victims. With the enactment of the Indonesia’s New Criminal Code, the provisions of rape have changed. Rape in Article 473 of the Indonesia’s New Criminal Code is not only limited to female victims, but also male victims. The regulation of male rape is also a reflection of the protection and fulfillment of human rights. Male rape must be seen as a violation of a person’s right to bodily integrity and freedom of torture."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library