Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Xi Jinping became general secretary of the Communist Party of China in 2013, taking his leadership role at a time of continuing economic expansion and military modernization that seem destined to make China a superpower. Xi has become China's most powerful and popular leader since Mao, and his vision of the "Chinese dream" of "great renewal" does not seem like an empty political slogan. But the image of China's meteoric rise masks some problems that are simmering both at home and abroad. This book will examine the prospects for China's continuing rise but also the emergent and unintended consequences posed by China's domestic transformation and international assertiveness. The three most urgent and interrelated domestic challenges facing China's leaders are sustaining economic growth, fighting corruption, and maintaining social stability. In foreign policy, its neighbors and the United States have questions about what China wants and whether it will be a revisionst state or be content with most aspects of the status quo. There is also concern that nationalist pressures within China may put domestic pressure on foreign policy."
Washington, DC : Georgetown University Press, 2016
320.695 1 CHI
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Faqih Albiruni Yahya
"Kebijakan sensor internet mengacu pada tindakan pemerintah dalam menyaring dan mengontrol apa yang dapat diakses masyarakatnya di internet. Tiongkok menjadi salah satu negara yang turut menerapkan kebijakan ini. The Great Firewall of China yang disingkat sebagai GFW merupakan istilah yang mengacu pada kebijakan sensor internet yang diterapkan di Tiongkok. Sejak berkembangnya internet pada tahun 1990-an, Pemerintah Tiongkok terus melakukan pengendalian terhadap internet melalui penyensoran. Sejak kepemimpinan Xi Jinping, pemerintah Tiongkok semakin menggiatkan penguatan kebijakan tersebut. Hal itulah yang menjadi pokok bahasan dalam artikel ini. Metode penelitian yang digunakan dalam artikel ini adalah metode kualitiatif dengan pendekatan ilmu sejarah. Adapun tahap penelitian mencakup heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan sensor internet pada era Xi Jinping meskipun dijalankan dalam rangka menjaga kedaulatan Tiongkok dan membangun Tiongkok sebagai kekuatan siber dunia, namun secara substansial tidak sesuai dengan nilai-nilai kebebasan mengakses informasi dan berekspresi di internet sebagaimana termaktub Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik tahun 1998, yang juga sudah ditandatangi oleh Tiongkok.

Internet censorship policy refers to government actions in filtering and controlling what people can access on the internet. China is one of the countries that have implemented this policy. The Great Firewall of China, abbreviated as GFW, is a term that refers to the internet censorship policies implemented in China. Since the development of the internet in the 1990s, the Chinese government has continued to control the internet through censorship. Since the reign of Xi Jinping, the Chinese government has intensified the reinforcement of this policy which become the subject of this article. The research method used in this article is a qualitative method with a historical approach. The research stages include heuristics, verification, interpretation, and historiography. The results show that the implementation of internet censorship policies in the Xi Jinping era, although carried out to maintain China's sovereignty and build China as a world cyber power, is substantially not in accordance with the values of freedom of access to information and expression on the internet as stated in the 1998 International Covenant on Civil Rights and Politics, which China has also signed."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Satya Deo Palit
"ABSTRAK
Artikel ini membahas Kebijakan One Belt One Road OBOR yang dicanangkan oleh Xi Jinping pada tahun 2013, dengan berfokus pada peran kebijakan tersebut dalam mewujudkan Zhongguomeng. Kebijakan OBOR adalah proyek pembangunan infrastruktur baru dengan menggunakan konsep lsquo;Jalur Sutra Baru rsquo; yang mencakup aspek geopolitik dan geoekonomi untuk menghubungkan wilayah-wilayah Eurasia dengan Cina sebagai pusatnya. Penulis memulai penelitian dengan menginterpretasi latar belakang yang mendorong pemerintah Cina untuk menerapkan Kebijakan OBOR menggunakan pendekatan historis dan studi kualitatif, kemudian menganalisis sejauh mana kebijakan OBOR dapat berguna bagi Xi Jinping untuk mencapai target Zhongguomeng. Hasil penelitian menunjukkan Kebijakan OBOR memiliki peran sebagai alat untuk mewujudkan Zhongguomeng melalui pembangunan infrastruktur yang menunjang arus perdagangan industri, menyediakan wadah pemersatu Cina, serta hubungan kerja sama yang damai secara global.

ABSTRACT
This article discusses the One Belt One Road OBOR Initiative launched by Xi Jinping in 2013, focusing on the role of the initiative in realizing Zhongguomeng. OBOR initiative is a new infrastructure development project that using the concept of 39;New Silk Road 39; which covering geo-political and geo-economic aspects to connect Eurasian regions with China as its center. The authors began the study by interpreting the background that prompted the Chinese government to implement the OBOR Initiative using historical approaches and qualitative studies, then analyzed the extent to which OBOR policy could be useful for Xi Jinping to achieve the Zhongguomeng rsquo;s targets. The results show that OBOR Initiative has a role as a tool for realizing Zhongguomeng through infrastructure development that supports industrial trade flows, provides an unifying container of China, and a global peaceful cooperation relationship."
2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Matthew Alexander Setiadi
"Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan alasan dibalik peningkatan keasertifan Tiongkok terhadap kritik di bidang olahraga pada masa kepemimpinan Xi Jinping. Tiongkok sebagai negara telah memanfaatkan bidang olahraga sebagai salah satu instrumen kebijakan luar negerinya guna mencapai kepentingan negaranya. Bidang olahraga dimanfaatkan sebagai instrumen kebijakan luar negeri oleh Tiongkok melalui Ping Pong Diplomacy maupun penyelenggara Olimpiade. Akan tetapi, Tiongkok mendapatkan kritik internasional yang konstan, terutama pada isu-isu pelanggaran Hak Asasi Manusia. Pemerintahan Xi Jinping meresponsnya dengan lebih asertif melalui tidak hanya menggunakan norma internasional bahwa bidang olahraga tidak boleh dipolitisasi, tetapi juga disertai dengan aksi seperti permintaan maaf secara langsung. Untuk memahami alasan dibalik peningkatan keasertifan Tiongkok, penelitian ini menggunakan analisis kebijakan luar negeri dengan teori realisme neoklasik secara kualitatif. Penelitian ini menunjukan bahwa intensifikasi respons internasional Tiongkok ini karena adanya dorongan faktor sistemik dan faktor domestik serta pentingnya bidang olahraga bagi Tiongkok. Faktor sistemik mempengaruhi intensifikasi respons internasional Tiongkok karena adanya peningkatan rivalitas strategis Tiongkok dengan aktor internasional. Kemudian, faktor domestik ditenagai oleh kekuatan rezim pemerintahan Tiongkok dibawah kepemimpinan Xi Jinping ditenagai oleh kekhawatiran akan legitimasi Partai Komunis Cina. Terakhir, bidang olahraga menjadi sarana untuk melakukan intensifikasi respons internasional karena mampu menarik perhatian internasional dan kebanggaan bagi warga negara Tiongkok.

This thesis aims to explain China’s increasing assertiveness toward international critics of Xi Jinping’s leadership. China has utilized sports as part of its foreign policy instrument to achieve its national interest. China uses sport as a foreign policy instrument through Ping Pong Diplomacy and Olympic host. However, China gains constant criticism from international society, especially on Human Rights violations. China, under Xi Jinping’s leadership, responds more assertive by not only using the international norm that sports should not be politicized but also followed by follow-up action such as actively seeking apologies. To understand the reasoning behind the increasing assertiveness, this research uses foreign policy analysis with neo-classical realism theory and is conducted qualitatively. This research shows China’s increasing assertiveness because of systemic and domestic factors. Systemic factor influences China's assertiveness through China's increasing strategic rivalry. Furthermore, domestic factors fueled by regime insecurities on China Communist Party legitimacy. Lastly, sport becomes a platform to intensify China’s international response because of its ability to attract international attention and social pride."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prada Ayu Nurani
"ABSTRAK
Sejak Reformasi dan Keterbukaan pada tahun 1978, telah terjadi perubahan signifikan pada ideologi resmi Tiongkok. Fokus terhadap reformasi ekonomi dan politik menyebabkan berkurangnya kontrol Partai Komunis Tiongkok terhadap masyarakat serta berkurangnya signifikansi ideologi di masyarakat. Sejak mengambil alih kekuasaan pada Kongres Nasional Partai Komunis Tiongkok ke-18 pada November 2012, Xi Jinping telah berupaya untuk mereafirmasi ideologi di Tiongkok. Upaya reafirmasi ideologi Xi Jinping dapat dilihat dari diperketatnya kontrol Partai terhadap seluruh lapisan masyarakat dan digencarkannya propaganda ideologis. Jurnal ini akan membahas mengenai reafirmasi ideologi di bawah Xi Jinping dengan melakukan analisis top-down terhadap kebijakan terkait beberapa medium transmisi ideologi utama Partai.

ABSTRACT
Since the Reform and Opening Up in 1978, there have been significant changes in China rsquo;s official ideology. Focus on economic and political reform has resulted in Party rsquo;s diminishing control over society and ideological significance in Chinese society. Since taking over the leadership mantle on the Eighteenth National Congress of Chinese Communist Party in November 2012, Xi Jinping has sought to reaffirm the official ideology in China. Effort of ideological reaffirmation can be seen from the tightening of Party rsquo;s control over the whole Chinese society and intensification of ideological propaganda. This paper will discuss about Xi rsquo;s effort on reaffirming ideology in China by conducting analysis towards policies related to Party rsquo;s several main mediums of ideological transmission."
2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Heriawan
"Tesis ini meneliti fenomena pengesahan undang-undang penjaga pantai Tiongkok pada tahun 2021 yang kontradiktif dengan hukum internasional. Undang-undang ini memberi penjaga pantai kewenangan untuk menghancurkan infrastruktur dan kapal asing di wilayah perairan yang diklaim Tiongkok. Karenanya, banyak yang memprediksi dan berspekulasi bahwa undang-undang penjaga pantai dapat membawa ketidakstabilan di kawasan. Tapi, setelah satu tahun sejak efektif disahkan, tidak banyak yang berubah. Tesis ini kemudian mempertanyakan “mengapa Tiongkok mengesahkan undang-undang penjaga pantai pada tahun 2021?” Demi menjawab pertanyaan tersebut, tesis ini berpijak pada teori realisme neoklasik, menganalisis baik faktor sistemik dan faktor unit. Penulis berpendapat bahwa ada tiga faktor unit yang berkontribusi terhadap keputusan Tiongkok mengesahkan undang-undang penjaga pantai di tahun 2021: (1) persepsi Tiongkok mengenai faktor sistemik; (2) reformasi agensi penegak hukum laut; (3) perjuangan kekuatan Xi Jinping. Metodologi yang digunakan pada tesis ini adalah studi kasus dengan model penelusuran kausal dan alir. Tesis ini menemukan bahwa Tiongkok mengesahkan undang-undang penjaga pantai pada tahun 2021 untuk mengimbangi tekanan sistemik yang terus meningkat dan memberi landasan hukum kepada penjaga pantai yang baru direstrukturisasi untuk melindungi hak serta kepentingan Tiongkok di laut sengketa.

The present thesis scrutinises the phenomenon of the enactment of the China Coast Guard Law in 2021 which contradicts international law. The law allows the coast guard to demolish other countries' structures built and foreign vessels in water claimed by China. Hence, many have predicted and speculated that the law will bring instability to the region. But After one year of being effective, nothing much has changed. This thesis then asked the question “why China passed the coast guard law in 2021?” To answer the question, this thesis is grounded in neoclassical realism, analysing both systemic and domestic factors. The author argues that there are three domestic factors that contribute to China’s decision to pass the coast guard law in 2021: (1) China’s perception regarding systemic factor; (2) maritime law enforcement reform; and (3) Xi Jinping power struggle. The methodology used in this thesis is case study with process tracing and flow model. This thesis found that China enacted the coast guard law in 2021 to balance the ever-increasing systemic pressures and to provide the newly reinstituted coast guard a legal foundation to safeguard the rights and interests in the disputed."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farhansyah
"Setelah diangkat sebagai pemimpin Repulik Rakyat Tiongkok pada tahun 2012, Xi Jinping memperkenalkan konsep “The Chinese Dream”, yaitu cita-citanya untuk menjadikan Republik Rakyat Tiongkok sebagai negara adikuasa pada 2049. Untuk mencapainya, Xi mendorong aksi sentralisasi kekuasaan untuk memusatkan kekuasaan dan wewenang pada dirinya sendiri. Fenomena sentralisasi kekuasaan yang dilakukan oleh Xi Jinping ini tentu memiliki dampak pada proses pembuatan kebijakan Republik Rakyat Tiongkok, seperti pada konflik wilayah Laut Cina Selatan. Republik Rakyat Tiongkok di bawah Xi Jinping tampak lebih agresif dan provokatif di kawasan tersebut. Penelitian ini akan menganalisis hubungan antara kedua variabel di atas — sentralisasi kekuasaan oleh Xi Jinping dan aktivitas Republik Rakyat Tiongkok di Laut Cina Selatan — dengan menggunakan teori state assertiveness milik Andrew Chubbs. Dengan merujuk pada tipologi yang diturunkan dari teori, analisis dapat dilakukan dengan mengukur jenis dan frekuensi dari aksi dan pernyataan yang dilakukan oleh Republik Rakyat Tiongkok terkait dengan Laut Cina Selatan dari tahun 2009 hingga tahun 2022. Temuan dari penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan state assertiveness Republik Rakyat Tiongkok sejak Xi Jinping menjadi pemimpin. Hal ini mengimplikasikan adanya pengaruh sentralisasi kekuasaan Xi Jinping terhadap tingkat state assertiveness Republik Rakyat Tiongkok di Laut Cina Selatan dengan meningkatnya tindakan state assertiveness sejak tahun 2012. Sentralisasi kekuasaan Xi Jinping yang didukung oleh faktor domestik, ekonomi, militer, geopolitik, dan personal telah membuat tingkat state assertiveness menjadi lebih agresif selama masa kepemimpinanya.

After being appointed as the leader of the People's Republic of China in 2012, Xi Jinping introduced the concept of "The Chinese Dream," which is his vision to transform China into a powerful nation by 2049. To achieve this goal, Xi advocated for the centralization of power to concentrate authority and decision-making in his own hands. This centralization of power by Xi Jinping has had significant implications for the policymaking process in China, particularly concerning the territorial conflicts in the South China Sea. Under Xi Jinping's leadership, China appears to be more assertive and provocative in the region. This research aims to analyze the relationship between the two variables mentioned above: Xi Jinping's centralization of power and the activities of the People's Republic of China in the South China Sea. The study employs Andrew Chubbs' theory of state assertiveness. By referring to typologies derived from the theory, the analysis measures the types and frequency of actions and statements made by China regarding the South China Sea from 2009 to 2022. The findings of this research indicate an increase in China's state assertiveness since Xi Jinping assumed leadership. This suggests that Xi Jinping's centralization of power has influenced China's level of assertiveness in the South China Sea, leading to a rise in state assertiveness actions since 2012. The centralization of power under Xi Jinping, supported by domestic, economic, military, geopolitical, and personal factors, has made China's state assertiveness more aggressive during his tenure."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ayasophia Miranda
"Sistem Kredit Sosial (SKS) adalah kebijakan pemerintah pada era Xi Jinping yang ditujukan untuk mempromosikan perilaku baik dan menghukum perilaku buruk. Sistem ini dioperasikan dengan memberikan skor kepada individu berdasarkan perilaku dan tindakan mereka. Sejak masa kepemimpinan Presiden Xi Jinping, pemerintah Tiongkok semakin gencar untuk mengimplementasikan kebijakan ini. Terlepas dari ragamnya respon masyarakat terhadap penerapan sistem ini, pemerintah meresmikan kebijakan SKS pada tahun 2020 dan melaksanakannya hingga sekarang. Hal itulah yang menjadi pokok bahasan dalam artikel ini. Metode penelitian yang digunakan dalam artikel ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan ilmu sejarah, dengan tahapan penelitian yang mencakup heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan Sistem Kredit Sosial sebagai bentuk penilaian kepercayaan terhadap individu, perusahaan, dan entitas pemerintah, tidak serta merta langsung mendapatkan dukungan dari masyarakat, melainkan menciptakan ragam respon terkait kebijakan ini.

The Social Credit System is a government policy during the Xi Jinping era that aimed at promoting good behaviour and punishing bad behaviour. This system is operated by assigning a score to individuals based on their behaviour and actions. Since President Xi Jinping's reign, the Chinese government has increasingly implemented this policy. Regardless the variety of public responses to the implementation of this system, the government formalized the SKS policy in 2020 and has been implemented ever since. That is the subject of discussion in this article. The research method used in this article is a qualitative method with a historical science approach, with research stages that include heuristics, verification, interpretation, and historiography. The results of the study show that the implementation of the Social Credit System policy as a form of judging trust in individuals, companies and government entities, does not automatically gain support from the community, but instead creates a variety of responses related to this policy."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriel Igane Gusti Agung
"Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplor kepentingan politik Xi Jinping di Asia Timur dalam mengembangkan industri sepak bola Cina. Konsep soft power digunakan sebagai pedoman dalam melakukan penelitian ini. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui studi literatur. Temuan dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa sepak bola merupakan salah satu bidang yang dipilih Xi Jinping untuk mengembangkan soft power Cina dalam menurunkan tensi dan membuka jalan kerja sama dengan Korea Selatan dan Jepang. Xi Jinping mementingkan terciptanya stabilitas di Asia Timur karena hal tersebut akan membantu mencapai dua kepentingan politiknya yaitu mengedepankan kepentingan inti Cina dan mewujudkan “Two Centenary Goals”.

The objective of this study is to explore Xi Jinping's political interests in East Asia in developing China's football industry. The concept of soft power is used as a guide in conducting this research. This study has employed a qualitative approach using a secondary data study as the data collecting method. The findings of this study show that Xi Jinping chose football as one of the fields to develop China's soft power in reducing tension and opening cooperation with South Korea and Japan. Xi Jinping attaches great importance to creating stability in East Asia because that will help achieve his two political interests, which are promoting China's core interests and realizing the "Two Centenary Goals"."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adina Rizqiarsih Romael
"Diplomasi berkaitan dengan penyelenggaraan hubungan resmi antarnegara yang mana tujuannya adalah menyelesaikan perbedaan dan menjamin kepentingan negara. Pada era pemerintahan Xi Jinping, Tiongkok mengubah “gaya” diplomasi menjadi lebih asertif dan agresif yang kemudian dijuluki sebagai diplomasi wolf warrior. Penelitian ini memiliki tujuan untuk memaparkan alasan gaya diplomasi era Xi Jinping disebut diplomasi wolf warrior dan perkembangan gaya diplomasi tersebut, serta sejauh mana efektivitas gaya baru diplomasi ini dalam mencapai tujuan. Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan ilmu sejarah. Tahapan penelitian mencakup heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan gaya diplomasi wolf warrior yang banyak memanfaatkan aplikasi media sosial bertujuan untuk membentuk citra RRT sebagai negara yang kuat dalam upaya memiliki nilai tawar yang tinggi dalam lingkup internasional. Dinamika gaya diplomasi ini menuai berbagai respon dan dampak bagi RRT.

Diplomacy is related to the implementation of official relations between countries where the aim is to resolve differences and secure states interest. During the reign of Xi Jinping, China changed its diplomatic “style” to be more assertive and aggressive, which was later dubbed as wolf warrior diplomacy. This study aims to explain why the Xi Jinping era diplomacy style is called wolf warrior diplomacy and the development of this diplomacy style, as well as the effectiveness of this new style of diplomacy in achieving goals. The method used in this article is a qualitative method with a historical science approach. The research stages include heuristics, verification, interpretation, and historiography. The results show that the application of the wolf warrior diplomacy style, which utilizes social media applications, aims to shape the PRC's image as a strong country to have a high bargaining value in the international sphere. The dynamics of this style of diplomacy reap various responses and impacts for the PRC."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>