Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Subarno
Abstrak :
The Meiji restoration indicated an early process of modernization in Japan, a major political, economic, and social change that took place rapidly in the second half of the 19th century, by which Japanese society was transformed into the modern one. This process of modernization continued up to the end of Pacific War when Japan was defeated by the allied forces. In the post war era, Japan rushed to catch up with the industrialized west by focusing on her industrial and economic development. Consequently, less than two decades Japan has become a rich country. Even though Japan has been an advanced and modern country, and accepted modern culture of the west and developed advanced industries based on what she has learned, she has at the same time, maintained her own culture, that has many characteristics, like: multi-layered, homogeneity, Japanization, and pragmatism. These features can be seen in religion too. Buddhism is absorbed side by side with Shinto and the two religions become harmoniously interwoven in the lives of the Japanese. This phenomenon strengthens folk religion, an indigenous primitive religion into which elements from Shinto, Buddhism, Taoism, Confucianism and other religions have been grafted and is expressed in the daily ritual and matsuri. Among them is the 0-Bon Matsuri. 0-Bon Marsuri is a part of ancestor worship, observed between 13-15th day of the seventh month, by placing offerings on the bondana and by otherwise seeking to please the ancestral spirits. For contemporary Japanese people, this observance has many functions, such as: to fulfill basic human needs, to strengthen solidarity among family groups, to be recreational event, and to break monotonous. That's why the phenomenon changes from religious ceremony to social custom.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11166
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ligia Emila Muchtar
Abstrak :
ABSTRAK
Apabila orang berkunjung atau hidup di Jepang, maka akan terkesan dengan banyaknya ragam hadiah dan barang-barang yang dikemas dengan indah dan menggunakan kertas pembungkus yang terkesan mewah yang tidak murah.

Bila kita lebih lama lagi tinggal di Jepang, akan dapat menyaksikan kegiatan sosial khususnya mengenai beredarnya hadiah-hadiah pada waktu-waktu tertentu yang dilakukan oleh orang-orang tertentu untuk orang-orang tertentu pula. Tata cara kegiatan sosial yang berhubungan dengan peredaran pemberian hadiah telah dibakukan dalam berbagai terbitan, diantaranya seperti yang diterbitkan NHK dengan judul Kurashi no Echiketto (Etiket Kehidupan) atau dalam buku Shin Otsukiau Jiten (Kamus Pergaulan Terbaru), Salaryman in Japan, atau pada buku Japanese Family & Culture terbitan JTB.

Dalam buku-buku tersebut diatas diterangkan bagaimana tatacara memberi dan membalas pemberian yang selalu muncul dan melibatkan setiap lelaki - perempuan dalam kehidupan orang Jepang sejak seorang anak lahir, balita, dewasa, menikah, menjadi orangtua, dan menjadi kakek nenek yang sampai akhir hayatnya penuh dengan keterlibatan aneka ragam pemberian.

Salah satu buku mengenai etiket orang Jepang yang disebut diatas yaitu dalam Kurashino Bunka jinrui Baku atau antropologi budaya kehidupan (1984;152-156), mencoba mengelompokkan aneka ragam pemberian dalam 5 kategori. Adapun kelima kategori tersebut adalah sebagai berikut:

Nenchugyoji Toshiteno Zoto atau pertukaran hadiah yang dilakukan sepanjang tahun.

Nenchugyoji toshiteno zoto ini meliputi; pemberian orang tua kepada anak-anak pada setiap akhir tahun, pemberian anak kepada ayah pada setiap hari ayah dan hari ibu, pemberian dipertengahan dan akhir tahun antara anak buah kepada atasan di tempat kerja, murid kepada guru, yunior kepada senior, tetangga yang muda kepada tetangga yang tua.

Jinsei no Tsukagirei to Zoto atau pemberian dalam upacaraupacara keluarga.

Jinsei no tsukagirei to zoto ini melibatkan sanak keluarga yang dekat. Adapun kesempatan-kesempatan tersebut seperti pemberian pada upacara kehamilan 4 bulan hingga kelahiran anak. Selanjutnya pemberian pada perayaan ulang tahun pertama hingga hari dewasa anak yang waktunya ditetapkan oleh pemerintah Jepang. Kemudian pemberian pada perayaan pertama kali masuk sekolah hingga lulus sekolah. Setelah perayaan kelulusan ini disusul dengan pemberian pada upacara perkawinan pada usia perkawinan 25 dan 50 tahun. Terakhir pemberian kepada keluarga terdekat bila usia telah mencapai 60 tahun, 77 tahun, 88 tahun dan terakhir 99 tahun. Pemberian pada upacara-upacara keluarga ini di Jepang, biasanya hanya melibatkan kalangan keluarga dekat (keluarga inti)?
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library