Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abstrak :
Satu dari sekian banyak tradisi tulis masyarakat Bali yang isinya memiliki nilai ckonomis dan sosial religius scrta berdampak nyata bagi lingkungan hidup adalah teks Aji Janimtaka. Teks ini unik karena menguraikan fungsi khusus dari pepohonan sesuai dengan jenisnya. Sebagaimana judulnya "Aji Jam'mtaka" maka teks ini merupakan tcks tutur (ajaran) yang intinya dimaksudkan agar selalu diingat oleh sekalian umat man usia dcmi keharmonisan antara Sang Pencipta, Ciptaannya, dan Lingkungannya. Konsep itu merupakan cikal bakal dari filosofi "Tri Hita Karana" di Bali. Terselamatkannya alam dari berbagai bencana bila masyarakat mampu mengharmoniskan konsep Tri Hit a Karana tersebut. Salah satu aspek nyata adalah pemahaman yang holistik bagi masyarakat tentang penanaman pohon sesuai dengan manfaatgunanya bagi kehidupan itu sendiri. Artinya, bila pohon telah memiliki nilai guna secara religius, maka nilai-nilai yang lainnya akan senantiasa tcrpcnuhi. Teks Aji Janimtaka telah membuktikan bahwa semakin tinggi fungsi religius suatu pohon kayu maka semakin tinggi pula nilai ekonominya. Selanjutnya, semakin memiliki nilai ekonomis, hendaknya semakin banyak pula pohon itu dipelihara oleh masyarakat. Implikasinya terhadap a lam juga menampakkan hubungan yang scmakin harmon is, sebab, alam yang lestari bila masyarakat menanam pepohonan (terutama pepohonan keras) yang seimbang dengan kebutuhan lingkungan. Dengan demikian, ekosistem akan berjalan sesuai dengan fungsinya masing-masing. Sebagaimana tersurat dalam teks Aji Janimtaka, di Bali, bahan membuat area hanya diperkenankan memakai kayu cendana, majagau, dan cempaka (kayu ini tergolong kayu merik, yakni jenis pepohonan yang berbunga harum). Pohon kayu yang juga direkomendasikan sebagai bahan untuk membangun tempat suci hanya kayu yang memiliki klasifikasi merik di atas. Sedangkan pohon kayu yang boleh dijadikan sebagai bahan bangunan rumah tempat tinggal diklasifikasikan memiliki wangsa scsuai dengan klasifikasi Prabhu, Patih, Arya, Rangga, Demung, Demang, Tumenggung, Pacalang, Pabekel, Kliyan Banjar, Kasinoman, dan Juru Arah. Pohon kayu tersebut dapat digunakan sebagai bahan bangunan sudah tentu harus disesuaikan pula dengan ketahanan pohon bersangkutan. Semakin suci klasifikasi pohon kayu, semakin tinggi nilai ekonomisnya. Semakin memiliki nilai ekonomis tinggi, diharapkan semakin banyak pula masyarakat menanam jenis pepohonan dimaksud. Dengan demikian, semakin bermutu pula lingkungan hidup manusia karenajenis pohon kayu itu kebanyakan tergolongjenis kayu keras yang mampu mengatur ekosistem di bumi.
2014
902 JPSNT 21:2 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Naskah terdiri atas tiga teks yang berbeda, yaitu (a) janantaka, (b) Weda Rsi Ghana dan (c) sasayu paneteg tuuh. Sekalipun berupa satu cakepan yang disalin oleh satu tangan, ketiga teks ini semula diberi kode identifikasi yang berbeda-beda (LT 185, 186 dan 187). Keterangan isi selengkapnya sebagai berikut: Teks janantaka diawali dengan uraian tentang gring (sakit) yang menimpa rakyat secara mengganas. Dimulai dari jenis-jenis gring yang menimpa golongan masyarakat ke bawah, menengah, sampai pada masyarakat kelas utama. Dilanjutkan dengan dewasa tri wikrama, yakni uraian tentang guruning sasih sebagai langkah awal dalam memilih dewasa baik dan buruk berdasarkan pasasanjan tri wara, yang dimulai dari wuku Sinta sampai Watugunung (sebanyak 30 wuku). Diuraikan juga tentang pangunyaning tri wara yang meliputi baik buruknya dewasa untuk melakukan suatu pekerjaan, seperti dewasa rayur wirya (dewasa untuk potong gigi: mamatah); dewasa dewa nglayang (dewasa untuk membangun kahyangan dewa, upacara bayi dan para pitra yang senantiasa berdasarkan sasih dan penanggalan); dewasa mreta kunda lini/dewasa tetanduran/tri mamula (tentang hari-hari baik untuk menanam segala sesuatu termasuk pengolahan tanahnya disertai mantra-mantra tertentu); dan dewasa catur laba (tentang baik buruknya hari untuk bepergian). Disebutkan juga tentang dewasa buruk yang hendak dihindari karena diliputi oleh Kala Kundang Kasih, Kala Pundutan, Kala Dangastra, Kala Luwang, Kala Dangu, Kala Lekan, Kala Dasa Muka, Kala Rumpuh, dan lain-lainnya. Diakhiri dengan sebutan hari-hari baik dari ke-30 wuku dan mitra sasatru (dewasa dari segala dewasa). Disebutkan bahwa jika bertemu dengan dewasa di atas bagan akan menemui musuh, sedangkan jika bertemu dengan dewasa di bawah bagan adalah sangat baik karena bertemu dengan teman atau mitra (lihat h.16b). Untuk naskah lain dengan judul janantaka, lihat LOr 9276 dan aslinya, Kirtya 367. Teks ini belum tentu sama dengan FSUI/CL.52. Teks kedua adalah tulisan keagamaan berjudul Weda Rsi Gana, mengungkapkan tentang cara Rsi Gana lengkap dengan sarananya berdasar seluruh penjuru arah mata angin. Tujuannya untuk menetralisir dunia dari gangguan buta kala. Diakhiri dengan uraian sesayut Prayascita lengkap dengan sarana dan mantranya. Teks ketiga adalah sasayut paneteg tuuh, menguraikan tentang cara-cara membuat sesajen yang berbentuk sasayut untuk keselamatan hidup atau panjang umur. Disebutkan pula tentang sasayut jaga satru, sasayut dirga ayu, sasayut panebusan mahapati, dan lain-lain. Khusus sasayut panca lingga dan sasayut dirga yusa bumi yang disebutkan pada akhir naskah ini sangat baik dipakai oleh pendeta dan para ratu yang seyogyanya dihaturkan di Kahyangan Agung. Semua jenis sasayut ini dilengkapi dengan sarana, cara pengolahan, dan mantra-mantra yang dipakai. Teks ini ada kemiripan dengan naskah FSUI/AH.38, baik mengenai jenis-jenis sasayut, sarana, maupun mantra yang dipakai. Keterangan penulisan ketiga teks ini, maupun penyalinannya dalam lontar AH.39 tidak ada.
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
AH.39-LT 185-187
Naskah  Universitas Indonesia Library